Silang Pendapat Perlindungan Saksi
DPR mulai membahas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sejumlah pasal diperkirakan akan alot pembahasannya.
MULAI Senin pekan ini para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi akan mengarahkan mata dan telinganya ke DPR. Parlemen akan mulai membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi. Jika berhasil, inilah undang-undang yang akan menjadi payung hukum bagi para saksi yang ikut membongkar kejahatan. ”Pembahasannya biasanya secara tertutup, tapi kami akan terus memantaunya,” kata juru bicara Koalisi, Supriyadi.
Koalisi Perlindungan Saksi, yang antara lain terdiri dari LBH Jakarta, Elsam, Komnas Perempuan, Walhi, memang harus memantau pembahasan ini agar isinya ”tak jauh panggang dari api”. Proses RUU ini sendiri terbilang lelet. Meski sebagai usul inisiatif—diajukan oleh 40 anggota Dewan pada 19 Mei 2002—dan menjadi prioritas tahun 2005, kepastian pembahasan RUU tersebut baru muncul pekan lalu dengan dibentuknya panitia kerja di DPR.
Menurut Agus Purnomo, salah satu pengusul, RUU itu diajukan, antara lain, karena selama ini ada sejumlah orang yang memberi kesaksian tapi ujung-ujungnya menjadi tersangka. Contohnya, Endin Wahyudin saat mengadukan adanya penyuapan terhadap hakim agung pada 2001. Endin, ketika itu, justru dituduh melakukan pencemaran nama baik dan kemudian divonis hukuman kurungan tiga bulan penjara. ”Selain itu, undang-undang ini juga untuk mengantisipasi semakin banyaknya kejahatan dengan jaringan kuat, seperti kejahatan narkoba dan terorisme,” ujar Agus.
Kendati Kitab Hukum Acara Pidana tak menyediakan mekanisme seperti ini, bukan berarti selama ini tak ada ”tameng” bagi seorang saksi. Dalam kasus korupsi, perlindungan itu diatur dalam Pasal 15 UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk pelanggaran hak asasi manusia, ada dalam Peraturan Pemerintah No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat. Adapun untuk korban kasus kekerasan seksual, ada dalam UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Namun, perlindungan yang diatur oleh undang-undang itu dirasa belum cukup. Koordinator Divisi Perubahan Kebijakan Lembaga Bantuan Hukum Apik, Indri Oktaviani, menunjuk contoh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengertian saksi dalam undang-undang itu, ujarnya, terbatas pada korban. ”Padahal, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, saksi bisa juga dari bukan korban tapi mereka juga mendapat ancaman,” katanya.
Perlindungan saksi dalam Undang-Undang Antikorupsi juga dianggap kurang memuaskan. Memang ada, tapi belum dijelaskan secara detail. ”Itu perlu ditegaskan dan diuraikan lagi, perlindungan macam apa yang diberikan,” kata penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua. KPK memang berharap, jika undang-undang itu terbentuk, kasus korupsi, termasuk korupsi di lembaga peradilan, akan lebih gampang dibuka.
Draf RUU Perlindungan Saksi, yang kini di tangan anggota Dewan, sebenarnya masih jauh dari sempurna. Menurut Supriyadi, pihaknya mencatat ada lima isu penting dalam RUU itu yang harus dicermati, yaitu tentang pengertian saksi yang terbatas hanya pada korban, hak saksi, bentuk lembaga perlindungan saksi, tata cara perlindungan, dan tak adanya peran serta masyarakat.
Salah satu yang diperkirakan akan alot dibahas adalah Lembaga Perlindungan Saksi. Koalisi menghendaki lembaga itu berdiri independen seperti US Marshall di Amerika Serikat. Koalisi khawatir, jika lembaga ini diserahkan ke polisi, akan terhambat oleh rantai birokrasi yang panjang. Direktur Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Oka Mahendra, mengakui soal lembaga perlindungan saksi akan menjadi perdebatan panas. ”Apakah tidak lebih baik kalau itu dilakukan oleh lembaga yang sudah ada dengan memperjelas tugas dan pengawasannya?” katanya
Hal lain yang dinilai berpotensi menjadi perdebatan adalah jenis perlindungan dan kompensasi, termasuk kompensasi bagi saksi untuk tidak digugat secara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Di mata Khairiansyah, mantan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu perlindungan yang mestinya dipertimbangkan adalah, saksi yang membuka kasus korupsi dibebaskan dari tuduhan kasus lain.
Khairiansyah mengibaratkan orang yang melaporkan kasus korupsi itu seperti orang membeli polis asuransi. Orang itu memberi uang premi dalam bentuk kasus, KPK memberi jaminan. ”Di situlah terjadi tawar-menawar. Jangan diadukan dengan yang lain-lain, dong,” katanya.
