Baru Sebatas Merangkak
Perilaku polisi syariat di Aceh dinilai kerap berlebihan. Pelaksanaannya juga terkesan diskriminatif.
PEKAN-PEKAN ini Mitra Sejati Perempuan Indonesia sedang membahas sikap yang akan segera mereka ambil atas penangkapan sejumlah rekan mereka di Banda Aceh. Pada pertengahan Februari lalu, polisi syariat menangkap tiga aktivis Jaringan Perempuan untuk Perdamaian Aceh.
Kasus ini bermula dari penangkapan Nursyamsiah, Sarimawati, dan Eni Marwati yang saat itu sedang asyik berdiskusi di depan kamar Hotel Sultan, Banda Aceh, sehabis mengikuti suatu seminar. Tiba-tiba muncul tim penertiban kota, gabungan Wilayatul Hisbah (polisi syariat) dan polisi. “Kalian muslim, kenapa tidak memakai jilbab?” hardik petugas. Ketiganya mencoba memberikan argumentasi, namun sia-sia. Mereka digelandang ke kantor Dinas Syariat Islam.
Penangkapan ini mengundang protes. “Petugas dalam menjalankan implementasi syariat Islam tidak mencerminkan watak islami, kasar sekali,” kata Elvida, aktivis perempuan Aceh yang juga Direktur Flower Aceh. Ia mengingatkan, dalam kasus seperti itu, tugas polisi syariat hanya memperingatkan. Itu pun untuk wanita tak berjilbab di tempat umum. “Dan di depan kamar hotel bukan tempat umum,” katanya.
Saat ketiganya dibawa ke mobil petugas, puluhan warga sempat menonton dan menyoraki mereka sebagai wanita malam. Dua dari mereka memang tidak berjilbab, karena hanya satu yang sempat masuk kamar dan mengenakan jilbab saat terjadi razia.
Ketiga perempuan itu akhirnya dilepaskan setelah diberi nasihat dan ada jaminan dari panitia seminar yang mengundang mereka. Razia polisi syariat itu dilakukan berdasarkan Qanun (peraturan) Nomor 11/2002 tentang berbusana. Isinya, setiap muslim/muslimah di Aceh wajib berbusana muslim/muslimah dan menutup aurat.
Bagi Elvida, kejadian tersebut merupakan salah satu dari pelaksanaan syariat Islam yang dinilai tak elok. Selama ini, kata Evi, banyak kekerasan yang dialami perempuan saat terjadi razia. Juga cara kampanyenya. Dia menyebut salah satu spanduk di Banda Aceh yang bertulisan, “Perempuan berpakaian ketat = setan”.
Belum lagi soal keharusan berbusana muslim yang hanya ditekankan pada kaum hawa. Dalam razia di Langsa, April 2005, kata Elvida, ada wanita yang dipotong rambutnya karena tak berjilbab. “Kita bukan antisyariat Islam, tapi bagaimana menciptakan pelaksanaan yang islami?” kata Elvida.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alyasa Abukabar, menyatakan tak melihat polisi syariat bersikap arogan. “Tapi, karena jumlahnya banyak mungkin ada yang lepas kontrol,” kata dia. Pelaksanaan syariat Islam, menurut dia, prinsipnya harus santun dan mengayomi masyarakat.
Bukan penangkapan saja yang dirasa meresahkan aktivis perempuan. Yang lain, beredarnya kabar Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen mengeluarkan fatwa yang melarang wanita bekerja malam hari. Selain melanggar HAM, kata Elvida, larangan seperti itu merepotkan perempuan yang kerap bekerja pada malam hari, seperti perawat atau dokter.
Adapun Ketua MPU, Teungku Jamaluddin, saat ditemui Tempo, mengakui bahwa larangan perempuan bekerja di malam hari itu bukan fatwa, melainkan sekadar imbauan. “Kami sedang merangkak untuk menegakkan syariat Islam, sebaiknya perempuan yang bekerja malam juga harus menjaga agar tidak melanggar syariat,” katanya.
Penasihat Aceh Institute, Otto Syamsudin Ishak, melempar sejumlah kritik terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Selain pelaksanaannya kerap diwarnai perilaku petugas yang kasar, juga diskriminatif. Cenderung ditekankan kepada orang Aceh yang muslim dan sipil. “Anggota TNI dan polisi tidak kena,” kata dia. Praktek diskriminasi semacam ini, menurut Otto, justru bisa merusak citra agama.
Sejak diberlakukannya syariat Islam pada 15 Maret 2002, ada sejumlah qanun yang dibuat DPRD Aceh untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di antaranya Qanun tentang Khamar (minuman keras), Qanun tentang Khalwat (mesum), dan Qanun tentang Maisir (perjudian). Adapun qanun untuk koruptor, yang justru penting, belum ada. “Padahal, koruptor juga harus dihukum cambuk atau potong tangan. Jadi, qanun itu jangan hanya untuk rakyat kecil,” kata Elvida. ***
Abdul Manan, Adi Warsidi, Imran M.A. (Aceh)
Majalah Tempo, 3 April 2006
PEKAN-PEKAN ini Mitra Sejati Perempuan Indonesia sedang membahas sikap yang akan segera mereka ambil atas penangkapan sejumlah rekan mereka di Banda Aceh. Pada pertengahan Februari lalu, polisi syariat menangkap tiga aktivis Jaringan Perempuan untuk Perdamaian Aceh.
