Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO
Oleh: Ahmad Taufik, Wartawan Majalah TEMPO
Prolog
Peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Maret 2003, telah menodai kemanusiaan dan kehidupan yang beradab di negeri ini. Sekelompok orang dengan uang yang dimilikinya mengerahkan massa, menteror dan berbuat sewenang-wenang. Aparat keamanan (polisi) juga tidak berdaya, dan dipermalukan di depan masyarakat (minimal saksi mata dan saksi korban).
Apa yang akan saya ceritakan disini adalah kronologi penyerbuan yang tak beradab dan penyelesaian akhir yang terputus. Saya sebagai saksi mata, saksi pelaku sekaligus saksi korban (yang mendengar, melihat dan merasakan kejadian). Saya akan klasifikasikan secara terbuka dalam laporan ini: apa itu informasi, yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, analisa atau kesimpulan. Soal kata akhir terserah masing-masing pihak yang tersangkut disini, karena saya tidak bisa terima dan sekaligus tertekan secara psikis.
Inilah laporan lengkapnya:
Rabu, 5 Maret 2003
Saya ditelepon oleh Desmon J.Mahesa, kuasa hukum Tomy Winata. Ia mengatakan bosnya, Tomy Winata, tak senang dengan tulisan saya di TEMPO edisi Senin, 3 Maret 2003, berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dia tanya, "Apakah tulisan itu dibuat BHM (Bambang Harymurti)? BHM itu, kan bekas anak tentara, yang membenci Tomy Winata, Artha Graha, karena AG diback-up Edy Sudrajat."
Saya bilang, "Pada saat tulisan itu jadi BHM sedang berada di luar negeri, di sini kami bekerja dalam sebuah tim kolektif."
Desmon lalu bilang, "Akan mengirim surat ke TEMPO." Saya katakan "silakan saja." Ia mengatakan, "Saya kulonuwun dulu, karena ada senior di sini (TEMPO, maksudnya saya, sebagai aktivis dulunya) untuk mengirim surat atas permintaan bos/kliennya."
Saya sempat memberi tahu kepada atasan saya di kompartemen nasional, dan beberapa kawan, serta BHM soal rencana Tomy melalui Desmon J. Mahesa akan mengirim surat ke TEMPO.
Jum'at, 7 Maret 2003
Desmon kembali, menelepon saya, bahwa ia sudah mengirimkan surat somasi ke TEMPO. Lo, saya kaget juga. Somasi? Saya pikir surat yang dimaksud Desmon adalah surat bantahan. Saya tanya kapan dikirim? "Sudah siang ini," jawabnya. "OK, saya cek," jawab saya. Baru saya turun ke lantai dua, Wakil Pemimpin Redaksi Toriq Hadad memanggil saya, bahwa ada surat somasi dari Tomy Winata yang baru diterimanya. Saya diminta foto copy untuk mempelajarinya, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk bukti-bukti bila kasus tersebut berlanjut ke pengadilan.
Saya berdiskusi dengan atasan saya di kompartemen nasional. Atasan saya bilang "cobalah rayu Desmon dulu, mungkin bisa diselesaikan dengan cara lain."
Kawan saya dari kompartemen lain, Karaniya Dharmasaputra penanggung jawab kompartemen Ekbis & Investigasi, juga berusaha menghubungi seorang sumbernya yang merupakan kawan dekat Tomy Winata. Katanya akan diatur pertemuan dengan Tomy Winata pada Hari Senin, 10 Maret, mungkin caranya dengan memberikan wawancara khusus kepada Tomy yang lebih Konprehensif seputar isi berita sebelumnya.
Saya menelepon Desmon, soal somasi itu. Dia mengatakan akan memberikan konprensi pers di Restoran Sari Kuring, kompleks SCBD, Sabtu, 8 Maret 2003, pukul 11.00 siang. Aku menawarkan kenapa dia tidak mengajukan dulu surat bantahan (yang saya janjikan akan bisa dimuat untuk terbitan mendatang), "jadi somasinya enak."
Tapi Desmon bilang, "kliennya minta somasi bukan surat bantahan. Lagi pula bantahannya kan sudah termuat dalam berita itu," kata Desmon.
Kalau sudah ketetapannya begitu, saya bilang OK-lah. Bahkan Desmon sempat bilang kirim orang ya ke konprensi pers itu. Saya mengiyakan.
Sabtu, 8 Maret
Sekitar pukul 10.00 saya sedang menghadiri undangan acara penikahan yang juga dihadiri Wakil Presiden Hamzah Haz di daerah Condet, Jakarta Timur. Saya ditelepon seseorang teman seprofesi. "Eh, Tomy marah besar sama TEMPO soal berita Tanah Abang itu."
"O ya terima kasih," kata saya dan menceritakan soal somasi dan konprensi pers Desmon, hari ini (Sabtu/11/03). Telepon terputus. Tak lama kemudian sekretaris redaksi menelepon, "Pik, tolong ke kantor segera, di sini belum ada orang. Polisi sudah banyak di depan katanya, orang-orang Tomy Winata akan mendemo kantor TEMPO."
Acara pernikahan belum seluruhnya selesai, saya langsung pulang setelah mencicipi sedikit nasi kebuli. Saya berjalan kaki mencari taksi di Jln. raya Condet, sunguh sulit, jalan macet. Akhirnya setelah berjalan kaki 15 menit, saya melihat taksi Blue bird kosong, saya memberi tanda ia untuk memutar arah.
Saya akhirnya naik taksi itu sampai ke kantor, memang polisi sudah ada 2 truk, sedang bersiap-siap di dalam pagar TEMPO untuk pengamanan. Saya ke lantai 3 untuk mengecek e-mail, sambil beberapa kali melihat ke jendela dari atas ke bawah lapangan parkir. 15 menit kemudian, saya lihat sekelompok orang (mungkin masih 100-an orang) bertampang sangar menggoyang-goyangkan pagar gerbang TEMPO. Mereka juga berteriak-teriak, Tutup majalah TEMPO, Cabut Izinnya, bakar, tangkap dll. Saya berbekal foto copy surat kuasa Tomy Winata dan somasi yang dikirimkan Desmon, menuju ke bawah, saya berada di belakang polisi sambil melihat-lihat aksi itu, saya merasa masih biasa-biasa saja, walapun mereka bertampang sangar dan teriak-teriak. Saya bilang kepada salah seorang polisi (kalau saya lihat saya ingat orang itu), "Saya minta perwakilan 2 atau 5 orang untuk masuk ke kantor kami."
Namun, polisi tersebut mengatakan, "Sudah, bapak ke depan saja, beri penjelasan kepada mereka."
Akhirnya dengan baca bismilllah, saya ke depan, saya berpikir akan aman, toh polisi sudah lebih banyak dari mereka (namun saya baru sadar belakangan semua polisi berada di balik pagar, di dalam halaman kantor TEMPO). Di depan massa, saya berkata, "Saya sekarang yang sedang bertanggung jawab di kantor ini, saya akan memberi penjelasan," kata saya sambil membawa kertas surat kuasa Tomy dan Somasi Desmon. Namun yang terjadi saya ditarik-tarik, ada 4 orang menarik-narik saya ke arah tengah-tengah massa, seorang lagi yang berada di dekat pagar menarik kerah baju saya (orangnya kurus gondrong, dan terus ada sampai di kantor Polres). Saya ditarik-tarik, tanpa ada yang menolong, di depan pagar yang ada polisi, saya bilang, "Buka, buka tolong selamatkan saya." Tapi pagar tidak dibuka (mungkin polisi punya alasan lain, takut massa masuk juga).
Saya sungguh ketakutan, peci putih saya pinjaman ipar saya yang saya kenakan sejak acara pernikahan melayang dari kepala saya, entah siapa yang mengambilnya. Saya melihat pintu kecil di pinggir gerbang terbuka, jaraknya hanya 1,5 meter dari tempat saya ditarik-tarik. Saya berontak dari massa dan kabur terseok-seok (Alhamdulillah berkat tangan Allah padahal saat ditarik-tarik saya sudah hopeless). Jari tangan saya berdarah terluka, entah kena apa? Sampai di dalam gerbang karena terjatuh, dua orang polisi dengan tongkatnya dari kerumunan itu berusaha akan menggebuk saya, tongkat sudah diayunkan, tapi hanya jarak dekat tongkat itu tertahan, seorang atau lebih kawannya saya dengar mengingatkan eeee, itu bukan. Lalu polisi yang akan menggebuk saya, secara sekilas minta maaf, "Maaf ya, saya kira demonstran," katanya.
Saya sudah tak mendengar lagi, karena pikiran saya sudah mulai kalut. Saya ingat beberapa kawan TEMPO hanya melihat dari kaca di lantai 3 dan beberapa lainnya dari dalam pagar.
Lalu saya minta kepada seorang polisi, yang lain (bukan yang menyuruh saya ke depan massa), saya minta perwakilan mereka 2 sampai 5 orang saja, saya akan menerima mereka, mendengarkan keluhan yang akan disampaikan dan memberi penjelasan. Saya lalu membawa mereka ke lantai 3, bahkan seseorang di antaranya (belakangan saya tahu bernama Guntur Medan), mengatakan wah capeknya nih naik tangga. Saya bilang ya, berbeda dengan kantor Tomy Winata yang naik lift itu. Saya bawa ke ruang rapat lantai 3 yang sialnya masih terkunci, tapi belum 2 menit, ruangan itu sudah dibuka oleh pegawai TEMPO. Saya sempat basa-basi menawarkan minum air, teh atau kopi, tapi mereka bilang tak perlu. Saya bingung, demontran yang datang bukan dua sampai 5 seperti yang saya minta, tapi belasan orang, saya lihat polisi (saya ingat tampangnya) menyuruh mereka masuk.
Saya Tanya siapa saja mereka kok, banyak, saya berpikir kawatir kantor ini diacak-acak, atau ada barang-barang yang hilang maklum kantor sepi dan tak jelas siapa yang datang masuk ke kantor. "O,o mereka wartawan," jawab polisi itu. Ternyata yang berada di dalam ruang rapat belasan orang adalah para pendukung demo itu, ada beberapa polisi, saya di temani Abdul Manan, yang duduk di sebelah kiri saya, seorang bagian umum TEMPO, belakangan saya lihat ada seorang lagi dari TEMPO Bahasa Inggris. Beberapa kawan TEMPO lain tampak berada di luar ruang rapat.
Saya minta apa keluhan mereka. Saya mengenalkan nama saya, dan kebenaran saat itu saya bilang saya yang bertanggung jawab, karena yang lain sedang tidak ada, karena hari Sabtu. Seorang (yang belakangan bernama Yosep, menggertak tidak ada orang atau sengaja diliburkan karena tahu kami akan datang?) Saya bilang sekarang Hari Sabtu, yang masuk hanya yang piket saja, dan orang yang belum selesai tulisannya. Akhirnya debat yang tak perlu itu putus. Seorang yang bernama Teddy Uban (tangan kanan Tomy Winata), lelaki berambut putih berbicara nyerocos, marah-marah. Bahwa TEMPO menulis hal yang tidak benar, akibat tulisan itu kantor Bank Artha Graha di Jln.Jayakarta dilempari telor, "Pak Tomy juga diteror, bahkan Hari Senin, sejumlah pedagang korban kebakaran Pasar Tanah Abang akan menyerbu kantor Arta Graha di Jln. Jendral Sudirman. "Kalau nggak percaya gua telepon Kapolda nih, mau?" kata Teddy.
"Ya, silakan saja," kataku. Dia tampak berusaha menelepon, saya nggak tahu apakah benar menelepon Kapolda itu atau cuma gertakan. "Beliau sedang acara acara nggak bisa diganggu," kata Teddy. Sejumlah orang pengikut Tomy, di dalam ruang rapat berteriak-teriak mengompori, sahut menyahut, bagi saya itu biasa terjadi, dalam rapat-rapat. Sudah cukup, saya bilang, "Saya akan menjelaskan persoalannya." saya katakan, "Saya sudah terima somasi dari Pak Tomy melalui pengacaranya Desmon, bahkan hari ini kabarnya akan ada konprensi pers, kami terima keluhan anda, kami juga sedang berusaha menemui Pak Tomy, rencananya hari Senin, sekarang kabarnya Pak Tomy sedang berada di Kendari. Saya terima keluhan anda."
Belum selesai saya omong Teddy sudah menyahut kembali, "kamu kan penulisnya, kami minta siapa sumber Anda, hayo sebutkan sekarang, tunjukkan kalau Anda katakan Anda akan aman, akan kami amankan." Saya bilang, "ada prosesnya seperti yang sudah ada dalam somasi ini," kata saya menunjukkan somasi, "apa pun ada prosedurnya, orang bersalah juga tidak langsung dimasukkan ke penjara, tapi ke polisi dulu diproses, ke kejaksaan lalu ke pengadilan baru masuk ke penjara."
"Ah, lu wartawan taik semua, lu nulis begitu UUD, ujung-ujungnya duit, abis nulis lu dekati bos gua minta duit, taik lu, " kata Teddy sambil jalan-jalan di seberang meja, tak lagi duduk.
"Eh... Anda jangan begitu ini penghinaan, mana buktinya, TEMPO tidak seperti yang Anda sebutkan," kata saya.
"Eeee lu ngomong bolak balik bisa aja," katanya emosi sambil mengambil tisu kotak kayu dan dilemparkan ke kepala saya, saya tangkis, rupanya kena kawan saya Abdul Manan yang berada di sebelah kiri saya, kena pas di tengah antara mata, dan hidung, luka berdarah, seorang bagian umum mengambil betadin dan mengelapkan betadine ke luka itu, tangan saya yang luka bertambah berdarah, setelah menangkis itu, dan sambil menjulurkan jari tanda minta diberi betadine juga.
"Lo, kok dikantor saya main kekerasan begitu," kata saya kepada polisi yang berdiri di sebelah kanan saya, yang diam saja. Saya langsung menelepon BHM, "Udah deh kalau begitu saya telepon atasan saya." "Panggil kesini segera," kata Teddy dengan suara keras.
Seorang yang bernama Yosep menyela bicara, "Kamu tahu pimpinan kami di Kendari, berarti kamu mengkuti kemana saja bos kami pergi ya?"
Situasi tak jelas karena banyak yang omong namun yang dominan Teddy, Yosep yang menekan-nekan dan yang lain bersahut-sahutan.
Saya telepon BHM, sempat saya pada telepon pertama karena saya punya nomor yang lama. Lalu saya telepon lagi, dan bilang saya tak bisa mengatasi situasi, saya keluar ruang bertemu dengan Kapolsek Menteng. Saya tanya, "Bagaimana nih Pak Kapolsek?"
"Gimana ya selesaikan dong, kan anda yang tahu persoalannya," kata Kapolsek Menteng itu.
Lalu Teddy menelepon, "Nih sudah ada yang nulisnya, disini diapain," katanya. Tak lama kemudian lelaki putih, berbaju jeans biru naik Belakangan saya tahu bernama David alias A Miauw (juga dikenal sebagai tangan kanan Tomy Winata) ia menyerocos terus marah-marah tak jelas minta sumber berita itu supaya dihadirkan sekarang juga. Bahkan ia menyebut-nyebut soal yang berbau rasial. "Jangan mentang-mentang Tomy Winata, Cina, ya, gua cina, buka diskotek, buka judi, lalu lu tulis senaknya."
"Nggak begitu Pak David," kata saya," disini kami pluralis tak pandang suku."
"Lu banyak omong bisa aja balikin omongan orang," katanya sambil dia nyerocos saya lihat mata dia, "E, mata elu jangan melotot ngeliatin gua ngomong gua bunuh sekarang lu bisa juga," kata David emosi. Orang asal Flores, orangnya Tomy Winata mengambil bangku lipat yang ada dikantor mau di pukulkan ke wajah saya, sudah terayun, begitu juga seorang Flores lain yang memakai baju safari biru gelap didadanya tertulis bordiran PMD warna merah. Mendekati saya mau memukul. Entah kenapa tidak jadi saya dikepruk.
Karaniya (kebetulan dia juga keturunan Cina) masuk, saya bersyukur, karena David sudah menggunakan ungkapan rasial. Akhirnya Karaniya yang mengambil alih situasi. Semua penjelasan Karaniya juga tak digubris, dan David serta kembali memaki-maki, "Elu ngomong kayak berak. Gua tiup mati lu!"
Saya kini hanya lesu tertunduk loyo, sebagai manusia saya akui saya takut dan merasa tertekan waktu itu, saya cuma telepon kembali BHM, dia sudah berada di jalan kolong BNI 46, Sudirman. David sudah tak sabar meminta saya ditangkap, dibawa ke kantor polisi, "Ini sudah ada penulisnya dia yang bertanggung jawab bawa saja," kata David.
Kapolsek Menteng juga mendesak saya soal penyelesaiannya. Saya bilang, "Tunggu, pimpinan saya, Bambang harymurti, sudah tak jauh, paling lama 10 menit." Saya masuk ke dalam ruangan, David keluar ruangan menelepon entah kemana, saya mencoba mencairkan suasana. Saya peluk Yosep dan lelaki berbaju safari yang bertampang seperti kawan kita di kantor yang berasal dari NTT juga Saya bilang Anda dari mana? Dari Flores, "Wah satu tempat dengan saya, bapak saya dari Waingapu," "O, kita satu kampung, untung saya nggak jadi ngepruk kamu," kata Yosep, "Kamu kenapa ke depan massa untung kamu selamat."
Saya bilang, "Saya berani karena saya pikir yang di depan saudara saya semua asal flores jadi saya aman," kata saya. Kami mengobrol basa-basi, Yosep menekan saya, "kamu katakan saja siapa sumber kamu, ayo kamu akan aman, aku yang jamin deh, udah jangan takut," katanya sedikit merayu. Saya hanya senyum saja.
Saya keluar ruangan, tak lama kemudian BHM datang dan mengambil semua tanggung jawab berhadapan dengan preman yang tak jelas omongannya, kesana kemari membangga-banggakan diri, mengancam akan membunuh, membakar kantor ini, menjadikan Humanika kedua, bilang kantor TEMPO ini kecil dibeli sama Tomy juga bisa. Dia juga menelepon mengendalikan massa di luar untuk terus menekan.
David dengan sombong juga mengatakan, soal bom Bali, "Tahu nggak yang memberi tahu adanya bom Bali pertama kali ke Kapolri, gua, dia belum tahu gua udah tahu."
Ia juga ngomong soal kebakaran Tanah Abang. "Elu tahu apa soal kebakaran Tanah Abang. Gua tahu titik api pertama kali, kenapa pemadam kebakaran tidak bisa masuk ke pasar. Jadi, lu, jangan sok tahu soal kebakaran tanah Abang," kata David. Apa maksudnya?
Akhirnya sampai situasi, harus ke kantor polisi, agar massa di depan kantor bisa tenang. BHM minta jaminan keamanan dan barikade polisi. Bari kade malah di dalam kantor, untung di luar turun hujan. BHM tampak naik ke mobil Timor milik polisi, dan berusaha mempersiapkan tempat untuk saya berdua.
Tetapi saya ditahan David untuk tidak masuk mobil polisi, saya mulai khawatir diculik dan dibawa ke tempat lain, saya terus berpegangan erat dengan Karaniya. Mobil Land Cruiser hitam milik Arta Graha (tampak dari tanda pengenal diujung kanan dekat sopir) di dalam sudah masuk orang-orang Tomy winata yang tadi ikut menarik-narik badan saya di tengah massa di depan kantor. Karaniya menarik seorang polisi (dadan/dadang untuk ikut masuk ke dalam mobil) di mobil itu sempat bertumpuk-tumpuk. Akhirnya di bangku tengah kami berempat, sebelah kiri saya Haris Sumbi, Ambon yang tinggal di Bendungan Hilir, karena saya pernah bertemu dia beberapa kali di Retro, Hotel Crown, depan Polda Metro jaya, setelah saya ingat-ingat, ia mengiyakan ingatan saya itu. Sebelah kanan saya Karaniya, sebelah kanan nya lagi polisi Dadang tadi. Di depan David dan sopir, dibangku belakang tiga orang dari artha graha, Yosep, si gondrong kurus yang menarik-narik baju saya di depan massa dan lainnya. Akhirnya, kami dibawa pergi, dengan suara sirenenya, nguing-nguing.
Di dalam mobil, David berkata lewat telepon, "Kantor itu lu segel, nggak boleh ada seorang pun karyawan TEMPO yang keluar dari situ, sampai persoalan ini selesai, mengerti?" Katanya entah kepada siapa? Alhamdulillah ternyata kami bukan dibawa kemana-mana tapi ke kantor Polres Jakarta Pusat.
Sudah aman di kantor Polres? Nggak juga, David marah-marah kepada Yosep, "Elu tahu, gua pecat lu, dia kan orang Flores, seharusnya elu yang duluan ijak-injak dia sampai mati." Sejak saat itu tampang Yosep tak lagi bersahabat malah menekan-nekan. Dialah yang pertama kali menggebuk wajak BHM dari belakang di kantor polisi. Buk. Keras juga, sehingga kaca matanya terpental. David, Teddy, dan beberapa preman lainnya juga memaki-maki dan mendorong-dorong BHM di depan kantor Kapolres Jak-Pus.
Saya, BHM, dan Karaniya dibawa ke ruang kerja Kasat Serse Polres Jak-Pus A.R. Yoyol. Masuk ke ruangan kerja Kasat Serse sekitar 5 polisi (beberapa berpakaian preman), David, Teddy, Haris Sumbi, dan sekitar 5 orang David lainnya. David terus mengoceh, soal BHM sebagai komandan yang harus bertanggung jawab, mengancam akan membunuh. "Lu gue tembak juga deh sekarang, kalau gue di penjara dan dibunuh disini nggak takut. Mana, mintain pistol?" kata David.
Dia ngoceh terus menunjuk-nunjuk saya dan BHM. "Lu, kan, orang pintar kalau ngua kan nggak makan sekolah, SD aja gua nggak tamat, tapi gua megang tempat judi di Harco Mangga dua menghidupkan 800 orang, gua bayar mereka Rp 50 ribu tiap hari, lu bisa?"
BHM berusaha menjawab tudingan David yang tak masuk akal dan tak berdasar, dan menyebutkan cara penyelesaiannya secara prosedur yang sudah ada, beberapa polisi reserse ada di dalam ruangan itu juga beberapa orang Tomy Winata. Dari TEMPO cuma saya, BHM dan Karaniya. Lalu David emosi, dan menonjok perut BHM, menendangnya dan memukul-mukul kepalanya, "Ini saking pinternya sampe botak. Karaniya marah dan protes atas perlakuan itu, malah bogem mentah menghantam wajah sebelah kirinya. Keras juga. Saya hanya diam saja. Saya lihat apa yang dilakukan David sudah tidak wajar, menghina banyak orang termasuk polisi dan tentara. "Udahlah polisi sudah gua bayar semua, lampu disini juga gua yang beliin, gua juga ngeluarin duit buat wartawan Rp 150 juta tiap bulan ada daftarnya. Sutiyoso juga gue yang jadiin sebagai Gubernur, kalau kagak mana bisa dia jadi gubernur. Udahlah lu nggak ada ape-apenya jangan macem-macem. Udah deh persoalan ini bisa selesai kalau Ciputra udah ketemu sama bos gue Tomy Winata. Telepon dia!" kata David.
"Wah saya nggak punya teleponnya, sejak handphone saya hilang," kata BHM. "Ah lu pemimpin goblok nih gua teleponin," kata David. Dia sambungkan. "Halo ada yang mau bicara nih,'' telepon David pindah ke BHM. BHM ngomong dengan Ciputra. Tapi hanya memberitahukan persoalan saja. Kata BHM kemudian Ciputra bilang kan saya nggak ikut-ikutan urusan redaksi, "Cuma komisaris saja, anda kan yang tangani."
Situasi di ruangan Kasat Serse tak jelas. Saya, BHM, dan Karaniya tak berkutik dan tak bisa melawan. Polisi yang hadir cuma menonton tanpa berusaha mencegah semua tindakan brutal itu. Belakangan, di situ juga hadir Kasat serse Yoyol yang datang setelah penggebukan. Tapi David masih berlaku tak sopan dengan polisi, bahkan merendahkan martabatnya, namun polisi-poilisi itu menerima saja tampaknya. IRONIS, BAHKAN DI KANTOR POLISI HUKUM PUN SEPERTI TAK EKSIS.
Tak lama kemudian, David mengatakan, "Sekarang ini di luar beredar kabar Anda diculik ditangkap, tapi sebenarnya Anda kesini, kan untuk menyelasaikan persoalannya, ya," kata David menekan-nekan.
Kami diminta untuk berbicara di lain tempat untuk bersepakat dan berbicara pada pers, bahwa kami tidak ditangkap, tidak ada kekerasan, tidak ada penggebukan. Beruntung memang banyak kawan-kawan jurnalis yang ikut ke kantor Polres, sehingga, tekanan terhadap kami mulai berkurang. Sehingga di dalam ruangan data di Polres kami mengadakan konprensi pers, BHM lah yang berbicara dan seorang yang mengaku Habib Hamid Alhamid dari Ambon yang mengaku punya pengajian membawa 50 orang massa dengan 2 metro mini dan mendapat makan dari Tomy Winata.
Saat kami di dalam ruangan untuk konprensi pers, sebenarnya kami masih tertekan, karena orang-orang Tomy Winata masih banyak di dalam ruang itu dan depan ruangan konprensi pers. Jawaban-jawaban BHM terkesan diplomatis dan menghindarkan jawaban-jawaban langsung. Wajar kami sudah hopeless, di ruang kantor polisi saja orang-orang Tomy Winata bisa berbuat seenaknya. Siapa yang jamin, apa lagi kabarnya kantor masih disegel dan dijaga orang-orang Tomy Winata.
Saya lebih banyak diam dan mendengarkan pembicaraan. Kesombongan David, ancamannya dan penghinaannya terhadap profesi jurnalis dan polisi, begitu juga setelah dipindahkan ke ruang Kapolres Jakpus dan hadir Kapolres AKBP Sukrawardhi Dahlan, yang juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, Teddy Uban lalu mengontak Kapolda melalui HP-nya. Setelah tersambung, HP itu diserahkannya ke Kapolres. Kapolres terdengar bicara, "Siap, Jenderal. Siap, Jenderal" Setekah itu ia bilang ke BHM, "Wah, ini sudah jadi urusan di atas. Saat ini Kapolda sedang membicarakan nasib saya ke Kapolri". Ia lalu menguliahi kami, bahkan Kapolres cenderung mengarahkan agar TEMPO, membuat pernyataan permohonan maaf pada Tomy Winata karena berita yang telah dibuat itu fiktif. Tapi BHM tetap berkelit dan tak mau ada pernyataan itu.
Yang keluar akhirnya adalah pernyataan bersama, yang dikonsep oleh Karaniya dan Haris Sumbi (dari pihak Tomy Winata) di ruang lain. Baik David alias A Miauw dan Kapolres meminta agar TEMPO menyatakan semua kejadian dianggap selesai disana, namun berkali-kali soal permintaan maaf TEMPO diminta oleh David, Teddy, dan kapolres. Tapi BHM bertahan. Akhirnya, pernyataan bersama itulah yang keluar, yaitu akan menyerahkan persoalan itu dengan lewat jalur hukum. Di pernyataan itu, David alias A Miauw menyatakan diri sebagai YANG MEWAKILI TOMY WINATA. Kami keluar dari ruang Kapolres, bersalam-salaman (hanya basa basi), persoalan sesungguhnya masing menggantung. Kenapa kekerasan bisa terjadi, bahkan di kantor polisi? Saya sudah putus asa.
Penutup
Saya kawatir sikap kritis jurnalis akan digadaikan dengan ketakutan dan terror. Baru menghadapi seorang Tomy Winata yang punya saham di Hotel Borobudur, kelompok Artha Graha Grup, sejumlah tempat hiburan dan judi. Tekanan yang lebih besar akan terus terjadi dari orang-orang lain yang punya kekuasaan secara politik, punya uang, punya senjata, punya otorisasi menangkap, menculik, membunuh dan punya massa. Persoalan ini harus diselesaikan secara tuntas. Saya minta David, Teddy, Yosep, Hamid Al-Hamid, dkk di proses secara hukum dan adil sesuai andil yang mereka lakukan dalam terror ini. Juga Tomy Winata dimintai pertanggung-jawabannya. Kalau tidak bakal bisa terjadi pada siapapun dan institusi manapun. Situasi bisa terjadi seperti Zaman Soeharto (orde baru) atau bahkan lebih buruk lagi seperti terjadi di Kolombia, Amerika Latin, ketika mafia kartel barang-barang terlarang menguasai negeri. Saya tak tahu harus berbuat apa?
Jakarta, 10 Maret 2003, pukul 04.45 WIB
Ahmad Taufik
Wartawan MBM TEMPO
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
Catatan:
Mungkin ada yang terlewat, atau kurang jelas, bisa dikonfirmasikan kepada masing-masing pihak yang saya sebutkan dalam cerita itu di atas. Inilah yang sementara saya bisa rekam dalam waktu hampir lima jam. Diselingi minum pocari sweat, air putih dan madu, sesekali ke kamar kecil. Banyak teman-teman yang membantu dalam proses pendinginan suasana dan melepaskan tekanan sedikit semi sedikit, termasuk kawan-kawan jurnalis lainnya, saya mengucapkan terima kasih. Begitu juga simpatisan yang bergerak untuk melawan ketidakberadaban itu, baik yang lewat SMS, yang dikirimkan kepada saya dan kemana-mana, maupun yang membuat pernyataan tertulis, serta aksi-aksi nyata yang dilakukan. Saya masih tertekan secara psikis, tetapi saya dan teman-teman di TEMPO tidak takut untuk melawan. Terima kasih
Prolog
Peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Maret 2003, telah menodai kemanusiaan dan kehidupan yang beradab di negeri ini. Sekelompok orang dengan uang yang dimilikinya mengerahkan massa, menteror dan berbuat sewenang-wenang. Aparat keamanan (polisi) juga tidak berdaya, dan dipermalukan di depan masyarakat (minimal saksi mata dan saksi korban).
Apa yang akan saya ceritakan disini adalah kronologi penyerbuan yang tak beradab dan penyelesaian akhir yang terputus. Saya sebagai saksi mata, saksi pelaku sekaligus saksi korban (yang mendengar, melihat dan merasakan kejadian). Saya akan klasifikasikan secara terbuka dalam laporan ini: apa itu informasi, yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, analisa atau kesimpulan. Soal kata akhir terserah masing-masing pihak yang tersangkut disini, karena saya tidak bisa terima dan sekaligus tertekan secara psikis.
Inilah laporan lengkapnya:
Rabu, 5 Maret 2003
Saya ditelepon oleh Desmon J.Mahesa, kuasa hukum Tomy Winata. Ia mengatakan bosnya, Tomy Winata, tak senang dengan tulisan saya di TEMPO edisi Senin, 3 Maret 2003, berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dia tanya, "Apakah tulisan itu dibuat BHM (Bambang Harymurti)? BHM itu, kan bekas anak tentara, yang membenci Tomy Winata, Artha Graha, karena AG diback-up Edy Sudrajat."
Saya bilang, "Pada saat tulisan itu jadi BHM sedang berada di luar negeri, di sini kami bekerja dalam sebuah tim kolektif."
Desmon lalu bilang, "Akan mengirim surat ke TEMPO." Saya katakan "silakan saja." Ia mengatakan, "Saya kulonuwun dulu, karena ada senior di sini (TEMPO, maksudnya saya, sebagai aktivis dulunya) untuk mengirim surat atas permintaan bos/kliennya."
Saya sempat memberi tahu kepada atasan saya di kompartemen nasional, dan beberapa kawan, serta BHM soal rencana Tomy melalui Desmon J. Mahesa akan mengirim surat ke TEMPO.
Jum'at, 7 Maret 2003
Desmon kembali, menelepon saya, bahwa ia sudah mengirimkan surat somasi ke TEMPO. Lo, saya kaget juga. Somasi? Saya pikir surat yang dimaksud Desmon adalah surat bantahan. Saya tanya kapan dikirim? "Sudah siang ini," jawabnya. "OK, saya cek," jawab saya. Baru saya turun ke lantai dua, Wakil Pemimpin Redaksi Toriq Hadad memanggil saya, bahwa ada surat somasi dari Tomy Winata yang baru diterimanya. Saya diminta foto copy untuk mempelajarinya, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk bukti-bukti bila kasus tersebut berlanjut ke pengadilan.
Saya berdiskusi dengan atasan saya di kompartemen nasional. Atasan saya bilang "cobalah rayu Desmon dulu, mungkin bisa diselesaikan dengan cara lain."
Kawan saya dari kompartemen lain, Karaniya Dharmasaputra penanggung jawab kompartemen Ekbis & Investigasi, juga berusaha menghubungi seorang sumbernya yang merupakan kawan dekat Tomy Winata. Katanya akan diatur pertemuan dengan Tomy Winata pada Hari Senin, 10 Maret, mungkin caranya dengan memberikan wawancara khusus kepada Tomy yang lebih Konprehensif seputar isi berita sebelumnya.
Saya menelepon Desmon, soal somasi itu. Dia mengatakan akan memberikan konprensi pers di Restoran Sari Kuring, kompleks SCBD, Sabtu, 8 Maret 2003, pukul 11.00 siang. Aku menawarkan kenapa dia tidak mengajukan dulu surat bantahan (yang saya janjikan akan bisa dimuat untuk terbitan mendatang), "jadi somasinya enak."
Tapi Desmon bilang, "kliennya minta somasi bukan surat bantahan. Lagi pula bantahannya kan sudah termuat dalam berita itu," kata Desmon.
Kalau sudah ketetapannya begitu, saya bilang OK-lah. Bahkan Desmon sempat bilang kirim orang ya ke konprensi pers itu. Saya mengiyakan.
Sabtu, 8 Maret
Sekitar pukul 10.00 saya sedang menghadiri undangan acara penikahan yang juga dihadiri Wakil Presiden Hamzah Haz di daerah Condet, Jakarta Timur. Saya ditelepon seseorang teman seprofesi. "Eh, Tomy marah besar sama TEMPO soal berita Tanah Abang itu."
"O ya terima kasih," kata saya dan menceritakan soal somasi dan konprensi pers Desmon, hari ini (Sabtu/11/03). Telepon terputus. Tak lama kemudian sekretaris redaksi menelepon, "Pik, tolong ke kantor segera, di sini belum ada orang. Polisi sudah banyak di depan katanya, orang-orang Tomy Winata akan mendemo kantor TEMPO."
Acara pernikahan belum seluruhnya selesai, saya langsung pulang setelah mencicipi sedikit nasi kebuli. Saya berjalan kaki mencari taksi di Jln. raya Condet, sunguh sulit, jalan macet. Akhirnya setelah berjalan kaki 15 menit, saya melihat taksi Blue bird kosong, saya memberi tanda ia untuk memutar arah.
Saya akhirnya naik taksi itu sampai ke kantor, memang polisi sudah ada 2 truk, sedang bersiap-siap di dalam pagar TEMPO untuk pengamanan. Saya ke lantai 3 untuk mengecek e-mail, sambil beberapa kali melihat ke jendela dari atas ke bawah lapangan parkir. 15 menit kemudian, saya lihat sekelompok orang (mungkin masih 100-an orang) bertampang sangar menggoyang-goyangkan pagar gerbang TEMPO. Mereka juga berteriak-teriak, Tutup majalah TEMPO, Cabut Izinnya, bakar, tangkap dll. Saya berbekal foto copy surat kuasa Tomy Winata dan somasi yang dikirimkan Desmon, menuju ke bawah, saya berada di belakang polisi sambil melihat-lihat aksi itu, saya merasa masih biasa-biasa saja, walapun mereka bertampang sangar dan teriak-teriak. Saya bilang kepada salah seorang polisi (kalau saya lihat saya ingat orang itu), "Saya minta perwakilan 2 atau 5 orang untuk masuk ke kantor kami."
Namun, polisi tersebut mengatakan, "Sudah, bapak ke depan saja, beri penjelasan kepada mereka."
Akhirnya dengan baca bismilllah, saya ke depan, saya berpikir akan aman, toh polisi sudah lebih banyak dari mereka (namun saya baru sadar belakangan semua polisi berada di balik pagar, di dalam halaman kantor TEMPO). Di depan massa, saya berkata, "Saya sekarang yang sedang bertanggung jawab di kantor ini, saya akan memberi penjelasan," kata saya sambil membawa kertas surat kuasa Tomy dan Somasi Desmon. Namun yang terjadi saya ditarik-tarik, ada 4 orang menarik-narik saya ke arah tengah-tengah massa, seorang lagi yang berada di dekat pagar menarik kerah baju saya (orangnya kurus gondrong, dan terus ada sampai di kantor Polres). Saya ditarik-tarik, tanpa ada yang menolong, di depan pagar yang ada polisi, saya bilang, "Buka, buka tolong selamatkan saya." Tapi pagar tidak dibuka (mungkin polisi punya alasan lain, takut massa masuk juga).
Saya sungguh ketakutan, peci putih saya pinjaman ipar saya yang saya kenakan sejak acara pernikahan melayang dari kepala saya, entah siapa yang mengambilnya. Saya melihat pintu kecil di pinggir gerbang terbuka, jaraknya hanya 1,5 meter dari tempat saya ditarik-tarik. Saya berontak dari massa dan kabur terseok-seok (Alhamdulillah berkat tangan Allah padahal saat ditarik-tarik saya sudah hopeless). Jari tangan saya berdarah terluka, entah kena apa? Sampai di dalam gerbang karena terjatuh, dua orang polisi dengan tongkatnya dari kerumunan itu berusaha akan menggebuk saya, tongkat sudah diayunkan, tapi hanya jarak dekat tongkat itu tertahan, seorang atau lebih kawannya saya dengar mengingatkan eeee, itu bukan. Lalu polisi yang akan menggebuk saya, secara sekilas minta maaf, "Maaf ya, saya kira demonstran," katanya.
Saya sudah tak mendengar lagi, karena pikiran saya sudah mulai kalut. Saya ingat beberapa kawan TEMPO hanya melihat dari kaca di lantai 3 dan beberapa lainnya dari dalam pagar.
Lalu saya minta kepada seorang polisi, yang lain (bukan yang menyuruh saya ke depan massa), saya minta perwakilan mereka 2 sampai 5 orang saja, saya akan menerima mereka, mendengarkan keluhan yang akan disampaikan dan memberi penjelasan. Saya lalu membawa mereka ke lantai 3, bahkan seseorang di antaranya (belakangan saya tahu bernama Guntur Medan), mengatakan wah capeknya nih naik tangga. Saya bilang ya, berbeda dengan kantor Tomy Winata yang naik lift itu. Saya bawa ke ruang rapat lantai 3 yang sialnya masih terkunci, tapi belum 2 menit, ruangan itu sudah dibuka oleh pegawai TEMPO. Saya sempat basa-basi menawarkan minum air, teh atau kopi, tapi mereka bilang tak perlu. Saya bingung, demontran yang datang bukan dua sampai 5 seperti yang saya minta, tapi belasan orang, saya lihat polisi (saya ingat tampangnya) menyuruh mereka masuk.
Saya Tanya siapa saja mereka kok, banyak, saya berpikir kawatir kantor ini diacak-acak, atau ada barang-barang yang hilang maklum kantor sepi dan tak jelas siapa yang datang masuk ke kantor. "O,o mereka wartawan," jawab polisi itu. Ternyata yang berada di dalam ruang rapat belasan orang adalah para pendukung demo itu, ada beberapa polisi, saya di temani Abdul Manan, yang duduk di sebelah kiri saya, seorang bagian umum TEMPO, belakangan saya lihat ada seorang lagi dari TEMPO Bahasa Inggris. Beberapa kawan TEMPO lain tampak berada di luar ruang rapat.
Saya minta apa keluhan mereka. Saya mengenalkan nama saya, dan kebenaran saat itu saya bilang saya yang bertanggung jawab, karena yang lain sedang tidak ada, karena hari Sabtu. Seorang (yang belakangan bernama Yosep, menggertak tidak ada orang atau sengaja diliburkan karena tahu kami akan datang?) Saya bilang sekarang Hari Sabtu, yang masuk hanya yang piket saja, dan orang yang belum selesai tulisannya. Akhirnya debat yang tak perlu itu putus. Seorang yang bernama Teddy Uban (tangan kanan Tomy Winata), lelaki berambut putih berbicara nyerocos, marah-marah. Bahwa TEMPO menulis hal yang tidak benar, akibat tulisan itu kantor Bank Artha Graha di Jln.Jayakarta dilempari telor, "Pak Tomy juga diteror, bahkan Hari Senin, sejumlah pedagang korban kebakaran Pasar Tanah Abang akan menyerbu kantor Arta Graha di Jln. Jendral Sudirman. "Kalau nggak percaya gua telepon Kapolda nih, mau?" kata Teddy.
"Ya, silakan saja," kataku. Dia tampak berusaha menelepon, saya nggak tahu apakah benar menelepon Kapolda itu atau cuma gertakan. "Beliau sedang acara acara nggak bisa diganggu," kata Teddy. Sejumlah orang pengikut Tomy, di dalam ruang rapat berteriak-teriak mengompori, sahut menyahut, bagi saya itu biasa terjadi, dalam rapat-rapat. Sudah cukup, saya bilang, "Saya akan menjelaskan persoalannya." saya katakan, "Saya sudah terima somasi dari Pak Tomy melalui pengacaranya Desmon, bahkan hari ini kabarnya akan ada konprensi pers, kami terima keluhan anda, kami juga sedang berusaha menemui Pak Tomy, rencananya hari Senin, sekarang kabarnya Pak Tomy sedang berada di Kendari. Saya terima keluhan anda."
Belum selesai saya omong Teddy sudah menyahut kembali, "kamu kan penulisnya, kami minta siapa sumber Anda, hayo sebutkan sekarang, tunjukkan kalau Anda katakan Anda akan aman, akan kami amankan." Saya bilang, "ada prosesnya seperti yang sudah ada dalam somasi ini," kata saya menunjukkan somasi, "apa pun ada prosedurnya, orang bersalah juga tidak langsung dimasukkan ke penjara, tapi ke polisi dulu diproses, ke kejaksaan lalu ke pengadilan baru masuk ke penjara."
"Ah, lu wartawan taik semua, lu nulis begitu UUD, ujung-ujungnya duit, abis nulis lu dekati bos gua minta duit, taik lu, " kata Teddy sambil jalan-jalan di seberang meja, tak lagi duduk.
"Eh... Anda jangan begitu ini penghinaan, mana buktinya, TEMPO tidak seperti yang Anda sebutkan," kata saya.
"Eeee lu ngomong bolak balik bisa aja," katanya emosi sambil mengambil tisu kotak kayu dan dilemparkan ke kepala saya, saya tangkis, rupanya kena kawan saya Abdul Manan yang berada di sebelah kiri saya, kena pas di tengah antara mata, dan hidung, luka berdarah, seorang bagian umum mengambil betadin dan mengelapkan betadine ke luka itu, tangan saya yang luka bertambah berdarah, setelah menangkis itu, dan sambil menjulurkan jari tanda minta diberi betadine juga.
"Lo, kok dikantor saya main kekerasan begitu," kata saya kepada polisi yang berdiri di sebelah kanan saya, yang diam saja. Saya langsung menelepon BHM, "Udah deh kalau begitu saya telepon atasan saya." "Panggil kesini segera," kata Teddy dengan suara keras.
Seorang yang bernama Yosep menyela bicara, "Kamu tahu pimpinan kami di Kendari, berarti kamu mengkuti kemana saja bos kami pergi ya?"
Situasi tak jelas karena banyak yang omong namun yang dominan Teddy, Yosep yang menekan-nekan dan yang lain bersahut-sahutan.
Saya telepon BHM, sempat saya pada telepon pertama karena saya punya nomor yang lama. Lalu saya telepon lagi, dan bilang saya tak bisa mengatasi situasi, saya keluar ruang bertemu dengan Kapolsek Menteng. Saya tanya, "Bagaimana nih Pak Kapolsek?"
"Gimana ya selesaikan dong, kan anda yang tahu persoalannya," kata Kapolsek Menteng itu.
Lalu Teddy menelepon, "Nih sudah ada yang nulisnya, disini diapain," katanya. Tak lama kemudian lelaki putih, berbaju jeans biru naik Belakangan saya tahu bernama David alias A Miauw (juga dikenal sebagai tangan kanan Tomy Winata) ia menyerocos terus marah-marah tak jelas minta sumber berita itu supaya dihadirkan sekarang juga. Bahkan ia menyebut-nyebut soal yang berbau rasial. "Jangan mentang-mentang Tomy Winata, Cina, ya, gua cina, buka diskotek, buka judi, lalu lu tulis senaknya."
"Nggak begitu Pak David," kata saya," disini kami pluralis tak pandang suku."
"Lu banyak omong bisa aja balikin omongan orang," katanya sambil dia nyerocos saya lihat mata dia, "E, mata elu jangan melotot ngeliatin gua ngomong gua bunuh sekarang lu bisa juga," kata David emosi. Orang asal Flores, orangnya Tomy Winata mengambil bangku lipat yang ada dikantor mau di pukulkan ke wajah saya, sudah terayun, begitu juga seorang Flores lain yang memakai baju safari biru gelap didadanya tertulis bordiran PMD warna merah. Mendekati saya mau memukul. Entah kenapa tidak jadi saya dikepruk.
Karaniya (kebetulan dia juga keturunan Cina) masuk, saya bersyukur, karena David sudah menggunakan ungkapan rasial. Akhirnya Karaniya yang mengambil alih situasi. Semua penjelasan Karaniya juga tak digubris, dan David serta kembali memaki-maki, "Elu ngomong kayak berak. Gua tiup mati lu!"
Saya kini hanya lesu tertunduk loyo, sebagai manusia saya akui saya takut dan merasa tertekan waktu itu, saya cuma telepon kembali BHM, dia sudah berada di jalan kolong BNI 46, Sudirman. David sudah tak sabar meminta saya ditangkap, dibawa ke kantor polisi, "Ini sudah ada penulisnya dia yang bertanggung jawab bawa saja," kata David.
Kapolsek Menteng juga mendesak saya soal penyelesaiannya. Saya bilang, "Tunggu, pimpinan saya, Bambang harymurti, sudah tak jauh, paling lama 10 menit." Saya masuk ke dalam ruangan, David keluar ruangan menelepon entah kemana, saya mencoba mencairkan suasana. Saya peluk Yosep dan lelaki berbaju safari yang bertampang seperti kawan kita di kantor yang berasal dari NTT juga Saya bilang Anda dari mana? Dari Flores, "Wah satu tempat dengan saya, bapak saya dari Waingapu," "O, kita satu kampung, untung saya nggak jadi ngepruk kamu," kata Yosep, "Kamu kenapa ke depan massa untung kamu selamat."
Saya bilang, "Saya berani karena saya pikir yang di depan saudara saya semua asal flores jadi saya aman," kata saya. Kami mengobrol basa-basi, Yosep menekan saya, "kamu katakan saja siapa sumber kamu, ayo kamu akan aman, aku yang jamin deh, udah jangan takut," katanya sedikit merayu. Saya hanya senyum saja.
Saya keluar ruangan, tak lama kemudian BHM datang dan mengambil semua tanggung jawab berhadapan dengan preman yang tak jelas omongannya, kesana kemari membangga-banggakan diri, mengancam akan membunuh, membakar kantor ini, menjadikan Humanika kedua, bilang kantor TEMPO ini kecil dibeli sama Tomy juga bisa. Dia juga menelepon mengendalikan massa di luar untuk terus menekan.
David dengan sombong juga mengatakan, soal bom Bali, "Tahu nggak yang memberi tahu adanya bom Bali pertama kali ke Kapolri, gua, dia belum tahu gua udah tahu."
Ia juga ngomong soal kebakaran Tanah Abang. "Elu tahu apa soal kebakaran Tanah Abang. Gua tahu titik api pertama kali, kenapa pemadam kebakaran tidak bisa masuk ke pasar. Jadi, lu, jangan sok tahu soal kebakaran tanah Abang," kata David. Apa maksudnya?
Akhirnya sampai situasi, harus ke kantor polisi, agar massa di depan kantor bisa tenang. BHM minta jaminan keamanan dan barikade polisi. Bari kade malah di dalam kantor, untung di luar turun hujan. BHM tampak naik ke mobil Timor milik polisi, dan berusaha mempersiapkan tempat untuk saya berdua.
Tetapi saya ditahan David untuk tidak masuk mobil polisi, saya mulai khawatir diculik dan dibawa ke tempat lain, saya terus berpegangan erat dengan Karaniya. Mobil Land Cruiser hitam milik Arta Graha (tampak dari tanda pengenal diujung kanan dekat sopir) di dalam sudah masuk orang-orang Tomy winata yang tadi ikut menarik-narik badan saya di tengah massa di depan kantor. Karaniya menarik seorang polisi (dadan/dadang untuk ikut masuk ke dalam mobil) di mobil itu sempat bertumpuk-tumpuk. Akhirnya di bangku tengah kami berempat, sebelah kiri saya Haris Sumbi, Ambon yang tinggal di Bendungan Hilir, karena saya pernah bertemu dia beberapa kali di Retro, Hotel Crown, depan Polda Metro jaya, setelah saya ingat-ingat, ia mengiyakan ingatan saya itu. Sebelah kanan saya Karaniya, sebelah kanan nya lagi polisi Dadang tadi. Di depan David dan sopir, dibangku belakang tiga orang dari artha graha, Yosep, si gondrong kurus yang menarik-narik baju saya di depan massa dan lainnya. Akhirnya, kami dibawa pergi, dengan suara sirenenya, nguing-nguing.
Di dalam mobil, David berkata lewat telepon, "Kantor itu lu segel, nggak boleh ada seorang pun karyawan TEMPO yang keluar dari situ, sampai persoalan ini selesai, mengerti?" Katanya entah kepada siapa? Alhamdulillah ternyata kami bukan dibawa kemana-mana tapi ke kantor Polres Jakarta Pusat.
Sudah aman di kantor Polres? Nggak juga, David marah-marah kepada Yosep, "Elu tahu, gua pecat lu, dia kan orang Flores, seharusnya elu yang duluan ijak-injak dia sampai mati." Sejak saat itu tampang Yosep tak lagi bersahabat malah menekan-nekan. Dialah yang pertama kali menggebuk wajak BHM dari belakang di kantor polisi. Buk. Keras juga, sehingga kaca matanya terpental. David, Teddy, dan beberapa preman lainnya juga memaki-maki dan mendorong-dorong BHM di depan kantor Kapolres Jak-Pus.
Saya, BHM, dan Karaniya dibawa ke ruang kerja Kasat Serse Polres Jak-Pus A.R. Yoyol. Masuk ke ruangan kerja Kasat Serse sekitar 5 polisi (beberapa berpakaian preman), David, Teddy, Haris Sumbi, dan sekitar 5 orang David lainnya. David terus mengoceh, soal BHM sebagai komandan yang harus bertanggung jawab, mengancam akan membunuh. "Lu gue tembak juga deh sekarang, kalau gue di penjara dan dibunuh disini nggak takut. Mana, mintain pistol?" kata David.
Dia ngoceh terus menunjuk-nunjuk saya dan BHM. "Lu, kan, orang pintar kalau ngua kan nggak makan sekolah, SD aja gua nggak tamat, tapi gua megang tempat judi di Harco Mangga dua menghidupkan 800 orang, gua bayar mereka Rp 50 ribu tiap hari, lu bisa?"
BHM berusaha menjawab tudingan David yang tak masuk akal dan tak berdasar, dan menyebutkan cara penyelesaiannya secara prosedur yang sudah ada, beberapa polisi reserse ada di dalam ruangan itu juga beberapa orang Tomy Winata. Dari TEMPO cuma saya, BHM dan Karaniya. Lalu David emosi, dan menonjok perut BHM, menendangnya dan memukul-mukul kepalanya, "Ini saking pinternya sampe botak. Karaniya marah dan protes atas perlakuan itu, malah bogem mentah menghantam wajah sebelah kirinya. Keras juga. Saya hanya diam saja. Saya lihat apa yang dilakukan David sudah tidak wajar, menghina banyak orang termasuk polisi dan tentara. "Udahlah polisi sudah gua bayar semua, lampu disini juga gua yang beliin, gua juga ngeluarin duit buat wartawan Rp 150 juta tiap bulan ada daftarnya. Sutiyoso juga gue yang jadiin sebagai Gubernur, kalau kagak mana bisa dia jadi gubernur. Udahlah lu nggak ada ape-apenya jangan macem-macem. Udah deh persoalan ini bisa selesai kalau Ciputra udah ketemu sama bos gue Tomy Winata. Telepon dia!" kata David.
"Wah saya nggak punya teleponnya, sejak handphone saya hilang," kata BHM. "Ah lu pemimpin goblok nih gua teleponin," kata David. Dia sambungkan. "Halo ada yang mau bicara nih,'' telepon David pindah ke BHM. BHM ngomong dengan Ciputra. Tapi hanya memberitahukan persoalan saja. Kata BHM kemudian Ciputra bilang kan saya nggak ikut-ikutan urusan redaksi, "Cuma komisaris saja, anda kan yang tangani."
Situasi di ruangan Kasat Serse tak jelas. Saya, BHM, dan Karaniya tak berkutik dan tak bisa melawan. Polisi yang hadir cuma menonton tanpa berusaha mencegah semua tindakan brutal itu. Belakangan, di situ juga hadir Kasat serse Yoyol yang datang setelah penggebukan. Tapi David masih berlaku tak sopan dengan polisi, bahkan merendahkan martabatnya, namun polisi-poilisi itu menerima saja tampaknya. IRONIS, BAHKAN DI KANTOR POLISI HUKUM PUN SEPERTI TAK EKSIS.
Tak lama kemudian, David mengatakan, "Sekarang ini di luar beredar kabar Anda diculik ditangkap, tapi sebenarnya Anda kesini, kan untuk menyelasaikan persoalannya, ya," kata David menekan-nekan.
Kami diminta untuk berbicara di lain tempat untuk bersepakat dan berbicara pada pers, bahwa kami tidak ditangkap, tidak ada kekerasan, tidak ada penggebukan. Beruntung memang banyak kawan-kawan jurnalis yang ikut ke kantor Polres, sehingga, tekanan terhadap kami mulai berkurang. Sehingga di dalam ruangan data di Polres kami mengadakan konprensi pers, BHM lah yang berbicara dan seorang yang mengaku Habib Hamid Alhamid dari Ambon yang mengaku punya pengajian membawa 50 orang massa dengan 2 metro mini dan mendapat makan dari Tomy Winata.
Saat kami di dalam ruangan untuk konprensi pers, sebenarnya kami masih tertekan, karena orang-orang Tomy Winata masih banyak di dalam ruang itu dan depan ruangan konprensi pers. Jawaban-jawaban BHM terkesan diplomatis dan menghindarkan jawaban-jawaban langsung. Wajar kami sudah hopeless, di ruang kantor polisi saja orang-orang Tomy Winata bisa berbuat seenaknya. Siapa yang jamin, apa lagi kabarnya kantor masih disegel dan dijaga orang-orang Tomy Winata.
Saya lebih banyak diam dan mendengarkan pembicaraan. Kesombongan David, ancamannya dan penghinaannya terhadap profesi jurnalis dan polisi, begitu juga setelah dipindahkan ke ruang Kapolres Jakpus dan hadir Kapolres AKBP Sukrawardhi Dahlan, yang juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, Teddy Uban lalu mengontak Kapolda melalui HP-nya. Setelah tersambung, HP itu diserahkannya ke Kapolres. Kapolres terdengar bicara, "Siap, Jenderal. Siap, Jenderal" Setekah itu ia bilang ke BHM, "Wah, ini sudah jadi urusan di atas. Saat ini Kapolda sedang membicarakan nasib saya ke Kapolri". Ia lalu menguliahi kami, bahkan Kapolres cenderung mengarahkan agar TEMPO, membuat pernyataan permohonan maaf pada Tomy Winata karena berita yang telah dibuat itu fiktif. Tapi BHM tetap berkelit dan tak mau ada pernyataan itu.
Yang keluar akhirnya adalah pernyataan bersama, yang dikonsep oleh Karaniya dan Haris Sumbi (dari pihak Tomy Winata) di ruang lain. Baik David alias A Miauw dan Kapolres meminta agar TEMPO menyatakan semua kejadian dianggap selesai disana, namun berkali-kali soal permintaan maaf TEMPO diminta oleh David, Teddy, dan kapolres. Tapi BHM bertahan. Akhirnya, pernyataan bersama itulah yang keluar, yaitu akan menyerahkan persoalan itu dengan lewat jalur hukum. Di pernyataan itu, David alias A Miauw menyatakan diri sebagai YANG MEWAKILI TOMY WINATA. Kami keluar dari ruang Kapolres, bersalam-salaman (hanya basa basi), persoalan sesungguhnya masing menggantung. Kenapa kekerasan bisa terjadi, bahkan di kantor polisi? Saya sudah putus asa.
Penutup
Saya kawatir sikap kritis jurnalis akan digadaikan dengan ketakutan dan terror. Baru menghadapi seorang Tomy Winata yang punya saham di Hotel Borobudur, kelompok Artha Graha Grup, sejumlah tempat hiburan dan judi. Tekanan yang lebih besar akan terus terjadi dari orang-orang lain yang punya kekuasaan secara politik, punya uang, punya senjata, punya otorisasi menangkap, menculik, membunuh dan punya massa. Persoalan ini harus diselesaikan secara tuntas. Saya minta David, Teddy, Yosep, Hamid Al-Hamid, dkk di proses secara hukum dan adil sesuai andil yang mereka lakukan dalam terror ini. Juga Tomy Winata dimintai pertanggung-jawabannya. Kalau tidak bakal bisa terjadi pada siapapun dan institusi manapun. Situasi bisa terjadi seperti Zaman Soeharto (orde baru) atau bahkan lebih buruk lagi seperti terjadi di Kolombia, Amerika Latin, ketika mafia kartel barang-barang terlarang menguasai negeri. Saya tak tahu harus berbuat apa?
Jakarta, 10 Maret 2003, pukul 04.45 WIB
Ahmad Taufik
Wartawan MBM TEMPO
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
Catatan:
Mungkin ada yang terlewat, atau kurang jelas, bisa dikonfirmasikan kepada masing-masing pihak yang saya sebutkan dalam cerita itu di atas. Inilah yang sementara saya bisa rekam dalam waktu hampir lima jam. Diselingi minum pocari sweat, air putih dan madu, sesekali ke kamar kecil. Banyak teman-teman yang membantu dalam proses pendinginan suasana dan melepaskan tekanan sedikit semi sedikit, termasuk kawan-kawan jurnalis lainnya, saya mengucapkan terima kasih. Begitu juga simpatisan yang bergerak untuk melawan ketidakberadaban itu, baik yang lewat SMS, yang dikirimkan kepada saya dan kemana-mana, maupun yang membuat pernyataan tertulis, serta aksi-aksi nyata yang dilakukan. Saya masih tertekan secara psikis, tetapi saya dan teman-teman di TEMPO tidak takut untuk melawan. Terima kasih
Comments