Melindungi Ratu, Juga Presiden

RUANG sidang Mahkamah Konstitusi, pertengahan September silam. Eggy Sudjana berbicara lantang: “Saya heran, pasal ini bisa diinterpretasikan sesukanya oleh penguasa. Pak Effendi, yang mengkritik melalui Republik BBM, tak dijerat pasal ini. Saya yang minta informasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi kok dicokok.”


Effendi Ghazali, yang dimaksudkan Eggy, juga bersuara lantang: “Setiap orang menagih janji kampanye dan mengkritik presiden itu dengan cara masing-masing. Kami menyampaikannya dengan data melalui Republik BBM. Kalau kemudian kami populer, tapi Anda ditangkap, ya, itu soal nasib.…”

Ini bukan dialog dalam Republik BBM, sebuah acara di stasiun televisi swasta, melainkan cuplikan dialog dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada September lalu. Kendati sidang itu serius, toh pengunjung kasus gugatan judicial review Pasal 134 dan 136 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan presiden itu tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Effendi. Pakar politik ini sedang dihadirkan sebagai saksi ahli.

Eggy tengah mengajukan uji materiil karena menjadi korban pasal warisan kolonial Belanda itu. Pengacara itu kini menjadi terdakwa kasus penghinaan presiden di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gara-garanya, pernyataannya di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Januari silam. Kala itu ia menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima mobil mewah Jaguar dari seorang pengusaha. Pernyataannya ini dinilai menghina Presiden. Eggy membantah dituding menghina. “Saya meminta klarifikasi kabar itu,” katanya.

Tak jelas mana yang benar. Yang pasti, Eggy bukan satu-satunya korban pasal ini. Pandapotan Lubis, 42 tahun, juga bernasib sama. “Kami minta pasal penghinaan presiden dibatalkan karena berpotensi dipakai penguasa untuk kepentingan mereka,” kata Irma Hattu, kuasa hukum Lubis, saat mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, 25 September lalu.

Memang, inilah gugatan uji materiil pertama terhadap pasal yang banyak menyeret mahasiswa dan aktivis ke pengadilan itu. Selama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, setidaknya sudah lima korban diadili karena pasal ini. Mereka: Wayan Gendo Suardhana, Bay Harkat Firdaus, Fahrul Rohman, Eggy Sudjana, dan Pandapotan Lubis. Daftar ini bisa makin panjang jika korban pada masa presiden sebelum SBY dimasukkan.

Menurut pengacara LBH Jakarta, Hermawanto, upaya Eggy dan Lubis menggugat keberadaan pasal warisan Belanda ke Mahkamah Konstitusi karena mekanisme untuk itu kini ada. Semasa Orde Baru, ujar pembela Fahrul Rohman untuk kasus yang sama ini, pintu peluang menguji pasal-pasal dalam KUHP ini tertutup. LBH Jakarta, ujar Hermawanto, juga berencana menggugat pasal ini. “Sekarang masih taraf pengkajian,” kata Hermawanto.

Kendati Eggy yang mengajukan gugatan, menurut Firman Wijaya--pengacara Eggy--gugatan ini tak semata untuk kepentingan kliennya. “Sebab, sebelumnya sudah banyak menjadi korban,” katanya. Dari kasus Eggy, ujar Firman, ia menilai hak partisipasi masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi bisa terancam karena pasal yang bisa disebut “pasal karet” ini.

Dalam gugatannya, Eggy meminta uji materiil atas Pasal 134 dan 136 KUHP. Adapun Lubis, selain dua pasal itu, juga memasukkan Pasal 137. Pasal ini mengatur larangan menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan ataupun lukisan di depan umum yang berisi penghinaan terhadap presiden.

Eggy berpendapat, pasal yang diproduksi pada zaman penjajahan Belanda ini sudah tak sesuai dengan iklim demokratis. "Di Belanda sendiri undang-undang semacam ini sudah tidak berlaku," kata bekas Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia itu. Irma Hattu berpendapat sama. “Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat.”