Khairiansyah pernah mendapat perlindungan dari KPK karena membantu membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Namun, belakangan, ia menjadi tersangka dalam kasus Dana Abadi Umat Departemen Agama. ”Ya, karena aturannya belum lengkap,” ujarnya.
Menurut Azis Syamsuddin, salah satu anggota panitia kerja RUU tersebut, pembebasan tuntutan seperti itu bukan tidak mungkin. ”Tapi, harus dilihat motifnya. Kalau dia menerima uang korupsi untuk menjebak, itu memang bagian dari perlindungan saksi. Tapi, kalau dia melapor karena menyesal, dan akhirnya kasusnya diperiksa, ada unsur pemaaf,” katanya. ”Nanti bisa mengurangi hukuman saksi itu.”
Namun, soal ini, Agus Purnomo punya pandangan berbeda. Menurut Agus, bisa saja saksi pelapor dibebaskan dari tuntutan jika akibat dari kesaksiannya negara memperoleh keuntungan besar, seperti kembalinya aset-aset negara. ”Itu kompensasi maksimal yang bisa diberikan. Minimal, ya, hukumannya dikurangi,” katanya.
Adapun Direktur Imparsial Rachlan Nasidik menilai, pembebasan tuntutan itu hanya bisa untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya seseorang yang terlibat kasus pelanggaran hak asasi karena pembiaran. ”Tapi untuk yang by commission tidak bisa. Apalagi kalau dia terlibat aktif,” katanya.
Tapi, Hakim Agung Artidjo Alkostar tak setuju jika ada seseorang bebas dari tuntutan atas kesalahan yang dilakukannya hanya karena telah memberi kesaksian. ”Kalau itu yang dilakukan, keadilan rakyat yang tersinggung. Jelas-jelas melakukan perbuatan pidana, kok tidak dituntut?” katanya
Jika tak ada aral melintang, RUU yang terdiri atas tujuh bab dan 32 pasal ini akan rampung sebelum masa sidang DPR, 24 Maret 2006. Hasil kerja panitia ini bakal dibahas dalam Komisi Hukum sebelum kemudian dibawa ke Badan Musyawarah dan ke sidang paripurna. Azis Syamsuddin optimistis RUU tersebut akan rampung dalam waktu sependek itu. ”Dalam seminggu, kami akan membahasnya tiga kali,” katanya.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXIV/30 Januari - 05 Februari 2006
Pasal yang Tak Rinci
Pasal yang Tak Rinci
Sejumlah kritik dilontarkan Koalisi Perlindungan Saksi terhadap sejumlah pasal dalam RUUPerlindungan Saksi. Inilah di antaranya.
Saksi:
Pasal 1: Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atauia alami sendiri.# Definisi ini tidak mengakui saksi pelapor. Padahal, dalam kasus pidana, juga ada orang yang bisamengungkap kasus karena memiliki dokumen, meski tak melihat dan mengalami sendiri. Akibatnya,pelapor pun tak ada dalam kategori saksi yang berhak mendapat perlindungan.
Hak Saksi:
Pasal 5: Saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, ancaman, ikutmenentukan bentuk perlindungan, dan memberikan keterangan tanpa tekanan dan lain-lain.# Hak saksi harus diatur lebih terperinci. Dibedakan antara hak yang harus diberikan kepada saksisecara umum tanpa memandang kondisi atau situasi, dan hak yang diberikan dalam kondisi khusus. Diberbagai negara, hanya saksi tertentu yang masuk perlindungan saksi. Termasuk jenisnya, baik berupapenggantian identitas, relokasi, maupun kompensasi.
Lembaga Perlindungan Saksi:
Pasal 11: Lembaga Perlindungan Saksi (LPS) merupakan lembaga mandiri yang dibentuksekurang-kurangnya di setiap ibu kota provinsi dan kabupaten yang dianggap perlu oleh LPS.# Sebaiknya lembaga yang mandiri seperti US Marshall di Amerika Serikat, sehingga lembaga ini punyatenaga pengamanan sendiri, dan polisi membantu di level tertentu.
Tata Cara Perlindungan:Pasal 18-24: Mengatur soal bagaimana saksi atau korban bisa memperoleh perlindungan, perjanjian, danpenghentian perlindungan serta ketentuan bagi saksi dan korban untuk mengajukan bantuan.# Pasal yang mengatur soal tata cara perlindungan kurang rinci dan lengkap.
Tata Cara Perlindungan:Pasal 18-24: Mengatur soal bagaimana saksi atau korban bisa memperoleh perlindungan, perjanjian, danpenghentian perlindungan serta ketentuan bagi saksi dan korban untuk mengajukan bantuan.# Pasal yang mengatur soal tata cara perlindungan kurang rinci dan lengkap.
Comments