Menyangkal Dua Konfirmasi
Pemeriksaan internal kasus suap jaksa sudah selesai. Ada kekhawatiran dibelokkan ke prosedural.
BERKAUS putih, celana hitam, dan topi biru donker, Aan Hadi Gunanto tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. “Kasir” mantan Direktur Utama PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, itu datang untuk merekonstruksi keterangannya tentang pemberian uang Rp 550 juta kepada tiga jaksa di pengadilan negeri itu.
Menurut ketua tim pemeriksa, Robinson Sihite, keterangan Aan tepat seperti pengakuannya. Rekonstruksi 15 menit itu memang hanya mencocokkan sketsa ruangan dan tempat uang itu diserahkan. Tak banyak yang berubah dari tempat itu, sejak Aan memberikan uang sampai enam bulan kemudian. “Yang berbeda, tadinya jendela sekarang sudah jadi pintu,” kata Panji Prasetyo, pengacara Aan.
Kecocokan keterangan Aan tak lantas membuat jaksa yang dituding menerima duit Achmad Djunaidi “menyerah”. Cecep Sunarto dan Burdju Roni Sihombing tetap pada pendirian semula: mereka tak mengenal Aan. Begitu juga ketika Cecep, Burdju, M. Idris (Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta), Heru Chaeruddin dan Pantono (Kejaksaan Agung), dikonfrontasi dengan Aan di Kejaksaan Agung, dua pekan sebelumnya.
Aan tak heran mereka menyangkal. Pengusaha iklan itu mengingat saat-saat ia datang pertama kali ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, November 2005. Waktu itu ia menemui Kenti, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yang dikenalnya di Universitas Bhayangkara. Dari Kenti, dia menjalin kontak pertama dengan Cecep.
Di depan Aan, Kenti menghubungi Cecep: “Saya punya teman yang butuh bantuan.” Dia pun meminta Aan berbicara langsung dengan Cecep, lewat bantuan speaker phone. “Ada duitnya, nggak?” kata Cecep, setelah mendengar “permintaan” Aan agar sidang Achmad Djunaidi dipercepat.
Waktu itu Aan sempat bercanda, “Uangnya mau dolar atau rupiah?” Menurut Panji, ketika diperiksa Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kenti mengaku hanya memberi tahu Aan bahwa jaksa yang pegang kasus Jamsostek adalah Cecep.
Esoknya, Aan menemui Djunaidi di ruang tahanan Kejaksaan Agung. Ia menyampaikan permintaan jaksa. Djunaidi menyanggupi Rp 100 juta, dengan permintaan sidang kasusnya dipercepat.
Juga agar jaksa mau membaca dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kasus yang menurutnya perdata ini. Termasuk penjelasan soal empat utang jangka menengah (medium term note--MTN) senilai Rp 311 miliar dari PT Dahana, PT Sapta Pranajaya, PT Surya Indo Pradana, dan PT Volgren--kasus yang membuatnya diganjar delapan tahun penjara dan denda Rp 66,625 miliar.
Menurut Achmad Djunaidi, tak ada niat menyuap. Kalau ada, kata Djunaidi, tentu akan diperhitungkan di depan untung-ruginya, dan semuanya dicatat. “Saya nggak ada catatan karena tak ada niat menyuap itu,” kata pria kelahiran 12 Juni 1943 ini.
Keesokan harinya Aan datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, membawa Rp 100 juta dalam pecahan Rp 100 ribu, yang dibungkus kertas cokelat. Uang diberikan kepada Cecep, yang segera masuk ke ruangan Ketua Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Sila Pulungan. Cecep pun memperkenalkan Aan kepada Sila.
Di ruangan itu Aan melihat bungkusan cokelat yang tadi dibawanya berada di atas meja tamu. Sila berujar pada Cecep, “Bawa dulu itu.” Kepada Aan, Sila mengatakan, “Saya bantu, deh. Tapi kamu mesti main cantik, ya. Kalau ketahuan, saya akan bilang saya tak kenal kamu.”
Usai percakapan singkat itu, Aan bertemu Cecep dan Burdju. “Apa kata Pak Sila?” tanya Cecep. Aan pun mengulang pesan Sila. Kata Cecep, “Memang seharusnya begitu.” Bersamaan dengan penyerahan uang itu, Aan juga menyerahkan dokumen dari Djunaidi.
