Tensi Tinggi di Antara Pasal Lonjong
Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi mulai direvisi. PDI Perjuangan setujupembahasan dilanjutkan asal memenuhi empat syarat.
Arak-arakan ratusan penari tayub berjalan gemulai diiringi bunyi-bunyian alat musik tradisional seperti kendang dan gong. Mengenakan kemben, busana Jawa yang memperlihatkan bagian atas tubuh sedikit terbuka, sesekali mereka melakukan gerakan tarian tayub.
Usia penari yang berdatangan dari Yogya, Cepu, Blora, Banyumas, Sragen, dan sekitar Solo itu beraneka ragam. Dari sekitar 17 hingga 60-an tahun. Mereka berjalan dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo ke Taman Budaya Surakarta, yang berjarak sekitar 800 meter.
Para penari tayub yang pada Rabu pekan lalu tumplek di jalanan Solo itu tak hendak mengikuti karnaval. Mereka berkumpul untuk berunjuk rasa memprotes Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang sekarang gencar digodok di DPR. “Kalau tarian seperti tayub dianggap porno, saya tidak akan bisa lagi nayub di acara-acara di balai desa,” kata Juwariah, penari tayub dari Jeponan, Blora.
Menurut Mugiono Kasido, salah satu penggagas acara “Gelar 1000 Tayub Menolak RUU APP”, jika RUU itu disahkan, kesenian tradisional yang masih hidup subur di desa-desa Jawa Tengah seperti tayub, ledek, atau lengger, bisa digusur dengan alasan penampilan dan gerakan penarinya dikategorikan sensual alias mengundang berahi. “Padahal tayub itu kan memang tari pergaulan,” kata koreografer kondang Solo ini.
Karena itu, para penari tayub dan sejumlah seniman dan budayawan Solo mendesak pembahasan RUU itu dihentikan. “Pengesahan RUU APP menjadi undang-undang akan menghidupkan kembali tradisi pemberangusan karya seni atas nama moralitas,” kata Murtidjono, Kepala Taman Budaya Surakarta.
Gelombang penolakan terhadap pembahasan RUU Antipornografi dari berbagai kalangan–kelompok perempuan, budayawan, intelektual–juga merebak di sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Bahkan Rabu pekan lalu itu, DPRD Bali lewat sidang paripurna menyatakan menolak RUU ini. ”Kita meminta penghentian segala upaya yang dilakukan untuk membentuk RUU APP itu,” kata Ketua DPRD Bali I.B. Putu Wesnawa.
Di Jakarta, panitia khusus yang membahas RUU ini juga tak henti-hentinya menerima kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap RUU itu. Selasa pekan lalu, misalnya, panitia RUU Antipornografi ini menerima sekitar 20 orang ulama yang mewakili berbagai organisasi Islam se-Sulawesi Selatan, yang meminta RUU itu segera disahkan.
Esok harinya giliran Majelis Mujahidin Indonesia yang datang dengan permintaan yang sama. ”Walau rapat dengar pendapat dengan masyarakat sudah ditutup pada Februari lalu, kami tak mungkin menolak kelompok yang terus berdatangan itu,” ujar Balkan Kaplale, ketua panitia khusus RUU ini.
RUU Antipornografi kini memasuki tahap perumusan. Sebelumnya, sejak dibahas di DPR pada akhir tahun lalu, RUU yang isinya mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi–di media massa, karya seni, hingga perilaku–juga sudah memancing kehebohan. Selain definisi pornografi dan pornoaksi yang dinilai ngawur dan multitafsir, sejumlah pasal pada RUU ini juga dianggap berpotensi memberangus kebebasan berekspresi.
Pasal 58 RUU itu, misalnya, berisi ancaman penjara lima tahun kepada siapa pun yang membuat tulisan, rekaman suara, film, puisi, atau lukisan yang mengekspresikan daya tarik tubuh tertentu yang sensual. “Definisi sensual ini kan tidak jelas. Kalau lukisan orang telanjang disebut pornografi, ini bahaya,” kata Cak Kandar, pelukis asal Surabaya yang terkenal dengan lukisan bulunya.
Kendati mendapat tentangan dari berbagai pihak, RUU yang terdiri dari 11 bab dan 93 pasal ini terus menggelinding. Pada awal Maret lalu, misalnya, tiga tim panitia khusus masing-masing dikirim ke Batam, Papua, dan Bali untuk menyosialkan perlunya RUU tersebut.
Berbeda dengan di dua daerah lainnya, di Bali tim yang dipimpin Yoyoh Yusroh disambut unjuk rasa. Ratusan masyarakat di kantor Gubernur Bali meminta tim itu “angkat kaki” dari Bali. “Saya tidak diberi kesempatan menjelaskan RUU ini. Mereka menyuruh kami pulang,” kata anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Menurut Balkan, pihaknya tidak menutup telinga terhadap suara pro dan kontra di masyarakat tentang RUU ini. “Karena itu tiap fraksi lantas membuat daftar inventarisasi masalah yang kemudian dibahas oleh tim perumus,” kata anggota Fraksi Partai Demokrat ini. Pengajuan daftar inventarisasi masalah itu diberi tenggat 24 Maret ini.
Tim perumus RUU yang terdiri dari sekitar 15 anggota panitia khusus itu sudah bekerja. Jumat dua pekan lalu, selama dua hari tim perumus mengadakan rapat di Wisma Indag, di kawasan Cisarua, Bogor, membahas perbaikan draf RUU. Semua anggota tim perumus hadir kecuali wakil Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). “Kami menganggap pembahasan di Cisarua itu belum mengakomodasi pendapat masyarakat,” kata Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse, anggota tim RUU Antipornografi dari Fraksi PDIP.
Rapat di Cisarua itu belum menyentuh revisi pasal-pasal RUU. Kendati demikian, ada sejumlah hal yang disepakati. Misalnya, judul RUU itu akan diubah menjadi RUU Pornografi atau RUU Pornografi dan Pornoaksi, dihapuskannya Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional, serta digabungkannya sejumlah bab.
Tim perumus juga sepakat akan menghapus pasal-pasal tindak pidana susila jika pasal itu sudah diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Tapi sanksi pidana yang belum diatur tetap ada, karena aneh kalau sebuah undang-undang tidak ada sanksinya,” kata Yoyoh Yusroh.
Menurut sumber Tempo, salah satu pembahasan yang paling panas di Cisarua menyangkut judul RUU dan alasan (pertimbangan) perlunya RUU itu. “PKS meminta dampak globalisasi sebagai salah satu pertimbangan perlunya RUU ini, dan berkukuh meminta judul RUU itu tetap ada kata pornoaksinya,” kata sumber itu. Tuntutan ini akhirnya terpenuhi. “Semua putusan tim perumus itu tidak bisa diganggu-gugat lagi,” kata Yoyoh.
Pembahasan memang belum selesai. PDIP sendiri menyatakan tak akan menolak RUU tersebut sepanjang tidak melanggar empat hal, yakni tidak menolak keragaman budaya dan agama, tidak mengatur wilayah privasi masyarakat, tidak mengatur dugaan moral seseorang, dan tidak mengatur moral atau etika umum berdasar pandangan agama tertentu. “Kami sepaham dengan PDIP dalam hal ini. Jika tidak, kami menolak RUU itu,” kata Tiurlan B. Hutagaol, anggota panitia khusus RUU Antipornografi dari Fraksi PDS.
“Pertempuran” pembahasan perubahan pasal per pasal RUU akan dimulai pada awal Mei mendatang, setelah selesai masa reses. Menurut staf ahli DPR Ujianto Singgih, jikapun ada fraksi yang tidak setuju dengan RUU itu, penolakan itu hanya bisa dilakukan dalam rapat pleno panitia khusus dan Sidang Paripurna DPR. ”Karena itu tidak mustahil disetujuinya RUU itu kelak lewat pemungutan suara (voting). “Jika ternyata lebih banyak anggota DPR yang menolak, RUU itu akan batal atau pembahasannya dari awal lagi,” kata staf ahli yang membidangi pengkajian pembahasan RUU itu.
Pemungutan suara merupakan jalan terakhir yang ditempuh. Sejumlah anggota panitia lebih mengharap “benjal-benjol” isi RUU itu bisa dimuluskan dengan mencari jalan tengah yang diterima semua fraksi. “Jika dibicarakan dengan kepala dingin, semua perbedaan itu akan mencapai titik temu. Karena itu kami meminta tensi pembahasan RUU ini diturunkan dulu,” kata Abdul Hamid Wahid, anggota panitia RUU Antipornografi dari Partai Kebangkitan Bangsa.
L.R. Baskoro, Abdul Manan, Imron Rosyid (Solo)
Majalah Tempo, 20 Maret 2006
Comments