Dari Amsterdam ke Tokyo
Boeing 747 seri 400 sudah jamak dipakai maskapai penerbangan di mana pun. Garuda Indonesia punya tiga. Tapi, pesawat bikinan Boeing Commercial Airplanes Amerika Serikat, yang pernah melayani rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, punya keistimewaan sendiri: menjadi saksi kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Kisahnya dimulai pada 6 September 2004. Sekitar pukul 22.05 WIB atau 15.02 GMT, pesawat jumbo jet dengan kapasitas tempat duduk 400 ini bertolak ke Singapura dengan kapten pilot Sabur Muhammad Taufik. Dengan kecepatan rata-rata 909 kilometer per jam, Jakarta-Singapura hanya ditempuh 80 menit.
Pesawat dengan kode penerbangan GA 974 itu menyentuh landasan Bandara Changi sekitar pukul 16.40 GMT dan parkir sekitar 1 jam 13 menit di Gate D42, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kedua ini, Panton Matondang menjadi kapten pilot. Normalnya, butuh 12 jam sebelum pesawat tiba di Amsterdam, Belanda.
Masalah muncul setelah pesawat mengudara tiga jam. Menurut Panton, seperti disampaikannya ke polisi, pada saat itu pramugara Najib Nasution masuk ke kokpit dan melaporkan kondisi penumpang di kursi 3K yang tak lain adalah Munir. Dia mengaku sakit perut dan sudah beberapa kali ke toilet. Menurut Nadjib, Munir sudah dibantu dr Tarmizi Hakim, dokter yang dikenalnya di Changi.
Satu setengah jam kemudian, Najib kembali melaporkan kondisi Munir yang mulai membaik. Tapi, dua jam sebelum pesawat mendarat, masuk laporan bahwa tangan Munir kaku dan dingin. Rupanya pria kelahiran Batu, Jawa Timur, ini sudah tak bernyawa lagi. Peristiwa nahas itu terjadi saat pesawat berada di ketinggian 40 ribu kaki di langit Hungaria.
Sesuai dengan prosedur standar, kru harus melaporkan ke kantor pusat Garuda di Jakarta sebelum kasus ini disampaikan ke pengelola Schippol, Amsterdam. Setelah pesawat mendarat pukul 06.11 GMT, dua polisi Marsose datang dan meminta penumpang tinggal di pesawat. Panton dan penumpang di sekitar kursi G, termasuk Tarmizi, diinterogasi. Setengah jam kemudian, penumpang diizinkan turun.
Pesawat sempat menginap dua hari di Schippol sebelum bertolak kembali ke Jakarta pada 9 September. Pada 1 November 2004, Garuda menutup rute tersebut. Apakah ini ada hubungannya dengan kematian Munir? ”Nggak ada. Penutupan itu semata karena rute itu tak menguntungkan secara bisnis,” kata juru bicara Garuda Indonesia, Pudjobroto, Rabu lalu.
Sejak itu, tak ada lagi pembicaraan tentang pesawat tersebut. Sampai akhirnya Tim Pencari Fakta Munir meminta prarekonstruksi di pesawat tersebut. Namun, rencana itu gagal karena kru Garuda yang terkait kasus ini sedang berdinas di sejumlah rute. Polisilah yang akhirnya menggelar rekonstruksi di pesawat tersebut di hanggar Garuda di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada 23 Juni 2005.
Setelah melewati sejumlah pemeriksaan, pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang pada saat penerbangan itu menjadi extra crew dituduh menjadi pembunuh Munir. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukumnya dengan 14 tahun penjara. Tapi, Mahkamah Agung menguranginya jadi dua tahun karena menilai Polly tak bersalah dalam kasus pembunuhan. Kasus ini kembali gelap.
Bekas Sekretaris TPF Munir, Usman Hamid, mengusulkan rekonstruksi ulang untuk melacak lagi pembunuhan itu. Namun, juru bicara Mabes Polri, Brigjen Pol. Anton Bachrul Alam mengatakan, TKP di pesawat itu sudah lama rusak dan tak sama lagi seperti pada saat kejadian. Dan sejauh ini, kata Anton, belum ada rencana melakukan rekonstruksi lagi.
Bagi Garuda, kasus ini tak membuat perusahaan penerbangan milik pemerintah itu harus mengandangkan pesawat tersebut. Menurut Pujobroto, hingga kini pesawat itu terbang melayani rute Jakarta-Tokyo.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Edisi. 35/XXXIV/13 - 19 Oktober 2006
Kisahnya dimulai pada 6 September 2004. Sekitar pukul 22.05 WIB atau 15.02 GMT, pesawat jumbo jet dengan kapasitas tempat duduk 400 ini bertolak ke Singapura dengan kapten pilot Sabur Muhammad Taufik. Dengan kecepatan rata-rata 909 kilometer per jam, Jakarta-Singapura hanya ditempuh 80 menit.
Pesawat dengan kode penerbangan GA 974 itu menyentuh landasan Bandara Changi sekitar pukul 16.40 GMT dan parkir sekitar 1 jam 13 menit di Gate D42, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kedua ini, Panton Matondang menjadi kapten pilot. Normalnya, butuh 12 jam sebelum pesawat tiba di Amsterdam, Belanda.
Masalah muncul setelah pesawat mengudara tiga jam. Menurut Panton, seperti disampaikannya ke polisi, pada saat itu pramugara Najib Nasution masuk ke kokpit dan melaporkan kondisi penumpang di kursi 3K yang tak lain adalah Munir. Dia mengaku sakit perut dan sudah beberapa kali ke toilet. Menurut Nadjib, Munir sudah dibantu dr Tarmizi Hakim, dokter yang dikenalnya di Changi.
Satu setengah jam kemudian, Najib kembali melaporkan kondisi Munir yang mulai membaik. Tapi, dua jam sebelum pesawat mendarat, masuk laporan bahwa tangan Munir kaku dan dingin. Rupanya pria kelahiran Batu, Jawa Timur, ini sudah tak bernyawa lagi. Peristiwa nahas itu terjadi saat pesawat berada di ketinggian 40 ribu kaki di langit Hungaria.
Sesuai dengan prosedur standar, kru harus melaporkan ke kantor pusat Garuda di Jakarta sebelum kasus ini disampaikan ke pengelola Schippol, Amsterdam. Setelah pesawat mendarat pukul 06.11 GMT, dua polisi Marsose datang dan meminta penumpang tinggal di pesawat. Panton dan penumpang di sekitar kursi G, termasuk Tarmizi, diinterogasi. Setengah jam kemudian, penumpang diizinkan turun.
Pesawat sempat menginap dua hari di Schippol sebelum bertolak kembali ke Jakarta pada 9 September. Pada 1 November 2004, Garuda menutup rute tersebut. Apakah ini ada hubungannya dengan kematian Munir? ”Nggak ada. Penutupan itu semata karena rute itu tak menguntungkan secara bisnis,” kata juru bicara Garuda Indonesia, Pudjobroto, Rabu lalu.
Sejak itu, tak ada lagi pembicaraan tentang pesawat tersebut. Sampai akhirnya Tim Pencari Fakta Munir meminta prarekonstruksi di pesawat tersebut. Namun, rencana itu gagal karena kru Garuda yang terkait kasus ini sedang berdinas di sejumlah rute. Polisilah yang akhirnya menggelar rekonstruksi di pesawat tersebut di hanggar Garuda di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada 23 Juni 2005.
Setelah melewati sejumlah pemeriksaan, pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang pada saat penerbangan itu menjadi extra crew dituduh menjadi pembunuh Munir. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukumnya dengan 14 tahun penjara. Tapi, Mahkamah Agung menguranginya jadi dua tahun karena menilai Polly tak bersalah dalam kasus pembunuhan. Kasus ini kembali gelap.
Bekas Sekretaris TPF Munir, Usman Hamid, mengusulkan rekonstruksi ulang untuk melacak lagi pembunuhan itu. Namun, juru bicara Mabes Polri, Brigjen Pol. Anton Bachrul Alam mengatakan, TKP di pesawat itu sudah lama rusak dan tak sama lagi seperti pada saat kejadian. Dan sejauh ini, kata Anton, belum ada rencana melakukan rekonstruksi lagi.
Bagi Garuda, kasus ini tak membuat perusahaan penerbangan milik pemerintah itu harus mengandangkan pesawat tersebut. Menurut Pujobroto, hingga kini pesawat itu terbang melayani rute Jakarta-Tokyo.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Edisi. 35/XXXIV/13 - 19 Oktober 2006
Comments