Polisi Terus Membidik Rajawali
Polisi memeriksa sejumlah petinggi PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Terkait dengan dugaan penyelewengan impor gula kristal mentah.
***
SEJUMLAH pimpinan PT Rajawali Nusantara Indonesia sejak dua pekan lalu terlihat wara-wiri ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka tengah menjalani pemeriksaan polisi. Hingga pekan lalu, sedikitnya dua komisaris dan empat pimpinan badan usaha milik negara itu sudah datang ke markas Polda Metro Jaya. Mereka antara lain Zaenal Abidin dan Ragil Mugiyo, komisaris RNI. “Pemeriksaan itu tak mempengaruhi perusahaan. Kami terus berkarya,” kata Direktur Utama PT Rajawali, Rama Prihandana.
Pemeriksaan ini berkaitan dengan dugaan penyelewengan impor gula kristal mentah (raw sugar) yang dilakukan perusahaan itu pada 2003. Menurut pemeriksaan polisi, ada dugaan impor gula 81.450 ton itu membuat negara rugi Rp 26 miliar. Skandal gula impor ini juga dilaporkan sebuah lembaga swadaya masyarakat ke polisi.
Menurut seorang polisi, pemeriksaan ini terkait dengan adanya perbedaan signifikan hasil olah gula kristal menjadi gula putih sekitar 7.000 ton. Dengan perhitungan harga jual Rp 3,5 juta per ton, kerugian negara yang ditimbulkan diduga Rp 24 sampai 27 miliar. Kerugian itu terjadi akibat tak adanya estimasi biaya sebelum impor. “Pokoknya dibeli dengan perkiraan untung. Ternyata gula yang diimpor tak sesuai dengan spesifikasi,” kata sumber Tempo lainnya yang sejak awal mengikuti kasus ini.
Dari gula yang diimpor, kata sumber itu, ICUMSA gula (ukuran nilai kemurnian yang berkaitan dangan warna gula) sangat tinggi. Ini yang menurut sumber itu mengakibatkan rendemen gula rendah. “Akibatnya, gula putih yang dihasilkan lebih sedikit,” katanya.
Sumber itu menuding kerugian juga muncul karena perubahan perjanjian yang dilakukan direksi dengan investor gula. Menurut dia, dalam perjanjian disebutkan, bila ada untung dan rugi, pembagiannya: 60 persen PT Rajawali dan 40 persen untuk investor. Direksi mengubah perjanjian itu, yakni semua kerugian ditanggung RNI. Investor juga diberi bunga 18 persen per tahun. “Sehingga, raw sugar ini membuat negara rugi Rp 24 miliar dari harga perolehan gula, dan Rp 3 miliar dari pajak yang seharusnya dibayar investor tapi dibayar RNI,” ujar sumber tersebut.
Sekretaris perusahaan PT Rajawali, Supangat, mengakui soal rendemen gula yang rendah itu. Pada saat tender, ujarnya, sebenarnya sudah disyaratkan kualitas barang ditentukan oleh ICUMSA. Louis Dreyfus Asia PTE Ltd. menang dalam tender sebagai penyuplai. Menurut Supangat, kemudian terjadi negosiasi harga. Dari penawaran Rp 206 miliar kemudian menjadi Rp 197 miliar. “Supplier menyatakan harga mau turun, syaratnya ICUMSA tak jadi faktor kualitas barang,” ujar Supangat.
Saat itu, menurut Supangat, tim berpatokan bahwa ICUMSA bukan sebagai faktor penghitung rendemen. Karena itu usul supplier ini diterima. Sebagai penentu rendemen, yang dipakai adalah angka polarisasi 97. Ternyata, pada saat barang dikirim, ICUMSA-nya tinggi sekali. Biasanya 3.000 unit, kini mencapai 20.000 unit. “Itu di luar perhitungan semula,” tutur Supangat. ICUMSA tinggi itulah, kata Supangat lagi, yang menyebabkan rendemen rendah.
Ihwal perubahan perjanjian dengan investor, Supangat menyatakan bahwa RNI mempunyai alasan melakukannya. Dalam perjanjian dengan investor, awalnya dipatok rendemen 92. Kenyataannya 80 sampai 84. “Kalau tak diubah perjanjiannya, RNI harus menombok rendemen gula dari 82 ke 92,” katanya.
Taksiran untuk menalangi itu sekitar Rp 16 miliar. PT Rajawali lalu mengubah perjanjian tersebut dengan kompensasi investor diberi pendapatan tetap atau bunga yang totalnya sekitar Rp 14 miliar. “Kalau perjanjian tak diubah, kerugian RNI jauh lebih besar,” kata Supangat.
Namun Supangat membantah akibat kasus ini Rajawali rugi. Menurut dia, dari pengolahan gula kristal mentah menjadi gula putih, anak perusahaan PT Rajawali, seperti Pabrik Gula Rajawali I dan Rajawali II, untung sekitar Rp 22 miliar. Itu belum ditambah keuntungan Rp 3,5 miliar dari tetes pengolahan tebu. “Jadi, kalau di perusahaan induk ada rugi sekitar Rp 24 miliar, masih ada keuntungan sekitar Rp 1 miliar kalau dihitung dengan pendapatan anak perusahaan,” ujar Supangat.
Soal gula kristal ini ternyata baru satu dari lima kasus yang ada dalam agenda pemeriksaan polisi. Seperti tertera dalam surat polisi kepada Direktur Utama RNI Rama Prihandana, ada empat kasus lain di tubuh RNI yang akan dibidik polisi. Kasus tersebut adalah pembelian saham Rp 12,2 miliar di Pabrik Gula Candi Baru, pengadaan teknologi informasi, kerja sama pendirian pabrik kampas rem, dan penjualan tanah seluas 10 ribu meter persegi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sigit Sudarmanto menyatakan, pihaknya sampai kini terus memeriksa mereka yang terkait kasus gula impor ini. ”Kami masih mendalami keterangan saksi-saksi,” katanya. Rama Prihandana menyatakan keheranannya kenapa soal ini sampai ditangani polisi.
Menurut Rama, rapat umum pemegang saham juga sudah menerima pertanggungjawaban direksi soal gula impor itu. Salah satu investor gula kristal, Soetikno Nyoto, juga menyatakan tak tahu-menahu adanya penyelewengan impor gula yang kini ditangani polisi. “Saya tidak tahu apa-apa,” kata Direktur PT Citra Gemini Mulia tersebut.
Abdul Manan, Sunudyantoro, Ibnu Rusydi
Majalah Tempo, 17 Juli 2006
***
SEJUMLAH pimpinan PT Rajawali Nusantara Indonesia sejak dua pekan lalu terlihat wara-wiri ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka tengah menjalani pemeriksaan polisi. Hingga pekan lalu, sedikitnya dua komisaris dan empat pimpinan badan usaha milik negara itu sudah datang ke markas Polda Metro Jaya. Mereka antara lain Zaenal Abidin dan Ragil Mugiyo, komisaris RNI. “Pemeriksaan itu tak mempengaruhi perusahaan. Kami terus berkarya,” kata Direktur Utama PT Rajawali, Rama Prihandana.
Pemeriksaan ini berkaitan dengan dugaan penyelewengan impor gula kristal mentah (raw sugar) yang dilakukan perusahaan itu pada 2003. Menurut pemeriksaan polisi, ada dugaan impor gula 81.450 ton itu membuat negara rugi Rp 26 miliar. Skandal gula impor ini juga dilaporkan sebuah lembaga swadaya masyarakat ke polisi.
Menurut seorang polisi, pemeriksaan ini terkait dengan adanya perbedaan signifikan hasil olah gula kristal menjadi gula putih sekitar 7.000 ton. Dengan perhitungan harga jual Rp 3,5 juta per ton, kerugian negara yang ditimbulkan diduga Rp 24 sampai 27 miliar. Kerugian itu terjadi akibat tak adanya estimasi biaya sebelum impor. “Pokoknya dibeli dengan perkiraan untung. Ternyata gula yang diimpor tak sesuai dengan spesifikasi,” kata sumber Tempo lainnya yang sejak awal mengikuti kasus ini.
Dari gula yang diimpor, kata sumber itu, ICUMSA gula (ukuran nilai kemurnian yang berkaitan dangan warna gula) sangat tinggi. Ini yang menurut sumber itu mengakibatkan rendemen gula rendah. “Akibatnya, gula putih yang dihasilkan lebih sedikit,” katanya.