Kasus ini bermula dari penangkapan Nursyamsiah, Sarimawati, dan Eni Marwati yang saat itu sedang asyik berdiskusi di depan kamar Hotel Sultan, Banda Aceh, sehabis mengikuti suatu seminar. Tiba-tiba muncul tim penertiban kota, gabungan Wilayatul Hisbah (polisi syariat) dan polisi. “Kalian muslim, kenapa tidak memakai jilbab?” hardik petugas. Ketiganya mencoba memberikan argumentasi, namun sia-sia. Mereka digelandang ke kantor Dinas Syariat Islam.
Penangkapan ini mengundang protes. “Petugas dalam menjalankan implementasi syariat Islam tidak mencerminkan watak islami, kasar sekali,” kata Elvida, aktivis perempuan Aceh yang juga Direktur Flower Aceh. Ia mengingatkan, dalam kasus seperti itu, tugas polisi syariat hanya memperingatkan. Itu pun untuk wanita tak berjilbab di tempat umum. “Dan di depan kamar hotel bukan tempat umum,” katanya.
Saat ketiganya dibawa ke mobil petugas, puluhan warga sempat menonton dan menyoraki mereka sebagai wanita malam. Dua dari mereka memang tidak berjilbab, karena hanya satu yang sempat masuk kamar dan mengenakan jilbab saat terjadi razia.
Ketiga perempuan itu akhirnya dilepaskan setelah diberi nasihat dan ada jaminan dari panitia seminar yang mengundang mereka. Razia polisi syariat itu dilakukan berdasarkan Qanun (peraturan) Nomor 11/2002 tentang berbusana. Isinya, setiap muslim/muslimah di Aceh wajib berbusana muslim/muslimah dan menutup aurat.
Bagi Elvida, kejadian tersebut merupakan salah satu dari pelaksanaan syariat Islam yang dinilai tak elok. Selama ini, kata Evi, banyak kekerasan yang dialami perempuan saat terjadi razia. Juga cara kampanyenya. Dia menyebut salah satu spanduk di Banda Aceh yang bertulisan, “Perempuan berpakaian ketat = setan”.
Belum lagi soal keharusan berbusana muslim yang hanya ditekankan pada kaum hawa. Dalam razia di Langsa, April 2005, kata Elvida, ada wanita yang dipotong rambutnya karena tak berjilbab. “Kita bukan antisyariat Islam, tapi bagaimana menciptakan pelaksanaan yang islami?” kata Elvida.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alyasa Abukabar, menyatakan tak melihat polisi syariat bersikap arogan. “Tapi, karena jumlahnya banyak mungkin ada yang lepas kontrol,” kata dia. Pelaksanaan syariat Islam, menurut dia, prinsipnya harus santun dan mengayomi masyarakat.
Bukan penangkapan saja yang dirasa meresahkan aktivis perempuan. Yang lain, beredarnya kabar Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen mengeluarkan fatwa yang melarang wanita bekerja malam hari. Selain melanggar HAM, kata Elvida, larangan seperti itu merepotkan perempuan yang kerap bekerja pada malam hari, seperti perawat atau dokter.
Adapun Ketua MPU, Teungku Jamaluddin, saat ditemui Tempo, mengakui bahwa larangan perempuan bekerja di malam hari itu bukan fatwa, melainkan sekadar imbauan. “Kami sedang merangkak untuk menegakkan syariat Islam, sebaiknya perempuan yang bekerja malam juga harus menjaga agar tidak melanggar syariat,” katanya.
Penasihat Aceh Institute, Otto Syamsudin Ishak, melempar sejumlah kritik terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Selain pelaksanaannya kerap diwarnai perilaku petugas yang kasar, juga diskriminatif. Cenderung ditekankan kepada orang Aceh yang muslim dan sipil. “Anggota TNI dan polisi tidak kena,” kata dia. Praktek diskriminasi semacam ini, menurut Otto, justru bisa merusak citra agama.
Sejak diberlakukannya syariat Islam pada 15 Maret 2002, ada sejumlah qanun yang dibuat DPRD Aceh untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di antaranya Qanun tentang Khamar (minuman keras), Qanun tentang Khalwat (mesum), dan Qanun tentang Maisir (perjudian). Adapun qanun untuk koruptor, yang justru penting, belum ada. “Padahal, koruptor juga harus dihukum cambuk atau potong tangan. Jadi, qanun itu jangan hanya untuk rakyat kecil,” kata Elvida. ***
Abdul Manan, Adi Warsidi, Imran M.A. (Aceh)
Majalah Tempo, 3 April 2006
Comments