Mahalnya Ongkos Menuju RI-1
UNTUK pertama kalinya dalam sejarah republik ini, presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat di 32 provinsi, Juni 2004. Tak kurang dari Rp 70 miliar dana harus disiapkan setiap calon presiden agar namanya dicoblos saat pemilih berada di bilik pencoblosan.
Angka sebesar itu memang taksiran. Kalkulasi dana yang diperlukan untuk kampanye presiden dan wakil presiden ini menggunakan patokan perhitungan anggaran kampanye pada Pemilu 1999 lalu yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat Center fo Electoral Reform (Cetro).
Lembaga ini memperkirakan, hampir tidak mungkin tiap calon melakukan kampanye ke seantero nusantara. Pemilihan umum untuk legislatif sekitar April. Kampanye pemilihan presiden kemungkinan mulai Mei sampai pemilihannya digelar Juni. Jika tidak ada perubahan jadwal yang signifikan, praktis waktu kampanye yang tersedia cuma satu bulan.
Direktur Eksekutif Cetro, Smita Notosusanto, berpendapat bahwa sempitnya waktu yang tersedia bisa diatasi dengan kampanye maraton. Dalam sehari, bisa saja calon presiden berkampanye di dua provinsi. Atau, reli kampanye di separuh jumlah provinsi, tapi kompensasinya adalah dengan pasang iklan besar-besaran di media massa. Dia menduga, cara terakhir inilah yang bakal banyak dilirik calon presiden.
Data yang dimiliki Cetro menunjukkan, anggaran kampanye 12 partai politik lewat media massa pada Pemilu 1999 sekitar Rp 23 miliar. Satu partai ada yang membelanjakan Rp 7,1 miliar. Partai yang membeli jam tayang sampai di atas Rp 1 miliar adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Republik, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Sekali lagi, ini hanya kampanye di media massa.
Setiap calon tentu juga butuh dukungan staf operasional sehari-hari untuk mengendalikan jalannya kampanye. Jika diasumsikan calon itu harus bekerja profesional, dengan memiliki satu kantor pusat di Jakarta dan ada perwakilan di 32 provinsi dan 340 kabupaten atau kota, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 3,1 miliar. Jumlah ini dengan asumsi sekretariat itu disewa untuk satu bulan, lengkap dengan staf dan berbagai keperluan kantor lainnya.
Sedangkan anggaran untuk satu kali kampanye keliling, dari Jakarta sampai ke berbagai daerah, sekitar Rp 62,7 miliar. Dana sebesar itu untuk keperluan bendera, kaus, bus transportasi, dan atribut kampanye lainnya. Sedangkan transportasi yang dibutuhkan oleh calon beserta timnya yang akan melakukan kampanye ke 32 provinsi bisa mencapai Rp 1,2 miliar. Itu dengan asumsi satu kali perjalanan dengan membawa rombongan 12 orang. Nah, jika ditotal, jumlah dana yang dibutuhkan sekitar Rp 74 miliar.
Menurut Smita, jumlah itu sebenarnya bukan angka maksimal. Sebab, ada beberapa komponen yang tidak dihitung, antara lain soal akomodasi saat kampanye. Selain itu, kenyataannya, uang yang keluar memang bisa tidak sebesar itu. Bisa saja ongkos untuk beriklan di media massa lebih sedikit jika calon punya media sendiri atau ada kerja sama atau diberi diskon. Begitu juga dengan anggaran untuk sekretariat. Bisa saja pos dana untuk ini lebih sedikit jika markas yang dipakai dipinjami kolega sang calon. Atau, dana kampanye bisa merosot jika berbagai atribut kampanye hasil swadaya masyarakat.
Bagi Cetro, bantuan seperti ini patut dipertanyakan. Sebab, hingga sekarang belum ada aturan yang menyatakan bahwa semua bantuan harus dihitung sebagai sumbangan. "Celah inilah yang bisa dijadikan lubang jarum untuk mengakali agar tak terjerat pelanggaran batas maksimum pemberian sumbangan," kata Smita. Jika dihitung sebagai sumbangan, dia akan terkena aturan di Pasal 23 yang menyebutkan, sumbangan perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 50 juta, dan badan hukum swasta tak boleh lebih dari Rp 500 juta.
Besarnya dana ini akan menjadi seleksi alamiah bagi siapa saja yang ingin maju menuju kursi presiden. Smita menilai, yang berpotensi melakukan kampanye dengan anggaran dana sebesar itu adalah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Yang satu partai penguasa, sedangkan satunya bekas partai penguasa. Cuma, aktivis Jaringan Universitas untuk Pemilu yang Bebas dan Adil (University Network for Free and Fair Elections) ini mengkhawatirkan nasib badan usaha nilik negara dan daerah. Sebab, aset pemerintah itu bisa dijadikan sapi perah untuk memuluskan calon yang maju dalam pemilihan.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 030406-005/Hal. 30 Rubrik Nasional
Angka sebesar itu memang taksiran. Kalkulasi dana yang diperlukan untuk kampanye presiden dan wakil presiden ini menggunakan patokan perhitungan anggaran kampanye pada Pemilu 1999 lalu yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat Center fo Electoral Reform (Cetro).
Lembaga ini memperkirakan, hampir tidak mungkin tiap calon melakukan kampanye ke seantero nusantara. Pemilihan umum untuk legislatif sekitar April. Kampanye pemilihan presiden kemungkinan mulai Mei sampai pemilihannya digelar Juni. Jika tidak ada perubahan jadwal yang signifikan, praktis waktu kampanye yang tersedia cuma satu bulan.
Direktur Eksekutif Cetro, Smita Notosusanto, berpendapat bahwa sempitnya waktu yang tersedia bisa diatasi dengan kampanye maraton. Dalam sehari, bisa saja calon presiden berkampanye di dua provinsi. Atau, reli kampanye di separuh jumlah provinsi, tapi kompensasinya adalah dengan pasang iklan besar-besaran di media massa. Dia menduga, cara terakhir inilah yang bakal banyak dilirik calon presiden.
Data yang dimiliki Cetro menunjukkan, anggaran kampanye 12 partai politik lewat media massa pada Pemilu 1999 sekitar Rp 23 miliar. Satu partai ada yang membelanjakan Rp 7,1 miliar. Partai yang membeli jam tayang sampai di atas Rp 1 miliar adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Republik, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Sekali lagi, ini hanya kampanye di media massa.
Setiap calon tentu juga butuh dukungan staf operasional sehari-hari untuk mengendalikan jalannya kampanye. Jika diasumsikan calon itu harus bekerja profesional, dengan memiliki satu kantor pusat di Jakarta dan ada perwakilan di 32 provinsi dan 340 kabupaten atau kota, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 3,1 miliar. Jumlah ini dengan asumsi sekretariat itu disewa untuk satu bulan, lengkap dengan staf dan berbagai keperluan kantor lainnya.
Sedangkan anggaran untuk satu kali kampanye keliling, dari Jakarta sampai ke berbagai daerah, sekitar Rp 62,7 miliar. Dana sebesar itu untuk keperluan bendera, kaus, bus transportasi, dan atribut kampanye lainnya. Sedangkan transportasi yang dibutuhkan oleh calon beserta timnya yang akan melakukan kampanye ke 32 provinsi bisa mencapai Rp 1,2 miliar. Itu dengan asumsi satu kali perjalanan dengan membawa rombongan 12 orang. Nah, jika ditotal, jumlah dana yang dibutuhkan sekitar Rp 74 miliar.
Menurut Smita, jumlah itu sebenarnya bukan angka maksimal. Sebab, ada beberapa komponen yang tidak dihitung, antara lain soal akomodasi saat kampanye. Selain itu, kenyataannya, uang yang keluar memang bisa tidak sebesar itu. Bisa saja ongkos untuk beriklan di media massa lebih sedikit jika calon punya media sendiri atau ada kerja sama atau diberi diskon. Begitu juga dengan anggaran untuk sekretariat. Bisa saja pos dana untuk ini lebih sedikit jika markas yang dipakai dipinjami kolega sang calon. Atau, dana kampanye bisa merosot jika berbagai atribut kampanye hasil swadaya masyarakat.
Bagi Cetro, bantuan seperti ini patut dipertanyakan. Sebab, hingga sekarang belum ada aturan yang menyatakan bahwa semua bantuan harus dihitung sebagai sumbangan. "Celah inilah yang bisa dijadikan lubang jarum untuk mengakali agar tak terjerat pelanggaran batas maksimum pemberian sumbangan," kata Smita. Jika dihitung sebagai sumbangan, dia akan terkena aturan di Pasal 23 yang menyebutkan, sumbangan perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 50 juta, dan badan hukum swasta tak boleh lebih dari Rp 500 juta.
Besarnya dana ini akan menjadi seleksi alamiah bagi siapa saja yang ingin maju menuju kursi presiden. Smita menilai, yang berpotensi melakukan kampanye dengan anggaran dana sebesar itu adalah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Yang satu partai penguasa, sedangkan satunya bekas partai penguasa. Cuma, aktivis Jaringan Universitas untuk Pemilu yang Bebas dan Adil (University Network for Free and Fair Elections) ini mengkhawatirkan nasib badan usaha nilik negara dan daerah. Sebab, aset pemerintah itu bisa dijadikan sapi perah untuk memuluskan calon yang maju dalam pemilihan.
Abdul Manan
TEMPO Edisi 030406-005/Hal. 30 Rubrik Nasional
Comments