Ali Alatas: "Kita Kalah Telak"
TERTATA rapi, cermat, kronologis, lembaran-lembaran dalam bundel itu seakan bercerita tentang periode-periode paling mendebarkan dalam sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur--provinsi termuda yang lepas dari Indonesia sejak Agustus 1999. Adalah Ali Alatas, diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri RI--selama tiga periode, di bawah dua presiden--yang menata seluruh catatan tersebut. Isinya adalah upaya diplomatik dan notula rapat kabinet tentang Timor Timur (kini Republik Timor Loro Sa'e), yang sudah terhapus dari peta Indonesia sejak hampir empat tahun silam.
Bundel dokumen itu menjadi amat berarti ketika pekan-pekan ini Ali Alatas muncul di persidangan sebagai saksi kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Menyeret beberapa petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI)--Jenderal (Purnawirawan) Wiranto, antara lain--kasus ini menyita perhatian nasional dan dunia internasional. Ali duduk di kursi saksi di Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta Pusat dua pekan lalu. Dengan lancar dia menjawab pertanyaan Hakim Binsar Gultom saat sang Hakim memeriksa Jenderal Tono Suratman, bekas Komandan Resor Militer 164/Wiradharma, Timor Timur. Sesekali Ali membolak-balik lembaran-lembaran bundel tersebut sebelum menjawab pertanyaan hakim ataupun para juru warta.
Sosok Ali memang tak bisa dilepaskan dari sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur. Kenyang menelan kritik dari pihak Barat yang menuding masuknya wilayah tersebut ke Indonesia sebagai buah dari sebuah invasi, Ali dan para koleganya berupaya keras melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengubah citra buruk tersebut. Empat tahun berdiam di New York sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ali tak kurang-kurangnya berupaya membahas Timor Timur melalui jalur diplomasi. Dia mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah mencari jalan keluar bersama untuk mengatasi problem di Timor Timur--bukan soal memiliki wilayah tersebut.
Ali Alatas memang punya keyakinan teguh terhadap jalan diplomasi--betapapun sulitnya sebuah situasi. Itu sebabnya dia menolak upaya jajak pendapat yang dilontarkan bosnya ketika itu, Presiden B.J. Habibie. "Apa pun hasilnya, pasti ada yang sakit hati," ujarnya kepada TEMPO. Mata diplomat tua ini berkaca-kaca ketika pada hari itu, beberapa saat setelah referendum, semua saluran televisi menyiarkan Dili--kini ibu kota Republik Timor Loro Sa'e--dikungkung oleh lautan api. Langit di kota itu kelabu oleh asap. Dan wanita-wanita tua meratapi jenazah anak-anak mereka yang menjadi korban kerusuhan selama berhari-hari.
Meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun, Alex--sebutan akrab Ali Alatas--dijuluki sebagai "pemadam kebakaran" untuk wilayah yang selalu bergolak itu. Pada 12 November 1991, pecah insiden Santa Cruz, yang menewaskan puluhan orang. Alex tampil untuk meredam kemurkaan dunia. Dia meminta semua orang percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan soal tersebut. Ketika ratusan orang tewas dalam kerusuhan selepas referendum 1999, hujan kecaman menerpa dari segala penjuru. Alex melompat dari satu meja perundingan ke meja perundingan lain untuk meyakinkan dunia bahwa kerusuhan itu bukan bikinan pemerintah Indonesia.
Timor Timur lepas, tapi Ali Alatas tidak pernah "patah hati" dengan upaya diplomasi. Hingga sepuh, dia tetap "berkarier" sebagai diplomat. Presiden Megawati mempercayainya sebagai penasihat presiden untuk urusan luar negeri. Pekan lalu, lelaki yang masih segar bugar di usia 71 tahun itu memberikan wawancara khusus kepada mingguan ini mengenai beberapa latar belakang penting di balik lepasnya Timor Timur. Dalam ruang kerjanya di Wisma Summitmas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, dia menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Wenseslaus Manggut, Abdul Manan, Ahmad Taufik, dan Arif Zulkifli.
Berikut ini petikannya.
Saat menjadi Menteri Luar Negeri, Anda pernah memelopori perluasan otonomi khusus untuk Timor Timur. Apa latar belakangnya?
Sebagai Menteri Luar Negeri, saya berupaya mencari jalan terbaik. Itu sebabnya, dalam rapat khusus menteri bidang politik dan keamanan pada 5 Juli 1998, saya mengusulkan otonomi khusus yang diperluas di Timor Timur. Usul ini kemudian diterima oleh Presiden dalam rapat pleno kabinet. Setelah itu, saya ke New York dan menyampaikan usul ini kepada Sekretaris Jenderal PBB, yang menerimanya dengan amat antusias.
Apa langkah-langkah Sekretaris Jenderal PBB setelah itu?
Memfasilitasi pertemuan segitiga antara PBB, Portugal, dan Indonesia pada awal Agustus 1998. Pada dasarnya, Portugal menerima usulan itu. Syaratnya, otonomi khusus yang diperluas hanya akan menjadi langkah transisional sebelum rakyat Timor Timur menentukan nasibnya sendiri. Kita menolak. Pihak PBB mengusulkan jalan tengah: dilihat dulu isi otonomi khusus yang diperluas itu.
Kelompok prokemerdekaan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengecam usulan itu. Ada yang menganggap usulan itu cuma siasat menghadapi tuntutan merdeka yang kian menjadi-jadi.
Sejumlah LSM dan kelompok garis keras di Portugal memang menilai solusi itu sudah terlambat dan cuma siasat. Tapi, sebagai diplomat, kami sudah terbiasa sekali dengan kecaman seperti itu.
Lantas mengapa upaya itu mentok?
Rupanya, Presiden Habibie tidak senang jika terus-terusan dikecam. Pak Habibie merasa Indonesia sudah memberikan jalan keluar yang terbaik tapi masih saja disambut dengan hujatan. Tambahan lagi, saat itu Perdana Menteri Australia John Howard mengirimkan surat dengan isi senada.
Apa isi surat itu?
Surat itu dikirimkan dengan faksimile melalui Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Presiden Habibie terkejut tatkala menerima surat itu. Dia lalu memanggil saya dan berkata, "Bisa you jelaskan maksud surat ini?" Saya jelaskan bahwa Australia sebetulnya memuji langkah penyelesaian otonomi, tapi menyangsikan usul itu bakal diterima oleh kelompok prokemerdekaan. Itu sebabnya Australia mengusulkan agar Indonesia mempertimbangkan usulan masa transisional sebelum menuju pemungutan suara. Di akhir surat itu, Howard menyinggung apa yang dilakukan Prancis di Kaledonia Baru. Prancis memberi otonomi sepuluh tahun sebelum akhirnya mengizinkan referendum.
Apa tanggapan Habibie?
Beliau amat terkejut. Dia bilang, Kaledonia Baru itu kan jajahan Prancis. Kalau kasus ini mau disamakan, itu artinya Australia menganggap kita menjajah Timor Timur selama ini.
Jadi, Habibie kecewa dengan isi surat John Howard?
Memang kecewa. Kekecewaan itu memuncak setelah pemerintah Australia mengirimkan surat resmi pada Januari 1999. Isinya sama dengan faksimile tadi. Surat resmi dari Australia itu diteruskan kepada saya sebagai Menteri Luar Negeri RI. Di atas surat tersebut ada memo Presiden Habibie yang isinya begini, "Kalau setelah 23 tahun Timor Timur tidak juga betah bergabung dengan Indonesia, selaku presiden, saya mengusulkan kita berpisah baik-baik. Daerah itu kita kembalikan ke PBB."
Bukankah disposisi itu seperti mementahkan segala upaya Departemen Luar Negeri selama bertahun-tahun? Apa yang Anda lakukan setelah menerima surat itu?
Saya menemui Pak Habibie, mempertanyakan nasib usulan otonomi diperluas. Pak Habibie bilang, otonomi diperluas tetap dipakai sebagai usulan pertama, dan pisah secara baik-baik menjadi usulan kedua. Presiden juga bilang bahwa kita harus menolak usulan Portugal dan LSM tentang masa transisi itu. Sebab, percuma saja jika pada akhirnya mereka bilang good bye juga. Nah, usulan Pak Habibie itu dibawa ke rapat kabinet pada 27 Januari 1999. Walau diwarnai perdebatan, usulan itu akhirnya diterima.
Apa saja isi perdebatannya?
Ada perbedaan pandangan antara Departemen Luar Negeri dan Presiden. Kami merasa usulan kedua itu terlalu prematur. Para diplomat kami masih bekerja keras. Memang betul ada penolakan (terhadap usulan otonomi diperluas), tapi semuanya belum final. Bersama PBB dan Portugal, kami masih membahas poin-poin dalam otonomi itu. Mengapa tidak diteruskan? Sebagai perunding, saya masih optimistis.
Kalau optimistis, mengapa Anda tidak berhasil meyakinkan rapat kabinet?
Saat itu ada keyakinan kita bisa menang dalam jajak pendapat. Pilihannya kan otonomi khusus atau mau dilepaskan. Ada yang bilang bahwa kita bisa menang. Anehnya, tidak banyak yang yakin bahwa kita kalah.
Siapa saja yang optimistis akan menang?
Terutama kelompok prointegrasi dan mungkin kalangan intelijen. Mereka yakin bahwa sebagian terbesar masyarakat Timor Timur adalah silent majority. Yang berdemonstrasi hanya segelintir orang. Sedangkan yang di gunung cuma sedikit dan tinggal punya seratus pucuk senjata. Keyakinan mereka begitu. Selain itu, ada pemikiran bahwa dengan usulan itu kita akan lebih terhormat dalam dunia demokratisasi. Syukur-syukur kalau menang.
Opsi kedua yang ditawarkan Presiden Habibie sebetulnya kan sama saja dengan referendum?
Sejak awal, kita menolak kata referendum itu. Tapi, kalau kita mengusulkan opsi kedua itu, mau tidak mau harus ada mekanisme pemungutan pendapat.
Apa pun istilahnya, esensinya kan tetap referendum?
Sebagai diplomat, saya masih bisa bersilat lidah bahwa itu bukan referendum. Sebab, referendum memerlukan syarat tertentu seperti pendaftaran pemilih, semua orang Timor Timur di luar negeri harus masuk, yang bisa makan waktu berbulan-bulan. Tapi hati kecil saya memang mengatakan, apa pun namanya, ini sama saja dengan referendum.
Usulan pisah baik-baik ini apakah murni ide Habibie?
Saya kira Presiden mendapat masukan dari para penasihatnya. Penasihatnya itu banyak, antara lain Dewi Fortuna Anwar. (Kepada TEMPO, Dewi membantah, "Itu kebijakan pemerintah dan bukan atas dasar rekomendasi saya.") Memang opsi kedua itu baru sekadar usulan kepada MPR. Teoretis, MPR bisa menolak hasil pemungutan suara. Tapi itu berarti kita betul-betul berhadapan dengan dunia internasional.
Sepertinya Anda sudah yakin bahwa kita akan kalah. Pernahkah hal itu disampaikan kepada Presiden?
Walau kami tidak setuju, usulan Pak Habibie itu ada benarnya. Sebab, kalau kalah, kita harus punya usulan alternatif. Kalau saya tolak usulan itu, saya akan tercatat dalam sejarah Timor Timur sebagai penghambat kemerdekaan mereka, sebagai orang yang tidak demokratis. Padahal, sejak 1994, saya sudah mengusulkan otonomi khusus diperluas.
Betulkah pihak militer kita menolak opsi kedua?
Militer menerimanya. Saat itu Pak Wiranto mengatakan, kalau kita menempuh opsi kedua, jangan sekali-kali mengatakan bahwa masuknya kita ke Timor Timur merupakan suatu kesalahan. Sebab, jika itu dikatakan, para anggota militer yang ke sana telah melakukan perang ilegal. Artinya, mereka tidak berhak atas tanda jasa dan sejumlah fasilitas yang kini mereka terima.
Dalam perjanjian New York pada 5 Mei 1999, Anda menerima tanggung jawab keamanan selama proses jajak pendapat. Kegiatan itu dilaksanakan PBB, tapi mengapa beban menjaga keamanan jatuhnya ke Indonesia?
Itu pertanyaan banyak orang. Bahkan, saat saya menjadi saksi di pengadilan dua pekan lalu, hakim juga mencecar dengan pertanyaan seperti itu. Padahal pertimbangannya jelas. Kalau PBB yang memegang kendali pengamanan selama penentuan pendapat, konsekuensinya adalah PBB harus mengirimkan pasukannya ke Timor Timur--sesuatu yang ditolak keras oleh Indonesia. Daerah itu masih milik kita sampai hasil jajak pendapat memutuskan lain.
Mengapa pengumuman hasil jajak pendapat dipercepat dari 14 September ke 4 September?
Perwakilan kita di Timor Timur menelepon saya. Dia menyampaikan, sebaiknya pengumuman dilakukan pada 4 September. Pertimbangannya, penentuan pendapat dilakukan pada 30 Agustus dan penghitungan suara selesai pada 3 September. Kalau terlalu lama, hasilnya bisa saja sudah dibocorkan lebih dulu karena banyak sekali orang yang ikut menghitung. Usulan itu masuk akal. Presiden setuju. Dan hasilnya, seperti yang Anda ketahui, kita kalah telak.
Kekalahan itu sempat dibahas dalam rapat kabinet?
Tidak. Setelah pengumuman itu, kita bertemu lagi, tapi tidak banyak omong soal itu. Orang hanya berbisik-bisik.
Benarkah kekalahan kita itu sebagian karena kecurangan United Nations Mission in East Timor (Unamet)?
Kami juga meneliti kecurangan yang dilakukan Unamet. Tapi banyak tudingan yang tidak valid. Paling-paling, sebelum masuk bilik suara, ada anggota panitia yang berbisik-bisik dengan sejumlah ibu-ibu yang memilih. Tapi, kalaupun semua kecurangan itu didaftar, tidak akan bisa memperbaiki hasil akhirnya. Kalahnya tetap telak juga.
Setelah hasil jajak pendapat diumumkan, kerusuhan meletus di mana-mana. Benarkah pemerintah kita membiarkan saja kerusuhan itu terjadi untuk "memberi pelajaran" kepada Timor Timur?
Saya tidak tahu apa sebab persisnya. Aparat keamanan mengatakan bahwa mereka belum siap dengan percepatan pengumuman. Pak Habibie sendiri amat terkejut dengan situasi itu. Dia memerintahkan agar kita segera memulihkan keamanan di sana. Pada 5 September 1999, saya dan sejumlah menteri masih sempat ke Dili. Tapi, karena di sana sudah rusuh, yang bisa masuk ke Kota Dili cuma Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Pak Wiranto. Kami bertemu dengan wakil PBB dan Unamet di bandar udara Dili.
Apa isi pertemuan itu?
PBB mendesak agar kita menertibkan keamanan. Pak Wiranto bilang, kita akan melakukan upaya penertiban, tapi sebaiknya jangan cuma mengandalkan polisi. Militer harus maju dan sebaiknya diumumkan keadaan darurat militer untuk Timor Timur. PBB setuju. Pada 7 September, berlakulah darurat militer itu. Pada 11 September, Pak Wiranto dan delegasi Dewan Keamanan PBB bersama-sama mengunjungi Dili. Sepulang dari kunjungan itu, Pak Wiranto mengusulkan sebaiknya kita mengundang pasukan PBB saja untuk mengamankan situasi di kawasan itu. Usul itu diterima. Saya dikirim ke New York lagi untuk menyampaikan perubahan sikap kita.
Apa reaksi luar negeri yang paling ekstrem yang Anda terima dalam posisi sebagai Menteri Luar Negeri?
Sehari setelah kerusuhan meletus, sekitar 12 menteri luar negeri dari berbagai negara menelepon saya. Mereka mengecam dan meminta penjelasan. Saya betul-betul sibuk menghadapi berbagai kecaman itu. Tentu saja mereka tidak puas dengan jawaban-jawaban saya.
Sejumlah tersangka dalam peradilan hak asasi manusia soal Timor Timur mengaku cuma menjadi pelaksana lapangan dari sebuah kebijakan politik. Jadi, bola panas ini dilemparkan pemerintah?
Kita harus jujur mengatakan, kerusuhan besar itu terjadi saat keamanan masih berada di bawah kendali kita. Itu fakta. Nah, siapa pelaku kerusuhan itu? Pam Swakarsa dituding sebagai salah satu pelaku kerusuhan itu.
Pertanyaan besarnya, apakah Pam Swakarsa dibantu oleh militer?
Para pejabat militer mengatakan tidak. Bahwa ada oknum militer yang terlibat, itu diakui, tapi tidak secara institusi. Yang hendak diuji di pengadilan adalah apakah ada kolusi antara milisi-milisi itu dan pihak militer kita.
Pernahkah Anda mendengar informasi ini: sekitar Rp 10 miliar dana Badan Urusan Logistik diberikan ke Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto untuk pengamanan Timor Timur ketika itu?
Saya tidak tahu soal itu. Tapi tolong tanyakan saja ke Pak Wiranto.
Dan benarkah ada perintah kepada milisi untuk membumihanguskan Timor Timur?
Saya kira tidak. Tapi saya tidak tahu persis.
Saat menjadi Menteri Luar Negeri, apakah Anda merasa bahwa upaya diplomasi kita selalu terhambat oleh tindakan kekerasan di lapangan?
Sejak kerusuhan Santa Cruz pada November 1991, diplomasi kita melemah drastis. Dunia menyaksikan langsung peristiwa itu melalui jaringan televisi. Ada anak kecil yang ketakutan. Mengherankan memang, ada kamerawan di situ, eh, malah main tembak.
Bagaimana Anda menjelaskan hal ini ke dunia internasional?
Repot sekali. Apa pun jawaban saya, kita pasti dituding pembohong.
***
ALI ALATAS
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 4 November 1932
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1956
- Akademi Dinas Luar Negeri, 1956
Pekerjaan:
- Korektor Harian Niewsgierf (1952-1952)
- Redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954)
- Sekretaris II Kedutaan Besar RI di Bangkok (1956-1960)
- Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966)
- Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970)
- Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972)
- Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975)
- Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978)
- Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982)
- Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987)
- Menteri Luar Negeri (1987-1999)
- Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-sekarang)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 38 Rubrik Wawancara
Bundel dokumen itu menjadi amat berarti ketika pekan-pekan ini Ali Alatas muncul di persidangan sebagai saksi kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Menyeret beberapa petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI)--Jenderal (Purnawirawan) Wiranto, antara lain--kasus ini menyita perhatian nasional dan dunia internasional. Ali duduk di kursi saksi di Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta Pusat dua pekan lalu. Dengan lancar dia menjawab pertanyaan Hakim Binsar Gultom saat sang Hakim memeriksa Jenderal Tono Suratman, bekas Komandan Resor Militer 164/Wiradharma, Timor Timur. Sesekali Ali membolak-balik lembaran-lembaran bundel tersebut sebelum menjawab pertanyaan hakim ataupun para juru warta.
Sosok Ali memang tak bisa dilepaskan dari sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur. Kenyang menelan kritik dari pihak Barat yang menuding masuknya wilayah tersebut ke Indonesia sebagai buah dari sebuah invasi, Ali dan para koleganya berupaya keras melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengubah citra buruk tersebut. Empat tahun berdiam di New York sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ali tak kurang-kurangnya berupaya membahas Timor Timur melalui jalur diplomasi. Dia mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah mencari jalan keluar bersama untuk mengatasi problem di Timor Timur--bukan soal memiliki wilayah tersebut.
Ali Alatas memang punya keyakinan teguh terhadap jalan diplomasi--betapapun sulitnya sebuah situasi. Itu sebabnya dia menolak upaya jajak pendapat yang dilontarkan bosnya ketika itu, Presiden B.J. Habibie. "Apa pun hasilnya, pasti ada yang sakit hati," ujarnya kepada TEMPO. Mata diplomat tua ini berkaca-kaca ketika pada hari itu, beberapa saat setelah referendum, semua saluran televisi menyiarkan Dili--kini ibu kota Republik Timor Loro Sa'e--dikungkung oleh lautan api. Langit di kota itu kelabu oleh asap. Dan wanita-wanita tua meratapi jenazah anak-anak mereka yang menjadi korban kerusuhan selama berhari-hari.
Meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun, Alex--sebutan akrab Ali Alatas--dijuluki sebagai "pemadam kebakaran" untuk wilayah yang selalu bergolak itu. Pada 12 November 1991, pecah insiden Santa Cruz, yang menewaskan puluhan orang. Alex tampil untuk meredam kemurkaan dunia. Dia meminta semua orang percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan soal tersebut. Ketika ratusan orang tewas dalam kerusuhan selepas referendum 1999, hujan kecaman menerpa dari segala penjuru. Alex melompat dari satu meja perundingan ke meja perundingan lain untuk meyakinkan dunia bahwa kerusuhan itu bukan bikinan pemerintah Indonesia.
Timor Timur lepas, tapi Ali Alatas tidak pernah "patah hati" dengan upaya diplomasi. Hingga sepuh, dia tetap "berkarier" sebagai diplomat. Presiden Megawati mempercayainya sebagai penasihat presiden untuk urusan luar negeri. Pekan lalu, lelaki yang masih segar bugar di usia 71 tahun itu memberikan wawancara khusus kepada mingguan ini mengenai beberapa latar belakang penting di balik lepasnya Timor Timur. Dalam ruang kerjanya di Wisma Summitmas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, dia menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Wenseslaus Manggut, Abdul Manan, Ahmad Taufik, dan Arif Zulkifli.
Berikut ini petikannya.
Saat menjadi Menteri Luar Negeri, Anda pernah memelopori perluasan otonomi khusus untuk Timor Timur. Apa latar belakangnya?
Sebagai Menteri Luar Negeri, saya berupaya mencari jalan terbaik. Itu sebabnya, dalam rapat khusus menteri bidang politik dan keamanan pada 5 Juli 1998, saya mengusulkan otonomi khusus yang diperluas di Timor Timur. Usul ini kemudian diterima oleh Presiden dalam rapat pleno kabinet. Setelah itu, saya ke New York dan menyampaikan usul ini kepada Sekretaris Jenderal PBB, yang menerimanya dengan amat antusias.
Apa langkah-langkah Sekretaris Jenderal PBB setelah itu?
Memfasilitasi pertemuan segitiga antara PBB, Portugal, dan Indonesia pada awal Agustus 1998. Pada dasarnya, Portugal menerima usulan itu. Syaratnya, otonomi khusus yang diperluas hanya akan menjadi langkah transisional sebelum rakyat Timor Timur menentukan nasibnya sendiri. Kita menolak. Pihak PBB mengusulkan jalan tengah: dilihat dulu isi otonomi khusus yang diperluas itu.
Kelompok prokemerdekaan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengecam usulan itu. Ada yang menganggap usulan itu cuma siasat menghadapi tuntutan merdeka yang kian menjadi-jadi.
Sejumlah LSM dan kelompok garis keras di Portugal memang menilai solusi itu sudah terlambat dan cuma siasat. Tapi, sebagai diplomat, kami sudah terbiasa sekali dengan kecaman seperti itu.
Lantas mengapa upaya itu mentok?
Rupanya, Presiden Habibie tidak senang jika terus-terusan dikecam. Pak Habibie merasa Indonesia sudah memberikan jalan keluar yang terbaik tapi masih saja disambut dengan hujatan. Tambahan lagi, saat itu Perdana Menteri Australia John Howard mengirimkan surat dengan isi senada.
Apa isi surat itu?
Surat itu dikirimkan dengan faksimile melalui Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Presiden Habibie terkejut tatkala menerima surat itu. Dia lalu memanggil saya dan berkata, "Bisa you jelaskan maksud surat ini?" Saya jelaskan bahwa Australia sebetulnya memuji langkah penyelesaian otonomi, tapi menyangsikan usul itu bakal diterima oleh kelompok prokemerdekaan. Itu sebabnya Australia mengusulkan agar Indonesia mempertimbangkan usulan masa transisional sebelum menuju pemungutan suara. Di akhir surat itu, Howard menyinggung apa yang dilakukan Prancis di Kaledonia Baru. Prancis memberi otonomi sepuluh tahun sebelum akhirnya mengizinkan referendum.
Apa tanggapan Habibie?
Beliau amat terkejut. Dia bilang, Kaledonia Baru itu kan jajahan Prancis. Kalau kasus ini mau disamakan, itu artinya Australia menganggap kita menjajah Timor Timur selama ini.
Jadi, Habibie kecewa dengan isi surat John Howard?
Memang kecewa. Kekecewaan itu memuncak setelah pemerintah Australia mengirimkan surat resmi pada Januari 1999. Isinya sama dengan faksimile tadi. Surat resmi dari Australia itu diteruskan kepada saya sebagai Menteri Luar Negeri RI. Di atas surat tersebut ada memo Presiden Habibie yang isinya begini, "Kalau setelah 23 tahun Timor Timur tidak juga betah bergabung dengan Indonesia, selaku presiden, saya mengusulkan kita berpisah baik-baik. Daerah itu kita kembalikan ke PBB."
Bukankah disposisi itu seperti mementahkan segala upaya Departemen Luar Negeri selama bertahun-tahun? Apa yang Anda lakukan setelah menerima surat itu?
Saya menemui Pak Habibie, mempertanyakan nasib usulan otonomi diperluas. Pak Habibie bilang, otonomi diperluas tetap dipakai sebagai usulan pertama, dan pisah secara baik-baik menjadi usulan kedua. Presiden juga bilang bahwa kita harus menolak usulan Portugal dan LSM tentang masa transisi itu. Sebab, percuma saja jika pada akhirnya mereka bilang good bye juga. Nah, usulan Pak Habibie itu dibawa ke rapat kabinet pada 27 Januari 1999. Walau diwarnai perdebatan, usulan itu akhirnya diterima.
Apa saja isi perdebatannya?
Ada perbedaan pandangan antara Departemen Luar Negeri dan Presiden. Kami merasa usulan kedua itu terlalu prematur. Para diplomat kami masih bekerja keras. Memang betul ada penolakan (terhadap usulan otonomi diperluas), tapi semuanya belum final. Bersama PBB dan Portugal, kami masih membahas poin-poin dalam otonomi itu. Mengapa tidak diteruskan? Sebagai perunding, saya masih optimistis.
Kalau optimistis, mengapa Anda tidak berhasil meyakinkan rapat kabinet?
Saat itu ada keyakinan kita bisa menang dalam jajak pendapat. Pilihannya kan otonomi khusus atau mau dilepaskan. Ada yang bilang bahwa kita bisa menang. Anehnya, tidak banyak yang yakin bahwa kita kalah.
Siapa saja yang optimistis akan menang?
Terutama kelompok prointegrasi dan mungkin kalangan intelijen. Mereka yakin bahwa sebagian terbesar masyarakat Timor Timur adalah silent majority. Yang berdemonstrasi hanya segelintir orang. Sedangkan yang di gunung cuma sedikit dan tinggal punya seratus pucuk senjata. Keyakinan mereka begitu. Selain itu, ada pemikiran bahwa dengan usulan itu kita akan lebih terhormat dalam dunia demokratisasi. Syukur-syukur kalau menang.
Opsi kedua yang ditawarkan Presiden Habibie sebetulnya kan sama saja dengan referendum?
Sejak awal, kita menolak kata referendum itu. Tapi, kalau kita mengusulkan opsi kedua itu, mau tidak mau harus ada mekanisme pemungutan pendapat.
Apa pun istilahnya, esensinya kan tetap referendum?
Sebagai diplomat, saya masih bisa bersilat lidah bahwa itu bukan referendum. Sebab, referendum memerlukan syarat tertentu seperti pendaftaran pemilih, semua orang Timor Timur di luar negeri harus masuk, yang bisa makan waktu berbulan-bulan. Tapi hati kecil saya memang mengatakan, apa pun namanya, ini sama saja dengan referendum.
Usulan pisah baik-baik ini apakah murni ide Habibie?
Saya kira Presiden mendapat masukan dari para penasihatnya. Penasihatnya itu banyak, antara lain Dewi Fortuna Anwar. (Kepada TEMPO, Dewi membantah, "Itu kebijakan pemerintah dan bukan atas dasar rekomendasi saya.") Memang opsi kedua itu baru sekadar usulan kepada MPR. Teoretis, MPR bisa menolak hasil pemungutan suara. Tapi itu berarti kita betul-betul berhadapan dengan dunia internasional.
Sepertinya Anda sudah yakin bahwa kita akan kalah. Pernahkah hal itu disampaikan kepada Presiden?
Walau kami tidak setuju, usulan Pak Habibie itu ada benarnya. Sebab, kalau kalah, kita harus punya usulan alternatif. Kalau saya tolak usulan itu, saya akan tercatat dalam sejarah Timor Timur sebagai penghambat kemerdekaan mereka, sebagai orang yang tidak demokratis. Padahal, sejak 1994, saya sudah mengusulkan otonomi khusus diperluas.
Betulkah pihak militer kita menolak opsi kedua?
Militer menerimanya. Saat itu Pak Wiranto mengatakan, kalau kita menempuh opsi kedua, jangan sekali-kali mengatakan bahwa masuknya kita ke Timor Timur merupakan suatu kesalahan. Sebab, jika itu dikatakan, para anggota militer yang ke sana telah melakukan perang ilegal. Artinya, mereka tidak berhak atas tanda jasa dan sejumlah fasilitas yang kini mereka terima.
Dalam perjanjian New York pada 5 Mei 1999, Anda menerima tanggung jawab keamanan selama proses jajak pendapat. Kegiatan itu dilaksanakan PBB, tapi mengapa beban menjaga keamanan jatuhnya ke Indonesia?
Itu pertanyaan banyak orang. Bahkan, saat saya menjadi saksi di pengadilan dua pekan lalu, hakim juga mencecar dengan pertanyaan seperti itu. Padahal pertimbangannya jelas. Kalau PBB yang memegang kendali pengamanan selama penentuan pendapat, konsekuensinya adalah PBB harus mengirimkan pasukannya ke Timor Timur--sesuatu yang ditolak keras oleh Indonesia. Daerah itu masih milik kita sampai hasil jajak pendapat memutuskan lain.
Mengapa pengumuman hasil jajak pendapat dipercepat dari 14 September ke 4 September?
Perwakilan kita di Timor Timur menelepon saya. Dia menyampaikan, sebaiknya pengumuman dilakukan pada 4 September. Pertimbangannya, penentuan pendapat dilakukan pada 30 Agustus dan penghitungan suara selesai pada 3 September. Kalau terlalu lama, hasilnya bisa saja sudah dibocorkan lebih dulu karena banyak sekali orang yang ikut menghitung. Usulan itu masuk akal. Presiden setuju. Dan hasilnya, seperti yang Anda ketahui, kita kalah telak.
Kekalahan itu sempat dibahas dalam rapat kabinet?
Tidak. Setelah pengumuman itu, kita bertemu lagi, tapi tidak banyak omong soal itu. Orang hanya berbisik-bisik.
Benarkah kekalahan kita itu sebagian karena kecurangan United Nations Mission in East Timor (Unamet)?
Kami juga meneliti kecurangan yang dilakukan Unamet. Tapi banyak tudingan yang tidak valid. Paling-paling, sebelum masuk bilik suara, ada anggota panitia yang berbisik-bisik dengan sejumlah ibu-ibu yang memilih. Tapi, kalaupun semua kecurangan itu didaftar, tidak akan bisa memperbaiki hasil akhirnya. Kalahnya tetap telak juga.
Setelah hasil jajak pendapat diumumkan, kerusuhan meletus di mana-mana. Benarkah pemerintah kita membiarkan saja kerusuhan itu terjadi untuk "memberi pelajaran" kepada Timor Timur?
Saya tidak tahu apa sebab persisnya. Aparat keamanan mengatakan bahwa mereka belum siap dengan percepatan pengumuman. Pak Habibie sendiri amat terkejut dengan situasi itu. Dia memerintahkan agar kita segera memulihkan keamanan di sana. Pada 5 September 1999, saya dan sejumlah menteri masih sempat ke Dili. Tapi, karena di sana sudah rusuh, yang bisa masuk ke Kota Dili cuma Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Pak Wiranto. Kami bertemu dengan wakil PBB dan Unamet di bandar udara Dili.
Apa isi pertemuan itu?
PBB mendesak agar kita menertibkan keamanan. Pak Wiranto bilang, kita akan melakukan upaya penertiban, tapi sebaiknya jangan cuma mengandalkan polisi. Militer harus maju dan sebaiknya diumumkan keadaan darurat militer untuk Timor Timur. PBB setuju. Pada 7 September, berlakulah darurat militer itu. Pada 11 September, Pak Wiranto dan delegasi Dewan Keamanan PBB bersama-sama mengunjungi Dili. Sepulang dari kunjungan itu, Pak Wiranto mengusulkan sebaiknya kita mengundang pasukan PBB saja untuk mengamankan situasi di kawasan itu. Usul itu diterima. Saya dikirim ke New York lagi untuk menyampaikan perubahan sikap kita.
Apa reaksi luar negeri yang paling ekstrem yang Anda terima dalam posisi sebagai Menteri Luar Negeri?
Sehari setelah kerusuhan meletus, sekitar 12 menteri luar negeri dari berbagai negara menelepon saya. Mereka mengecam dan meminta penjelasan. Saya betul-betul sibuk menghadapi berbagai kecaman itu. Tentu saja mereka tidak puas dengan jawaban-jawaban saya.
Sejumlah tersangka dalam peradilan hak asasi manusia soal Timor Timur mengaku cuma menjadi pelaksana lapangan dari sebuah kebijakan politik. Jadi, bola panas ini dilemparkan pemerintah?
Kita harus jujur mengatakan, kerusuhan besar itu terjadi saat keamanan masih berada di bawah kendali kita. Itu fakta. Nah, siapa pelaku kerusuhan itu? Pam Swakarsa dituding sebagai salah satu pelaku kerusuhan itu.
Pertanyaan besarnya, apakah Pam Swakarsa dibantu oleh militer?
Para pejabat militer mengatakan tidak. Bahwa ada oknum militer yang terlibat, itu diakui, tapi tidak secara institusi. Yang hendak diuji di pengadilan adalah apakah ada kolusi antara milisi-milisi itu dan pihak militer kita.
Pernahkah Anda mendengar informasi ini: sekitar Rp 10 miliar dana Badan Urusan Logistik diberikan ke Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto untuk pengamanan Timor Timur ketika itu?
Saya tidak tahu soal itu. Tapi tolong tanyakan saja ke Pak Wiranto.
Dan benarkah ada perintah kepada milisi untuk membumihanguskan Timor Timur?
Saya kira tidak. Tapi saya tidak tahu persis.
Saat menjadi Menteri Luar Negeri, apakah Anda merasa bahwa upaya diplomasi kita selalu terhambat oleh tindakan kekerasan di lapangan?
Sejak kerusuhan Santa Cruz pada November 1991, diplomasi kita melemah drastis. Dunia menyaksikan langsung peristiwa itu melalui jaringan televisi. Ada anak kecil yang ketakutan. Mengherankan memang, ada kamerawan di situ, eh, malah main tembak.
Bagaimana Anda menjelaskan hal ini ke dunia internasional?
Repot sekali. Apa pun jawaban saya, kita pasti dituding pembohong.
***
ALI ALATAS
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 4 November 1932
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1956
- Akademi Dinas Luar Negeri, 1956
Pekerjaan:
- Korektor Harian Niewsgierf (1952-1952)
- Redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954)
- Sekretaris II Kedutaan Besar RI di Bangkok (1956-1960)
- Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966)
- Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970)
- Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972)
- Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975)
- Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978)
- Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982)
- Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987)
- Menteri Luar Negeri (1987-1999)
- Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-sekarang)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 38 Rubrik Wawancara
Comments