Jerat-jerat Baru dalam Draf Revisi KUHP

Koran Tempo,
Selasa, 05 April 2005

Muladi menolak anggapan RUU KUHP ini lebih buruk dari yang dibuat Belanda 119 tahun silam.

Dalam sebuah unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, seorang demonstran membawa gambar Presiden Megawati yang kedua matanya ditutup lakban hitam. Bagian atas gambar terdapat tulisan "Buronan Rakyat". Aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada 15 Januari 2003 itu berbuntut panjang. Iqbal, pembawa poster, ditangkap dan diseret ke pengadilan dengan tuduhan tak main-main; penghinaan terhadap kepala negara.

Di masa mendatang, mereka yang bernasib seperti Iqbal bisa bertambah panjang. Sebab, pasal-pasal yang dikenal dengan hatzaai artikelen itu tetap dipertahankan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang saat ini sedang dimasyarakatkan pemerintah. Bahkan berdasarkan studi Koalisi Pembela Pasal 28, RUU ini menyediakan banyak jerat yang bisa menyeret siapa saja ke penjara.

Berdasarkan kajian Koalisi atas RUU ini, minimal ada 49 pasal yang patut dicatat bakal mengancam kebebasan berekspresi. Pasal-pasal itu tersebar di buku dua RUU KUHP yang berisi tindak pidana. Pasal-pasal itu meliputi penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, pengkhianatan terhadap negara, pembocoran rahasia negara, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pornografi, fitnah, dan persangkaan palsu.

Koalisi menilai ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, amendemen keempat. Pasal 28E butir kedua menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Butir ketiganya menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Misbachuddin Gasma, menilai RUU ini lebih buruk dibanding KUHP buatan Belanda yang berlaku saat ini. "Selain sanksi yang disediakan lebih banyak, ancaman hukuman yang disediakan juga lebih berat," kata Misbach, yang juga anggota Koalisi Pembela Pasal 28. Pasal yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi juga lebih banyak. Di KUHP yang berlaku saat ini, ada sekitar 32 pasal. Di RUU yang dibikin oleh ahli hukum dan akademisi kita, jumlahnya sekitar 49.

Agus Sudibyo, Koordinator Lobi Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi, berpendapat, wajah KUHP baru ini tak banyak berubah dari bikinan Belanda pada 1886. "KUHP itu kan sebagai alat untuk membatasi kebebasan sipil. Revisi yang dilakukannya dan kini menjadi RUU KUHP itu justru semakin melengkapi alat negara untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat sipil," ujarnya.

Menurut Agus, selain tak sesuai dengan semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, ini juga tak sejalan dengan butir "b" dalam klausul "menimbang" RUU KUHP itu yang menyatakan, "bahwa materi hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia".

Pasal lain yang juga perlu dicermati adalah pasal penghinaan yang tertuang dalam Pasal 511 RUU KUHP. Dia khawatir banyak kasus kebebasan berekspresi dan berpendapat akan dibungkam dengan pasal pencemaran nama baik. Padahal pengertian tentang nama baik itu masih tak begitu jelas. Yang paling berpotensi untuk terjerat pasal ini adalah pers, selain akademisi dan demonstran.

Dalam soal ini, Ketua Tim Penyusun RUU KUHP, Muladi, membantah bahwa tetap masuknya pasal penghinaan terhadap kepala negara dan pembatasan atas kebebasan berekspresi bisa dijadikan indikasi tak reformisnya RUU ini. "Dalam dokumen-dokumen HAM itu, kebebasan bereksp resi itu bisa dibatasi untuk kepentingan keamanan nasional," kata Muladi.

Selain itu, kata dia, ada hal yang berbeda dalam pasal hatzaai artikelen di RUU ini dengan KUHP yang berlaku saat ini. "Kejahatan (penghinaan terhadap kepala negara) itu menjadi delik materiil," kata dia. Dengan ketentuan ini, pelaku penghinaan itu bisa dijerat jika perbuatan yang dilakukannya benar-benar membawa akibat lain, seperti menimbulkan kekacauan dan keonaran dalam masyarakat.

Pakar hukum pidana ini berpendapat, instrumen di atas merupakan salah satu pagar yang disediakan RUU ini agar pasal itu tak terlalu menakutkan. Muladi mengingatkan, masuknya pasal itu juga bentuk akomodasi terhadap berbagai kepentingan di tengah masyarakat. "Di samping pers yang menuntut (perlindungan), pemerintah dan masyarakat juga minta perlindungan," kata Muladi.

Kebebasan berekspresi adalah satu dari beberapa soal dalam RUU KUHP ini yang memancing perdebatan. Soal lain yang tak kalah serunya adalah pasal pornografi dan pornoaksi. Termasuk di dalam anggota tim. Andi Hamzah, salah satu tim penyusun KUHP, mengaku terkejut dengan adanya beberapa perubahan dan penambahan dalam pasal-pasal itu.

Pasal kesusilaan dalam RUU KUHP yang selesai dibahas pada 2004 berbeda dengan yang dibahas pada 1999-2000. Meski sama-sama 30 pasal, materinya mengalami perubahan dan penambahan. Dalam draf baru, penambahan cukup menonjol adalah pada soal pornografi dan pornoaksi. Untuk perubahan, terletak pada soal kasus kumpul kebo, yang semula delik aduan menjadi delik biasa.

Dalam draf yang lama, yang diatur dalam pasal ini antara lain soal penyiaran tulisan, benda, atau gambar yang melanggar kesusilaan; menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan; mempertunjukkan tulisan atau gambar yang membangkitkan berahi; mempertontonkan sarana pencegah kehamilan atau menggugurkan kandungan; dan perzinaan. Jika orang ingkar janji untuk menikahi, juga kena pidana.

Dalam draf yang baru, pasal-pasal itu ditambahi soal pornografi dan pornoaksi. Misal, ancaman pidana untuk orang yang membuat tulisan, suara, atau film yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu, ketelanjangan, goyang erotis, aktivitas orang berciuman bibir, atau melakukan gerakan masturbasi. Yang menyiarkan juga kena pidana.

Dalam pasal pornoaksi, yang diatur adalah soal ancaman pidana bagi orang dewasa yang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, telanjang, berciuman bibir, menari atau bergoyang erotis, melakukan masturbasi dan sejenisnya, di muka umum. Orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks juga kena pidana. Dan yang jangan lupa, penontonnya pun diancam pidana.

Menurut Andi, beberapa hal yang berubah adalah mengenai kumpul kebo atau orang yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Dalam draf yang lama, kasus semacam ini menjadi delik aduan. Namun, dalam RUU KUHP baru, menjadi delik biasa. "Padahal kan ada beberapa daerah yang menoleransi itu," kata Andi. Dia menyebut contoh Bali, Mentawai, dan Minahasa.

Muladi menampik pernyataan bahwa RUU ini lebih buruk dibanding KUHP bikinan Belanda 119 tahun lalu itu. Menurut dia, buku kesatu RUU KUHP, yang berisi ketentuan umum, menjelaskan filosofi baru dari undang-undang ini. Selain memperhatikan hak korban, tujuan dan pedoman pemidanaan lebih jelas. Buku kesatu itulah yang melandasi buku kedua, yang berisi jenis tindakan yang bisa dipidana.

Muladi menyadari adanya kontroversi di tengah masyarakat soal ini. Dia berharap agar masukan itu disampaikan saat RUU ini dibahas di DPR. Agus memberikan seruan serupa. "Harus ada tekanan publik sangat kuat agar DPR bisa mendengarkan aspirasi masyarakat soal rancangan ini," kata Agus.

Tentu saja sebelum RUU ini diketuk palu DPR. Sebelum dituangkan dalam lembaran negara. Sebelum segalanya terlambat.

Abdul Manan

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO