Koruptor Boleh, PKI Jangan

BERUNTUNG nian koruptor di negeri ini. Walau divonis bersalah oleh pengadilan, mereka masih berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2004. Meski divonis bersalah di pengadilan negeri, bahkan lalu dikukuhkan pengadilan tinggi, bergegaslah naik banding ke Mahkamah Agung.

Sebelum putusan hukum tetap itu tiba, Anda masih berpeluang manggung di Senayan sampai mulut berbuih-buih. Kembali menjadi ketua Dewan terhormat pun silakan. Para konco setabiat (garong, pemerkosa, pengedar narkoba, pembunuh)--asalkan belum berkekuatan hukum tetap--silahken melangkah ke Senayan.

"Kalau masih status terdakwa dan belum memiliki kekuatan hukum tetap, boleh dicalonkan," kata Rully Chairul Azwar, anggota Panitia Khusus Undang-Undang Pemilu dari Golkar. Kalau tidak, bos besarnya, Akbar Tandjung, bisa terjegal. Bukankah Ketua Umum Golkar itu telah divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah terbukti mengkorupsi dana Badan Urusan Logistik (Bulog)? Dan Pengadilan Tinggi DKI telah pula memperkuat vonis itu?

Banding Akbar ke Mahkamah Agung juga tak kunjung diputuskan. Itu sebabnya kasus Akbar masuk kategori "belum memiliki kekuatan hukum tetap." Jadi, dia boleh melenggang lagi ke Senayan, 2004 nanti. Itulah buah "dagang sapi" Pasal 60 UU Pemilu yang direstui DPR pekan lalu.

Yang dikutuk habis oleh undang-undang itu adalah bekas aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi turunannya. Sekudus-kudusnya perilaku Anda--suka bekerja bakti dan rajin membayar pajak, misalnya--tapi karena Anda mantan PKI, tetap saja tak punya hak apa-apa di negeri ini. Jadi, urungkan niat Anda ke Senayan. Tak peduli sudah dibui atau dibuang ke "Nieuw Boven Digul" di Pulau Buru sana. No way. Poin ketujuh pasal 60 tadi menyebutkannya.

Rheinhad S., tertuding anggota PKI mantan buangan di Pulau Buru, sempat harap-harap cemas menunggu UU Pemilu itu. Tapi, apa daya, katanya kepada TEMPO, "Kami dianggap lebih buruk dari kriminal dan koruptor."

Kini jumlah sisa bekas pengikut PKI masih simpang-siur. Ada yang menyebut angka 5 juta orang dan ada pula yang membilangnya 4 juta kepala. Rheinhad sendiri mengklaim 20 juta orang.

Tapi sejumlah peneliti meyakini angka itu terlalu mengawang. Menurut Hermawan Sulistyo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang pernah meneliti soal PKI, jumlah mereka tinggal sejuta orang. Jikapun mereka mengikuti pemilu, katanya, jumlah kursi yang bisa direbut mereka tiga atau empat kursi saja. Sedikit. Tapi, bagi Rheinhad dan kawan-kawan, masalahnya lebih dari sekadar merebut kursi empuk Senayan--toh, hampir semuanya telah beranjak ke usia senja. "Pengakuan akan hak kami, itu lebih penting," kata pria berusia 59 tahun ini.

Soal itulah yang sempat menjadi polemik alot dalam sidang paripurna RUU Pemilu pekan lalu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendesak agar mereka yang tertuduh PKI boleh menjadi anggota Dewan. Begitulah tadinya.

Tapi Golkar menolak. Sebab, bila usul itu lolos, Akbar Tandjung bakal terpelanting dari daftar calon. Golkar balik mengancam: para pejabat publik dilarang ikut berkampanye. Ini jelas bumerang bagi PDIP, yang ketua umumnya kini RI-1. Bayangkanlah jika PDIP berkampanye sonder Megawati dan para menteri kabinetnya serta para gubenur, bupati, atau camat. Bakal tak bunyi. Soalnya, rakyat Indonesia, terutama massa sandal jepit PDIP, masih paternalistis.

Sidang pun terancam macet dan kompromi disepakati. PDIP membatalkan niat memboyong para mantan tahanan politik (tapol) komunis ke Senayan. Imbalannya, pejabat publik seperti Presiden Megawati boleh ikut mengumbar janji saat kampanye pemilu. "Tukar guling"-nya, Golkar ibarat ketiban durian runtuh: ketua umumnya boleh masuk Senayan lagi pada 2004 nanti. Lalu mereka yang dituding sebagai pengikut PKI mungkin akan membawa rasa terluka sampai ke alam baka.

Wenseslaus Manggut, Abdul Manan

TEMPO Edisi 030302-052/Hal. 37 Rubrik Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO