Cabut Tak Cabut Tetap Dilantik
Sejumlah guru besar Universitas Airlangga menggugat keputusan presiden. Mahkamah Agung memenangkan sebagian gugatan.
PERLAWANAN empat guru besar Universitas Airlangga, Surabaya, itu tak main-main. Setelah gugatan uji material mereka dikabulkan Mahkamah Agung, Selasa pekan lalu mereka mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Kali ini mereka menggugat keputusan presiden yang mengesahkan Profesor Fasich sebagai rektor. “Kami minta pengesahan itu dibatalkan,” kata Kukuh Pramono, kuasa hukum empat guru besar fakultas kedokteran itu.
Dalam gugatannya, keempat profesor itu--Agus Abadi, Umar Kasan, Paul Tahalele, dan Benny--meminta Presiden mencabut keputusannya, awal Juni lalu, yang mengangkat Fasich sebagai rektor baru Universitas Airlangga. Mereka menganggap keputusan itu tidak sah lantaran dibuat setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan uji material mereka. Mahkamah menyatakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16/2005 tentang Statuta Universitas Airlangga tidak sah.
Kasus ini bermula dari ketidakpuasan Agus dan ketiga rekannya atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, yang dinilai bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69/1999 dan Statuta Universitas Airlangga 2004 disebutkan, anggota senat universitas adalah rektor, pembantu rektor, dekan, dan semua guru besar.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan, senat universitas berganti menjadi senat akademik universitas. Anggotanya menyusut, hanya meliputi rektor, pembantu rektor, perwakilan guru besar, dan perwakilan dosen. Akibatnya, tak semua guru besar memiliki hak suara dalam pemilihan rektor.
Pada 5 Januari lalu, keempat guru besar itu pun mengajukan gugatan uji material terhadap peraturan menteri tersebut. Mereka menuntut empat hal. Pertama, semua proses pemilihan rektor dihentikan. Kedua, mencabut Peraturan Menteri No. 16/2005. Ketiga, mencabut semua peraturan turunan peraturan menteri tersebut. Terakhir, memberlakukan kembali Statuta Universitas Airlangga 2004.
Ketika itu, Airlangga memang sedang menggelar pemilihan rektor. Tiga kandidat, Fasich (Fakultas Farmasi), Rohmad Romdhoni (Fakultas Kedokteran), dan Edy Juwono Slamet (Fakultas Ekonomi), berebut menjadi orang nomor satu di universitas itu. Agus Abadi pun sempat mencalonkan diri, tapi kandas dalam uji kepatutan dan kelayakan.
Gugatan itu tak sia-sia. Pada April lalu, Mahkamah Agung mengabulkan sebagian gugatan. Mahkamah memutuskan Peraturan Menteri No. 16/2005 tidak sah, dan semua aturan di bawahnya batal demi hukum. Menteri Pendidikan juga diperintahkan mencabut peraturan tersebut. Adapun tuntutan penggugat agar proses pemilihan rektor dihentikan dan Statuta Universitas 2004 diberlakukan kembali tidak dikabulkan majelis hakim.
Namun putusan ini tak menghadang Fasich. Pada pertengahan Juni lalu ia dilantik Menteri Pendidikan Nasional menjadi rektor baru periode 2006-2010. Inilah yang membuat keempat guru besar itu menggugat keputusan presiden tadi ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Selasa pekan lalu.
Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara, Abdul Manan, sependapat dengan keempat guru besar itu. Menurut dia, putusan Mahkamah Agung membuat semua produk hukum yang lahir dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut batal. "Termasuk pemilihan rektor itu," katanya. Menurut Manan, Menteri Pendidikan harus mencabut peraturan menteri itu. “Kalau sampai 90 hari tidak dicabut, akan batal secara otomatis."
Berbeda dengan Mahkamah Agung, Departemen Pendidikan Nasional berkukuh bahwa pelantikan Fasich tak melanggar hukum. “Sebab, Mahkamah Agung tidak membatalkan proses pemilihan rektor,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satriyo Sumantri Brodjonegoro. Satriyo juga menegaskan, tak ada pemilihan rektor baru Universitas Airlangga. Mengenai statuta universitas, “Ada waktu tiga bulan untuk memperbaikinya,” katanya.
Fasich sendiri tak menanggapi gugatan itu. “Itu di luar kapasitas saya,” kata mantan Ketua Dewan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu. Kendati demikian, ia mengaku siap jika ada putusan yang membatalkan pengangkatannya sebagai rektor.
Satu sumber Tempo di Universitas Airlangga menyatakan, gugatan itu berlatar belakang ketidakpuasan para guru besar Fakultas Kedokteran, lantaran mereka kehilangan hak istimewanya dalam pemilihan rektor. “Populasi” guru besar Fakultas Kedokteran memang terbanyak dibanding sepuluh fakultas lainnya.
Dari sebelas rektor terpilih sejak universitas itu berdiri pada 1948, delapan berasal dari kedokteran. Dengan sistem pemilihan sekarang ini, peluang calon mereka menjadi rektor tidak selebar sebelumnya. Namun pernyataan ini dibantah Paul Tahalele, salah seorang penggugat. “Ini tak ada hubungannya dengan kedokteran atau bukan kedokteran,” katanya.
