A. Junaidi: Saya Yakin Uangnya Sudah Sampai ke Jaksa
“SAYA tidak mau bicara soal ini lagi, semua sudah jelas,” kata mantan Direktur PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, 63 tahun, saat ditemui di Kejaksaan Agung. Sore Kamis pekan lalu, hujan mengguyur lebat Jakarta. Djunaidi, yang ketika itu diizinkan salat di masjid Kejaksaan Agung, terperangkap hujan, tak bisa kembali ke ruang tahanannya. Sembari menunggu hujan mereda, wartawan Tempo L.R. Baskoro dan Abdul Manan mewawancarai Djunaidi. Berikut petikannya:
Semua jaksa yang disebut-sebut menerima duit dari Anda membantah menerimanya. Komentar Anda?
Jawabnya begitu, biar saja. Tapi, yang penting, semua sudah ketahuan, kan?
Anda yakin uang yang Anda berikan lewat Aan itu sudah sampai ke tangan jaksa?
Yakin. Saya pernah bertemu jaksa Cecep Sunarto dan Burdju Roni di pengadilan. Saya katakan, ada kiriman dari Aan. Sudah terima belum? Sudah, katanya. Terus juga soal adanya SMS (layanan pesan singkat) yang keliru (dari jaksa Cecep Sunarto kepada Aan Hadi Gunanto). Isinya, uangnya kurang Rp 50 juta. Itu kan juga suatu bukti.
Apa tujuan pemberian uang itu? Supaya Anda bebas dari hukuman?
Tidak. Ceritanya begini. Waktu Aan menjenguk, saya tanya sampai di mana kasus saya ini. Aan bilang dia kenal seseorang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Saya minta cobalah ditanya-ditanya kasus saya dan jelaskan ini perkara perdata. Saya bilang nanti saya kasih bahan dan dokumen-dokumennya. Aan ke sana dan dia lapor butuh dana. Lalu saya kasih Rp 100 juta. Terus dia balik lagi minta uang untuk ngatur-ngatur semua, jumlahnya sekitar Rp 250 juta.
Uang itu untuk jaksa saja atau untuk hakim juga?
Saya tidak tanya sampai ke sana. Terus Aan bilang jaksa minta lagi untuk biaya operasional sebesar Rp 250 juta. Saya tak ada duit lagi. Cuma ada Rp 200 juta. Kok kurang, kata jaksa. Itulah terus ada SMS ke Aan yang menduga uangnya diambil Aan karena kurang dari permintaan. Akhirnya mau juga jaksa menerima itu.
Yang menentukan jumlah itu siapa? Anda?
Tidak. Yang minta itu jaksa.
Anda kenal Aan dari siapa?
Teman kecil. Orang tuanya dan orang tua saya bersahabat waktu kami tinggal di Lahat, Sumatera Selatan.
Menurut Anda, ini penyuapan atau pemerasan?
Semula saya tak berpikir begitu. Cuma mau membantu. Kalau nggak kasih uang, mana mau dia baca-baca dokumen yang saya berikan kepada dia. Kalau saya memang menyuap, tentu saya perhitungkan ini untungnya apa. Biasanya ada janji-janji. Kalau tak berhasil, bagaimana? Biasanya saya catat. Saya nggak ada catatan, karena tak ada niatan (menyuap) itu.
Saat putusan Anda dibacakan pada 27 April lalu, Anda marah dan melempar jaksa dengan papan nama. Kenapa bisa terjadi?
Pertama, ini soal perdata, bukan pidana. Kedua, saat jaksa mengajukan tuntutan 16 tahun, itu sudah membuat kesal. Ini sudah nggak benar. Saksi ahli jaksa sendiri tak bisa jelaskan medium term note (MTN) yang dilakukan PT Jamsostek dilarang. Jadi, jelas perdata. Pertimbangan itu tak masuk sama sekali dan MTN tetap dinyatakan dilarang. Itu membuat saya jengkel.
Usai pembacaan putusan, saya ditanya. Saya bilang akan banding. Pengacara saya menyampaikan sikap
“pikir-pikir dulu” kepada hakim. Tujuannya, agar waktu untuk membuat memori banding lebih lama. Tapi jaksa langsung menyatakan banding. Tujuannya, apa lagi kalau bukan supaya saya langsung masuk tahanan lagi. Saya emosi. Mereka ingin membunuh saya. Saya lempar papan nama ke arah Heru Chaeruddin, ketua jaksa penuntut umum.
Nah, waktu melempar itu, di belakang ramai sekali. Ada yang bilang jaksa bodoh, jaksa mau duit. Saya terpancing. Orang kalau lagi emosi tinggi, stres, mana bisa terkontrol. Saya waktu itu juga masih sakit. Tapi, untuk menghormati hakim, terpaksa hadir.
Anda kecewa divonis tinggi padahal Anda sudah memberi duit untuk jaksa?
Nggak. Saya ngasih duit bukan dengan tujuan agar saya dibebaskan. Cuma agar jaksa mempercepat sidang karena saya kan sakit, bahkan sempat menjalani operasi prostat. Supaya jaksa paham ini kasus perdata.
Kalau ini lari ke perdata, hukumannya jadi ringan, begitu?
Paling ditugasi menyelesaikan tugas. Bukan dipenjara.
Selain divonis delapan tahun penjara, kini Anda kan juga dihukum membayar denda Rp 66 miliar?
Ya, itulah. Memang duit dari mana saya? Mereka sudah kotor semua. Saya dikira banyak duitnya kayak konglomerat BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) atau direksi bank swasta. Dipikirnya, uang yang jatuh tempo dan belum lunas, kami yang ambil. Kan ada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Bisa dilacak, ada nggak duit saya. Cek juga, saya tidak punya rumah di Pondok Indah. Rumah di Menteng itu kan rumah dinas. Sekarang saya cuma ngontrak, mobil saya juga satu.
Apa yang Anda harapkan dari terungkapnya kasus ini?
Saya ingin para jaksa disiplin. Supaya jaksa kalau melihat permasalahan harus berdasarkan fakta, bukan karena ambisi si ini harus dihukum, setelah itu dia dinilai berprestasi dan bisa naik. Dalam kasus ini, ada unsur itu.
Gara-gara pernyataan Anda, kejaksaan kini menjadi sorotan, dan Anda kini menjadi tahanan Kejaksaan Agung. Anda tidak takut?
Tidak. Kenapa harus takut? Memangnya mereka akan meracun saya? Jaksa yang tidak benar yang harus diungkap. ***
Majalah Tempo, 18 Mei 2006
Semua jaksa yang disebut-sebut menerima duit dari Anda membantah menerimanya. Komentar Anda?
Jawabnya begitu, biar saja. Tapi, yang penting, semua sudah ketahuan, kan?
Anda yakin uang yang Anda berikan lewat Aan itu sudah sampai ke tangan jaksa?
Yakin. Saya pernah bertemu jaksa Cecep Sunarto dan Burdju Roni di pengadilan. Saya katakan, ada kiriman dari Aan. Sudah terima belum? Sudah, katanya. Terus juga soal adanya SMS (layanan pesan singkat) yang keliru (dari jaksa Cecep Sunarto kepada Aan Hadi Gunanto). Isinya, uangnya kurang Rp 50 juta. Itu kan juga suatu bukti.
Apa tujuan pemberian uang itu? Supaya Anda bebas dari hukuman?
Tidak. Ceritanya begini. Waktu Aan menjenguk, saya tanya sampai di mana kasus saya ini. Aan bilang dia kenal seseorang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Saya minta cobalah ditanya-ditanya kasus saya dan jelaskan ini perkara perdata. Saya bilang nanti saya kasih bahan dan dokumen-dokumennya. Aan ke sana dan dia lapor butuh dana. Lalu saya kasih Rp 100 juta. Terus dia balik lagi minta uang untuk ngatur-ngatur semua, jumlahnya sekitar Rp 250 juta.
Uang itu untuk jaksa saja atau untuk hakim juga?
Saya tidak tanya sampai ke sana. Terus Aan bilang jaksa minta lagi untuk biaya operasional sebesar Rp 250 juta. Saya tak ada duit lagi. Cuma ada Rp 200 juta. Kok kurang, kata jaksa. Itulah terus ada SMS ke Aan yang menduga uangnya diambil Aan karena kurang dari permintaan. Akhirnya mau juga jaksa menerima itu.
Yang menentukan jumlah itu siapa? Anda?
Tidak. Yang minta itu jaksa.
Anda kenal Aan dari siapa?
Teman kecil. Orang tuanya dan orang tua saya bersahabat waktu kami tinggal di Lahat, Sumatera Selatan.
Menurut Anda, ini penyuapan atau pemerasan?
Semula saya tak berpikir begitu. Cuma mau membantu. Kalau nggak kasih uang, mana mau dia baca-baca dokumen yang saya berikan kepada dia. Kalau saya memang menyuap, tentu saya perhitungkan ini untungnya apa. Biasanya ada janji-janji. Kalau tak berhasil, bagaimana? Biasanya saya catat. Saya nggak ada catatan, karena tak ada niatan (menyuap) itu.
Saat putusan Anda dibacakan pada 27 April lalu, Anda marah dan melempar jaksa dengan papan nama. Kenapa bisa terjadi?
Pertama, ini soal perdata, bukan pidana. Kedua, saat jaksa mengajukan tuntutan 16 tahun, itu sudah membuat kesal. Ini sudah nggak benar. Saksi ahli jaksa sendiri tak bisa jelaskan medium term note (MTN) yang dilakukan PT Jamsostek dilarang. Jadi, jelas perdata. Pertimbangan itu tak masuk sama sekali dan MTN tetap dinyatakan dilarang. Itu membuat saya jengkel.
Usai pembacaan putusan, saya ditanya. Saya bilang akan banding. Pengacara saya menyampaikan sikap
“pikir-pikir dulu” kepada hakim. Tujuannya, agar waktu untuk membuat memori banding lebih lama. Tapi jaksa langsung menyatakan banding. Tujuannya, apa lagi kalau bukan supaya saya langsung masuk tahanan lagi. Saya emosi. Mereka ingin membunuh saya. Saya lempar papan nama ke arah Heru Chaeruddin, ketua jaksa penuntut umum.
Nah, waktu melempar itu, di belakang ramai sekali. Ada yang bilang jaksa bodoh, jaksa mau duit. Saya terpancing. Orang kalau lagi emosi tinggi, stres, mana bisa terkontrol. Saya waktu itu juga masih sakit. Tapi, untuk menghormati hakim, terpaksa hadir.
Anda kecewa divonis tinggi padahal Anda sudah memberi duit untuk jaksa?
Nggak. Saya ngasih duit bukan dengan tujuan agar saya dibebaskan. Cuma agar jaksa mempercepat sidang karena saya kan sakit, bahkan sempat menjalani operasi prostat. Supaya jaksa paham ini kasus perdata.
Kalau ini lari ke perdata, hukumannya jadi ringan, begitu?
Paling ditugasi menyelesaikan tugas. Bukan dipenjara.
Selain divonis delapan tahun penjara, kini Anda kan juga dihukum membayar denda Rp 66 miliar?
Ya, itulah. Memang duit dari mana saya? Mereka sudah kotor semua. Saya dikira banyak duitnya kayak konglomerat BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) atau direksi bank swasta. Dipikirnya, uang yang jatuh tempo dan belum lunas, kami yang ambil. Kan ada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Bisa dilacak, ada nggak duit saya. Cek juga, saya tidak punya rumah di Pondok Indah. Rumah di Menteng itu kan rumah dinas. Sekarang saya cuma ngontrak, mobil saya juga satu.
Apa yang Anda harapkan dari terungkapnya kasus ini?
Saya ingin para jaksa disiplin. Supaya jaksa kalau melihat permasalahan harus berdasarkan fakta, bukan karena ambisi si ini harus dihukum, setelah itu dia dinilai berprestasi dan bisa naik. Dalam kasus ini, ada unsur itu.
Gara-gara pernyataan Anda, kejaksaan kini menjadi sorotan, dan Anda kini menjadi tahanan Kejaksaan Agung. Anda tidak takut?
Tidak. Kenapa harus takut? Memangnya mereka akan meracun saya? Jaksa yang tidak benar yang harus diungkap. ***
Majalah Tempo, 18 Mei 2006
Comments