Uang Haji di Meja Hijau
Kasus dugaan korupsi yang dilakukan Said Agil al-Munawar mulai disidangkan. Mantan Menteri Agama itu terancam penjara seumur hidup.
SIANG itu, di selasar Pengadilan Negeri Jakarta pusat, Said Agil Husin al-Munawar memilih diam. Di tengah kawalan ketat aparat kepolisian dan kejaksaan, mantan Menteri Agama era pemerintahan Megawati ini hanya mengumbar senyum ketika diberondong pertanyaan para wartawan yang terus merangsek ke arahnya saat memasuki ruang sidang pengadilan.
Kamis pekan lalu itu, untuk pertama kalinya Said menghadapi meja hijau. Pria berumur 51 tahun ini diadili dalam kasus dugaan korupsi dana pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) Departemen Agama. Jaksa penuntut umum pimpinan Ranu Mihardja menjerat Said dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Said didakwa melakukan korupsi dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Perbuatan Said ini, kata jaksa penuntut, membuat duit negara hilang sekitar Rp 67 miliar. Jaksa Ranu juga mendakwa Said merugikan negara Rp 8,4 miliar. Hanya yang terakhir ini ia lakukan bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufik Kamil, dan Enin Yusuf Suparta selaku bendahara.
Lenyapnya uang negara itu, menurut Jaksa, antara lain lantaran uang DAU tersebut dipergunakan untuk biaya anggota Komisi VI DPR memantau pelaksanaan ibadah haji. Dana umat tersebut ada pula yang dipakai memberi insentif kepada pejabat Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Semua pengeluaran tersebut tercatat dalam laporan keuangan dana (BPIH) periode 2002-2004.
Soal memperkaya diri, Jaksa mengajukan bukti berbagai dana yang diterima Said selama 2002 sampai 2004. Misalnya, tunjangan fungsional Rp 300 juta, dana ke Arab Saudi yang mencapai Rp 13 miliar, serta sejumlah dana yang disebut "dana taktis" yang nilainya mencapai Rp 175 juta.
Tak hanya itu, menurut Jaksa, Said juga menguasai rekening DAU yang dananya untuk kepentingan dirinya sendiri. Jumlah yang dipergunakan Said secara pribadi itu, kata Jaksa, mencapai sekitar Rp 8 miliar, termasuk di antaranya dipakai untuk bepergian bersama keluarganya ke luar negeri.
Menurut Jaksa, akibat penyalahgunaan duit DAU ini, negara dirugikan hingga Rp 665 miliar. Selain Said dan Taufik Kamil, kata Jaksa, yang ikut bertanggung jawab atas pengeluaran duit DAU itu adalah bendahara DAU, Moch. Abdul Rosjad.
Jaksa juga menyoroti aliran duit haji ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Jaksa, setiap tahun selalu ada dana BPIH yang mengalir ke rekening BPK. Tahun 2002, misalnya, sebesar Rp 633 juta, tahun 2003 senilai Rp 472 juta, dan tahun 2004 sebesar Rp 968 juta.
Jaksa juga mempersoalkan keputusan Said selaku Menteri Agama yang menyetujui pengalihan sebagian dana hasil efisiensi haji ke rekening di luar DAU pada 2001. Pada 2002, kata Jaksa, Said juga mengeluarkan keputusan yang menetapkan alokasi biaya pengelolaan dana BPIH untuk operasional penyelenggaraan haji sebesar 10 persen dari hasil efisiensi. "Padahal seharusnya dana itu masuk ke rekening DAU," kata Ranu. Dengan bukti-bukti semacam, menurut Ranu, Said bisa diancam hukuman penjara seumur hidup.
Pengacara Said, M. Assegaf, menolak jika kliennya dituding melakukan korupsi. Menurut Assegaf, semua pengeluaran dana itu sudah sesuai dengan ketentuan, yaitu melalui keputusan Menteri Agama. Kalaupun penggunaannya tak sesuai dengan undang-undang, kata Assegaf, ada penjelasan rasionalnya. "Menurut peraturannya, di samping untuk kemaslahatan umat, Dana Abadi Umat juga digunakan untuk kebutuhan lain-lain. Itulah yang dilakukan Said Agil," kata Assegaf.
Ropaun Rambe, pengacara yang lain dari Said, menilai Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), tim yang menyidik Said, melakukan pilih kasih dalam mengusut kasus dana haji ini. Ia, misalnya, menunjuk tidak diperiksanya para penerima Dana Abadi Umat yang namanya tertera dalam dakwaan jaksa.
"Mestinya yang menikmati itu juga dijadikan tersangka, termasuk para pejabat BPK," ujarnya. Hingga kini memang baru Said Agil dan Taufik Kamil yang diajukan ke pengadilan dalam kasus DAU ini. Taufik didakwa dengan kasus sama, hanya berkas pemeriksaannya terpisah.
