Dari KPPU untuk KPK
MAJELIS hakim Mahkamah Agung memenangkan kasasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 29 November lalu. Putusan tersebut menguatkan putusan KPPU yang menilai ada persekongkolan antara PT Pertamina, Goldman Sachs Pte., PT Frontline Line Ltd., dan PT Perusahaan Pelayaran Equinok.
Dengan begitu, jalan lempang kini terbuka bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan korupsi penjualan dua tanker Pertamina. "Alhamdulillah, pintu akan menjadi kembali terbuka buat kami (untuk menyelidiki)," kata Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, Selasa pekan lalu.
Sebelumnya, komisi tersebut sudah menyelidiki kasus ini. Sejumlah anggota direksi Pertamina sudah didengar keterangannya. Juniver Girsang, pengacara Pertamina, mengatakan KPK mulai mengusut kasus ini setelah soal penjualan tanker ini ramai dibicarakan. "Klien kami pernah diperiksa, jauh sebelum ada putusan dari KPPU," tuturnya.
Sampai akhirnya, 3 Maret lalu KPPU mengeluarkan keputusan yang menyatakan ada persekongkolan dalam tender penjualan tanker. KPK menunda penyidikan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan Pertamina dkk., 25 Mei lalu, dan membatalkan keputusan KPPU.
Direktur Keuangan PT Pertamina, Alfred Rohimone, mengaku siap jika Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa kasus itu. Alfred, yang saat kasus ini terjadi menjabat direktur keuangan, merasa tidak ada kesalahan dalam proses penjualan. "Kita akan hadapi dengan data-data saja," kata Alfred di DPR, Kamis pekan lalu.
Tak hanya kasus tanker Pertamina yang dilimpahkan kepada KPK. Pertengahan September lalu KPPU juga mengirimkan dokumen kasus dugaan korupsi pada proyek infrastruktur di Riau senilai Rp 1,7 triliun. Menurut ketua majelis pemeriksa persekongkolan tender infrastruktur di Riau, Muhammad Iqbal, estimasi uang negara yang dikorupsi bisa berkisar 20-30 persen dari total nilai proyek.
Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, membenarkan adanya laporan dari KPPU perihal kasus persekongkolan tender dalam proyek infrastruktur di Riau. "Hanya, kami belum membahasnya," ujarnya kepada Tempo.
KPPU berharap KPK dapat menindaklanjuti temuan KPPU secara lebih detail, termasuk mengungkap orang-orang yang diduga kuat terlibat. Sebab, menurut Iqbal, "KPPU tak punya wewenang sampai ke sana."
Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu, mendukung upaya pengungkapan korupsi di proyek ini. "Kalau memang melanggar, usut saja," ujarnya tegas.
Kini, beberapa bola berada di tangan KPK.
Abdul Manan, Maria Hasugian
TEMPO Edisi 051218-042/Hal. 46 Rubrik Hukum
Dengan begitu, jalan lempang kini terbuka bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan korupsi penjualan dua tanker Pertamina. "Alhamdulillah, pintu akan menjadi kembali terbuka buat kami (untuk menyelidiki)," kata Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, Selasa pekan lalu.
Sebelumnya, komisi tersebut sudah menyelidiki kasus ini. Sejumlah anggota direksi Pertamina sudah didengar keterangannya. Juniver Girsang, pengacara Pertamina, mengatakan KPK mulai mengusut kasus ini setelah soal penjualan tanker ini ramai dibicarakan. "Klien kami pernah diperiksa, jauh sebelum ada putusan dari KPPU," tuturnya.
Sampai akhirnya, 3 Maret lalu KPPU mengeluarkan keputusan yang menyatakan ada persekongkolan dalam tender penjualan tanker. KPK menunda penyidikan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan Pertamina dkk., 25 Mei lalu, dan membatalkan keputusan KPPU.
Direktur Keuangan PT Pertamina, Alfred Rohimone, mengaku siap jika Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa kasus itu. Alfred, yang saat kasus ini terjadi menjabat direktur keuangan, merasa tidak ada kesalahan dalam proses penjualan. "Kita akan hadapi dengan data-data saja," kata Alfred di DPR, Kamis pekan lalu.
Tak hanya kasus tanker Pertamina yang dilimpahkan kepada KPK. Pertengahan September lalu KPPU juga mengirimkan dokumen kasus dugaan korupsi pada proyek infrastruktur di Riau senilai Rp 1,7 triliun. Menurut ketua majelis pemeriksa persekongkolan tender infrastruktur di Riau, Muhammad Iqbal, estimasi uang negara yang dikorupsi bisa berkisar 20-30 persen dari total nilai proyek.
Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, membenarkan adanya laporan dari KPPU perihal kasus persekongkolan tender dalam proyek infrastruktur di Riau. "Hanya, kami belum membahasnya," ujarnya kepada Tempo.
KPPU berharap KPK dapat menindaklanjuti temuan KPPU secara lebih detail, termasuk mengungkap orang-orang yang diduga kuat terlibat. Sebab, menurut Iqbal, "KPPU tak punya wewenang sampai ke sana."
Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu, mendukung upaya pengungkapan korupsi di proyek ini. "Kalau memang melanggar, usut saja," ujarnya tegas.
Kini, beberapa bola berada di tangan KPK.
Abdul Manan, Maria Hasugian
TEMPO Edisi 051218-042/Hal. 46 Rubrik Hukum
Comments