Berpacu Mengejar Tenggat
Pembentukan Mahkamah Konstitusi terancam gagal. Berebut jadi hakim konstitusi.
ZAINAL Arifin tampak tekun meneliti tumpukan berkas di meja kerjanya di lantai 7 Gedung Nusantara I DPR RI, Kamis pekan lalu. Tak seperti anggota DPR lainnya, yang reses sejak 9 Juli, hari-hari Zainal diisi dengan meneliti rancangan undang-undang (RUU) yang baru selesai dibahas Sabtu dua pekan lalu. "Saya sedang membereskan draf yang akan dibahas Selasa," kata Ketua Panitia Kerja RUU Mahkamah Konstitusi itu.
Dibantu lima tim ahli DPR, Arifin ngebut merampungkan draf RUU ini sebelum dibahas panitia kerja pada 29 Juli. Esoknya, draf akan dibawa ke sidang panitia khusus, sebelum disahkan dalam rapat paripurna luar biasa DPR, 31 Juli. Kerja ekspres ini untuk mengejar tenggat pembentukan Mahkamah Konstitusi, pada 17 Agustus, seperti diamanatkan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi ini memang barang baru. Kewenangannya tergolong istimewa. Selain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara, menyelesaikan sengketa pemilihan umum, dan membubarkan partai politik, ia juga meneliti kesahihan impeachment. Kewenangan terakhir inilah yang memancing gaung paling keras.
Menurut pakar hukum tata negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, ini buah trauma pelengseran Abdurrahman Wahid dalam Sidang Istimewa MPR 2001. Draf Pasal 29 RUU ini mensyaratkan DPR mengajukan permohonan dan bukti yang menguatkan bahwa presiden dan wakil presiden diduga melanggar hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, melakukan tindakan tercela, serta tindak pidana berat lainnya. Setelah Mahkamah Konstitusi menjatuhkan vonis, barulah DPR bisa membawanya ke MPR untuk menuntut pemberhentian presiden.
Mahkamah Konstitusi mengontrol proses impeachment itu lewat mekanisme hukum, walaupun akhirnya MPR tak selalu harus memberhentikan presiden. Otomatis, kata Jimly, jika impeachment terjadi saat Mahkamah Konstitusi belum terbentuk, jalannya akan mengikuti mekanisme politik biasa. Seperti DPR membawa Abdurrahman ke sidang istimewa.
Tak hanya itu, secara tak langsung pemerintah dan DPR juga membuat preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan. Sebab, pasal lain dalam UUD pun pelaksanaannya dapat ditawar. "Ini jelas merusak sistem ketatanegaraan kita," kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Keterlambatan ini murni keteledoran. Dalam setahun ini, DPR merampungkan berbagai undang-undang politik, seperti UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta UU Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut Zainal Arifin, untuk undang-undang itu memang tak ada deadline khusus. DPR memacu pembahasannya karena ada kebutuhan agar Komisi Pemilihan Umum segera bekerja.
Seretnya pembahasan RUU ini juga akibat banyaknya orang yang ingin jadi hakim konstitusi. Karena itu, kata Arifin, pembahasan yang cukup alot adalah klausul sarjana hukum sebagai syarat hakim konstitusi. Pasal ini macet di panitia khusus, panitia kerja, dan tim perumus. Akhirnya, pasal 16 ayat (1) b ini pun harus diambil kata akhirnya pada 29 Juli.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, Jumat pekan lalu malah mengancam akan menyatakan deadlock jika nonsarjana hukum bisa jadi hakim konstitusi. "Tapi barangkali itu yang diinginkannya," kata A.M. Luthfie, anggota panitia khusus dari Fraksi Reformasi, kepada Tjandra Dewi dari Tempo News Room. Apalagi sebelumnya pemerintah menilai agenda pembahasan ini cukup berat, sehingga terlalu singkat jika harus dipaksakan sesuai dengan tenggat. Tak mengherankan jika daftar inventaris masalah pemerintah atas RUU usul DPR ini sampai 355 buah.
Tapi Ketua Panitia Khusus RUU Mahkamah Konstitusi, Zain Badjeber, optimistis masalah ini bisa selesai. Setelah disahkan pada 31 Juli, katanya, seleksi hakim konstitusi bisa dilakukan sampai terpenuhi sembilan hakim; masing-masing tiga dari Presiden, MA, dan DPR. Jimly juga menilai, dua minggu masih cukup bagi pemerintah dan DPR menyelesaikan tugasnya. "Ini soal kemauan politik saja," katanya.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 030803-022/Hal. 34 Rubrik Nasional
Dibantu lima tim ahli DPR, Arifin ngebut merampungkan draf RUU ini sebelum dibahas panitia kerja pada 29 Juli. Esoknya, draf akan dibawa ke sidang panitia khusus, sebelum disahkan dalam rapat paripurna luar biasa DPR, 31 Juli. Kerja ekspres ini untuk mengejar tenggat pembentukan Mahkamah Konstitusi, pada 17 Agustus, seperti diamanatkan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi ini memang barang baru. Kewenangannya tergolong istimewa. Selain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara, menyelesaikan sengketa pemilihan umum, dan membubarkan partai politik, ia juga meneliti kesahihan impeachment. Kewenangan terakhir inilah yang memancing gaung paling keras.
Menurut pakar hukum tata negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, ini buah trauma pelengseran Abdurrahman Wahid dalam Sidang Istimewa MPR 2001. Draf Pasal 29 RUU ini mensyaratkan DPR mengajukan permohonan dan bukti yang menguatkan bahwa presiden dan wakil presiden diduga melanggar hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, melakukan tindakan tercela, serta tindak pidana berat lainnya. Setelah Mahkamah Konstitusi menjatuhkan vonis, barulah DPR bisa membawanya ke MPR untuk menuntut pemberhentian presiden.
Mahkamah Konstitusi mengontrol proses impeachment itu lewat mekanisme hukum, walaupun akhirnya MPR tak selalu harus memberhentikan presiden. Otomatis, kata Jimly, jika impeachment terjadi saat Mahkamah Konstitusi belum terbentuk, jalannya akan mengikuti mekanisme politik biasa. Seperti DPR membawa Abdurrahman ke sidang istimewa.
Tak hanya itu, secara tak langsung pemerintah dan DPR juga membuat preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan. Sebab, pasal lain dalam UUD pun pelaksanaannya dapat ditawar. "Ini jelas merusak sistem ketatanegaraan kita," kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Keterlambatan ini murni keteledoran. Dalam setahun ini, DPR merampungkan berbagai undang-undang politik, seperti UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta UU Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut Zainal Arifin, untuk undang-undang itu memang tak ada deadline khusus. DPR memacu pembahasannya karena ada kebutuhan agar Komisi Pemilihan Umum segera bekerja.
Seretnya pembahasan RUU ini juga akibat banyaknya orang yang ingin jadi hakim konstitusi. Karena itu, kata Arifin, pembahasan yang cukup alot adalah klausul sarjana hukum sebagai syarat hakim konstitusi. Pasal ini macet di panitia khusus, panitia kerja, dan tim perumus. Akhirnya, pasal 16 ayat (1) b ini pun harus diambil kata akhirnya pada 29 Juli.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, Jumat pekan lalu malah mengancam akan menyatakan deadlock jika nonsarjana hukum bisa jadi hakim konstitusi. "Tapi barangkali itu yang diinginkannya," kata A.M. Luthfie, anggota panitia khusus dari Fraksi Reformasi, kepada Tjandra Dewi dari Tempo News Room. Apalagi sebelumnya pemerintah menilai agenda pembahasan ini cukup berat, sehingga terlalu singkat jika harus dipaksakan sesuai dengan tenggat. Tak mengherankan jika daftar inventaris masalah pemerintah atas RUU usul DPR ini sampai 355 buah.
Tapi Ketua Panitia Khusus RUU Mahkamah Konstitusi, Zain Badjeber, optimistis masalah ini bisa selesai. Setelah disahkan pada 31 Juli, katanya, seleksi hakim konstitusi bisa dilakukan sampai terpenuhi sembilan hakim; masing-masing tiga dari Presiden, MA, dan DPR. Jimly juga menilai, dua minggu masih cukup bagi pemerintah dan DPR menyelesaikan tugasnya. "Ini soal kemauan politik saja," katanya.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 030803-022/Hal. 34 Rubrik Nasional
Comments