Sila membantah keterangan ini. “Itu versi Aan saja,” katanya ketika dikonfirmasi, Rabu pekan lalu. “Pertemuan itu tidak pernah ada.” Namun, ia tak berani mengatakan keterangan Aan bohong. Menurut dia, "Bisa saja uangnya hanya sampai di Aan. Namun dia takut dimarahi Djunaidi, akhirnya menuduh."
Dua hari setelah pertemuan itu, Aan kembali ke kejaksaan setelah ditelepon Cecep. Kepada Aan, Cecep mengatakan sidang akan cepat dilaksanakan. “Tapi kita harus pilih hakim yang enak, nih,” kata Cecep. “Siapa?” Aan bertanya. “Adalah.” Untuk itu perlu dana. Ketika ditanya berapa besarnya, Cecep cuma mengambil selembar kertas, lantas menuliskan angka 250.
Keesokan harinya Aan datang mengantar uang itu. Cecep yang menerima. Juga ada Burdju. “Kita aja yang nganter,” kata Cecep. “Pengadilan nggak mau terima kalau lo yang nganter.” Aan pun pamit. Dua hari kemudian Cecep menelepon, “Kita sudah dapat hakimnya, Herman Allositandi.”
Aan mengaku tak tahu apakah uang itu memang diberikan kepada Herman, atau kepada orang lain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang pasti, Herman memang menjadi ketua majelis hakim kasus ini, sebelum akhirnya diganti setelah ditangkap Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada 9 Januari lalu.
Dia diduga terlibat pemerasan yang dilakukan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jimmy Lumanau, terhadap Kepala Analisis Unit Manajemen Risiko Jamsostek, Walter Silanging, sebesar Rp 10 juta. Pengacara Herman Allositandi, Alamsyah Hanafiah, ketika dikonfirmasi Tempo, membantah tudingan itu.
Menurut dia, soal ini pernah ditanyakan kepada kliennya, Kamis pekan lalu. “Itu fitnah. Tidak pernah itu,” katanya, mengutip pernyataan Herman. Alamsyah juga mengingatkan, yang berhak menentukan seorang hakim menangani suatu kasus bukan hakim itu sendiri, melainkan ketua pengadilan negeri.
Sepekan setelah penyerahan uang Rp 250 juta, Cecep menelepon Aan, meminta biaya operasional. Ketika ditanya untuk apa, Cecep bilang, “Kamu tahulah, kertas saja beli, kan?” Adapun jumlahnya, kata Cecep, “Sama dengan jumlah kemarin.”
Aan pun membawa Rp 200 juta. Begitu uang akan diberikan, Cecep marah karena jumlahnya tak sesuai dengan permintaan. “Kamu ngomong sama Burdju, deh,” katanya, “Dia mau terima atau tidak.”
Aan pergi ke kantor Burdju, yang cuma bertetangga ruangan. Saat itulah ada SMS masuk, dari Cecep. Isinya begini: “Dia mau nahan yang 50. Pasti alasannya buat komisi orang di rumah. Jangan terima kalau tak lengkap.”
Aan kaget dan mempertanyakan ke Burdju. Aan pun pulang. Di tengah jalan, tiba-tiba Cecep menelepon dan minta maaf soal SMS salah kirim itu. Uang itu pun diserahkan ke Burdju keesokan harinya.
Cecep membantah tegas cerita Aan. “Ketemu saja tidak pernah, apalagi menerima uang,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. “Terserah dia mau berbicara apa, orang kan punya hak untuk mengeluarkan pernyataan,” ia menambahkan. Burdju juga menyangkal. “Saya kembali tegaskan, saya membantah semua pernyataan Aan,” katanya.
Panji Prasetyo, pengacara Aan, mengakui kliennya memang tidak memiliki kuitansi penerimaan uang dari Cecep dan Burdju. Tapi, kata Panji, ada dua hal yang bisa menjadi petunjuk kuat bahwa uang itu benar diterima mereka.
Djunaidi, kata Panji, pernah mengkonfirmasi soal uang Rp 550 juta itu kepada Cecep dan Burdju sampai dua kali. Pertama, ketika Cecep datang ke ruang tahanan Kejaksaan Agung, menyampaikan surat panggilan sidang kepada bekas Direktur Investasi PT Jamsostek, Andy Rachman.
Saat itu Djunaidi menanyakan apakah titipan dari Aan sudah diterima. Cecep menjawab, “Sudah.” Kedua, saat sidang ketiga Djunaidi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika itu Djunaidi dikawal petugas pengamanan dari PT Jamsostek.
Dalam kesempatan bertemu Cecep dan Burdju, Djunaidi kembali menanyakan apakah sudah menerima kiriman dari Aan. “Sudah,” kata Cecep. Dalam konfirmasi yang kedua ini, ada saksi yang mendengarnya, yaitu pengawal Djunaidi. Soal tak adanya bukti, Aan hanya berujar pendek, “Mungkin ini karena profesionalisme mereka.”
Menurut Prasetyo, itu sudah bisa menjadi permulaan untuk mengusut kasus ini. Tentu saja jika kejaksaan serius. Panji mengungkapkan, dalam pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan, Cecep dan Burdju sempat dicecar soal berkas perkara dan surat dakwaan yang tak disampaikan secara langsung kepada Djunaidi. Itu dinilai melanggar prosedur internal kejaksaan. “Saya khawatir kasus ini dibelokkan,” kata Panji.
Robinson Sihite menyatakan, pemeriksaan internal kasus ini sudah selesai. Dari rekonstruksi Selasa pekan lalu, pemeriksaan dianggap cukup dan berhenti sampai ke kepala seksi pidana khusus. Pemeriksaan tidak menjangkau Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Tim pemeriksa, kata Sihite, menyatakan sudah memiliki petunjuk-petunjuk terhadap kasus ini. “Sudah selesai. Tinggal membuat resume dan disampaikan kepada Jaksa Agung,” katanya.
Komisi Kejaksaan juga masih menunggu pemeriksaan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan atas kasus yang mencuat akibat “nyanyian sumbang” Djunaidi usai divonis delapan tahun penjara, 27 April lalu. “Tapi kami terus memantau,” kata Ketua Komisi Kejaksaan, Amir Hasan Ketaren. Dia berharap kasus ini ditindak sesuai dengan ketentuan, agar pemeriksaan internal tak dilihat sebagai cara untuk melindungi sesama korps.
Abdul Manan, Dian Yuliastuti, Evy Flamboyan, Badriah
Majalah Tempo, 15 Mei 2006
BERKAUS putih, celana hitam, dan topi biru donker, Aan Hadi Gunanto tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. “Kasir” mantan Direktur Utama PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, itu datang untuk merekonstruksi keterangannya tentang pemberian uang Rp 550 juta kepada tiga jaksa di pengadilan negeri itu.
Menurut ketua tim pemeriksa, Robinson Sihite, keterangan Aan tepat seperti pengakuannya. Rekonstruksi 15 menit itu memang hanya mencocokkan sketsa ruangan dan tempat uang itu diserahkan. Tak banyak yang berubah dari tempat itu, sejak Aan memberikan uang sampai enam bulan kemudian. “Yang berbeda, tadinya jendela sekarang sudah jadi pintu,” kata Panji Prasetyo, pengacara Aan.
Kecocokan keterangan Aan tak lantas membuat jaksa yang dituding menerima duit Achmad Djunaidi “menyerah”. Cecep Sunarto dan Burdju Roni Sihombing tetap pada pendirian semula: mereka tak mengenal Aan. Begitu juga ketika Cecep, Burdju, M. Idris (Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta), Heru Chaeruddin dan Pantono (Kejaksaan Agung), dikonfrontasi dengan Aan di Kejaksaan Agung, dua pekan sebelumnya.
Aan tak heran mereka menyangkal. Pengusaha iklan itu mengingat saat-saat ia datang pertama kali ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, November 2005. Waktu itu ia menemui Kenti, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yang dikenalnya di Universitas Bhayangkara. Dari Kenti, dia menjalin kontak pertama dengan Cecep.
Di depan Aan, Kenti menghubungi Cecep: “Saya punya teman yang butuh bantuan.” Dia pun meminta Aan berbicara langsung dengan Cecep, lewat bantuan speaker phone. “Ada duitnya, nggak?” kata Cecep, setelah mendengar “permintaan” Aan agar sidang Achmad Djunaidi dipercepat.
Waktu itu Aan sempat bercanda, “Uangnya mau dolar atau rupiah?” Menurut Panji, ketika diperiksa Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kenti mengaku hanya memberi tahu Aan bahwa jaksa yang pegang kasus Jamsostek adalah Cecep.
Esoknya, Aan menemui Djunaidi di ruang tahanan Kejaksaan Agung. Ia menyampaikan permintaan jaksa. Djunaidi menyanggupi Rp 100 juta, dengan permintaan sidang kasusnya dipercepat.
Juga agar jaksa mau membaca dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kasus yang menurutnya perdata ini. Termasuk penjelasan soal empat utang jangka menengah (medium term note--MTN) senilai Rp 311 miliar dari PT Dahana, PT Sapta Pranajaya, PT Surya Indo Pradana, dan PT Volgren--kasus yang membuatnya diganjar delapan tahun penjara dan denda Rp 66,625 miliar.
Menurut Achmad Djunaidi, tak ada niat menyuap. Kalau ada, kata Djunaidi, tentu akan diperhitungkan di depan untung-ruginya, dan semuanya dicatat. “Saya nggak ada catatan karena tak ada niat menyuap itu,” kata pria kelahiran 12 Juni 1943 ini.
Keesokan harinya Aan datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, membawa Rp 100 juta dalam pecahan Rp 100 ribu, yang dibungkus kertas cokelat. Uang diberikan kepada Cecep, yang segera masuk ke ruangan Ketua Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Sila Pulungan. Cecep pun memperkenalkan Aan kepada Sila.
Di ruangan itu Aan melihat bungkusan cokelat yang tadi dibawanya berada di atas meja tamu. Sila berujar pada Cecep, “Bawa dulu itu.” Kepada Aan, Sila mengatakan, “Saya bantu, deh. Tapi kamu mesti main cantik, ya. Kalau ketahuan, saya akan bilang saya tak kenal kamu.”
Usai percakapan singkat itu, Aan bertemu Cecep dan Burdju. “Apa kata Pak Sila?” tanya Cecep. Aan pun mengulang pesan Sila. Kata Cecep, “Memang seharusnya begitu.” Bersamaan dengan penyerahan uang itu, Aan juga menyerahkan dokumen dari Djunaidi.
Sila membantah keterangan ini. “Itu versi Aan saja,” katanya ketika dikonfirmasi, Rabu pekan lalu. “Pertemuan itu tidak pernah ada.” Namun, ia tak berani mengatakan keterangan Aan bohong. Menurut dia, "Bisa saja uangnya hanya sampai di Aan. Namun dia takut dimarahi Djunaidi, akhirnya menuduh."
Dua hari setelah pertemuan itu, Aan kembali ke kejaksaan setelah ditelepon Cecep. Kepada Aan, Cecep mengatakan sidang akan cepat dilaksanakan. “Tapi kita harus pilih hakim yang enak, nih,” kata Cecep. “Siapa?” Aan bertanya. “Adalah.” Untuk itu perlu dana. Ketika ditanya berapa besarnya, Cecep cuma mengambil selembar kertas, lantas menuliskan angka 250.
Keesokan harinya Aan datang mengantar uang itu. Cecep yang menerima. Juga ada Burdju. “Kita aja yang nganter,” kata Cecep. “Pengadilan nggak mau terima kalau lo yang nganter.” Aan pun pamit. Dua hari kemudian Cecep menelepon, “Kita sudah dapat hakimnya, Herman Allositandi.”
Aan mengaku tak tahu apakah uang itu memang diberikan kepada Herman, atau kepada orang lain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang pasti, Herman memang menjadi ketua majelis hakim kasus ini, sebelum akhirnya diganti setelah ditangkap Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada 9 Januari lalu.
Dia diduga terlibat pemerasan yang dilakukan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jimmy Lumanau, terhadap Kepala Analisis Unit Manajemen Risiko Jamsostek, Walter Silanging, sebesar Rp 10 juta. Pengacara Herman Allositandi, Alamsyah Hanafiah, ketika dikonfirmasi Tempo, membantah tudingan itu.
Menurut dia, soal ini pernah ditanyakan kepada kliennya, Kamis pekan lalu. “Itu fitnah. Tidak pernah itu,” katanya, mengutip pernyataan Herman. Alamsyah juga mengingatkan, yang berhak menentukan seorang hakim menangani suatu kasus bukan hakim itu sendiri, melainkan ketua pengadilan negeri.
Sepekan setelah penyerahan uang Rp 250 juta, Cecep menelepon Aan, meminta biaya operasional. Ketika ditanya untuk apa, Cecep bilang, “Kamu tahulah, kertas saja beli, kan?” Adapun jumlahnya, kata Cecep, “Sama dengan jumlah kemarin.”
Aan pun membawa Rp 200 juta. Begitu uang akan diberikan, Cecep marah karena jumlahnya tak sesuai dengan permintaan. “Kamu ngomong sama Burdju, deh,” katanya, “Dia mau terima atau tidak.”
Aan pergi ke kantor Burdju, yang cuma bertetangga ruangan. Saat itulah ada SMS masuk, dari Cecep. Isinya begini: “Dia mau nahan yang 50. Pasti alasannya buat komisi orang di rumah. Jangan terima kalau tak lengkap.”
Aan kaget dan mempertanyakan ke Burdju. Aan pun pulang. Di tengah jalan, tiba-tiba Cecep menelepon dan minta maaf soal SMS salah kirim itu. Uang itu pun diserahkan ke Burdju keesokan harinya.
Cecep membantah tegas cerita Aan. “Ketemu saja tidak pernah, apalagi menerima uang,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. “Terserah dia mau berbicara apa, orang kan punya hak untuk mengeluarkan pernyataan,” ia menambahkan. Burdju juga menyangkal. “Saya kembali tegaskan, saya membantah semua pernyataan Aan,” katanya.
Panji Prasetyo, pengacara Aan, mengakui kliennya memang tidak memiliki kuitansi penerimaan uang dari Cecep dan Burdju. Tapi, kata Panji, ada dua hal yang bisa menjadi petunjuk kuat bahwa uang itu benar diterima mereka.
Djunaidi, kata Panji, pernah mengkonfirmasi soal uang Rp 550 juta itu kepada Cecep dan Burdju sampai dua kali. Pertama, ketika Cecep datang ke ruang tahanan Kejaksaan Agung, menyampaikan surat panggilan sidang kepada bekas Direktur Investasi PT Jamsostek, Andy Rachman.
Saat itu Djunaidi menanyakan apakah titipan dari Aan sudah diterima. Cecep menjawab, “Sudah.” Kedua, saat sidang ketiga Djunaidi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika itu Djunaidi dikawal petugas pengamanan dari PT Jamsostek.
Dalam kesempatan bertemu Cecep dan Burdju, Djunaidi kembali menanyakan apakah sudah menerima kiriman dari Aan. “Sudah,” kata Cecep. Dalam konfirmasi yang kedua ini, ada saksi yang mendengarnya, yaitu pengawal Djunaidi. Soal tak adanya bukti, Aan hanya berujar pendek, “Mungkin ini karena profesionalisme mereka.”
Menurut Prasetyo, itu sudah bisa menjadi permulaan untuk mengusut kasus ini. Tentu saja jika kejaksaan serius. Panji mengungkapkan, dalam pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan, Cecep dan Burdju sempat dicecar soal berkas perkara dan surat dakwaan yang tak disampaikan secara langsung kepada Djunaidi. Itu dinilai melanggar prosedur internal kejaksaan. “Saya khawatir kasus ini dibelokkan,” kata Panji.
Robinson Sihite menyatakan, pemeriksaan internal kasus ini sudah selesai. Dari rekonstruksi Selasa pekan lalu, pemeriksaan dianggap cukup dan berhenti sampai ke kepala seksi pidana khusus. Pemeriksaan tidak menjangkau Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Tim pemeriksa, kata Sihite, menyatakan sudah memiliki petunjuk-petunjuk terhadap kasus ini. “Sudah selesai. Tinggal membuat resume dan disampaikan kepada Jaksa Agung,” katanya.
Komisi Kejaksaan juga masih menunggu pemeriksaan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan atas kasus yang mencuat akibat “nyanyian sumbang” Djunaidi usai divonis delapan tahun penjara, 27 April lalu. “Tapi kami terus memantau,” kata Ketua Komisi Kejaksaan, Amir Hasan Ketaren. Dia berharap kasus ini ditindak sesuai dengan ketentuan, agar pemeriksaan internal tak dilihat sebagai cara untuk melindungi sesama korps.
Abdul Manan, Dian Yuliastuti, Evy Flamboyan, Badriah
Majalah Tempo, 15 Mei 2006
Comments