Nilai Tinggi Korupsi dan Jawaban Antasari
Nilai korupsi temuan BPKP di Departemen Keuangan Rp 2,09 triliun--tertinggi di antara semua instansi. Tapi, mereka tak percaya.
BELUM lagi hilang penat di badan, dan mungkin masih mengalami jet lag, juru bicara Kejaksaan Agung, Antasari Azhar, harus menjawab banyak pertanyaan. "Padahal saya baru hari ini masuk kantor setelah naik haji," katanya, Jumat pekan lalu. Temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dilansir sebelumnya memang tinggal menanti jawaban sang Pejabat Humas Gedung Bundar.
Release temuan tindak pidana khusus atau korupsi di 26 lembaga negara untuk triwulan III/2002 yang disampaikan BPKP dua pekan lalu memang "bom Bali" yang lain. Dilaporkan, ada 734 kasus korupsi bernilai kerugian Rp 3,1 triliun dan US$ 205,4 juta. Jumlah ini melebihi anggaran untuk penyelenggaraan pemilu serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, yang Rp 3,609 triliun.
Kejaksaan Agung mengaku sudah bergerak menangani berbagai temuan yang disampaikan BPKP. Hingga kini sudah 747 kasus diproses, tapi tak semua diteruskan ke pengadilan. Ada 170 kasus (22,76 persen) yang dihentikan penyidikannya karena dinilai tak cukup bukti dan tidak memenuhi unsur pidana. Yang sudah diselesaikan 383 kasus (51,27 persen). Sisanya, 194 kasus (25,97 persen), masih dalam proses. "Namun, saya tak ingat detail kasusnya. Sebab, data ini meliputi kasus seluruh Indonesia," kata Antasari. Jumlah 747 itu merupakan akumulasi kasus laporan BPKP periode 1983-2002.
Lembaga pemerintah yang paling kaget dengan pelansiran temuan ini adalah Departemen Keuangan. Dalam release BPKP, departemen pimpinan Boediono ini menduduki peringkat pertama karena angka korupsinya paling tinggi. Dari total kerugian Rp 3,1 triliun, uang negara yang dikorup di instansinya sekitar Rp 2,09 triliun!
Departemen yang berkantor di Lapangan Banteng, Jakarta, ini juga tak tahu sebelumnya bakal ada pengumuman tersebut. Malah, kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum Departemen Keuangan, Maurin Sitorus, Menteri Keuangan Boediono baru tahu hari itu juga. Itu pun sehabis ditanya wartawan. Lalu, Boediono langsung meminta inspektorat jenderal departemennya agar mendapatkan data detailnya.
Yang mengagetkan Departemen Keuangan adalah jumlah uang yang dikorup. Sebab, Maurin melanjutkan, laporan BPKP pada triwulan II "hanya" temuan lima kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 59,24 miliar. "Masa, kenaikannya sangat luar biasa, hingga 3.300 persen?" tuturnya, heran.
Hingga pekan lalu, Departemen Keuangan belum membaca laporan lengkap kasusnya. Sedangkan temuan triwulan sebelumnya sudah diklarifikasi: temuan lembaga pengawasan itu memang benar. Rinciannya, ditemukan manipulasi penerimaan anggaran negara di Pegadaian Kupang Rp 174 juta. Lalu, ada manipulasi pembayaran bea masuk dan pajak impor. Jumlahnya tergolong fantastis, Rp 39,925 miliar! Korupsi di sektor ini terbesar dalam triwulan II.
Ranking terbesar kedua adalah korupsi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), serta jasa biro PBB yang tidak disetor ke negara tapi ditelan sendiri. Modus penyalahgunaan kekuasaan seperti ini merugikan negara Rp 19,824 miliar. Lainnya adalah korupsi berbentuk penebusan barang dan cek kosong di Pegadaian Sentul, Yogyakarta (Rp 367 juta), dan penetapan harga tak wajar oleh pejabat lelang. Namun, Departemen Keuangan mengaku tidak ingat persis bagaimana kelanjutan kasus ini. Sebab, semuanya sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Antasari menambahkan, tidak semua kasus yang dihentikan masuk kotak. Beberapa di antaranya dikembalikan ke BPKP karena hanya masalah administrasi. Lalu, ada juga yang dianggap lebih kental kasus pidananya, sehingga kasusnya diserahkan ke polisi. BPKP memang memiliki kerja sama resmi dengan Polri, yang secara formal ditandatangani Kepala BPKP Arie Soelendro dan Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, 29 April 2002 lalu.
Selain Departemen Keuangan, ada dua departemen lain yang juga tergolong tinggi menenggak uang rakyat. Keduanya adalah Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertanian, masing-masing dengan kerugian Rp 104,7 miliar dan Rp 54,2 miliar. Pemerintah, melalui tangan kejaksaan, tentu harus menghentikan kompetisi memperebutkan trofi yang tidak membanggakan ini.
Abdul Manan, Wahyu Dhyatmika (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 030302-052/Hal. 42 Rubrik Nasional
BELUM lagi hilang penat di badan, dan mungkin masih mengalami jet lag, juru bicara Kejaksaan Agung, Antasari Azhar, harus menjawab banyak pertanyaan. "Padahal saya baru hari ini masuk kantor setelah naik haji," katanya, Jumat pekan lalu. Temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dilansir sebelumnya memang tinggal menanti jawaban sang Pejabat Humas Gedung Bundar.
Release temuan tindak pidana khusus atau korupsi di 26 lembaga negara untuk triwulan III/2002 yang disampaikan BPKP dua pekan lalu memang "bom Bali" yang lain. Dilaporkan, ada 734 kasus korupsi bernilai kerugian Rp 3,1 triliun dan US$ 205,4 juta. Jumlah ini melebihi anggaran untuk penyelenggaraan pemilu serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, yang Rp 3,609 triliun.
Kejaksaan Agung mengaku sudah bergerak menangani berbagai temuan yang disampaikan BPKP. Hingga kini sudah 747 kasus diproses, tapi tak semua diteruskan ke pengadilan. Ada 170 kasus (22,76 persen) yang dihentikan penyidikannya karena dinilai tak cukup bukti dan tidak memenuhi unsur pidana. Yang sudah diselesaikan 383 kasus (51,27 persen). Sisanya, 194 kasus (25,97 persen), masih dalam proses. "Namun, saya tak ingat detail kasusnya. Sebab, data ini meliputi kasus seluruh Indonesia," kata Antasari. Jumlah 747 itu merupakan akumulasi kasus laporan BPKP periode 1983-2002.
Lembaga pemerintah yang paling kaget dengan pelansiran temuan ini adalah Departemen Keuangan. Dalam release BPKP, departemen pimpinan Boediono ini menduduki peringkat pertama karena angka korupsinya paling tinggi. Dari total kerugian Rp 3,1 triliun, uang negara yang dikorup di instansinya sekitar Rp 2,09 triliun!
Departemen yang berkantor di Lapangan Banteng, Jakarta, ini juga tak tahu sebelumnya bakal ada pengumuman tersebut. Malah, kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum Departemen Keuangan, Maurin Sitorus, Menteri Keuangan Boediono baru tahu hari itu juga. Itu pun sehabis ditanya wartawan. Lalu, Boediono langsung meminta inspektorat jenderal departemennya agar mendapatkan data detailnya.
Yang mengagetkan Departemen Keuangan adalah jumlah uang yang dikorup. Sebab, Maurin melanjutkan, laporan BPKP pada triwulan II "hanya" temuan lima kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 59,24 miliar. "Masa, kenaikannya sangat luar biasa, hingga 3.300 persen?" tuturnya, heran.
Hingga pekan lalu, Departemen Keuangan belum membaca laporan lengkap kasusnya. Sedangkan temuan triwulan sebelumnya sudah diklarifikasi: temuan lembaga pengawasan itu memang benar. Rinciannya, ditemukan manipulasi penerimaan anggaran negara di Pegadaian Kupang Rp 174 juta. Lalu, ada manipulasi pembayaran bea masuk dan pajak impor. Jumlahnya tergolong fantastis, Rp 39,925 miliar! Korupsi di sektor ini terbesar dalam triwulan II.
Ranking terbesar kedua adalah korupsi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), serta jasa biro PBB yang tidak disetor ke negara tapi ditelan sendiri. Modus penyalahgunaan kekuasaan seperti ini merugikan negara Rp 19,824 miliar. Lainnya adalah korupsi berbentuk penebusan barang dan cek kosong di Pegadaian Sentul, Yogyakarta (Rp 367 juta), dan penetapan harga tak wajar oleh pejabat lelang. Namun, Departemen Keuangan mengaku tidak ingat persis bagaimana kelanjutan kasus ini. Sebab, semuanya sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
Antasari menambahkan, tidak semua kasus yang dihentikan masuk kotak. Beberapa di antaranya dikembalikan ke BPKP karena hanya masalah administrasi. Lalu, ada juga yang dianggap lebih kental kasus pidananya, sehingga kasusnya diserahkan ke polisi. BPKP memang memiliki kerja sama resmi dengan Polri, yang secara formal ditandatangani Kepala BPKP Arie Soelendro dan Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, 29 April 2002 lalu.
Selain Departemen Keuangan, ada dua departemen lain yang juga tergolong tinggi menenggak uang rakyat. Keduanya adalah Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertanian, masing-masing dengan kerugian Rp 104,7 miliar dan Rp 54,2 miliar. Pemerintah, melalui tangan kejaksaan, tentu harus menghentikan kompetisi memperebutkan trofi yang tidak membanggakan ini.
Abdul Manan, Wahyu Dhyatmika (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 030302-052/Hal. 42 Rubrik Nasional
Comments