Tak semuanya setuju dengan pendapat Eggy. Pakar hukum pidana Rudy Satrio Mukantardjo, misalnya, menyebut pasal-pasal kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden tetap relevan untuk melindungi kehormatan kepala negara. Dia menolak jika disebut pasal semacam itu tak dipakai di Belanda. “Di sana, menghina ratu tetap tidak boleh,” kata anggota tim penyusun rancangan KUHP yang juga menjadi dosen Universitas Indonesia ini. Pakar hukum pidana Muzakkir juga menguatkan argumen Rudy. Menurut dia, kebebasan berekspresi tak bisa dijadikan alasan menghina presiden. “Protes juga ada etikanya,” katanya.

Memang, Mahkamah Konstitusi baru akan mengetuk palu memutuskan pasal ini sekitar sebulan lagi. Tapi, Hermawanto mengingatkan, pasal ini awal mulanya dipakai Orde Baru untuk menekan aktivis dan mahasiswa yang kritis. Pasal-pasal yang bisa membuat pelakunya dibui enam tahun penjara ini, kata dia, sama sekali tak pernah dipakai di era Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. “Padahal, demonstrasi kala itu juga banyak,” ujarnya. Pasal ini memang “muncul” lagi saat Megawati menjadi presiden. “Jadi, ini indikasi dua rezim belakangan yang alergi kritik,” katanya.

Dari Istana, juru bicara presiden, Andi Mallarangeng, tak mau berkomentar soal silang pendapat pasal penghinaan presiden ini. Menurut Andi, Presiden Yudhoyono juga tak pernah menyinggung-nyinggung polemik pasal ini. “Presiden hanya baca di koran,” kata Andi kepada Badriah dari Tempo. ***

Abdul Manan, Agoeng Widjaja, Tito Sianipar


BOKS
Menghina, Lalu Menjadi Pesakitan

Selama dua tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada lima perkara yang masuk pengadilan dengan dakwaan menghina presiden.


* Bay Harkat Firdaus, 21 tahun, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Kasus: Didakwa melakukan pembakaran foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 20 Desember 2004.
Status: Dinyatakan terbukti menghina presiden dan wakil presiden. Pada 26 Mei 2005, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Bay Harkat lima bulan dan dua hari penjara.


* Wayan Gendo Suardhana, 29 tahun, Mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar

Kasus: Didakwa menghina kepala negara karena membawa poster Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang wajahnya dicorat-coret bak drakula. Poster itu dibakar saat unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPRD Bali, 30 Desember 2005.
Status: Dinyatakan menghina presiden. Pengadilan Negeri Denpasar memvonis Gendo hukuman enam bulan penjara, 10 Juni 2005.

* Fahrul Rohman, 22 tahun, Mahasiswa Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Kasus: Didakwa menghina presiden saat menjadi orator dalam unjuk rasa Aliansi Rakyat Bergerak dan Adili Soeharto, di Universitas Nasional, Jakarta, 16 Juni 2006. Saat demo itu, ada gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang bagian mata, bibir, gigi, dan dagunya diberi tinta hitam dan ditulisi “No Trust”, “Down, “Kami Tidak Tahan Lagi”, serta selebaran "SBY-JK telah gagal dan mengkhianati reformasi. SBY-JK turun sekarang juga".
Status: Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

* Pandapotan Lubis, 42 tahun, Wiraswasta

Kasus: Didakwa menghina presiden dan wakil presiden karena memasang spanduk dan foto Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang di bawahnya tertera tulisan “No Trust” dan “Go Down”. Pemasangan dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, 16 Mei 2006. Lubis ditangkap tiga hari kemudian di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Status: Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

* Eggy Sudjana, 46 tahun, pengacara

Kasus: Didakwa menghina presiden karena pernyataannya kepada wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 3 Januari 2006, yang menyebut Presiden Yudhoyono menerima mobil Jaguar dari pengusaha Harry Tanoesoedibjo.
Status: Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

AM


Majalah Tempo, 9 Oktober 2006

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO