Mandek di Tangan Mahkamah
Pemerintah bisa menerbitkan peraturan pengganti undang-undang untuk mengganti Undang-Undang Komisi Kebenaran. DPR akan merevisi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
PUTUSAN itu dengan cepat melompat dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi ke ruang kerja Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, di kawasan Senayan, Jakarta. Kamis dua pekan lalu, beberapa saat setelah Mahkamah mengetukkan palunya, Trimedya segera mendapat berita yang membuatnya terperanjat. Mahkamah mencabut Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Putusan ini menampar wajah Dewan,” ujar Trimedya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan produk DPR tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR. Mereka otomatis ”minggir”. ”Kita harus mulai dari nol lagi,” ujar Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, mengomentari ”matinya” UU Komisi Kebenaran.
Putusan Mahkamah itu menjawab gugatan uji material yang diajukan, antara lain, LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Imparsial. Setahun silam lembaga-lembaga tersebut meminta Mahkamah membatalkan pasal 1 ayat 9, pasal 27, dan pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran. Mereka menyebut pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 45.
Pada pasal 1 ayat 9, misalnya, disebutkan amnesti diberikan presiden untuk pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi setelah memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Mahkamah, untuk pelaku pelanggaran berat hak asasi tidak ada ruang sama sekali untuk amnesti. Jadi, pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang sudah diterima oleh hukum Indonesia.
Adapun pasal 27 menegaskan, kompensasi dan rehabilitasi untuk korban diberikan jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Menurut Mahkamah, pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tidak bergantung pada satu kondisi, termasuk amnesti. Nah, pasal ini dinilai bertabrakan dengan konstitusi, yang memberikan jaminan warga Indonesia mendapat perlindungan hak asasi.
Sebenarnya hanya pasal 27 yang dibatalkan Mahkamah. Pasal itu, menurut Mahkamah, jelas bertubrukan dengan UUD 45. Namun, karena seluruh ”operasional” Undang-Undang Komisi Kebenaran dinilai bergantung dan bermuara pada pasal 27, Mahkamah pun ”membekukan” undang-undang tersebut. Menurut Mahkamah, dengan aturan-aturan seperti itu, undang-undang itu justru tidak mendorong pelaku menyelesaikan perkaranya lewat Komisi Kebenaran. ”Karena mengandung banyak ketidakpastian hukum,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Sidarto Danusubroto, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenar-an, menyambut putusan itu dengan kecewa. ”Itu vonis yang sangat saya sayangkan,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini. Menurut dia, undang-undang ini dulu dibuat untuk melengkapi pengadilan hak asasi yang tidak bisa retroaktif, berlaku surut. ”Dengan putusan itu, situasinya kini jadi pincang,” ujarnya.
Kritik pedas juga disuarakan Direktur Institut Titian Perdamaian, Ichsan Malik. Menurut dia, dengan ”membekukan” UU Komisi Kebenaran, Mahkamah Konstitusi seperti tak ingin mencari kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi. ”Sebaliknya, seperti ingin menutup kasus pelanggaran hak asasi masa lalu dengan melangkah di luar permintaan pemohon,” ujarnya.
Trimedya mencatat ini kedua kalinya Mahkamah Konstitusi membuat putusan berlebihan. Sebelumnya, putusan berlebih di luar permintaan pemohon (ultra petitum) pernah dijatuhkan saat menyidangkan gugatan uji material Undang-Undang Komisi Yudisial. Menurut Trimedya, jika ini terus terjadi, bisa gawat. ”Bukan hanya memboroskan uang negara karena untuk membuat satu undang-undang menghabiskan sekitar Rp 3 miliar, tapi ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Trimedya, dia belum tahu wadah untuk mengadakan rekonsiliasi setelah Komisi Kebenaran dibekukan. Komisi hukum, ujarnya, akan membicarakan soal ini lebih dulu dengan Mahkamah Konstitusi. ”Pada awal Januari, kami akan menggelar rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. ”Ini prioritas.”
Pekan lalu Komisi Hukum sudah mengirim surat ke Badan Legislatif DPR. Mereka mengusulkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi direvisi. Komisi akan meminta kewenangan lembaga itu direvisi. Setelah itu, baru Komisi akan membahas mekanisme kontrol bagi Mahkamah Konstitusi. ”Ini didasari bahwa tidak ada lembaga yang memiliki impunitas,” ujarnya.
Tak semua kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Aktivis hak asasi yang juga bekas Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, misalnya, menganggap putusan Mahkamah tepat. ”Dari segi standar internasional, Undang-Undang Komisi Kebenaran memang kurang memadai,” ujarnya. ”Putusan ini juga menunjukkan rendahnya kualitas DPR dan pemerintah merumuskan undang-undang,” ujarnya lagi. Agar tak terjadi kekosongan hukum, Asmara mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). ”Atau masyarakat membuat sendiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.
Harapan ini pula yang merayap di hati Rukayyah. Warga Desa Lamroh, Kuta Baro, Aceh Besar ini mengharap masyarakat atau Pemerintah Daerah Aceh segera membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kepada Tempo, pekan lalu, perempuan ini menyatakan dirinya sangat sedih kala mendengar Mahkamah mencabut UU Komisi Kebenaran. ”Saya kecewa kepada pemerintah yang seperti menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi, khususnya di Aceh,” ujarnya.
Konflik Aceh memang membuat perempuan 38 tahun ini kehilangan adiknya, M. Amin. Sang adik tewas tertembak kepalanya sesaat setelah keluar dari pintu rumahnya. Rukayyah tak tahu pelakunya, aparat TNI atau anggota Gerakan Aceh Merdeka. ”Tapi saya akan terus berjuang menuntut keadilan, walau satu pintu telah tertutup,” ujarnya.
Keinginan Rukayyah—dan mungkin jutaan korban konflik Aceh lainnya—bisa jadi terwujud. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Aceh, Mukhlis Muchtar, Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan Helsinki memang mengamanatkan dibentuknya komisi kebenaran. ”Di Aceh komisi ini harus ada. Ini kewajiban konstitusional,” ujarnya.
Maria Hasugian, Abdul Manan, Sunariah, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Majalah Tempo, Edisi. 43/XXXV/18 - 24 Desember 2006
PUTUSAN itu dengan cepat melompat dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi ke ruang kerja Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, di kawasan Senayan, Jakarta. Kamis dua pekan lalu, beberapa saat setelah Mahkamah mengetukkan palunya, Trimedya segera mendapat berita yang membuatnya terperanjat. Mahkamah mencabut Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Putusan ini menampar wajah Dewan,” ujar Trimedya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan produk DPR tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR. Mereka otomatis ”minggir”. ”Kita harus mulai dari nol lagi,” ujar Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, mengomentari ”matinya” UU Komisi Kebenaran.
Putusan Mahkamah itu menjawab gugatan uji material yang diajukan, antara lain, LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Imparsial. Setahun silam lembaga-lembaga tersebut meminta Mahkamah membatalkan pasal 1 ayat 9, pasal 27, dan pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran. Mereka menyebut pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 45.
Pada pasal 1 ayat 9, misalnya, disebutkan amnesti diberikan presiden untuk pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi setelah memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Mahkamah, untuk pelaku pelanggaran berat hak asasi tidak ada ruang sama sekali untuk amnesti. Jadi, pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang sudah diterima oleh hukum Indonesia.
Adapun pasal 27 menegaskan, kompensasi dan rehabilitasi untuk korban diberikan jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Menurut Mahkamah, pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tidak bergantung pada satu kondisi, termasuk amnesti. Nah, pasal ini dinilai bertabrakan dengan konstitusi, yang memberikan jaminan warga Indonesia mendapat perlindungan hak asasi.
Sebenarnya hanya pasal 27 yang dibatalkan Mahkamah. Pasal itu, menurut Mahkamah, jelas bertubrukan dengan UUD 45. Namun, karena seluruh ”operasional” Undang-Undang Komisi Kebenaran dinilai bergantung dan bermuara pada pasal 27, Mahkamah pun ”membekukan” undang-undang tersebut. Menurut Mahkamah, dengan aturan-aturan seperti itu, undang-undang itu justru tidak mendorong pelaku menyelesaikan perkaranya lewat Komisi Kebenaran. ”Karena mengandung banyak ketidakpastian hukum,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Sidarto Danusubroto, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenar-an, menyambut putusan itu dengan kecewa. ”Itu vonis yang sangat saya sayangkan,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini. Menurut dia, undang-undang ini dulu dibuat untuk melengkapi pengadilan hak asasi yang tidak bisa retroaktif, berlaku surut. ”Dengan putusan itu, situasinya kini jadi pincang,” ujarnya.
Kritik pedas juga disuarakan Direktur Institut Titian Perdamaian, Ichsan Malik. Menurut dia, dengan ”membekukan” UU Komisi Kebenaran, Mahkamah Konstitusi seperti tak ingin mencari kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi. ”Sebaliknya, seperti ingin menutup kasus pelanggaran hak asasi masa lalu dengan melangkah di luar permintaan pemohon,” ujarnya.
Trimedya mencatat ini kedua kalinya Mahkamah Konstitusi membuat putusan berlebihan. Sebelumnya, putusan berlebih di luar permintaan pemohon (ultra petitum) pernah dijatuhkan saat menyidangkan gugatan uji material Undang-Undang Komisi Yudisial. Menurut Trimedya, jika ini terus terjadi, bisa gawat. ”Bukan hanya memboroskan uang negara karena untuk membuat satu undang-undang menghabiskan sekitar Rp 3 miliar, tapi ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Trimedya, dia belum tahu wadah untuk mengadakan rekonsiliasi setelah Komisi Kebenaran dibekukan. Komisi hukum, ujarnya, akan membicarakan soal ini lebih dulu dengan Mahkamah Konstitusi. ”Pada awal Januari, kami akan menggelar rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. ”Ini prioritas.”
Pekan lalu Komisi Hukum sudah mengirim surat ke Badan Legislatif DPR. Mereka mengusulkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi direvisi. Komisi akan meminta kewenangan lembaga itu direvisi. Setelah itu, baru Komisi akan membahas mekanisme kontrol bagi Mahkamah Konstitusi. ”Ini didasari bahwa tidak ada lembaga yang memiliki impunitas,” ujarnya.
Tak semua kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Aktivis hak asasi yang juga bekas Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, misalnya, menganggap putusan Mahkamah tepat. ”Dari segi standar internasional, Undang-Undang Komisi Kebenaran memang kurang memadai,” ujarnya. ”Putusan ini juga menunjukkan rendahnya kualitas DPR dan pemerintah merumuskan undang-undang,” ujarnya lagi. Agar tak terjadi kekosongan hukum, Asmara mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). ”Atau masyarakat membuat sendiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.
Harapan ini pula yang merayap di hati Rukayyah. Warga Desa Lamroh, Kuta Baro, Aceh Besar ini mengharap masyarakat atau Pemerintah Daerah Aceh segera membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kepada Tempo, pekan lalu, perempuan ini menyatakan dirinya sangat sedih kala mendengar Mahkamah mencabut UU Komisi Kebenaran. ”Saya kecewa kepada pemerintah yang seperti menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi, khususnya di Aceh,” ujarnya.
Konflik Aceh memang membuat perempuan 38 tahun ini kehilangan adiknya, M. Amin. Sang adik tewas tertembak kepalanya sesaat setelah keluar dari pintu rumahnya. Rukayyah tak tahu pelakunya, aparat TNI atau anggota Gerakan Aceh Merdeka. ”Tapi saya akan terus berjuang menuntut keadilan, walau satu pintu telah tertutup,” ujarnya.
Keinginan Rukayyah—dan mungkin jutaan korban konflik Aceh lainnya—bisa jadi terwujud. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Aceh, Mukhlis Muchtar, Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan Helsinki memang mengamanatkan dibentuknya komisi kebenaran. ”Di Aceh komisi ini harus ada. Ini kewajiban konstitusional,” ujarnya.
Maria Hasugian, Abdul Manan, Sunariah, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Majalah Tempo, Edisi. 43/XXXV/18 - 24 Desember 2006
Comments