Bukan Lampu Aladin

Draf RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang kini dibahas di DPR masih memiliki sejumlah kelemahan. Yang pasti, mereka yang melakukan tindakan diskriminasi bisa dikirim ke penjara.

JIKA jadi disahkan, inilah undang-undang yang diharapkan bisa menjebol segala macam aturan yang se-lama ini membedakan orang lantaran ras dan sukunya. Namanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan undang-undang ini, kelak siapa pun yang membedakan seseorang berdasarkan suku atau etnis, bisa diseret ke depan meja hijau.
Jumlah pasal dalam rancangan undang-undang terbilang irit. Hanya 27 pa-sal yang dirangkum dalam 11 bab. Tindakan yang disebut diskriminatif, antara lain, memperlakukan orang l-ebih baik atau lebih buruk dibandingkan orang lain berdasarkan alasan ras atau etnis, atau menunjukkan kebencian kepada seseorang karena perbedaan ras.
Ancaman hukuman untuk mereka yang melakukan perbuatan diskriminasi cukup berat. Bisa diganjar hukum-an hingga tiga tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Kalau perbu-atan itu membuat seseorang meninggal, hukumannya menjadi tujuh tahun penjara atau de-nda hingga Rp 1 miliar. RUU ini juga menyatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) se-bagai lembaga yang bertugas memantau dan menjamin terlaksananya undang-undang ini.
RUU ini sebenarnya sudah diusulkan anggota DPR pada 2003 lalu. Menurut Alvien Lie, salah satu penggagas se-kali-gus anggota panitia khusus (pansus) RUU ini, latar belakang perlunya undang-undang semacam itu karena masih banyaknya praktek diskrimin-asi yang terjadi di masyarakat. ”Dengan RUU ini, minimal kami menyediakan payungnya,” kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini.
Ketua Majelis Tinggi Agama Konghu-cu Indonesia (Matakin) Budi Santoso Tanuwibowo, mengakui praktek diskrimi-nasi masih terjadi di sejumlah daerah. Salah satu contohnya, soal Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Salah satu wilayah yang masih menerapkan aturan ini, kata Budi, adalah Semarang. Budi yang juga Sekretaris Jenderal Indonesia Tionghoa (Inti) ini berharap pemerintah memberi teladan dengan menghapus diskrimi-na-si seperti itu. ”Biasanya masyarakat akan mengikuti,” kata Budi.
Tapi kepada Tempo Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip membantah pihak-nya memberlakukan ketentuan ada-nya SBKRI. Dalam Instruksi Wali Kota Se-marang pada 5 Oktober 2004, kata Sukawi, pihaknya justru memperkuat atur-an sebelumnya yang tak mensyaratkan SBKRI bagi warga yang akan meng-urus akta lahir, kartu keluarga, dan k-artu tan-da penduduk. ”Jadi, tanpa RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pun kami sudah menghapuskan SBKRI yang diskriminatif tersebut,” kata S-ukawi.
SBKRI sebenarnya baru satu dari sekian praktek diskriminasi. Menurut Direktur Eksekutif Solidaritas Nusa Bangsa, Sondang Priska, yang tak kalah pen-ting adalah masih banyaknya undang-undang atau peraturan yang cenderung dis-kriminatif. Jumlahnya, menurut dia, tak kurang dari 70-an. Dari jumlah itu, yang berkaitan dengan agama, ujarnya, mencapai 40-an dan yang lain berkaitan dengan etnis atau ras.
Karena itulah, di mata anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Candra Setiawan, yang seharusnya dilakukan saat ini adalah mendata ulang semua peraturan perundangan yang ada. ”Peraturan yang masih diskriminatif dicabut,” katanya. Apalagi, kata Candra, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Internasional tentang antidiskriminasi.
Candra juga mengkritik salah satu isi pasal RUU itu yang menunjuk Ko-m-nas HAM sebagai penjamin pelaksana-an undang-undang. ”Ini sama dengan mengalihkan tanggung jawab. Tugas ini tanggung jawab pemerintah,” katanya. Ia juga mengkritik tak adanya sa-nksi dalam RUU itu jika yang melakukan diskriminasi, misalnya lembaga dan pejabat publik.
Menurut salah satu anggota Pansus RUU tersebut, Hamid Wahid, meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi in-ternasional, tetap saja undang-undang khusus yang mengatur detail pelaksa-naannya dibutuhkan. Dan itulah perl-u-nya RUU Antidiskriminasi. ”Konvensi h-a–nya memuat ketentuan umum, perlu yang lebih operasional,” kata anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa ini.
Adapun usulan mendata ulang dan ke-mudian mencabut peraturan yang dianggap diskriminatif dinilai Hamid tidak efektif. Menurut Sondang Priska, ang-go-ta pansus lainnya, kalau itu dilaku-kan, bakal memakan waktu lama. Apalagi jumlah regulasinya banyak. Dari zaman Habibie sampai Gus Dur, ujarnya, cuma ada sekitar tiga peraturan diskriminatif yang dicabut. ”Pengkajiannya bisa memakan waktu lama dan biaya banyak,” kata Sondang.
Menurut Sondang lagi, sampai kini memang masih muncul usulan agar ke-lak pengawas pelaksanaan undang-undang ini adalah lembaga tersendiri, bukan Komnas HAM. Yang pasti, katanya, lembaga itu harus mempunyai kewenang-an lebih. ”Karena praktek diskrimin-asi banyak juga terjadi, misalnya di TNI, Polri, departemen, atau perusahaan-per-usahaan,” katanya.
Hanya, ia mengingatkan, jikapun di-sah-kan kelak, jangan mengharapkan un-dang-undang ini seperti lampu a-ladin yang bisa menghapus diskriminasi d-a-lam sekejap. ”Setidaknya, undang-u-n-dang ini bisa digunakan sebagai alat bagi korban untuk memperjuangkan hak–nya,” ujarnya.
Kendati penting, sayangnya, tak ba-nyak anggota Pansus yang menghadiri pembahasan RUU Penghapusan Diskri-minasi ini. Karena itu, tak jarang pembahasan RUU ini ditunda lantaran yang hadir hanya segelintir anggota. ”Ini ka-rena banyak anggota Pansus RUU yang juga merangkap anggota Pansus RUU lainnya,” kata Ketua Pansus RUU tersebut, Elviana. Karena itu, Elviana kini tengah menyusun ulang jadwal pem-bahasan RUU tersebut. ”Agar semua anggota benar-benar hadir dan tak ha-nya datang untuk absen,” ujarnya.
LRB/Abdul Manan, Mustafa Moses, Sohirin (Semarang)
Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXIV/20 - 26 Februari 2006

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO