Terperangkap Birokrasi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menempuh jalan tengah menjawab kritik. Berdiri 13 tahun silam, Komisi ini tak pernah sepi dari kritik. Yang paling kerap muncul adalah tudingan ”kurang darah” alias loyo mengejar dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM. Padahal, sejak awal, masyarakat menunggu taring mereka ”menggigit” para pelanggar HAM .
Jalan tengah itu diputuskan Oktober lalu. Yaitu, seperti yang disebutkan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara: evaluasi independen terhadap lembaga tersebut. Usulan itu disetujui dalam rapat paripurna. ”Hasil evaluasi itu akan menjadi wadah setiap anggota bercermin,” ujar Abdul Hakim. Masukan ini, ujarnya, juga akan menjadi ”PR” untuk memperbaiki lembaga tersebut.
Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya) dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) ditunjuk sebagai lembaga yang akan mengevaluasi. Komnas meminta dua lembaga tersebut menekankan aspek substansi HAM dan organisasi, hal terpenting yang dievaluasi. Pembagian pun dilakukan. Tim dari UGM menelisik manajemen Komnas dan Tim Ubaya meneliti substansi HAM. Penelitian ditargetkan rampung Januari mendatang.
Walau masih ada waktu, hasil penelitian ini hampir rampung. Menurut Revrisond Baswir, Ketua Tim Evaluasi dari UGM, lembaganya sudah menemukan problem mendasar komisi ini. ”Pada sistem anggaran,” ujarnya. Menurut Revrisond, selama ini Komnas menerima anggaran dari pemerintah. Standar penggajian karyawan menggunakan standar pegawai negeri sipil. ”Bukan standar penggajian pejabat negara,” ujarnya.
Dengan sistem seperti ini, kata Revrisond, sulit mengharapkan Komnas HAM menjadi lembaga independen. ”Semuanya amat pemerintah,” kata Revrisond. Menurut dia, kalau pun nanti ada anggota baru yang dikenal independen, sosok semacam ini pun sukar bertahan. ”Seindependen apapun, kalau sudah masuk kubangan lumpur pasti sulit keluar,” katanya.
Yang mengejutkan adalah hasil penelitian tim evaluasi dari Universitas Surabaya. Mereka mencatat ”dua golongan” anggota Komnas HAM. Yakni, yang bermasalah dan yang mendapat dukungan. Dua golongan ini amat mempengaruhi jalannya lembaga. Hanya, siapa-siapa mereka, Ketua Tim Evaluasi dari Ubaya Yoan Nursari Simanjutak, memilih tutup mulut. ”Hasilnya belum tuntas,” dia memberi alasan.
Abdul Hakim mengakui selama ini ada masalah pelaksanaan substansi HAM oleh anggota. ”Terutama setelah perubahan atas pembagian kerja anggota,” ujarnya. Sebelumnya, anggota bekerja berdasarkan fungsi Komnas: pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Tapi, pada 2004, pembagian kerja itu diubah berdasarkan tema-tema HAM, seperti, tema sipil-politik, ekonomi-sosial-budaya, dan kelompok perlindungan khusus. Masing-masing anggota bertanggung jawab pada temanya.
Perubahan ini ternyata menimbulkan masalah. Soalnya, kerap datang pengaduan kasus HAM yang terkait dengan beberapa tema. ”Lalu, anggota saling menunggu,” ujar Abdul Hakim. Ujung-ujungnya, ini ikut membingungkan Sekretariat Jenderal dalam mengelola program dan anggaran. Karena itu, kini, menurut sumber Tempo, ada keinginan sejumlah anggota untuk kembali ke model sebelum 2004.
Namun, masalah yang kini paling krusial dan menimbulkan gejolak adalah ketidakjelasan sistem penggajian staf. Soal ini sudah muncul sejak berbulan-bulan lalu. Spanduk-spanduk berisi kecaman terhadap Sekretaris Jenderal dan anggota Komnas HAM yang dianggap tidak memperhatikan nasib para staf, memenuhi lantai satu hingga lantai tiga gedung komisi negara itu.
Hakim menunjuk akar semua ini soal peraturan presiden tentang sistem penggajian staf yang tak kunjung turun. Selama ini, ujarnya, staf dikategorikan pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS. Sehingga, Sekretaris Jenderal menilai perlu ada satu peraturan presiden untuk sistem penggajian seperti ini. Nah, sembari menunggu aturan itu turun, Sekretaris Jenderal memberlakukan aturan lain yang implikasinya justru membuat gaji para pegawai komisi tersebut berkurang hingga 70 persen.
Pihak Sekretariat Komnas sudah berunding dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Departemen Keuangan untuk membahas masalah ini. Keputusannya, ujar Abdul Hakim, ”Akan ada sistem penggajian ad hoc untuk tahun 2007”.
Masalah anggaran juga menimpa perwakilan Komnas di daerah-daerah. Selama ini bisa dibilang kegiatan ”Komnas cabang daerah” didanai anggaran pemerintah daerah. Itupun berdasarkan program yang dimajukan. Cara kerja semacam ini jelas tak menghasilkan hasil kerja yang maksimal. ”Mestinya ada anggaran khusus secara institusional,” kata Abdul Hakim.
Mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM, Asmara Nababan, memberi usulan soal penggajian ini. Menurut Asmara, mestinya sistem penggajian Komnas HAM seperti struktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Staf KPK tidak tunduk pada sistem pegawai negeri sipil, tapi dapat gaji dari anggaran negara,” ujarnya.
Tapi, Asmara menunjuk pemborosan akan muncul jika jumlah anggota Komnas tidak diubah. Jumlah anggota yang 35 orang itu, ujarnya, terlalu gemuk. Asmara membandingkan jumlah anggota Komnas HAM dengan komisi sejenis seperti di India dan Afrika. ”Anggotanya cuma lima,” ujarnya. Dampak lain dari jumlah anggota yang besar, ”Pengambilan keputusan jadi panjang dan memboroskan waktu,” kata Asmara.
Hakim tak menampik pendapat Asmara. Menurut dia, dalam notulensi rapat perumusan Undang-Undang HAM juga tidak terdapat alasan ditetapkannya anggota Komnas 35 orang. Kenyataannya, selama ini rekrutmen paling banyak 23 orang. ”Ini konvensi,” ujarnya. Karena itu, ia berharap panitia seleksi anggota Komnas HAM periode 2007-2012 tak akan lari dari konvensi.
Komnas kini bersiap memilih sejumlah anggota baru. November lalu rapat untuk memilih lima anggota panitia tim seleksi sudah digelar. Mereka yang terpilih, Soetandyo Wigjosoebroto, Maria Hartiningsih, Musdah Mulia, Kemala Chandrakirana, dan Azumardi Azra. Mereka akan ”memburu” anggota baru Komnas untuk menggantikan 20 anggota Komnas HAM yang masa kerjanya berakhir akhir Agustus 2007.
Di mata Asmara Nababan masuknya ”darah baru” itu tetap tak akan menaikkan pamor Komnas HAM. ”Karena lembaga ini masih amat birokratis,” ujarnya. Apalagi, dukungan pemerintah kini juga tak seperti, misalnya, di era Presiden Abdurrahman Wahid. ”Gus Dur dulu terlihat amat mendukung,” ujar Asmara. Suara senada dilontarkan Revrisond: ”Berharap banyak dari Komnas HAM sama dengan omong kosong. Tidak ada fleksibilitas di sini.”
Maria Hasugian, Abdul Manan, Sunudyantoro (Surabaya), LN Idayanie (Yogyakarta)
Majalah Tempo, Edisi. 42/XXXV/11 - 17 Desember 2006
Jalan tengah itu diputuskan Oktober lalu. Yaitu, seperti yang disebutkan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara: evaluasi independen terhadap lembaga tersebut. Usulan itu disetujui dalam rapat paripurna. ”Hasil evaluasi itu akan menjadi wadah setiap anggota bercermin,” ujar Abdul Hakim. Masukan ini, ujarnya, juga akan menjadi ”PR” untuk memperbaiki lembaga tersebut.
Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya) dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) ditunjuk sebagai lembaga yang akan mengevaluasi. Komnas meminta dua lembaga tersebut menekankan aspek substansi HAM dan organisasi, hal terpenting yang dievaluasi. Pembagian pun dilakukan. Tim dari UGM menelisik manajemen Komnas dan Tim Ubaya meneliti substansi HAM. Penelitian ditargetkan rampung Januari mendatang.
Walau masih ada waktu, hasil penelitian ini hampir rampung. Menurut Revrisond Baswir, Ketua Tim Evaluasi dari UGM, lembaganya sudah menemukan problem mendasar komisi ini. ”Pada sistem anggaran,” ujarnya. Menurut Revrisond, selama ini Komnas menerima anggaran dari pemerintah. Standar penggajian karyawan menggunakan standar pegawai negeri sipil. ”Bukan standar penggajian pejabat negara,” ujarnya.
Dengan sistem seperti ini, kata Revrisond, sulit mengharapkan Komnas HAM menjadi lembaga independen. ”Semuanya amat pemerintah,” kata Revrisond. Menurut dia, kalau pun nanti ada anggota baru yang dikenal independen, sosok semacam ini pun sukar bertahan. ”Seindependen apapun, kalau sudah masuk kubangan lumpur pasti sulit keluar,” katanya.
Yang mengejutkan adalah hasil penelitian tim evaluasi dari Universitas Surabaya. Mereka mencatat ”dua golongan” anggota Komnas HAM. Yakni, yang bermasalah dan yang mendapat dukungan. Dua golongan ini amat mempengaruhi jalannya lembaga. Hanya, siapa-siapa mereka, Ketua Tim Evaluasi dari Ubaya Yoan Nursari Simanjutak, memilih tutup mulut. ”Hasilnya belum tuntas,” dia memberi alasan.
Abdul Hakim mengakui selama ini ada masalah pelaksanaan substansi HAM oleh anggota. ”Terutama setelah perubahan atas pembagian kerja anggota,” ujarnya. Sebelumnya, anggota bekerja berdasarkan fungsi Komnas: pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Tapi, pada 2004, pembagian kerja itu diubah berdasarkan tema-tema HAM, seperti, tema sipil-politik, ekonomi-sosial-budaya, dan kelompok perlindungan khusus. Masing-masing anggota bertanggung jawab pada temanya.
Perubahan ini ternyata menimbulkan masalah. Soalnya, kerap datang pengaduan kasus HAM yang terkait dengan beberapa tema. ”Lalu, anggota saling menunggu,” ujar Abdul Hakim. Ujung-ujungnya, ini ikut membingungkan Sekretariat Jenderal dalam mengelola program dan anggaran. Karena itu, kini, menurut sumber Tempo, ada keinginan sejumlah anggota untuk kembali ke model sebelum 2004.
Namun, masalah yang kini paling krusial dan menimbulkan gejolak adalah ketidakjelasan sistem penggajian staf. Soal ini sudah muncul sejak berbulan-bulan lalu. Spanduk-spanduk berisi kecaman terhadap Sekretaris Jenderal dan anggota Komnas HAM yang dianggap tidak memperhatikan nasib para staf, memenuhi lantai satu hingga lantai tiga gedung komisi negara itu.
Hakim menunjuk akar semua ini soal peraturan presiden tentang sistem penggajian staf yang tak kunjung turun. Selama ini, ujarnya, staf dikategorikan pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS. Sehingga, Sekretaris Jenderal menilai perlu ada satu peraturan presiden untuk sistem penggajian seperti ini. Nah, sembari menunggu aturan itu turun, Sekretaris Jenderal memberlakukan aturan lain yang implikasinya justru membuat gaji para pegawai komisi tersebut berkurang hingga 70 persen.
Pihak Sekretariat Komnas sudah berunding dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Departemen Keuangan untuk membahas masalah ini. Keputusannya, ujar Abdul Hakim, ”Akan ada sistem penggajian ad hoc untuk tahun 2007”.
Masalah anggaran juga menimpa perwakilan Komnas di daerah-daerah. Selama ini bisa dibilang kegiatan ”Komnas cabang daerah” didanai anggaran pemerintah daerah. Itupun berdasarkan program yang dimajukan. Cara kerja semacam ini jelas tak menghasilkan hasil kerja yang maksimal. ”Mestinya ada anggaran khusus secara institusional,” kata Abdul Hakim.
Mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM, Asmara Nababan, memberi usulan soal penggajian ini. Menurut Asmara, mestinya sistem penggajian Komnas HAM seperti struktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Staf KPK tidak tunduk pada sistem pegawai negeri sipil, tapi dapat gaji dari anggaran negara,” ujarnya.
Tapi, Asmara menunjuk pemborosan akan muncul jika jumlah anggota Komnas tidak diubah. Jumlah anggota yang 35 orang itu, ujarnya, terlalu gemuk. Asmara membandingkan jumlah anggota Komnas HAM dengan komisi sejenis seperti di India dan Afrika. ”Anggotanya cuma lima,” ujarnya. Dampak lain dari jumlah anggota yang besar, ”Pengambilan keputusan jadi panjang dan memboroskan waktu,” kata Asmara.
Hakim tak menampik pendapat Asmara. Menurut dia, dalam notulensi rapat perumusan Undang-Undang HAM juga tidak terdapat alasan ditetapkannya anggota Komnas 35 orang. Kenyataannya, selama ini rekrutmen paling banyak 23 orang. ”Ini konvensi,” ujarnya. Karena itu, ia berharap panitia seleksi anggota Komnas HAM periode 2007-2012 tak akan lari dari konvensi.
Komnas kini bersiap memilih sejumlah anggota baru. November lalu rapat untuk memilih lima anggota panitia tim seleksi sudah digelar. Mereka yang terpilih, Soetandyo Wigjosoebroto, Maria Hartiningsih, Musdah Mulia, Kemala Chandrakirana, dan Azumardi Azra. Mereka akan ”memburu” anggota baru Komnas untuk menggantikan 20 anggota Komnas HAM yang masa kerjanya berakhir akhir Agustus 2007.
Di mata Asmara Nababan masuknya ”darah baru” itu tetap tak akan menaikkan pamor Komnas HAM. ”Karena lembaga ini masih amat birokratis,” ujarnya. Apalagi, dukungan pemerintah kini juga tak seperti, misalnya, di era Presiden Abdurrahman Wahid. ”Gus Dur dulu terlihat amat mendukung,” ujar Asmara. Suara senada dilontarkan Revrisond: ”Berharap banyak dari Komnas HAM sama dengan omong kosong. Tidak ada fleksibilitas di sini.”
Maria Hasugian, Abdul Manan, Sunudyantoro (Surabaya), LN Idayanie (Yogyakarta)
Majalah Tempo, Edisi. 42/XXXV/11 - 17 Desember 2006
Comments