Teka-teki Kuburan Massal
Kuburan massal ditemukan di beberapa tempat di Aceh. Pelaku pembunuhannya belum jelas.
SEKOP itu perlahan diayunkan. Bongkah demi bongkah tanah di semak-semak Desa Guci, Kecamatan Permata, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, terbongkar. Tapi penggalian mendadak terhenti ketika ujung sekop menyodok benda keras. Tukang gali dan para penyaksi bersitatap. Ketika penggalian diteruskan dengan lebih hati-hati, dari balik bongkahan tanah menyembul tengkorak, tulang kaki, paha, tangan, rusuk, dan pinggul manusia. Alhasil, dari lubang seluas 3 x 2 meter itu ditemukan 18 kerangka manusia yang diduga korban pembunuhan massal.
Di Permata, setelah penggalian rampung, setidaknya ditemukan 26 kerangka manusia. Selain di Guci, didapat delapan kerangka di Desa Seni Antara, Kampung Wehnipasee. Menurut Camat Permata, Rasyid, mungkin saja masih ada kuburan massal lain di daerah itu. Sebab, hingga kini, ada sekitar 315 warganya yang masih hilang. "Mereka kebanyakan diculik dari rumah atau hilang dalam perjalanan," katanya.
Kuburan massal tersebut ditemukan tak sengaja. Mei silam, Jarnidan, 44 tahun, warga Burnipasee, melihat gundukan tanah saat melintas di satu tempat. Ia kaget, dari gundukan itu tersembul tulang. Ia pun segera melapor ke polisi. Pembongkaran pun dilakukan, Jumat dua pekan lalu, disaksikan aparat kepolisian, dinas kesehatan, dan TNI dari Yon Kostrad 431.
Saat tanah digali, beberapa sisa pakaian masih melekat atau membungkus tulang. Juga ditemukan kopiah, celana dalam, dan sarung, serta beberapa utas tali plastik.
Sudah lima tahun Jarnidan menjadi keuchik (kepala desa) di Burnipasee. Dia yakin pelaku pembunuhannya Gerakan Aceh Merdeka, saat mereka masih berkuasa di desanya, 2001 lalu. "Kebanyakan korban digorok batang lehernya dan tangannya diikat ke belakang," ujarnya.
Informasi pembunuhan ini didengarnya sendiri dari mulut anggota GAM. Ceritanya, dulu dia kerap dipanggil memijati mereka. Dalam obrolan ringan di tengah pijatan, beberapa anggota GAM tanpa sengaja bercerita tentang pembantaian warga sekitar Burnipasee, yang mayatnya dikubur dalam satu lubang di Guci.
Saat itu, Jarnidan tak dapat berbuat banyak. Dia hanya berusaha mengingat ancar-ancar lokasi kuburannya. Baru setelah Nanggroe Aceh Darussalam didaruratmiliterkan dan aparat keamanan berdatangan, dia berani melacak lokasinya.
Guci terletak sekitar 25 kilometer dari Buntul, ibu kota Kecamatan Permata, dan 75 kilometer dari ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, Takengon. Kuburan massalnya berada di sisi kiri Jalan Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh). Dibangun pertengahan 1980-an, jalan ini menghubungkan Aceh Tengah dengan Aceh Utara.
Jarnidan mengaku pernah bertemu dengan Muzakkir Manaf di daerah ini--sebelum Muzakkir menggantikan Teungku Abdullah Sjafi'i (almarhum) sebagai Panglima Tertinggi GAM. Muzakkir, yang pernah menetap sekitar tiga bulan di sana, sempat beberapa kali menikmati pijatan Jarnidan.
Guci, seluas 12 hektare, kini desa mati. Tiada rumah tersisa di sana. "Ini memang dulu desa orang GAM," Jarnidan mengingatkan. Setelah perjanjian damai batal, beberapa rumah di sana dibakar massa. Penghuninya, rata-rata anggota GAM, lari ke hutan.
Saksi Syaifudin, 39 tahun, warga Desa Buntul Kemumu, Permata, menduga di antara tulang-belulang itu terdapat kerangka kerabatnya bernama Rahmadi, 33 tahun. Warga transmigran dari Jawa ini hilang saat di akhir 2002 pergi ke pasar Takengon lewat Jalan Simpang KKA. Sekembali dari pasar, Rahmadi mengantarkan istrinya ke rumah orang tuanya--lalu hilang. Ia dikabarkan ditangkap GAM dan dibawa ke Guci.
Sekitar 20 kilometer ke utara terdapat kuburan massal kedua. Tepatnya di Desa Seni Antara, Wehnipasee, Permata. Sulit mencapai lokasi ini karena harus melewati jalan setapak yang menurun tajam dan banyak belukar berdurinya. Nah, setelah menuruni lereng bukit, terdapat sebuah gubuk panggung seluas 3 x 5 meter yang berdinding papan dan beratap rumbia. "Di sinilah mereka kerap menginterogasi warga yang ditangkap," kata Jarnidan.
Kuburan itu berjarak 50 meter dari gubuk tersebut. Jalan ke sana dikelilingi ilalang setinggi rumah. Genangan air selutut harus dilewati sebelum sampai ke sebuah lapangan kecil di tengah rawa. Jarnidan menemukan gubuk tadi saat bersama beberapa warga memberanikan diri ke tempat interogasi itu, tiga bulan lalu. Tercium bau busuk yang menyengat.
Di tengah bau menyengat itu, warga, petugas dinas kesehatan, dan aparat mencoba membongkar tanah kuburan. Hanya dalam tiga menit, kepala manusia tersembul dari baliknya. Malah beberapa serpihan daging membusuk masih menempel di beberapa bagian tulang, terutama di sekitar tulang pinggul. Lima kepala manusia ditemukan utuh di antara tulang-tulang berserakan. Beberapa sobekan pakaian juga dijumpai bersama tali plastik. Di dalam lubang 1 x 2 meter ini terdapat delapan kerangka menusia.
Warga meyakini masih ada beberapa kuburan massal lain di sekitar sana. Sumardi, transmigran asal Jawa yang menjadi petani kopi, mengaku sempat melihat beberapa warga diikat tangannya dan dibawa ke bukit Desa Kemp. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari kuburan di Desa Seni Antara.
Kapten Zulfanus Karo Karo, komandan kompi Yon Kostrad 431, menguatkan dugaan itu. Pada akhir 2002, 100 warga Desa Istiqamah-Kemp, Permata, dibawa GAM. Saat perjanjian damai, dalam pertemuan GAM, TNI, dan pejabat pemerintah, GAM menuntut pemerintah daerah setempat membangun markas mereka di Desa Istiqamah-Kemp. Imbalannya, semua warga yang ditawan akan dilepas.
Pemerintah daerah setuju. Bahan bangunan pun diangkut ke Kemp, berikut bahan makanan. Kesepakatan ini berantakan setelah perjanjian damai gagal. Anggota GAM lari ke hutan dan 100 warga desa itu tak diketahui rimbanya. "Maka tidak tertutup kemungkinan masih banyak kuburan massal di Aceh Tengah, terutama di Permata," kata Zulfanus.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, laporan kuburan massal di Aceh sudah diterima TNI sejak tiga tahun lalu. Berbekal laporan itu, TNI menginvestigasi sejumlah tempat yang dicurigai di Aceh Barat dan Aceh Tengah. "Korbannya dari masyarakat sipil dan pelakunya GAM," kata Sjafrie. Korban terbanyak kaum transmigran.
Tapi juru bicara militer GAM Sofjan Daud membantah tudingan itu. "Yang membunuh TNI dan yang menggali TNI sendiri," katanya. Dia curiga, pembongkaran oleh TNI seperti di Aceh Tengah itu untuk menghilangkan barang bukti. "Mestinya pembongkaran itu dilakukan kelompok independen, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan lembaga swadaya masyarakat," kata dia.
Pembongkaran dua kuburan tersebut memang disesalkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Dalam pernyataan sikapnya Jumat pekan lalu, Kontras menilai pembongkaran dapat dilihat sebagai tindakan merusak barang bukti kejahatan (criminal accident). "Bahkan, lebih jauh, tindakan ini telah mengarah pada upaya menghalangi proses hukum untuk keadilan (obstruction of justice)," kata Koordinator Kontras Usman Hamid.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono menepis tudingan miring tersebut. Apa yang dilakukan TNI-Polri, katanya, sebagai respons atas laporan masyarakat karena pengaduan mereka ke organisasi-organisasi hak asasi manusia kurang ditanggapi.
Menurut dia, masyarakat pun akhirnya melapor ke pejabat setempat. Untuk membuktikan benar-tidaknya laporan tersebut, Penguasa Darurat Militer Daerah Aceh memeriksa dan membongkar kuburan massal itu dengan menyertakan wartawan. Jadi, katanya, "Sebenarnya tidak ada usaha menghilangkan barang bukti, mencegah keterbukaan dan obyektivitas, karena wartawan pun diajak ke situ," kata Yudhoyono. Saat pembongkaran Jumat dua pekan lalu, wartawan memang diajak serta.
Kontroversi kuburan massal ini akan terus berlangsung. Sebab, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun turun dan mendapatkan informasi bahwa ada tiga titik kuburan di Aceh Utara dan Bireuen. "Setelah pengecekan ke lapangan, kami menerima informasi yang sangat positif bahwa ada mayat yang dikuburkan secara tidak wajar. Saya tidak menggunakan istilah kuburan massal," kata Ketua Tim Ad Hoc Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M.M. Billah, setelah beberapa hari di Aceh.
Lokasi kuburan itu sudah diidentifikasi, di sebuah kolam yang sudah ditimbun, di sebuah sumur, dan di hutan. Informasinya berasal dari seorang saksi yang menemukan kuburan itu saat bersama 90 warga mencari orang hilang. Ternyata orang yang dicari ditemukan dan menunjukkan sebuah kolam yang menjadi tempat penguburan beberapa mayat. Mereka sempat menggali sekitar 20-25 sentimeter dan melihat adanya punggung mayat yang sudah agak rusak. Penggalian itu tidak diteruskan karena warga takut.
Billah mengungkapkan, timnya belum sempat mengecek lokasi kuburan di Bireuen karena sulitnya medan. Letak kuburan-kuburan itu 3-25 kilometer dari jalan raya Banda Aceh-Medan. Timnya akan segera melakukan verifikasi atas informasi tersebut. Pelakunya? Belum diketahui, kata Billah.
Abdul Manan, Cahyo Junaedy, Bernarda Rurit (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 030713-019/Hal. 38 Rubrik Nasional
SEKOP itu perlahan diayunkan. Bongkah demi bongkah tanah di semak-semak Desa Guci, Kecamatan Permata, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, terbongkar. Tapi penggalian mendadak terhenti ketika ujung sekop menyodok benda keras. Tukang gali dan para penyaksi bersitatap. Ketika penggalian diteruskan dengan lebih hati-hati, dari balik bongkahan tanah menyembul tengkorak, tulang kaki, paha, tangan, rusuk, dan pinggul manusia. Alhasil, dari lubang seluas 3 x 2 meter itu ditemukan 18 kerangka manusia yang diduga korban pembunuhan massal.
Di Permata, setelah penggalian rampung, setidaknya ditemukan 26 kerangka manusia. Selain di Guci, didapat delapan kerangka di Desa Seni Antara, Kampung Wehnipasee. Menurut Camat Permata, Rasyid, mungkin saja masih ada kuburan massal lain di daerah itu. Sebab, hingga kini, ada sekitar 315 warganya yang masih hilang. "Mereka kebanyakan diculik dari rumah atau hilang dalam perjalanan," katanya.
Kuburan massal tersebut ditemukan tak sengaja. Mei silam, Jarnidan, 44 tahun, warga Burnipasee, melihat gundukan tanah saat melintas di satu tempat. Ia kaget, dari gundukan itu tersembul tulang. Ia pun segera melapor ke polisi. Pembongkaran pun dilakukan, Jumat dua pekan lalu, disaksikan aparat kepolisian, dinas kesehatan, dan TNI dari Yon Kostrad 431.
Saat tanah digali, beberapa sisa pakaian masih melekat atau membungkus tulang. Juga ditemukan kopiah, celana dalam, dan sarung, serta beberapa utas tali plastik.
Sudah lima tahun Jarnidan menjadi keuchik (kepala desa) di Burnipasee. Dia yakin pelaku pembunuhannya Gerakan Aceh Merdeka, saat mereka masih berkuasa di desanya, 2001 lalu. "Kebanyakan korban digorok batang lehernya dan tangannya diikat ke belakang," ujarnya.
Informasi pembunuhan ini didengarnya sendiri dari mulut anggota GAM. Ceritanya, dulu dia kerap dipanggil memijati mereka. Dalam obrolan ringan di tengah pijatan, beberapa anggota GAM tanpa sengaja bercerita tentang pembantaian warga sekitar Burnipasee, yang mayatnya dikubur dalam satu lubang di Guci.
Saat itu, Jarnidan tak dapat berbuat banyak. Dia hanya berusaha mengingat ancar-ancar lokasi kuburannya. Baru setelah Nanggroe Aceh Darussalam didaruratmiliterkan dan aparat keamanan berdatangan, dia berani melacak lokasinya.
Guci terletak sekitar 25 kilometer dari Buntul, ibu kota Kecamatan Permata, dan 75 kilometer dari ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, Takengon. Kuburan massalnya berada di sisi kiri Jalan Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh). Dibangun pertengahan 1980-an, jalan ini menghubungkan Aceh Tengah dengan Aceh Utara.
Jarnidan mengaku pernah bertemu dengan Muzakkir Manaf di daerah ini--sebelum Muzakkir menggantikan Teungku Abdullah Sjafi'i (almarhum) sebagai Panglima Tertinggi GAM. Muzakkir, yang pernah menetap sekitar tiga bulan di sana, sempat beberapa kali menikmati pijatan Jarnidan.
Guci, seluas 12 hektare, kini desa mati. Tiada rumah tersisa di sana. "Ini memang dulu desa orang GAM," Jarnidan mengingatkan. Setelah perjanjian damai batal, beberapa rumah di sana dibakar massa. Penghuninya, rata-rata anggota GAM, lari ke hutan.
Saksi Syaifudin, 39 tahun, warga Desa Buntul Kemumu, Permata, menduga di antara tulang-belulang itu terdapat kerangka kerabatnya bernama Rahmadi, 33 tahun. Warga transmigran dari Jawa ini hilang saat di akhir 2002 pergi ke pasar Takengon lewat Jalan Simpang KKA. Sekembali dari pasar, Rahmadi mengantarkan istrinya ke rumah orang tuanya--lalu hilang. Ia dikabarkan ditangkap GAM dan dibawa ke Guci.
Sekitar 20 kilometer ke utara terdapat kuburan massal kedua. Tepatnya di Desa Seni Antara, Wehnipasee, Permata. Sulit mencapai lokasi ini karena harus melewati jalan setapak yang menurun tajam dan banyak belukar berdurinya. Nah, setelah menuruni lereng bukit, terdapat sebuah gubuk panggung seluas 3 x 5 meter yang berdinding papan dan beratap rumbia. "Di sinilah mereka kerap menginterogasi warga yang ditangkap," kata Jarnidan.
Kuburan itu berjarak 50 meter dari gubuk tersebut. Jalan ke sana dikelilingi ilalang setinggi rumah. Genangan air selutut harus dilewati sebelum sampai ke sebuah lapangan kecil di tengah rawa. Jarnidan menemukan gubuk tadi saat bersama beberapa warga memberanikan diri ke tempat interogasi itu, tiga bulan lalu. Tercium bau busuk yang menyengat.
Di tengah bau menyengat itu, warga, petugas dinas kesehatan, dan aparat mencoba membongkar tanah kuburan. Hanya dalam tiga menit, kepala manusia tersembul dari baliknya. Malah beberapa serpihan daging membusuk masih menempel di beberapa bagian tulang, terutama di sekitar tulang pinggul. Lima kepala manusia ditemukan utuh di antara tulang-tulang berserakan. Beberapa sobekan pakaian juga dijumpai bersama tali plastik. Di dalam lubang 1 x 2 meter ini terdapat delapan kerangka menusia.
Warga meyakini masih ada beberapa kuburan massal lain di sekitar sana. Sumardi, transmigran asal Jawa yang menjadi petani kopi, mengaku sempat melihat beberapa warga diikat tangannya dan dibawa ke bukit Desa Kemp. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari kuburan di Desa Seni Antara.
Kapten Zulfanus Karo Karo, komandan kompi Yon Kostrad 431, menguatkan dugaan itu. Pada akhir 2002, 100 warga Desa Istiqamah-Kemp, Permata, dibawa GAM. Saat perjanjian damai, dalam pertemuan GAM, TNI, dan pejabat pemerintah, GAM menuntut pemerintah daerah setempat membangun markas mereka di Desa Istiqamah-Kemp. Imbalannya, semua warga yang ditawan akan dilepas.
Pemerintah daerah setuju. Bahan bangunan pun diangkut ke Kemp, berikut bahan makanan. Kesepakatan ini berantakan setelah perjanjian damai gagal. Anggota GAM lari ke hutan dan 100 warga desa itu tak diketahui rimbanya. "Maka tidak tertutup kemungkinan masih banyak kuburan massal di Aceh Tengah, terutama di Permata," kata Zulfanus.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, laporan kuburan massal di Aceh sudah diterima TNI sejak tiga tahun lalu. Berbekal laporan itu, TNI menginvestigasi sejumlah tempat yang dicurigai di Aceh Barat dan Aceh Tengah. "Korbannya dari masyarakat sipil dan pelakunya GAM," kata Sjafrie. Korban terbanyak kaum transmigran.
Tapi juru bicara militer GAM Sofjan Daud membantah tudingan itu. "Yang membunuh TNI dan yang menggali TNI sendiri," katanya. Dia curiga, pembongkaran oleh TNI seperti di Aceh Tengah itu untuk menghilangkan barang bukti. "Mestinya pembongkaran itu dilakukan kelompok independen, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan lembaga swadaya masyarakat," kata dia.
Pembongkaran dua kuburan tersebut memang disesalkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Dalam pernyataan sikapnya Jumat pekan lalu, Kontras menilai pembongkaran dapat dilihat sebagai tindakan merusak barang bukti kejahatan (criminal accident). "Bahkan, lebih jauh, tindakan ini telah mengarah pada upaya menghalangi proses hukum untuk keadilan (obstruction of justice)," kata Koordinator Kontras Usman Hamid.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono menepis tudingan miring tersebut. Apa yang dilakukan TNI-Polri, katanya, sebagai respons atas laporan masyarakat karena pengaduan mereka ke organisasi-organisasi hak asasi manusia kurang ditanggapi.
Menurut dia, masyarakat pun akhirnya melapor ke pejabat setempat. Untuk membuktikan benar-tidaknya laporan tersebut, Penguasa Darurat Militer Daerah Aceh memeriksa dan membongkar kuburan massal itu dengan menyertakan wartawan. Jadi, katanya, "Sebenarnya tidak ada usaha menghilangkan barang bukti, mencegah keterbukaan dan obyektivitas, karena wartawan pun diajak ke situ," kata Yudhoyono. Saat pembongkaran Jumat dua pekan lalu, wartawan memang diajak serta.
Kontroversi kuburan massal ini akan terus berlangsung. Sebab, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun turun dan mendapatkan informasi bahwa ada tiga titik kuburan di Aceh Utara dan Bireuen. "Setelah pengecekan ke lapangan, kami menerima informasi yang sangat positif bahwa ada mayat yang dikuburkan secara tidak wajar. Saya tidak menggunakan istilah kuburan massal," kata Ketua Tim Ad Hoc Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M.M. Billah, setelah beberapa hari di Aceh.
Lokasi kuburan itu sudah diidentifikasi, di sebuah kolam yang sudah ditimbun, di sebuah sumur, dan di hutan. Informasinya berasal dari seorang saksi yang menemukan kuburan itu saat bersama 90 warga mencari orang hilang. Ternyata orang yang dicari ditemukan dan menunjukkan sebuah kolam yang menjadi tempat penguburan beberapa mayat. Mereka sempat menggali sekitar 20-25 sentimeter dan melihat adanya punggung mayat yang sudah agak rusak. Penggalian itu tidak diteruskan karena warga takut.
Billah mengungkapkan, timnya belum sempat mengecek lokasi kuburan di Bireuen karena sulitnya medan. Letak kuburan-kuburan itu 3-25 kilometer dari jalan raya Banda Aceh-Medan. Timnya akan segera melakukan verifikasi atas informasi tersebut. Pelakunya? Belum diketahui, kata Billah.
Abdul Manan, Cahyo Junaedy, Bernarda Rurit (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 030713-019/Hal. 38 Rubrik Nasional
Comments