Kisah Perburuan Duit Koruptor
Dua rekening milik koruptor Indonesia diketahui berada di sebuah bank di Swiss dan Hong Kong. Informasi juga datang dari Portugal, Australia, dan lain-lain.
MULANYA sepucuk surat datang dari Swiss yang ditujukan kepada Jaksa Agung. Isinya pemberitahuan perihal adanya rekening milik seorang warga negara Indonesia yang diduga hasil korupsi dalam jumlah sangat besar. Kemudian Jaksa Agung minta agar rekening itu diblokir dan segera mengirim tim untuk mengurusnya.
Itulah sebabnya, pada 14 hingga 18 September lalu, Tim Pemburu Aset Koruptor--biasa disebut Tim Pemburu Koruptor--bergegas menuju Swiss dan Hong Kong, tempat informasi itu berasal. Dan benar, tim tersebut berhasil mendapati dua rekening koruptor Indonesia berada di dua negara tadi.
Kendati sudah menemukan tempat penyimpanan harta itu, Basrief Arief, ketua tim, belum bisa memastikan berapa jumlah uang yang ditanam di kedua bank. "Yang jelas, ada jutaan dolar AS,'' kata dia kepada Tempo.
Tim Basrief ini dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. pada 9 Desember 2004, bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia. Anggotanya diambil dari berbagai departemen.
PPATK merupakan salah satu lembaga yang memberi kontribusi besar bagi keberhasilan kerja Tim Pemburu Koruptor. Lembaga ini telah menjalin kerja sama dengan lembaga sejenis pada lebih seratus negara untuk melacak aset-aset para koruptor yang diburu tim Basrief Arief. "Dari mereka (lembaga-lembaga di luar negeri--Red.) ini pula kami tahu ada rekening atas nama-nama koruptor yang selama ini masuk daftar buron kejaksaan," kata Yunus Husen, Ketua PPATK.
Kepada Tempo, Zulkarnaen Yunus, salah seorang anggota tim, berkisah, informasi mengenai adanya rekening itu sebenarnya juga didapat dari pemerintah Australia. Negeri itu, kata Zulkarnaen, mengabarkan ada aset Hendra Rahardja, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yang ditransfer ke Hong Kong atas nama anaknya. Australia sendiri meminta aset itu dibekukan. "Australia bisa meminta pembekuan karena mereka memiliki perjanjian mutual legal assistance (bantuan timbal balik) dengan Hong Kong," kata Zulkarnaen.
Di Hong Kong, tim Basrief Arief bertemu pejabat kepolisian, kejaksaan, dan Menteri Kehakiman. Hong Kong bersedia memberikan legal advice untuk pengembalian aset Hendra Rahardja senilai US$ 9,3 juta. "Tapi, mereka meminta Indonesia menyerahkan permintaan resmi yang disesuaikan dengan sistem administrasi Hong Kong untuk melacak aset koruptor," kata Basrief.
Kedatangan ke Hong Kong sekaligus dimanfaatkan Tim Pemburu Koruptor untuk meneruskan penjajakan perjanjian timbal balik dengan negeri itu. Indonesia dan Hong Kong selama ini memang baru mengikat perjanjian ekstradisi yang ditandatangani pada 2001. Dalam perjanjian ekstradisi, yang dibicarakan adalah pengembalian orang. Ini berbeda dengan mutual legal assistance, yang juga mengatur soal hasil kejahatan serta bagaimana pengembalian aset-asetnya.
Hong Kong sudah menyampaikan draft perjanjian bantuan timbal balik itu ke Indonesia. "Kita mengharapkan dalam waktu dekat pembahasan draf itu bisa dimulai sekaligus untuk mempercepat penyerahan aset Hendra yang sudah dibekukan di sana," kata Zulkarnaen.
Dari Hong Kong, tim Basrief bertolak ke Swiss. Di negeri ini, mereka menemukan rekening atas nama dua koruptor asal Indonesia. "Rekening itu diblokir sejak Juli," kata Basrief. Salah satu rekening tersebut diduga milik Direktur Utama Bank Global Irawan Salim, yang nilainya mencapai Rp 500 miliar.
Pemerintah Swiss sendiri menyatakan akan membantu Indonesia untuk mengambil kembali aset para koruptor itu. "Mereka akan bantu kita dalam mengembalikan aset didasarkan pada prinsip hubungan baik kedua negara dan timbal balik," kata Zulkarnaen.
Kendati akan membantu, Hong Kong dan Swiss, kata Zulkarnaen, mengajukan sejumlah syarat. Polisi Hong Kong, misalnya, meminta bagian 20 persen untuk biaya administrasi. "Kami keberatan terhadap pengajuan itu, kami beralasan itu bukan aset narkotik, tapi aset negara dari tindak pidana korupsi,'' kata Basrief.
Polisi Hong Kong menyatakan akan membicarakan masalah ini terlebih dulu dengan Departemen Kehakiman mereka.
Menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, permintaan seperti yang dilakukan polisi Hong Kong memang lazim. "Ada aturan bahwa negara asal juga mendapat bagian," kata dia. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyatakan, soal seperti ini diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang melawan korupsi pada 2003.
Abdul Manan, Dian Yuliastuti, L.R. Baskoro
TEMPO Edisi 051009-032/Hal. 112 Rubrik Hukum
MULANYA sepucuk surat datang dari Swiss yang ditujukan kepada Jaksa Agung. Isinya pemberitahuan perihal adanya rekening milik seorang warga negara Indonesia yang diduga hasil korupsi dalam jumlah sangat besar. Kemudian Jaksa Agung minta agar rekening itu diblokir dan segera mengirim tim untuk mengurusnya.
Itulah sebabnya, pada 14 hingga 18 September lalu, Tim Pemburu Aset Koruptor--biasa disebut Tim Pemburu Koruptor--bergegas menuju Swiss dan Hong Kong, tempat informasi itu berasal. Dan benar, tim tersebut berhasil mendapati dua rekening koruptor Indonesia berada di dua negara tadi.
Kendati sudah menemukan tempat penyimpanan harta itu, Basrief Arief, ketua tim, belum bisa memastikan berapa jumlah uang yang ditanam di kedua bank. "Yang jelas, ada jutaan dolar AS,'' kata dia kepada Tempo.
Tim Basrief ini dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. pada 9 Desember 2004, bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia. Anggotanya diambil dari berbagai departemen.
PPATK merupakan salah satu lembaga yang memberi kontribusi besar bagi keberhasilan kerja Tim Pemburu Koruptor. Lembaga ini telah menjalin kerja sama dengan lembaga sejenis pada lebih seratus negara untuk melacak aset-aset para koruptor yang diburu tim Basrief Arief. "Dari mereka (lembaga-lembaga di luar negeri--Red.) ini pula kami tahu ada rekening atas nama-nama koruptor yang selama ini masuk daftar buron kejaksaan," kata Yunus Husen, Ketua PPATK.
Kepada Tempo, Zulkarnaen Yunus, salah seorang anggota tim, berkisah, informasi mengenai adanya rekening itu sebenarnya juga didapat dari pemerintah Australia. Negeri itu, kata Zulkarnaen, mengabarkan ada aset Hendra Rahardja, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yang ditransfer ke Hong Kong atas nama anaknya. Australia sendiri meminta aset itu dibekukan. "Australia bisa meminta pembekuan karena mereka memiliki perjanjian mutual legal assistance (bantuan timbal balik) dengan Hong Kong," kata Zulkarnaen.
Di Hong Kong, tim Basrief Arief bertemu pejabat kepolisian, kejaksaan, dan Menteri Kehakiman. Hong Kong bersedia memberikan legal advice untuk pengembalian aset Hendra Rahardja senilai US$ 9,3 juta. "Tapi, mereka meminta Indonesia menyerahkan permintaan resmi yang disesuaikan dengan sistem administrasi Hong Kong untuk melacak aset koruptor," kata Basrief.
Kedatangan ke Hong Kong sekaligus dimanfaatkan Tim Pemburu Koruptor untuk meneruskan penjajakan perjanjian timbal balik dengan negeri itu. Indonesia dan Hong Kong selama ini memang baru mengikat perjanjian ekstradisi yang ditandatangani pada 2001. Dalam perjanjian ekstradisi, yang dibicarakan adalah pengembalian orang. Ini berbeda dengan mutual legal assistance, yang juga mengatur soal hasil kejahatan serta bagaimana pengembalian aset-asetnya.
Hong Kong sudah menyampaikan draft perjanjian bantuan timbal balik itu ke Indonesia. "Kita mengharapkan dalam waktu dekat pembahasan draf itu bisa dimulai sekaligus untuk mempercepat penyerahan aset Hendra yang sudah dibekukan di sana," kata Zulkarnaen.
Dari Hong Kong, tim Basrief bertolak ke Swiss. Di negeri ini, mereka menemukan rekening atas nama dua koruptor asal Indonesia. "Rekening itu diblokir sejak Juli," kata Basrief. Salah satu rekening tersebut diduga milik Direktur Utama Bank Global Irawan Salim, yang nilainya mencapai Rp 500 miliar.
Pemerintah Swiss sendiri menyatakan akan membantu Indonesia untuk mengambil kembali aset para koruptor itu. "Mereka akan bantu kita dalam mengembalikan aset didasarkan pada prinsip hubungan baik kedua negara dan timbal balik," kata Zulkarnaen.
Kendati akan membantu, Hong Kong dan Swiss, kata Zulkarnaen, mengajukan sejumlah syarat. Polisi Hong Kong, misalnya, meminta bagian 20 persen untuk biaya administrasi. "Kami keberatan terhadap pengajuan itu, kami beralasan itu bukan aset narkotik, tapi aset negara dari tindak pidana korupsi,'' kata Basrief.
Polisi Hong Kong menyatakan akan membicarakan masalah ini terlebih dulu dengan Departemen Kehakiman mereka.
Menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, permintaan seperti yang dilakukan polisi Hong Kong memang lazim. "Ada aturan bahwa negara asal juga mendapat bagian," kata dia. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyatakan, soal seperti ini diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang melawan korupsi pada 2003.
Abdul Manan, Dian Yuliastuti, L.R. Baskoro
TEMPO Edisi 051009-032/Hal. 112 Rubrik Hukum
Comments