Sumber itu menuding kerugian juga muncul karena perubahan perjanjian yang dilakukan direksi dengan investor gula. Menurut dia, dalam perjanjian disebutkan, bila ada untung dan rugi, pembagiannya: 60 persen PT Rajawali dan 40 persen untuk investor. Direksi mengubah perjanjian itu, yakni semua kerugian ditanggung RNI. Investor juga diberi bunga 18 persen per tahun. “Sehingga, raw sugar ini membuat negara rugi Rp 24 miliar dari harga perolehan gula, dan Rp 3 miliar dari pajak yang seharusnya dibayar investor tapi dibayar RNI,” ujar sumber tersebut.
Sekretaris perusahaan PT Rajawali, Supangat, mengakui soal rendemen gula yang rendah itu. Pada saat tender, ujarnya, sebenarnya sudah disyaratkan kualitas barang ditentukan oleh ICUMSA. Louis Dreyfus Asia PTE Ltd. menang dalam tender sebagai penyuplai. Menurut Supangat, kemudian terjadi negosiasi harga. Dari penawaran Rp 206 miliar kemudian menjadi Rp 197 miliar. “Supplier menyatakan harga mau turun, syaratnya ICUMSA tak jadi faktor kualitas barang,” ujar Supangat.
Saat itu, menurut Supangat, tim berpatokan bahwa ICUMSA bukan sebagai faktor penghitung rendemen. Karena itu usul supplier ini diterima. Sebagai penentu rendemen, yang dipakai adalah angka polarisasi 97. Ternyata, pada saat barang dikirim, ICUMSA-nya tinggi sekali. Biasanya 3.000 unit, kini mencapai 20.000 unit. “Itu di luar perhitungan semula,” tutur Supangat. ICUMSA tinggi itulah, kata Supangat lagi, yang menyebabkan rendemen rendah.
Ihwal perubahan perjanjian dengan investor, Supangat menyatakan bahwa RNI mempunyai alasan melakukannya. Dalam perjanjian dengan investor, awalnya dipatok rendemen 92. Kenyataannya 80 sampai 84. “Kalau tak diubah perjanjiannya, RNI harus menombok rendemen gula dari 82 ke 92,” katanya.
Taksiran untuk menalangi itu sekitar Rp 16 miliar. PT Rajawali lalu mengubah perjanjian tersebut dengan kompensasi investor diberi pendapatan tetap atau bunga yang totalnya sekitar Rp 14 miliar. “Kalau perjanjian tak diubah, kerugian RNI jauh lebih besar,” kata Supangat.
Namun Supangat membantah akibat kasus ini Rajawali rugi. Menurut dia, dari pengolahan gula kristal mentah menjadi gula putih, anak perusahaan PT Rajawali, seperti Pabrik Gula Rajawali I dan Rajawali II, untung sekitar Rp 22 miliar. Itu belum ditambah keuntungan Rp 3,5 miliar dari tetes pengolahan tebu. “Jadi, kalau di perusahaan induk ada rugi sekitar Rp 24 miliar, masih ada keuntungan sekitar Rp 1 miliar kalau dihitung dengan pendapatan anak perusahaan,” ujar Supangat.
Soal gula kristal ini ternyata baru satu dari lima kasus yang ada dalam agenda pemeriksaan polisi. Seperti tertera dalam surat polisi kepada Direktur Utama RNI Rama Prihandana, ada empat kasus lain di tubuh RNI yang akan dibidik polisi. Kasus tersebut adalah pembelian saham Rp 12,2 miliar di Pabrik Gula Candi Baru, pengadaan teknologi informasi, kerja sama pendirian pabrik kampas rem, dan penjualan tanah seluas 10 ribu meter persegi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sigit Sudarmanto menyatakan, pihaknya sampai kini terus memeriksa mereka yang terkait kasus gula impor ini. ”Kami masih mendalami keterangan saksi-saksi,” katanya. Rama Prihandana menyatakan keheranannya kenapa soal ini sampai ditangani polisi.
Menurut Rama, rapat umum pemegang saham juga sudah menerima pertanggungjawaban direksi soal gula impor itu. Salah satu investor gula kristal, Soetikno Nyoto, juga menyatakan tak tahu-menahu adanya penyelewengan impor gula yang kini ditangani polisi. “Saya tidak tahu apa-apa,” kata Direktur PT Citra Gemini Mulia tersebut.
Abdul Manan, Sunudyantoro, Ibnu Rusydi
Majalah Tempo, 17 Juli 2006
Comments