Akhir Penyamaran Jagung Bakar
Pria separuh baya itu bertamu tengah malam, Rabu pekan lalu. Sugiono, penjaga kantor perwa-kilan bus Damri di Jalan Wonosobo, Jawa Tengah, menjamunya riang gembira. Maklum, si tamu mengaku utusan kantor pusat Damri di Jakarta. ”Saya utusan kantor pusat, ditugasi di sini,” katanya memperkenalkan diri. Sugiono tentu saja mengangguk takzim.
Tapi ada yang aneh. Tiga hari menginap di situ, si bos dari Jakarta ini tak pernah bicara soal kantor. Sekadar bertanya soal Damri pun ia tak berselera. Ia lebih doyan ngerumpi soal tetangga sebelah. Rumah di sebelah kantor Damri itu memang dikontrak sejumlah orang sejak November 2005 lalu.
Sabtu pagi pekan lalu, semua menjadi jelas bagi Sugiono. Saat hari belum terang tanah, si bos dari Jakarta membangunkannya tergesa-gesa. ”Saya petugas, silakan menyingkir dari sini,” katanya tegas. Sugiono tentu saja bingung. Begitu ia keluar rumah, puluhan polisi sudah mengurung rumah sang tetangga. Beberapa polisi malah mengacungkan bedil ke pintu rumah.
Pukul lima lebih 30 menit, lewat pengeras suara polisi mengumumkan agar penghuni rumah menyerahkan diri. Tak ada jawaban. Dari penjelasan sejumlah warga, Sugiono akhirnya paham tetangganya itu tersangka teroris.
Lantaran sasaran tak kunjung menye-rah, polisi meledakkan pintu utama rumah. Desingan peluru bersahutan. Kesunyian pagi itu pecah sebelum penduduk terjaga. Tembakan balasan dari dalam rumah juga menyalak garang. Beruntung cuma menghantam mobil polisi. Mobil itu bolong-bolong dihantam peluru.
Baku tembak baru berhenti pukul enam pagi. Polisi menerobos masuk se-telah meledakkan bom di pintu masuk. Dua orang tewas. Belakangan mereka diketahui bernama Abdul Hadi alias Bambang, dan seorang lagi bernama Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Keduanya anak buah Noordin Mohamad Top, gembong teroris paling dicari di kawasan Asia. Dua mayat itu dibungkus kantong berwarna oranye, langsung dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara di Semarang.
Dua orang lagi memilih menyerah. Mereka adalah Muftafirin dan Sholahuddin. Muftafirin sempat menggunakan senjata revolver, menembak aparat. Pelurunya menghantam mobil.
Jabir adalah tokoh penting dalam jaringan Noordin. Itu sebabnya penangkapan itu mendapat pujian dari sejumlah kalangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang melawat ke Timur Tengah, juga memberi perhatian. Dari Istana Bayan, Kuwait, Sabtu pekan lalu itu, ia memerintahkan polisi terus meng-uber Noordin.
Dalam penggerebekan itu, Noordin M. Top memang tidak tertangkap. Sejumlah sumber menyebutkan orang Malaysia itu memang sempat bersama kelompok ini, tapi sejak November lalu ia berpisah tempat dengan Jabir.
Jabir dan Abdul Hadi sudah lama diincar polisi. Mereka sudah lama malang melintang bersama Noordin dan Doktor Azahari, yang tewas di Batu, Jawa Timur, November 2005. Menurut polisi, Hadi adalah jagoan perakit bom. Ilmu itu dipetiknya dari si doktor bom: Azahari. Adapun Jabir adalah tokoh senior dalam ke-lompok Noordin. Dia salah satu tokoh kunci peledakan bom di Kedutaan Australia di Jakarta, September 2004. Pe-ran Jabir itu diketahui dari nyanyian tersangka bom kedutaan itu yang dibekuk polisi.
Bersama Azahari dan Noordin, Jabir membawa empat tas besar berisi bahan peledak TNT, sejumlah 50 kilogram, ke sebuah rumah kontrakan di Menceng, Cengkareng, 22 Juli 2004. Bom itu dirakit dalam aneka bentuk. Bahan laknat itulah yang meluluh-lantakkan jalanan di depan Kedutaan Australia itu. Jabir pula yang merekrut Heri Kurniawan, pelaku bom bunuh diri di kedutaan itu. Diuber puluhan polisi, Jabir tak kunjung- bisa diringkus.
Persembunyiannya di rumah kontrakan di Wonosobo terendus setelah polisi mendapat laporan warga. ”Informasi- dari warga, ada orang mencurigakan di rumah itu,” kata Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri, Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, yang Sabtu pekan lalu itu terlihat di lokasi penggerebekan. Polisi lalu mengintai tempat tersebut sejak dua pekan lalu.
Sumber di kepolisian menuturkan, petunjuk ke Wonosobo juga diketahui dari sejumlah anak buah Noordin yang dibekuk polisi sebelumnya. Awal 2006, Detasemen Khusus 88, unit pemburu teroris di kepolisian, menangkap 15 anggota kelompok ini. Perburuan itu difokuskan ke daerah-daerah lantaran kelompok Noordin ini belakangan mengubah siasat.
Sesudah Dr Azahari ditembak, Noordin membentuk kelompok baru yang disebut sebagai Tandzim Qoedatul Jihad. Dia menyebut diri sebagai pemimpin kelompok itu di kawasan Melayu, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Noordin menyerahkan pelaksanaan aksi ke tingkat daerah. Detasemen Khusus 88 di daerah belakangan gencar memburu kelompok ini.
Dari keterangan sejumlah orang yang ditangkap di Jawa Tengah itu polisi kemudian memburu anggota kelompok ini di sejumlah daerah. Di Jawa Timur, Detasemen Khusus 88 membekuk Ahmad Basyir. Dia ditangkap di Surabaya, 3 Maret lalu.
Ahmad Basyir ternyata juga kaki tangan langsung Noordin M. Top dan Azahari. Kepada polisi, ia mengaku pernah- menyiapkan rumah untuk pelarian kedua dedengkot teroris di Asia itu, sebelum peristiwa Batu, Jawa Timur. Dari rumah penangkapan Basyir, polisi menyita sejumlah dokumen. Di antaranya catatan pergerakan kelompok ini.
Anton Bahrul Alam saat itu menuturkan, dengan penangkapan Basyir, ruang gerak Noordin bisa dipersempit. Polisi juga terus memburu anggota kelompok ini. Sebab, kata Anton, ”Semakin banyak yang ditangkap, berarti kita semakin dekat dengan Noordin.”
Upaya penjepitan berlangsung di sejumlah daerah. Di Palu, Sulawesi Tengah, polisi bersiaga penuh sepanjang April ini. Santer beredar kabar bahwa anak buah Noordin bakal meledakkan bom di sana. Tapi polisi juga masih yakin bahwa bos komplotan ini, yakni Noordin, sudah terkurung di Jawa Tengah. ”Dia masih di Jawa Tengah, mau lari ke mana dia?” kata Anton Bachrul Alam, awal Februari lalu. Polisi terus memburu hingga meletus baku tembak di Wonosobo, Sabtu dini hari pekan lalu itu.
Orang tua Jabir di Madiun, Jawa Ti-mur, belum yakin betul si Jabir sudah tewas. Zein, paman Jabir, saat ditemui para wartawan di Desa Mejorejo, Kebon Sari, Sabtu siang pekan lalu, mengatakan keluarga belum percaya Jabir tewas. Jika dia benar-benar tewas, keluarga menerimanya. ”Ibarat jualan sudah laku,” kata Zein.
Polisi kini terus memburu Noordin dan anak buahnya ke sejumlah daerah, yang bisa menyamar dengan rupa-rupa cara. Di Semarang, para buron kerap menyamar sebagai pedagang alat-alat elektronik, sepatu, dan sandal jepit. Di Surabaya juga begitu.
Mereka yang tertangkap di Wonosobo, Sabtu pekan lalu itu, menyamar sebagai pedagang baju, juga penjual jagung bakar di pasar Kretek, tak berapa jauh dari rumah kontrakan mereka. Sejumlah penduduk setempat menuturkan Jabir dan kawan-kawan cukup ramah.
Ketika terjadi baku tembak antara polisi dan penghuni rumah, warga tentu saja terperangah. Penyamaran jagung bakar itu berakhir Sabtu dini hari pekan lalu.
Wens Manggut, Abdul Manan, Imron Rosyid, Syaiful Amin (Wonosobo)
Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXV/01 - 7 Mei 2006
Tapi ada yang aneh. Tiga hari menginap di situ, si bos dari Jakarta ini tak pernah bicara soal kantor. Sekadar bertanya soal Damri pun ia tak berselera. Ia lebih doyan ngerumpi soal tetangga sebelah. Rumah di sebelah kantor Damri itu memang dikontrak sejumlah orang sejak November 2005 lalu.
Sabtu pagi pekan lalu, semua menjadi jelas bagi Sugiono. Saat hari belum terang tanah, si bos dari Jakarta membangunkannya tergesa-gesa. ”Saya petugas, silakan menyingkir dari sini,” katanya tegas. Sugiono tentu saja bingung. Begitu ia keluar rumah, puluhan polisi sudah mengurung rumah sang tetangga. Beberapa polisi malah mengacungkan bedil ke pintu rumah.
Pukul lima lebih 30 menit, lewat pengeras suara polisi mengumumkan agar penghuni rumah menyerahkan diri. Tak ada jawaban. Dari penjelasan sejumlah warga, Sugiono akhirnya paham tetangganya itu tersangka teroris.
Lantaran sasaran tak kunjung menye-rah, polisi meledakkan pintu utama rumah. Desingan peluru bersahutan. Kesunyian pagi itu pecah sebelum penduduk terjaga. Tembakan balasan dari dalam rumah juga menyalak garang. Beruntung cuma menghantam mobil polisi. Mobil itu bolong-bolong dihantam peluru.
Baku tembak baru berhenti pukul enam pagi. Polisi menerobos masuk se-telah meledakkan bom di pintu masuk. Dua orang tewas. Belakangan mereka diketahui bernama Abdul Hadi alias Bambang, dan seorang lagi bernama Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Keduanya anak buah Noordin Mohamad Top, gembong teroris paling dicari di kawasan Asia. Dua mayat itu dibungkus kantong berwarna oranye, langsung dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara di Semarang.
Dua orang lagi memilih menyerah. Mereka adalah Muftafirin dan Sholahuddin. Muftafirin sempat menggunakan senjata revolver, menembak aparat. Pelurunya menghantam mobil.
Jabir adalah tokoh penting dalam jaringan Noordin. Itu sebabnya penangkapan itu mendapat pujian dari sejumlah kalangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang melawat ke Timur Tengah, juga memberi perhatian. Dari Istana Bayan, Kuwait, Sabtu pekan lalu itu, ia memerintahkan polisi terus meng-uber Noordin.
Dalam penggerebekan itu, Noordin M. Top memang tidak tertangkap. Sejumlah sumber menyebutkan orang Malaysia itu memang sempat bersama kelompok ini, tapi sejak November lalu ia berpisah tempat dengan Jabir.
Jabir dan Abdul Hadi sudah lama diincar polisi. Mereka sudah lama malang melintang bersama Noordin dan Doktor Azahari, yang tewas di Batu, Jawa Timur, November 2005. Menurut polisi, Hadi adalah jagoan perakit bom. Ilmu itu dipetiknya dari si doktor bom: Azahari. Adapun Jabir adalah tokoh senior dalam ke-lompok Noordin. Dia salah satu tokoh kunci peledakan bom di Kedutaan Australia di Jakarta, September 2004. Pe-ran Jabir itu diketahui dari nyanyian tersangka bom kedutaan itu yang dibekuk polisi.
Bersama Azahari dan Noordin, Jabir membawa empat tas besar berisi bahan peledak TNT, sejumlah 50 kilogram, ke sebuah rumah kontrakan di Menceng, Cengkareng, 22 Juli 2004. Bom itu dirakit dalam aneka bentuk. Bahan laknat itulah yang meluluh-lantakkan jalanan di depan Kedutaan Australia itu. Jabir pula yang merekrut Heri Kurniawan, pelaku bom bunuh diri di kedutaan itu. Diuber puluhan polisi, Jabir tak kunjung- bisa diringkus.
