Perwira Berlumur Darah?
BAUCAU, 150 kilometer ke arah timur dari ibu kota Provinsi Timor Timur, Dili. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri berkumpul di sebuah hutan di pinggiran kota. Hari itu, 18 Agustus 1999, Forcas Armados de Libertacao Nacional de Timor Leste (Falintil), tentara pembebasan Timor Timur, mengumpulkan wartawan dalam sebuah konferensi pers untuk merayakan hari ulang tahun mereka yang ke-24. Mata seluruh dunia menatap ke tempat itu.
Luput dari pengamatan juru warta, pada hari yang sama, pesawat khusus yang membawa rombongan Presiden B.J. Habibie mendarat di Bandar Udara Comoro, Dili. Ikut bersama Presiden: Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Panglima Daerah Militer Udayana Mayjen Adam Rachmat Damiri, dan sejumlah perwira lainnya. Sore harinya, rombongan dari Jakarta itu bertemu dengan sekitar 150 komandan milisi pro-otonomi di Gedung Dharma Wanita Dili.
Seorang anggota milisi Tim-Tim pro-integrasi yang hadir dalam pertemuan tersebut memberikan kesaksian penting. Pemerintah Jakarta melalui Presiden Habibie ketika itu memberikan komando. Ia meminta agar para pentolan milisi "mengambil sikap" jika kelompok pro-otonomi kalah dalam jajak pendapat 30 Agustus 1999. "Jika kita kalah, tidak boleh ada sebuah batu pun yang ditinggalkan," kata sumber itu menirukan Presiden. Artinya? "Tim-Tim harus dibumihanguskan," kata sumber itu lagi. Jenderal Wiranto berdiri tegak dengan sikap sempurna mendengarkan pernyataan Habibie tersebut.
Menjelang malam, Presiden dan rombongan pulang ke Jakarta. Perintah itu menjadi pegangan para pentolan milisi pro-integrasi. "Tak boleh ada satu batu pun yang ditinggalkan di Dili, jelas itu adalah perintah," kata Kepala Staf Pasukan Pejuang Integrasi, Hermenio da Costa, kepada TEMPO di Media Center Dili, 25 Agustus 1999.
Pejabat Jakarta merestui pembunuhan massal yang terjadi di Loro Sa'e pada 1999 lalu? Begitulah kesimpulan Serious Crime Unit (SCU), lembaga PBB yang bertugas membantu pemerintah Timor Leste mengungkap aksi kejahatan kemanusiaan di Tim-Tim. Dalam surat dakwaannya, mereka menyimpulkan, para jenderal bertanggung jawab atas terjadinya 280 pembunuhan dalam 40 insiden yang menewaskan ribuan korban selama tahun 1999.
Tapi kisah perintah Presiden itu tak muncul dari berkas dakwaan SCU. Kisah tadi dihimpun dari kesaksian sejumlah anggota milisi. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia menyebutkan, keterlibatan para jenderal diperkuat oleh dokumen Jhoni Lumintang, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. "Dokumen itu memang satu alinea, tapi perintahnya jelas. Ambil tindakan preventif, koorsif, represif, dan tarik mundur pasukan," kata Munir, salah seorang anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di rumah Presiden Habibie di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, kata sumber tokoh milisi tadi, Presiden sekali lagi menegaskan soal "sikap" yang mesti diambil jika pro-otonomi kalah.
Tak aneh kalau mantan Wakil Komandan Milisi Batalyon Mati Hidup untuk Indonesia (Mahidi), Nemecio Lopes de Carvalho, menyatakan bahwa kekerasan terjadi karena ada perintah dari pusat. "Kalau kami tidak melaksanakannya, kami akan dihabisi oleh anggota ABRI. Sebab, dalam pasukan milisi terdapat anggota ABRI yang memakai baju milisi," ujar Nemecio.
Pembentukan pasukan milisi pro-Jakarta mulai dilakukan pada 1998. Saat itu tentara Indonesia tersudut dengan pemberitaan dan kecaman akibat kekerasan yang dilakukan sejak peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991. Setelah itu, milisi tumbuh bak cendawan di musim hujan. Selain Mahidi, ada kelompok Besi Merah Putih dan sejumlah pasukan lain.
Menurut SCU, milisi sipil itulah yang menjadi ujung tombak kekerasan. Dalam peristiwa penyerangan di Gereja Liquisa, 6 April 1999--menurut dokumen SCU--milisi dibeking oleh Pangdam Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri. Saat itu Adam mengirim perintah melalui telegram kepada Komandan Resor Militer Wiradharma Kolonel Suhartono Suratman agar TNI dan Polri memberikan dukungan kepada kelompok pro-integrasi yang menyerang gereja. Adam Damiri juga dituding terlibat peristiwa penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April 1998, di Dili. Ia juga dianggap tidak mencegah terjadinya kerusuhan pada 5-6 September 1999 di Dioses Dili dan Suai tak lama setelah hasil jajak pendapat diumumkan.
Tono Suratman membantah dirinya terlibat peristiwa di Liquisa dan Dili itu. Menurut Tono, saat terjadi peristiwa penyerangan gereja di Liquisa, ia berada di Manatuto. "Saya mendapatkan laporan dari Wakil Komandan melalui radio panggil saat kerusuhan berkecamuk. Pemicu kerusuhan adalah tembakan yang berasal dari dalam gereja," kata Tono dalam bukunya, Untuk Negaraku: Sebuah
Potret Perjuangan di Timor Timur.
Tono juga tak tahu-menahu tentang kerusuhan di rumah Manuel Viegas Carrascalao. Saat itu, ia mengaku sedang menerima duta besar dan perutusan Uni Eropa di rumah Panglima Kodam. "Saya juga mendapat laporan dari Komandan Kodim lewat radio panggil tentang kerusuhan itu," ujarnya lagi. Tono juga membantah seluruh dakwaan yang ditimpakan kepada dirinya di pengadilan ad hoc hak asasi manusia. "Kami berusaha menenangkan massa dan mengendalikan situasi agar kerusuhan tidak berlanjut." Di pengadilan, Adam Damiri, melalui kuasa hukumnya, Kolonel CHK Setiawan, membantah semua tudingan jaksa.
Apa "dosa" Jenderal Wiranto? Ia didakwa menelurkan kebijakan untuk membangun kerja sama dengan milisi pro-Jakarta. Menteri Pertahanan dan Keamanan itu dituduh menyalurkan dana melalui Gubernur Abilio OsUrio Soares untuk membeli senjata dan membiayai pelatihan dan perlengkapan milisi pro-Indonesia. "Dana itu selanjutnya disalurkan ke kelompok milisi untuk mendukung dan membiayai operasi mereka," kata Jaksa Stuart Alford dari SCU kepada wartawan.
Jaksa Alford mengaku tak punya bukti tentang keterlibatan langsung Wiranto dalam pembentukan milisi. "Kami tak punya bukti yang menunjukkan bahwa ia berkata atau memerintahkan langsung pembentukan milisi. Tapi dia punya otoritas komando terhadap semua personel TNI yang ada di Timor Leste pada 1999," kata Alford.
Padahal Wiranto berkali-kali diberi tahu pers, anggota komunitas internasional, dan pemimpin Timor Leste bahwa kelompok milisi yang tengah melakukan kejahatan berada di bawah komando TNI. "Tapi Wiranto membiarkan mereka melakukan kejahatan tanpa mendapatkan hukuman," ujar Alford.
Dasar tudingan terhadap Wiranto adalah preseden komando pertanggungjawaban di negara lain. Dalam kasus pengadilan kejahatan perang terhadap bekas pemimpin Serbia, Slobodan Milosevic, di Den Haag, Belanda, ia dianggap bersalah karena membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan. Hal yang sama terjadi pada kasus pembunuhan massal di Rwanda. Jadi, "Para pejabat militer yang melakukan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste berada di bawah tanggung jawab Wiranto sebagai Panglima TNI," kata Alford.
Tapi Wiranto membantah semua tuduhan itu. "Saya berani bersumpah, tidak pernah terpikir, berkeinginan, merencanakan, apalagi memerintahkan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan pengusiran. Saya justru melakukan berbagai upaya pencegahan," katanya dalam jumpa wartawan di Hotel Crown, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Soal aliran dana tak disanggah Wiranto. Ia mengaku telah menerima dana Rp 10 miliar dari kas Bulog pada 31 Mei dan 5 September 1999. Tapi ia membantah jika disebutkan uang itu dipakai untuk membiayai milisi. "Dana itu digunakan untuk menunjang keamanan secara umum, termasuk pengamanan Pemilihan Umum 1999 dan bukan khusus untuk Timor Timur," katanya dalam persidangan kasus Bulog.
Bagaimana dengan keterlibatan Presiden Habibie? SCU tak melangkah sejauh itu. Bekas Menteri Luar Negeri Ali Alatas, yang aktif terlibat dalam pengambilan keputusan atas Tim-Tim, meragukan Presiden mengambil tindakan gegabah dengan membentengi milisi sipil. "Saya kira itu hanya mungkin dilakukan oleh oknum-oknum dalam tubuh TNI," katanya.
Keraguan yang sama disampaikan Dewi Fortuna Anwar, bekas juru bicara Habibie. "Tidak ada rencana untuk membumihanguskan Tim-Tim. Saya lihat (pembunuhan) itu lebih merupakan kegagalan di lapangan ketimbang sesuatu yang dikontrol dari pusat," katanya. Habibie, yang kini bermukim di Jerman, tak bisa dimintai konfirmasi.
Diakui atau tidak, rusuh massa 1999 telah terjadi. Tragedi itulah yang akan dikorek badan PBB di Timor Leste--sesuatu yang kini mati-matian ditolak pemerintah Indonesia.
Ahmad Taufik, Abdul Manan, Alexander Axiss dan Titi Irawati (Dili), Jeffriantho (Kupang)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 26 Rubrik Nasional
Luput dari pengamatan juru warta, pada hari yang sama, pesawat khusus yang membawa rombongan Presiden B.J. Habibie mendarat di Bandar Udara Comoro, Dili. Ikut bersama Presiden: Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Panglima Daerah Militer Udayana Mayjen Adam Rachmat Damiri, dan sejumlah perwira lainnya. Sore harinya, rombongan dari Jakarta itu bertemu dengan sekitar 150 komandan milisi pro-otonomi di Gedung Dharma Wanita Dili.
Seorang anggota milisi Tim-Tim pro-integrasi yang hadir dalam pertemuan tersebut memberikan kesaksian penting. Pemerintah Jakarta melalui Presiden Habibie ketika itu memberikan komando. Ia meminta agar para pentolan milisi "mengambil sikap" jika kelompok pro-otonomi kalah dalam jajak pendapat 30 Agustus 1999. "Jika kita kalah, tidak boleh ada sebuah batu pun yang ditinggalkan," kata sumber itu menirukan Presiden. Artinya? "Tim-Tim harus dibumihanguskan," kata sumber itu lagi. Jenderal Wiranto berdiri tegak dengan sikap sempurna mendengarkan pernyataan Habibie tersebut.
Menjelang malam, Presiden dan rombongan pulang ke Jakarta. Perintah itu menjadi pegangan para pentolan milisi pro-integrasi. "Tak boleh ada satu batu pun yang ditinggalkan di Dili, jelas itu adalah perintah," kata Kepala Staf Pasukan Pejuang Integrasi, Hermenio da Costa, kepada TEMPO di Media Center Dili, 25 Agustus 1999.
Pejabat Jakarta merestui pembunuhan massal yang terjadi di Loro Sa'e pada 1999 lalu? Begitulah kesimpulan Serious Crime Unit (SCU), lembaga PBB yang bertugas membantu pemerintah Timor Leste mengungkap aksi kejahatan kemanusiaan di Tim-Tim. Dalam surat dakwaannya, mereka menyimpulkan, para jenderal bertanggung jawab atas terjadinya 280 pembunuhan dalam 40 insiden yang menewaskan ribuan korban selama tahun 1999.
Tapi kisah perintah Presiden itu tak muncul dari berkas dakwaan SCU. Kisah tadi dihimpun dari kesaksian sejumlah anggota milisi. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia menyebutkan, keterlibatan para jenderal diperkuat oleh dokumen Jhoni Lumintang, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. "Dokumen itu memang satu alinea, tapi perintahnya jelas. Ambil tindakan preventif, koorsif, represif, dan tarik mundur pasukan," kata Munir, salah seorang anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di rumah Presiden Habibie di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, kata sumber tokoh milisi tadi, Presiden sekali lagi menegaskan soal "sikap" yang mesti diambil jika pro-otonomi kalah.
Tak aneh kalau mantan Wakil Komandan Milisi Batalyon Mati Hidup untuk Indonesia (Mahidi), Nemecio Lopes de Carvalho, menyatakan bahwa kekerasan terjadi karena ada perintah dari pusat. "Kalau kami tidak melaksanakannya, kami akan dihabisi oleh anggota ABRI. Sebab, dalam pasukan milisi terdapat anggota ABRI yang memakai baju milisi," ujar Nemecio.
Pembentukan pasukan milisi pro-Jakarta mulai dilakukan pada 1998. Saat itu tentara Indonesia tersudut dengan pemberitaan dan kecaman akibat kekerasan yang dilakukan sejak peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991. Setelah itu, milisi tumbuh bak cendawan di musim hujan. Selain Mahidi, ada kelompok Besi Merah Putih dan sejumlah pasukan lain.
Menurut SCU, milisi sipil itulah yang menjadi ujung tombak kekerasan. Dalam peristiwa penyerangan di Gereja Liquisa, 6 April 1999--menurut dokumen SCU--milisi dibeking oleh Pangdam Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri. Saat itu Adam mengirim perintah melalui telegram kepada Komandan Resor Militer Wiradharma Kolonel Suhartono Suratman agar TNI dan Polri memberikan dukungan kepada kelompok pro-integrasi yang menyerang gereja. Adam Damiri juga dituding terlibat peristiwa penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April 1998, di Dili. Ia juga dianggap tidak mencegah terjadinya kerusuhan pada 5-6 September 1999 di Dioses Dili dan Suai tak lama setelah hasil jajak pendapat diumumkan.
Tono Suratman membantah dirinya terlibat peristiwa di Liquisa dan Dili itu. Menurut Tono, saat terjadi peristiwa penyerangan gereja di Liquisa, ia berada di Manatuto. "Saya mendapatkan laporan dari Wakil Komandan melalui radio panggil saat kerusuhan berkecamuk. Pemicu kerusuhan adalah tembakan yang berasal dari dalam gereja," kata Tono dalam bukunya, Untuk Negaraku: Sebuah
Potret Perjuangan di Timor Timur.
Tono juga tak tahu-menahu tentang kerusuhan di rumah Manuel Viegas Carrascalao. Saat itu, ia mengaku sedang menerima duta besar dan perutusan Uni Eropa di rumah Panglima Kodam. "Saya juga mendapat laporan dari Komandan Kodim lewat radio panggil tentang kerusuhan itu," ujarnya lagi. Tono juga membantah seluruh dakwaan yang ditimpakan kepada dirinya di pengadilan ad hoc hak asasi manusia. "Kami berusaha menenangkan massa dan mengendalikan situasi agar kerusuhan tidak berlanjut." Di pengadilan, Adam Damiri, melalui kuasa hukumnya, Kolonel CHK Setiawan, membantah semua tudingan jaksa.
Apa "dosa" Jenderal Wiranto? Ia didakwa menelurkan kebijakan untuk membangun kerja sama dengan milisi pro-Jakarta. Menteri Pertahanan dan Keamanan itu dituduh menyalurkan dana melalui Gubernur Abilio OsUrio Soares untuk membeli senjata dan membiayai pelatihan dan perlengkapan milisi pro-Indonesia. "Dana itu selanjutnya disalurkan ke kelompok milisi untuk mendukung dan membiayai operasi mereka," kata Jaksa Stuart Alford dari SCU kepada wartawan.
Jaksa Alford mengaku tak punya bukti tentang keterlibatan langsung Wiranto dalam pembentukan milisi. "Kami tak punya bukti yang menunjukkan bahwa ia berkata atau memerintahkan langsung pembentukan milisi. Tapi dia punya otoritas komando terhadap semua personel TNI yang ada di Timor Leste pada 1999," kata Alford.
Padahal Wiranto berkali-kali diberi tahu pers, anggota komunitas internasional, dan pemimpin Timor Leste bahwa kelompok milisi yang tengah melakukan kejahatan berada di bawah komando TNI. "Tapi Wiranto membiarkan mereka melakukan kejahatan tanpa mendapatkan hukuman," ujar Alford.
Dasar tudingan terhadap Wiranto adalah preseden komando pertanggungjawaban di negara lain. Dalam kasus pengadilan kejahatan perang terhadap bekas pemimpin Serbia, Slobodan Milosevic, di Den Haag, Belanda, ia dianggap bersalah karena membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan. Hal yang sama terjadi pada kasus pembunuhan massal di Rwanda. Jadi, "Para pejabat militer yang melakukan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste berada di bawah tanggung jawab Wiranto sebagai Panglima TNI," kata Alford.
Tapi Wiranto membantah semua tuduhan itu. "Saya berani bersumpah, tidak pernah terpikir, berkeinginan, merencanakan, apalagi memerintahkan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan pengusiran. Saya justru melakukan berbagai upaya pencegahan," katanya dalam jumpa wartawan di Hotel Crown, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Soal aliran dana tak disanggah Wiranto. Ia mengaku telah menerima dana Rp 10 miliar dari kas Bulog pada 31 Mei dan 5 September 1999. Tapi ia membantah jika disebutkan uang itu dipakai untuk membiayai milisi. "Dana itu digunakan untuk menunjang keamanan secara umum, termasuk pengamanan Pemilihan Umum 1999 dan bukan khusus untuk Timor Timur," katanya dalam persidangan kasus Bulog.
Bagaimana dengan keterlibatan Presiden Habibie? SCU tak melangkah sejauh itu. Bekas Menteri Luar Negeri Ali Alatas, yang aktif terlibat dalam pengambilan keputusan atas Tim-Tim, meragukan Presiden mengambil tindakan gegabah dengan membentengi milisi sipil. "Saya kira itu hanya mungkin dilakukan oleh oknum-oknum dalam tubuh TNI," katanya.
Keraguan yang sama disampaikan Dewi Fortuna Anwar, bekas juru bicara Habibie. "Tidak ada rencana untuk membumihanguskan Tim-Tim. Saya lihat (pembunuhan) itu lebih merupakan kegagalan di lapangan ketimbang sesuatu yang dikontrol dari pusat," katanya. Habibie, yang kini bermukim di Jerman, tak bisa dimintai konfirmasi.
Diakui atau tidak, rusuh massa 1999 telah terjadi. Tragedi itulah yang akan dikorek badan PBB di Timor Leste--sesuatu yang kini mati-matian ditolak pemerintah Indonesia.
Ahmad Taufik, Abdul Manan, Alexander Axiss dan Titi Irawati (Dili), Jeffriantho (Kupang)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 26 Rubrik Nasional
Comments