Wakil Kepala Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Brigjen Indarto, menepis jika disebut timnya berlaku diskriminatif dalam menangani kasus ini. Kepada Tempo, Indarto menyatakan Said memang menjadi prioritas utama yang diperiksa dalam kasus ini. "Pekan ini tim kami akan rapat lagi dan tak tertutup kemungkinan ada tersangka baru dari luar Departemen Agama dalam kasus ini," katanya.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 051016-033/Hal. 114 Rubrik Hukum
SIANG itu, di selasar Pengadilan Negeri Jakarta pusat, Said Agil Husin al-Munawar memilih diam. Di tengah kawalan ketat aparat kepolisian dan kejaksaan, mantan Menteri Agama era pemerintahan Megawati ini hanya mengumbar senyum ketika diberondong pertanyaan para wartawan yang terus merangsek ke arahnya saat memasuki ruang sidang pengadilan.
Kamis pekan lalu itu, untuk pertama kalinya Said menghadapi meja hijau. Pria berumur 51 tahun ini diadili dalam kasus dugaan korupsi dana pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) Departemen Agama. Jaksa penuntut umum pimpinan Ranu Mihardja menjerat Said dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Said didakwa melakukan korupsi dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Perbuatan Said ini, kata jaksa penuntut, membuat duit negara hilang sekitar Rp 67 miliar. Jaksa Ranu juga mendakwa Said merugikan negara Rp 8,4 miliar. Hanya yang terakhir ini ia lakukan bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufik Kamil, dan Enin Yusuf Suparta selaku bendahara.
Lenyapnya uang negara itu, menurut Jaksa, antara lain lantaran uang DAU tersebut dipergunakan untuk biaya anggota Komisi VI DPR memantau pelaksanaan ibadah haji. Dana umat tersebut ada pula yang dipakai memberi insentif kepada pejabat Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Semua pengeluaran tersebut tercatat dalam laporan keuangan dana (BPIH) periode 2002-2004.
Soal memperkaya diri, Jaksa mengajukan bukti berbagai dana yang diterima Said selama 2002 sampai 2004. Misalnya, tunjangan fungsional Rp 300 juta, dana ke Arab Saudi yang mencapai Rp 13 miliar, serta sejumlah dana yang disebut "dana taktis" yang nilainya mencapai Rp 175 juta.
Tak hanya itu, menurut Jaksa, Said juga menguasai rekening DAU yang dananya untuk kepentingan dirinya sendiri. Jumlah yang dipergunakan Said secara pribadi itu, kata Jaksa, mencapai sekitar Rp 8 miliar, termasuk di antaranya dipakai untuk bepergian bersama keluarganya ke luar negeri.
Menurut Jaksa, akibat penyalahgunaan duit DAU ini, negara dirugikan hingga Rp 665 miliar. Selain Said dan Taufik Kamil, kata Jaksa, yang ikut bertanggung jawab atas pengeluaran duit DAU itu adalah bendahara DAU, Moch. Abdul Rosjad.
Jaksa juga menyoroti aliran duit haji ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Jaksa, setiap tahun selalu ada dana BPIH yang mengalir ke rekening BPK. Tahun 2002, misalnya, sebesar Rp 633 juta, tahun 2003 senilai Rp 472 juta, dan tahun 2004 sebesar Rp 968 juta.
Jaksa juga mempersoalkan keputusan Said selaku Menteri Agama yang menyetujui pengalihan sebagian dana hasil efisiensi haji ke rekening di luar DAU pada 2001. Pada 2002, kata Jaksa, Said juga mengeluarkan keputusan yang menetapkan alokasi biaya pengelolaan dana BPIH untuk operasional penyelenggaraan haji sebesar 10 persen dari hasil efisiensi. "Padahal seharusnya dana itu masuk ke rekening DAU," kata Ranu. Dengan bukti-bukti semacam, menurut Ranu, Said bisa diancam hukuman penjara seumur hidup.
Pengacara Said, M. Assegaf, menolak jika kliennya dituding melakukan korupsi. Menurut Assegaf, semua pengeluaran dana itu sudah sesuai dengan ketentuan, yaitu melalui keputusan Menteri Agama. Kalaupun penggunaannya tak sesuai dengan undang-undang, kata Assegaf, ada penjelasan rasionalnya. "Menurut peraturannya, di samping untuk kemaslahatan umat, Dana Abadi Umat juga digunakan untuk kebutuhan lain-lain. Itulah yang dilakukan Said Agil," kata Assegaf.
Ropaun Rambe, pengacara yang lain dari Said, menilai Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), tim yang menyidik Said, melakukan pilih kasih dalam mengusut kasus dana haji ini. Ia, misalnya, menunjuk tidak diperiksanya para penerima Dana Abadi Umat yang namanya tertera dalam dakwaan jaksa.
"Mestinya yang menikmati itu juga dijadikan tersangka, termasuk para pejabat BPK," ujarnya. Hingga kini memang baru Said Agil dan Taufik Kamil yang diajukan ke pengadilan dalam kasus DAU ini. Taufik didakwa dengan kasus sama, hanya berkas pemeriksaannya terpisah.
Wakil Kepala Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Brigjen Indarto, menepis jika disebut timnya berlaku diskriminatif dalam menangani kasus ini. Kepada Tempo, Indarto menyatakan Said memang menjadi prioritas utama yang diperiksa dalam kasus ini. "Pekan ini tim kami akan rapat lagi dan tak tertutup kemungkinan ada tersangka baru dari luar Departemen Agama dalam kasus ini," katanya.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 051016-033/Hal. 114 Rubrik Hukum
Comments