Persembunyiannya di rumah kontrakan di Wonosobo terendus setelah polisi mendapat laporan warga. ”Informasi- dari warga, ada orang mencurigakan di rumah itu,” kata Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri, Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, yang Sabtu pekan lalu itu terlihat di lokasi penggerebekan. Polisi lalu mengintai tempat tersebut sejak dua pekan lalu.
Sumber di kepolisian menuturkan, petunjuk ke Wonosobo juga diketahui dari sejumlah anak buah Noordin yang dibekuk polisi sebelumnya. Awal 2006, Detasemen Khusus 88, unit pemburu teroris di kepolisian, menangkap 15 anggota kelompok ini. Perburuan itu difokuskan ke daerah-daerah lantaran kelompok Noordin ini belakangan mengubah siasat.
Sesudah Dr Azahari ditembak, Noordin membentuk kelompok baru yang disebut sebagai Tandzim Qoedatul Jihad. Dia menyebut diri sebagai pemimpin kelompok itu di kawasan Melayu, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Noordin menyerahkan pelaksanaan aksi ke tingkat daerah. Detasemen Khusus 88 di daerah belakangan gencar memburu kelompok ini.
Dari keterangan sejumlah orang yang ditangkap di Jawa Tengah itu polisi kemudian memburu anggota kelompok ini di sejumlah daerah. Di Jawa Timur, Detasemen Khusus 88 membekuk Ahmad Basyir. Dia ditangkap di Surabaya, 3 Maret lalu.
Ahmad Basyir ternyata juga kaki tangan langsung Noordin M. Top dan Azahari. Kepada polisi, ia mengaku pernah- menyiapkan rumah untuk pelarian kedua dedengkot teroris di Asia itu, sebelum peristiwa Batu, Jawa Timur. Dari rumah penangkapan Basyir, polisi menyita sejumlah dokumen. Di antaranya catatan pergerakan kelompok ini.
Anton Bahrul Alam saat itu menuturkan, dengan penangkapan Basyir, ruang gerak Noordin bisa dipersempit. Polisi juga terus memburu anggota kelompok ini. Sebab, kata Anton, ”Semakin banyak yang ditangkap, berarti kita semakin dekat dengan Noordin.”
Upaya penjepitan berlangsung di sejumlah daerah. Di Palu, Sulawesi Tengah, polisi bersiaga penuh sepanjang April ini. Santer beredar kabar bahwa anak buah Noordin bakal meledakkan bom di sana. Tapi polisi juga masih yakin bahwa bos komplotan ini, yakni Noordin, sudah terkurung di Jawa Tengah. ”Dia masih di Jawa Tengah, mau lari ke mana dia?” kata Anton Bachrul Alam, awal Februari lalu. Polisi terus memburu hingga meletus baku tembak di Wonosobo, Sabtu dini hari pekan lalu itu.
Orang tua Jabir di Madiun, Jawa Ti-mur, belum yakin betul si Jabir sudah tewas. Zein, paman Jabir, saat ditemui para wartawan di Desa Mejorejo, Kebon Sari, Sabtu siang pekan lalu, mengatakan keluarga belum percaya Jabir tewas. Jika dia benar-benar tewas, keluarga menerimanya. ”Ibarat jualan sudah laku,” kata Zein.
Polisi kini terus memburu Noordin dan anak buahnya ke sejumlah daerah, yang bisa menyamar dengan rupa-rupa cara. Di Semarang, para buron kerap menyamar sebagai pedagang alat-alat elektronik, sepatu, dan sandal jepit. Di Surabaya juga begitu.
Mereka yang tertangkap di Wonosobo, Sabtu pekan lalu itu, menyamar sebagai pedagang baju, juga penjual jagung bakar di pasar Kretek, tak berapa jauh dari rumah kontrakan mereka. Sejumlah penduduk setempat menuturkan Jabir dan kawan-kawan cukup ramah.
Ketika terjadi baku tembak antara polisi dan penghuni rumah, warga tentu saja terperangah. Penyamaran jagung bakar itu berakhir Sabtu dini hari pekan lalu.
Wens Manggut, Abdul Manan, Imron Rosyid, Syaiful Amin (Wonosobo)
Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXV/01 - 7 Mei 2006
Comments