Abdul Manan, Sunudyantoro
PERLAWANAN empat guru besar Universitas Airlangga, Surabaya, itu tak main-main. Setelah gugatan uji material mereka dikabulkan Mahkamah Agung, Selasa pekan lalu mereka mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Kali ini mereka menggugat keputusan presiden yang mengesahkan Profesor Fasich sebagai rektor. “Kami minta pengesahan itu dibatalkan,” kata Kukuh Pramono, kuasa hukum empat guru besar fakultas kedokteran itu.
Dalam gugatannya, keempat profesor itu--Agus Abadi, Umar Kasan, Paul Tahalele, dan Benny--meminta Presiden mencabut keputusannya, awal Juni lalu, yang mengangkat Fasich sebagai rektor baru Universitas Airlangga. Mereka menganggap keputusan itu tidak sah lantaran dibuat setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan uji material mereka. Mahkamah menyatakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16/2005 tentang Statuta Universitas Airlangga tidak sah.
Kasus ini bermula dari ketidakpuasan Agus dan ketiga rekannya atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, yang dinilai bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69/1999 dan Statuta Universitas Airlangga 2004 disebutkan, anggota senat universitas adalah rektor, pembantu rektor, dekan, dan semua guru besar.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan, senat universitas berganti menjadi senat akademik universitas. Anggotanya menyusut, hanya meliputi rektor, pembantu rektor, perwakilan guru besar, dan perwakilan dosen. Akibatnya, tak semua guru besar memiliki hak suara dalam pemilihan rektor.
Pada 5 Januari lalu, keempat guru besar itu pun mengajukan gugatan uji material terhadap peraturan menteri tersebut. Mereka menuntut empat hal. Pertama, semua proses pemilihan rektor dihentikan. Kedua, mencabut Peraturan Menteri No. 16/2005. Ketiga, mencabut semua peraturan turunan peraturan menteri tersebut. Terakhir, memberlakukan kembali Statuta Universitas Airlangga 2004.
Ketika itu, Airlangga memang sedang menggelar pemilihan rektor. Tiga kandidat, Fasich (Fakultas Farmasi), Rohmad Romdhoni (Fakultas Kedokteran), dan Edy Juwono Slamet (Fakultas Ekonomi), berebut menjadi orang nomor satu di universitas itu. Agus Abadi pun sempat mencalonkan diri, tapi kandas dalam uji kepatutan dan kelayakan.
Gugatan itu tak sia-sia. Pada April lalu, Mahkamah Agung mengabulkan sebagian gugatan. Mahkamah memutuskan Peraturan Menteri No. 16/2005 tidak sah, dan semua aturan di bawahnya batal demi hukum. Menteri Pendidikan juga diperintahkan mencabut peraturan tersebut. Adapun tuntutan penggugat agar proses pemilihan rektor dihentikan dan Statuta Universitas 2004 diberlakukan kembali tidak dikabulkan majelis hakim.
Namun putusan ini tak menghadang Fasich. Pada pertengahan Juni lalu ia dilantik Menteri Pendidikan Nasional menjadi rektor baru periode 2006-2010. Inilah yang membuat keempat guru besar itu menggugat keputusan presiden tadi ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Selasa pekan lalu.
Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara, Abdul Manan, sependapat dengan keempat guru besar itu. Menurut dia, putusan Mahkamah Agung membuat semua produk hukum yang lahir dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut batal. "Termasuk pemilihan rektor itu," katanya. Menurut Manan, Menteri Pendidikan harus mencabut peraturan menteri itu. “Kalau sampai 90 hari tidak dicabut, akan batal secara otomatis."
Berbeda dengan Mahkamah Agung, Departemen Pendidikan Nasional berkukuh bahwa pelantikan Fasich tak melanggar hukum. “Sebab, Mahkamah Agung tidak membatalkan proses pemilihan rektor,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satriyo Sumantri Brodjonegoro. Satriyo juga menegaskan, tak ada pemilihan rektor baru Universitas Airlangga. Mengenai statuta universitas, “Ada waktu tiga bulan untuk memperbaikinya,” katanya.
Fasich sendiri tak menanggapi gugatan itu. “Itu di luar kapasitas saya,” kata mantan Ketua Dewan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu. Kendati demikian, ia mengaku siap jika ada putusan yang membatalkan pengangkatannya sebagai rektor.
Satu sumber Tempo di Universitas Airlangga menyatakan, gugatan itu berlatar belakang ketidakpuasan para guru besar Fakultas Kedokteran, lantaran mereka kehilangan hak istimewanya dalam pemilihan rektor. “Populasi” guru besar Fakultas Kedokteran memang terbanyak dibanding sepuluh fakultas lainnya.
Dari sebelas rektor terpilih sejak universitas itu berdiri pada 1948, delapan berasal dari kedokteran. Dengan sistem pemilihan sekarang ini, peluang calon mereka menjadi rektor tidak selebar sebelumnya. Namun pernyataan ini dibantah Paul Tahalele, salah seorang penggugat. “Ini tak ada hubungannya dengan kedokteran atau bukan kedokteran,” katanya.
Abdul Manan, Sunudyantoro
Comments