Suara Bulat Hakim Kasasi

Hakim kasasi berpendapat sama dengan KPPU. Pertamina dan kawan-kawan berusaha mengajukan peninjauan kembali

KABAR gembira itu justru datang dari media massa. Kuasa Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), David Tobing, hingga Jumat pekan lalu belum mendapatkan salinan putusan kasus dugaan persekongkolan dalam tender penjualan dua tanker Pertamina yang disidangkan hakim kasasi Mahkamah Agung, 29 November lalu. "Kami gembira dengan putusan ini," kata David, Kamis pekan silam.

Hakim kasasi yang terdiri dari Abdul Kadir Mappong, Harifin A. Tumpa, dan Susanti Adinugroho menerima kasasi KPPU dengan suara bulat. Sebelumnya, kata sumber Tempo di Mahkamah Agung, masih ada perbedaan pendapat di antara ketiganya. Perbedaan pendapat itu berubah menjelang pengambilan keputusan.

Abdul Kadir Mappong, ketua majelis kasasi, membenarkan bahwa Mahkamah Agung sudah membuat keputusan. "Kami mengabulkan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Dalam kasus ini, menurut dia, Mahkamah Agung memilih mengadili sendiri dan menolak keberatan yang diajukan Pertamina dan kawan-kawan.

Dalam kasus itu, kata Mappong, hakim punya pertimbangan hukum sama dengan keputusan KPPU yang diumumkan 3 Maret lalu, yaitu ada persekongkolan dalam tender penjualan tanker Pertamina. "Pada prinsipnya sama. Makanya, kami kabulkan kasasinya," tutur Mappong. Rencananya, kata dia, perincian amar putusan akan disampaikan pekan ini.

Kasus yang juga sempat memancing usulan interpelasi DPR ini berawal dari pemesanan dua unit kapal tanker VLCC kepada Hyundai Heavy Industries di Ulsan, Korea Selatan, November 2002. Pertamina memesan dengan harga US$ 65 juta per unit. Karena kesulitan dana, April 2004, direksi Pertamina memutuskan akan menjual tanker tersebut. Faktor lainnya, juga karena ada potensi diambil alih Karaha Bodas yang saat itu bersengketa dengan Pertamina.

Pertamina pun menunjuk Goldman Sachs Pte., perusahaan yang berkantor di Singapura, sebagai financial advisor. Goldman lantas mengundang 43 penawar potensial. Terdapat tujuh perusahaan yang memasukkan penawaran. Empat di antaranya, termasuk Frontline, melakukan penawaran melalui agen, yaitu PT Equinok. Akhirnya, dipilihlah tiga, yaitu Frontline, Essar Shipping Ltd., dan Overseas Shipholding Group. Ketiganya diminta menjalani uji kelayakan di Korea dan memasukkan perbaikan penawaran sampai 7 Juni 2004.

Rapat penentuan tender yang semula akan dilakukan 9 Juni, ditunda keesokan harinya. Frontline keluar sebagai pemenang dengan penawaran US$ 184 juta. Ternyata, menurut KPPU, Goldman masih menerima dan membuka penawaran ketiga hanya dari Frontline. Inilah yang menjadi salah satu dasar KPPU menilai dalam kasus ini ada persekongkolan. Akibatnya, terdapat kerugian US$ 20 juta sampai US$ 56 juta.

Menurut David Tobing, salah satu dugaan persekongkolan timbul karena Pertamina juga mengabaikan sejumlah prosedur sebelum menjual tanker. Misalnya, persetujuan penjualan tanker baru diberikan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi pada 11 Juni 2004. Menteri Keuangan Boediono memberikan izin pelepasan aset pada 7 Juli 2004. Padahal, direksi dan komisaris memutuskan penjualan itu dua bulan sebelumnya. Direksi memutuskan 6 April, komisaris 16 April. "Mestinya tender dilakukan setelah ada persetujuan menteri," kata David.

Dalam putusannya, 3 Maret lalu, KPPU menilai Pertamina bersalah dan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa keputusan KPPU, antara lain, memerintahkan perusahaan milik negara itu melaporkan tindakan komisaris dan direksi kepada RUPS, dan menonaktifkan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone. KPPU menghukum Goldman membayar denda Rp 19,710 miliar dan ganti rugi Rp 60 miliar, Frontline Rp 25 miliar dan ganti rugi Rp 120 miliar. Equinok didenda Rp 16,56 miliar.

Pertamina dan kawan-kawan tak dapat menerima keputusan KPPU. Mereka pun mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan menerima keberatan tersebut. Dalam sidang 25 Mei, Pengadilan Negeri menilai keputusan KPPU tidak memiliki dasar kuat. Pada 6 Juni, KPPU pun kemudian kasasi ke Mahkamah Agung.

Semua kuasa hukum yang beperkara mengaku belum menerima salinan putusan ini. "Goldman belum menerima putusannya sehingga belum bisa mengambil sikap," kata kuasa hukum Goldman, Todung Mulya Lubis. Pernyataan senada dikemukakan Juniver Girsang (kuasa hukum Pertamina), Hotman Paris (Frontline), dan Chandra Hamzah (Equinok).

"Sikap Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi KPPU merupakan preseden buruk buat persaingan dunia usaha," kata Chandra. Juniver Girsang pun memiliki kekhawatiran sama. "Ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi investor," ujarnya.

Pertamina, Goldman, Frontline, dan Equinok berencana mengajukan upaya hukum lanjutan, yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Seperti disampaikan Girsang, adanya surat persetujuan dari menteri juga akan menjadi bahan untuk mempertanyakan keputusan kasasi ini. "Soal izin dari menteri kan juga dipertanyakan. Padahal, izinnya kan ada," kata dia.

David Tobing mengingatkan bahwa dalam prosedur beperkara dalam kasus persaingan usaha, kasasi adalah upaya hukum terakhir. "Seharusnya penasihat hukum jangan mengajukan PK. Kalau tetap PK, sama artinya dengan tak mengerti hukum acara," kata David. Chandra tak setuju dengan pandangan ini. Menurut dia, PK itu tidak dilarang, cuma tidak diatur dalam kasus ini.

Abdul Manan, Thoso Priharnowo

TEMPO Edisi 051218-042/Hal. 48 Rubrik Hukum

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO