Dua Sekawan Baru di Geng Solo
Inilah profil dua aktor baru jaringan bom Bali. Keduanya masih jadi buron.
BEGITU mendengar nama Abdul Ghoni disebut-sebut polisi, Ibu Pawiro Sukarto, 73 tahun, terpukul. Ia gundah sepanjang saat. Sang ibu agaknya merasa bahwa anaknya bisa menemui kesulitan berat. Ghoni--bersama Syawad dan Umar alias Patek--kini diuber polisi gara-gara dianggap sebagai peracik bom yang meluluhlantakkan kawasan wisata Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 lalu.
Keterlibatan Ghoni dan Syawad alias Sudjio bin Siswomulyono ini diungkapkan Ali Imron di Markas Kepolisian Daerah Bali, Kamis pekan lalu. Dua sekawan inilah yang menurut Imron berperan penting--sebagai teknisi pertama yang meracik bom--sejak 25 September sampai 2 Oktober. Keduanya menggarap bahan peledak yang disiapkan Amrozi.
Sebelumnya, Ghoni memang diburu polisi, tapi dengan tuduhan sebagai penyedia logistik untuk Abdul Aziz alias Imam Samudra. Dia disangka telah menyediakan rumah kontrakan untuk Imam di Dukuh Sanggrahan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. "Pemain utama" bom Bali yang masih dicari adalah Umar alias Patek--yang sedari awal masuk daftar pencarian orang. Ali Imron rupanya membalikkan "status" keduanya, dari figuran menjadi pemain kunci.
Bagi Ali Imron, Syawad bukan nama asing. Mereka bertemu di Thurkom, wilayah perbatasan Afganistan dan Pakistan. Di kamp milik salah satu komandan Ijtihad Islamiyah Afganistan inilah keduanya digembleng secara fisik, dibekali ilmu agama, khususnya tentang jihad, dan dibekali keterampilan merakit bom. Setelah itu, Syawad menghilang.
Sampai Ali Imron ditangkap di Pulau Berukang, Kalimantan Timur, 13 Januari lalu, Syawad--yang diberitakan sudah ada di Indonesia--masih tak diketahui rimbanya.
Sedangkan Ghoni, pria kelahiran Karanganyar, 12 Agustus 1969, pernah digerebek polisi di rumah kontrakannya di Dukuh Mantung, Desa Sanggrahan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, 24 November 2002. Waktu itu--bersamaan dengan digeledahnya rumah kontrakan Imam Samudra, Nova Ariyanto, serta Herniyanto, yang juga di Desa Sanggrahan, sekitar tiga kilometer ke arah barat daya Solo--polisi tak menemukan penghuni rumah.
Dari penuturan warga sekitar, penghuninya sudah hengkang 14 hari sebelumnya. Namun polisi menemukan 12 magasin kosong, yang terdiri atas 8 jenis magasin M-16 dan 4 jenis AK-47, di plafon rumah Ghoni. Selain itu, residu bahan peledak ditemukan di salah satu ruangnya. Sang istri, Sri Wahyuningsih, bersama empat anaknya diketahui beberapa hari kemudian "mengungsi" ke daerah Tulung, Klaten. Sri diperiksa polisi soal menghilangnya sang suami.
Ghoni memang tergolong misterius. Bernama alias Suranto, dia pernah menghilang selama lebih-kurang lima tahun dari rumah keluarganya di Dukuh Karangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Padahal waktu itu, 1989, dia tengah kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saat menginjak semester III, tiba-tiba dia memutuskan keluar. Alasannya, dia merasa kasihan kepada orang tua karena biaya kuliah mahal. Dia pamit ke Jakarta dan lenyap begitu saja.
Dia muncul lagi di kampungnya di waktu subuh suatu hari di bulan April 1994. "Kami sekeluarga menangis. Ketika ketemu, saya langsung dipeluk dan diciumi," tutur Muryati, salah satu kakaknya.
Banyak yang berubah setelah itu. Pria 33 tahun itu menjadi lebih fanatik. Ia berjenggot panjang, memakai celana menggantung di atas tumit, dan sering berbaju koko. Dia juga meminta agar ketiga kakaknya memakai jilbab. Padahal dulu, alumni Madrasah Aliyah Negeri Karanganyar itu, "Paling-paling hanya suka pergi ke masjid," ungkap Jono, tetangganya.
Sepulang "merantau", pada 1994, itulah Ghoni menikah dengan Wahyuningsih. Mereka ikut orang tua karena Ghoni tidak bekerja. Begitu anak pertamanya lahir, dia membuka usaha dengan membuat limun. Kemudian mereka pindah ke Dukuh Mantung, Solo, November 1997. Di rumah baru ini, Ghoni mendirikan warung kelontong. Kepada warga sekitar, ayah empat anak ini mengaku sebagai makelar sepeda motor dan mobil. Di luar itu, masyarakat tidak tahu apa pun sampai akhirnya terjadi penggeledahan dan namanya masuk daftar tersangka peledakan bom Bali. "Selain tidak pernah bergabung dengan warga sini, tak ada perbuatan penghuni rumah ini yang mengusik warga," kata Sutrisno, pemilik rumah kontrakan Ghoni.
Sang ibu juga tak habis pikir. "Dia itu jarang pulang, kok, tahu-tahu sudah begini," ujar Ibu Pawiro lemah. Punya seorang anak yang dituduh sebagai teroris jelas membuatnya hancur.
Abdul Manan, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)
TEMPO Edisi 030223-051/Hal. 32 Rubrik Laporan Utama
BEGITU mendengar nama Abdul Ghoni disebut-sebut polisi, Ibu Pawiro Sukarto, 73 tahun, terpukul. Ia gundah sepanjang saat. Sang ibu agaknya merasa bahwa anaknya bisa menemui kesulitan berat. Ghoni--bersama Syawad dan Umar alias Patek--kini diuber polisi gara-gara dianggap sebagai peracik bom yang meluluhlantakkan kawasan wisata Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 lalu.
Keterlibatan Ghoni dan Syawad alias Sudjio bin Siswomulyono ini diungkapkan Ali Imron di Markas Kepolisian Daerah Bali, Kamis pekan lalu. Dua sekawan inilah yang menurut Imron berperan penting--sebagai teknisi pertama yang meracik bom--sejak 25 September sampai 2 Oktober. Keduanya menggarap bahan peledak yang disiapkan Amrozi.
Sebelumnya, Ghoni memang diburu polisi, tapi dengan tuduhan sebagai penyedia logistik untuk Abdul Aziz alias Imam Samudra. Dia disangka telah menyediakan rumah kontrakan untuk Imam di Dukuh Sanggrahan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. "Pemain utama" bom Bali yang masih dicari adalah Umar alias Patek--yang sedari awal masuk daftar pencarian orang. Ali Imron rupanya membalikkan "status" keduanya, dari figuran menjadi pemain kunci.
Bagi Ali Imron, Syawad bukan nama asing. Mereka bertemu di Thurkom, wilayah perbatasan Afganistan dan Pakistan. Di kamp milik salah satu komandan Ijtihad Islamiyah Afganistan inilah keduanya digembleng secara fisik, dibekali ilmu agama, khususnya tentang jihad, dan dibekali keterampilan merakit bom. Setelah itu, Syawad menghilang.
Sampai Ali Imron ditangkap di Pulau Berukang, Kalimantan Timur, 13 Januari lalu, Syawad--yang diberitakan sudah ada di Indonesia--masih tak diketahui rimbanya.
Sedangkan Ghoni, pria kelahiran Karanganyar, 12 Agustus 1969, pernah digerebek polisi di rumah kontrakannya di Dukuh Mantung, Desa Sanggrahan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, 24 November 2002. Waktu itu--bersamaan dengan digeledahnya rumah kontrakan Imam Samudra, Nova Ariyanto, serta Herniyanto, yang juga di Desa Sanggrahan, sekitar tiga kilometer ke arah barat daya Solo--polisi tak menemukan penghuni rumah.
Dari penuturan warga sekitar, penghuninya sudah hengkang 14 hari sebelumnya. Namun polisi menemukan 12 magasin kosong, yang terdiri atas 8 jenis magasin M-16 dan 4 jenis AK-47, di plafon rumah Ghoni. Selain itu, residu bahan peledak ditemukan di salah satu ruangnya. Sang istri, Sri Wahyuningsih, bersama empat anaknya diketahui beberapa hari kemudian "mengungsi" ke daerah Tulung, Klaten. Sri diperiksa polisi soal menghilangnya sang suami.
Ghoni memang tergolong misterius. Bernama alias Suranto, dia pernah menghilang selama lebih-kurang lima tahun dari rumah keluarganya di Dukuh Karangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Padahal waktu itu, 1989, dia tengah kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saat menginjak semester III, tiba-tiba dia memutuskan keluar. Alasannya, dia merasa kasihan kepada orang tua karena biaya kuliah mahal. Dia pamit ke Jakarta dan lenyap begitu saja.
Dia muncul lagi di kampungnya di waktu subuh suatu hari di bulan April 1994. "Kami sekeluarga menangis. Ketika ketemu, saya langsung dipeluk dan diciumi," tutur Muryati, salah satu kakaknya.
Banyak yang berubah setelah itu. Pria 33 tahun itu menjadi lebih fanatik. Ia berjenggot panjang, memakai celana menggantung di atas tumit, dan sering berbaju koko. Dia juga meminta agar ketiga kakaknya memakai jilbab. Padahal dulu, alumni Madrasah Aliyah Negeri Karanganyar itu, "Paling-paling hanya suka pergi ke masjid," ungkap Jono, tetangganya.
Sepulang "merantau", pada 1994, itulah Ghoni menikah dengan Wahyuningsih. Mereka ikut orang tua karena Ghoni tidak bekerja. Begitu anak pertamanya lahir, dia membuka usaha dengan membuat limun. Kemudian mereka pindah ke Dukuh Mantung, Solo, November 1997. Di rumah baru ini, Ghoni mendirikan warung kelontong. Kepada warga sekitar, ayah empat anak ini mengaku sebagai makelar sepeda motor dan mobil. Di luar itu, masyarakat tidak tahu apa pun sampai akhirnya terjadi penggeledahan dan namanya masuk daftar tersangka peledakan bom Bali. "Selain tidak pernah bergabung dengan warga sini, tak ada perbuatan penghuni rumah ini yang mengusik warga," kata Sutrisno, pemilik rumah kontrakan Ghoni.
Sang ibu juga tak habis pikir. "Dia itu jarang pulang, kok, tahu-tahu sudah begini," ujar Ibu Pawiro lemah. Punya seorang anak yang dituduh sebagai teroris jelas membuatnya hancur.
Abdul Manan, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)
TEMPO Edisi 030223-051/Hal. 32 Rubrik Laporan Utama
Comments