Yang Penting Berakhlak Mulia
SEJUMLAH suara setujudan menolak tentang kepemimpinan wanita direkam dalam beragam pendapat di bawah ini.
* K.H. Zaini Ahmad Noeh, Ahli Fikih Politik: "Dalilnya Tidak Cukup Kuat "
"Alquran pada dasarnya menempatkan wanita sejajar dengan pria. Amal baik laki-laki dan perempuan mendapatkan nilai dan kedudukan yang sama. Dalam persoalan ibadah langsung, seperti alat, para ulama sepakat memang laki-laki ditetapkan sebagai imam. Namun, dalam persoalan yang semakin berjarak atau tidak langsung ubudiyah, kedudukan wanita menjadi semakin cair.
Alasan ulama yang tak setuju wanita jadi pemimpin dikaitkan dengan Surat An-Nisa Ayat 34, Ar-rijalu qowwamuna ala'nnisa Laki-laki adalah pemimpin dan penegak keadilan bagi kaum wanita). Tapi, bahasa Arab terkadang sangat diplomatis dan mengandung multitafsir. Kelanjutan ayat itu, "karena Allah melebihkan sebagian mereka daripada sebagian yang lain", di situ tidak ditegaskan laki-laki dilebihkan dari wanita. Ayat itu bisa diartikan sebagai melebihkan sebagian (wanita/pria) daripada sebagian (wanita/pria) yang lain. Inilah persoalan khilafiah. Khilafiah bukmlah pertentangan, tapi menjadi landasan ilmu fikih, karena menyangkut perbedaan pandangan. Ilmu fikih sendiri sandarannya adalah perbedaan pandangan.
Sementara itu, adanya hadis yang menyatakan, "Tak akan bahagia sebuah kaum jika menyerahkan persoalannya kepada wanita," harus dilihat dari konteks kepemimpinan di Persia. Tapi, hadis nilainya tetap di bawah Alquran. Alquran menyebut-nyebut soal kepemimpinan wanita dalam konteks istimewa. Misalnya, cerita Ratu Bilqis, yang kemudian diperistri Nabi Sulaiman A.S. Ternyata dalam sejarah ada wanita yang pintar dan berkuasa, dan cuma kalah dari Nabi Sulaiman, atas izin Tuhan. Pada Dinasti Moghul, India, tercatat ada wanita menjadi kepala negara. Begitu pula dalam sejarah modern, negeri dengan penduduk mayoritas muslim seperti Bangladesh dan Pakistan pemah memiliki wanita pemimpin. Begitu pula dengan Jawa, Demak, Aceh, yang memiliki panglima perang wanita. Istri Nabi, Sayidina Aisyah, juga pernah menjadi panglima perang. Artinya, masalah pemimpin wanita jelas masalah khilafiah, masalah fikih. Yang perlu dikembangkan itu adalah sikap toleransi sesuai dengan ajaran Islam, dalam memandang masalah ini. Dasar berpikir secara ilmiah Islaun sesungguhnya sudah toleran, moderat."
* Ny. Aisyah Hamid Baidlawi, Ketua Muslimat NU: "Saya Sangat Gembira "
"Sebagai seorang wanita, saya sangat bergembira bila sekarang ada seorang wanita yang dapat membawa partainya menang dalam Pemilu 1999. Namun sebagai wania presiden, kita harus melihat empat syarat: kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Terutama akseptabilitas, kalau memang ternyata Megawati diterima dengan baik oleh segala kalangan masyarakat, kita jua harus legowo menerimanya sebagai presiden.
Islam tidak pemah melarang wanita memiliki peran publik. Contohnya Khadijjah, istri Nabi Muhammad S.A.W.. yang sukses sebagai pedagang dan konglomerat di zaman itu, atau Aisyah yang seorang guru dengan banyak murid pria atau tokoh Umi Attiyah yang insinyur wanita masyhur di zaman Nabi. Belum lagi sultan-sultan wanita yang dipanggil sultanah. Peran mereka bahkan pernah sangat politis dan maskulin. Misalnya Aisyah yang pernah menjadi panglima dalam sebuah perang.
Persoalan kini karena banyak ulama yang merujuk dan mengaitkan fungsi kepala negara dengan imam dalam ibadah agama Islam. Karena memang mustahil bagi seorang wanita meng-imami laki laki dalam salat atau ritual agama yang lain maka mustahil juga bagi dia memimpin bangsa. Jangan lupa, persoalan kultur setempat sangat berpengaruh dalam penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran Dan jangan lupa pula banyak sekali penafsiran yang berasal dari mulafsir-mutafsir laki-laki yang tentu saja sangat gender basa. Misalnya, munculnya pameo swarga nunut neraka katut, atau konco wingking yang menempatkan wanita seolah-olah di bawah pria. Padahal, ayat-ayat Alquran sendiri sangat no-gender based. "Barangsiapa laki-laki atau perempuan melakukan amal baik maka Allah akan memberikan pahala yang setimpal." Tak pernah ada perbedaan karena laki-laki dan perempuan, tapi semata dilihat dari amal dan takwanya."
* Prof. Dr. Siti Chamamah, Wakil Ketua PP Aisyiah: "Dia Bisa Dipilih. . . "
"Tidak ada batasan apakah pemimpin atau presiden itu harus laki-laki atau perempuan. Islam justru mengajarkan yang penting adalah kredibel dan kapabel. Kalau kemudian muncul berbagai pendapat tentang itu, tak lebih karena persoalan interpretasi. Di mata Islam, laki-laki dan perempuan itu sama. Ini tidak hanya untuk jabatan-jabatan penting, misalnya presiden, tapi juga untuk jabatan-jabatan lain yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin.
Memang ada hadis yang menyatakan itu. Tetapi, kita harus meneliti kesahihan hadis itu. Bagaimana asal mulanya ada hadis itu harus diteliti. Istilahnya assal7u n nuzul-nya harus jelas. Jangan hanya karena ada nama kearah-araban terus dianggap sahih. Belum tentu. Kalau memang terus mau mengaitkan agama dalam proses pemilihan pemimpin, sebaiknya ditetapkan bahwa pemimpin itu harus berakhlak karimah. Untuk itu, Aisyiyah dalam menghadapi soal wanita presiden sudah lama hersikap bahwa yang penting adalah kredibel dan kapabel, itu saja. Kalau Ibu Megawati kredibel dan kapabel dan berakhlak karimah dia bisa dipilih jadi presiden."
* K.H. Yusuf Muhammad, Pondok Pesantren Darussolah, Jemher: "Harus Dilihat secara omprehensif".
"Ayat yang berbunyi, arrijalu qowwamuna alannisa' adalah dalil am (dalil umum). Secara umum, saya kira itu betul. Hanya, ayat itu tidak bisa dijadikan pertimbangan satu-satunya untuk menilai wanita jadi pemimpin boleh atau tidak. Kontroversi itu berawal dari makna presiden itu sendiri. Kalau presiden itu seperti sultan, yang diberi wewenang, tidak ada masalah. Lagi pula, presiden itu pelaksana. Dan, juga diawasi. Ini jelas beda dengan imamul a'dzam, imam tertinggi. yang memegang kekuasaan tertinggi. Untuk jabatan imamul a'dzam tidak boleh wanita. Jadi, harus diperjelas apa dan bagaimana presiden itu. Apa dia penentu segalanya? Jangan seperti seorang ustad yang ditanya tentang hukumnya loudspeaker. Dia berkata tegas: haram. Padahal, saat itu dia berada di depan loudspeaker. Saat ditanya, yang anda pakai itu kan loudspeaker juga, Mendengar komentar ini, si ustad lalu mengatakLm, kalau pengeras suara ini halal. Saya kira ributnya di situ. Karena itu untuk menetapkan hukum agama, sesuatu itu mesti dilihat secara komprehensif, lihat konteksnya, serta keterkaitannya.
Hukum agama ada yang harus dilaksanakan secara normal. karena keadaan normal. Namun ketika kondisi berubah, hukum hisa berubah. Lalu ada istilah ruhsoh (dispensasi). Bahkan pada saat teltentu ada kondisi yang lebih dari itu, yang namanya darurat. Artinya, sebuah keputusan hukum itu harus dipertimbangkan secara komprehensif. Apalagi kalau kita harus memilih. Dalam usul fikih dikatakan; kalau kita harus memilih pilihan yang sama jeleknya. ada pilihannya adalah yang lebih kecil mudaratnya. Contohnya sckarang ini. Ada calon wanita presiden, ada realitas dukungan ada kelompok yang namanya status quo, ada orang yang suka menghabiskan anggaran secara tidak proporsional, ada yang calegnya non-muslim, ada yang kebanyakan omong. Kalau kita disuruh memilih, dan pilihannya sama-samajelek, maka kembali ke kaida usul fikih itu.
* Dra. Hj. Tuty Alawiyah, Mubaligah: "Saya Bisa Berbuat Aelawal; Nurani Saya"
"Menurut pendapat saya, pimpinan tertinggi sebuah negara bisa dipisahkan dengan kepemimpinan di dalam agama yang kita sebut imam. Oleh karena itu, secara faktual kita sudah bisa melihat kepemimpinan di suatu level tertentu. Bahkan menurut saya sudah tida perlu kita persoalkan lagi. Lihatlah Perdana Menteri Turki, Pakistan dan Bangladesh yang wanita. Itu semuanya sebagai pemimpin tertinggi negara, dan mengatur rakyat dan bangsanya.
Buat saya, seorang wanita tampil pada posisi ketua partai, itu sudah suatu prestasi yang tinggi. Dan kita menaruh hormat. Saya kira akan diterima oleh Megawati apabila dia memang memenangkan koalisi dan mcmenangkan suara di MPR itu. Sekarang, marilah kita tegakkan di MPR itu dan kita perjuangkan bersamasama. Saya dalam masalah ini, terus terang, lidak memikirkan masalah gendernya. Kenapa, yang pertama sebagai orang muslim, kita ini punya ayat dan hadis yang menyatakan kualitas manusianya. Untuk manusia Indonesia siapa yang terbaik, mari kita lihat. Yang kedua, mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Saya bisa melihat bahwa kita harus memilih mana yang lemah, siapa yang kuat.
Soal keberatan para ulama, kan ada keragaman. Saya tidak bisa mengatakan itu salah atau yang ini yang benar. Saudara bisa melihat, semuanya itu punya dalil yang kuat. Saya tidak bisa mempengaruhi, saya menghargai semuanya. Memang ada hadis. Tapi, konteksnya ke mana? Dan hadis ini menyatakan: "Tidak beruntung," bukannya melarang. Tapi dalam masalah ini, maaf saja saya bisa berbuat melawan nurani saya. Saya lebih senang kita tidak berpikir gender, tapi karena sudah sampai pada topfigur, mari berbuat, mari berjuang, mari berkompetisi supaya kita semua tidak salah. Kebenaran itu akan tampak kalau dari nurani kita."
* K.H. Abdul Khaliq Murad, Mantan Ketua DPP PDI: "Jangan Dihalangi"
"Dari perspektif hukum Islam, wanita menjadi pemimpin, terutama kepala negara, termasuk hal yang dipersengketakan. Tak ada dalil dalam Alquran yang mengharamkan wanita menjadi pemimpin. Yang membolehkan dan yang melarang memiliki argumentasi masing-masing. Sama dengan soal kepiting. Ada yang bilang halal dan ada yang bilang haram. Semuanya pakai dalil.
Islam sudah lama mengenal kepemimpinan wanita, seperti Syajaratud Durr di Mesir, Ratu Arwah dan Asma yang Syiah di Yaman. Karena itu saya tidak mengerti kenapa di Indonesia berusaha tidak dibolehkan wanita menjadi presiden.
Di Indonesia sendiri ketika Megawati dipermasalahkan untuk menjadi presiden, saya justru tidak sependapat dengan pemikiran para ulama, baik yang pro maupun yang kontra. Sebab, mereka semua mempergunakan agama menjadi landasan pijakan. Bagi saya lebih baik biarkan masalah politik itu bergulir mandiri. Kalau nanti Mega jadi presiden silakan rakyat menilai. Yang penting demokrasi ini jangan dihalang-halangi."
Laporan Imelda Bachtiar, Rachmat H. Cahyono, Multa Fidrus (Jakarta) Prasetya (Yogyakarta), Abdul Manan (Surabaya), dan Reporter Semarang.
D&R, Edisi 990628-046/Hal. 22 Rubrik Liputan Utama
* K.H. Zaini Ahmad Noeh, Ahli Fikih Politik: "Dalilnya Tidak Cukup Kuat "
"Alquran pada dasarnya menempatkan wanita sejajar dengan pria. Amal baik laki-laki dan perempuan mendapatkan nilai dan kedudukan yang sama. Dalam persoalan ibadah langsung, seperti alat, para ulama sepakat memang laki-laki ditetapkan sebagai imam. Namun, dalam persoalan yang semakin berjarak atau tidak langsung ubudiyah, kedudukan wanita menjadi semakin cair.
Alasan ulama yang tak setuju wanita jadi pemimpin dikaitkan dengan Surat An-Nisa Ayat 34, Ar-rijalu qowwamuna ala'nnisa Laki-laki adalah pemimpin dan penegak keadilan bagi kaum wanita). Tapi, bahasa Arab terkadang sangat diplomatis dan mengandung multitafsir. Kelanjutan ayat itu, "karena Allah melebihkan sebagian mereka daripada sebagian yang lain", di situ tidak ditegaskan laki-laki dilebihkan dari wanita. Ayat itu bisa diartikan sebagai melebihkan sebagian (wanita/pria) daripada sebagian (wanita/pria) yang lain. Inilah persoalan khilafiah. Khilafiah bukmlah pertentangan, tapi menjadi landasan ilmu fikih, karena menyangkut perbedaan pandangan. Ilmu fikih sendiri sandarannya adalah perbedaan pandangan.
Sementara itu, adanya hadis yang menyatakan, "Tak akan bahagia sebuah kaum jika menyerahkan persoalannya kepada wanita," harus dilihat dari konteks kepemimpinan di Persia. Tapi, hadis nilainya tetap di bawah Alquran. Alquran menyebut-nyebut soal kepemimpinan wanita dalam konteks istimewa. Misalnya, cerita Ratu Bilqis, yang kemudian diperistri Nabi Sulaiman A.S. Ternyata dalam sejarah ada wanita yang pintar dan berkuasa, dan cuma kalah dari Nabi Sulaiman, atas izin Tuhan. Pada Dinasti Moghul, India, tercatat ada wanita menjadi kepala negara. Begitu pula dalam sejarah modern, negeri dengan penduduk mayoritas muslim seperti Bangladesh dan Pakistan pemah memiliki wanita pemimpin. Begitu pula dengan Jawa, Demak, Aceh, yang memiliki panglima perang wanita. Istri Nabi, Sayidina Aisyah, juga pernah menjadi panglima perang. Artinya, masalah pemimpin wanita jelas masalah khilafiah, masalah fikih. Yang perlu dikembangkan itu adalah sikap toleransi sesuai dengan ajaran Islam, dalam memandang masalah ini. Dasar berpikir secara ilmiah Islaun sesungguhnya sudah toleran, moderat."
* Ny. Aisyah Hamid Baidlawi, Ketua Muslimat NU: "Saya Sangat Gembira "
"Sebagai seorang wanita, saya sangat bergembira bila sekarang ada seorang wanita yang dapat membawa partainya menang dalam Pemilu 1999. Namun sebagai wania presiden, kita harus melihat empat syarat: kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Terutama akseptabilitas, kalau memang ternyata Megawati diterima dengan baik oleh segala kalangan masyarakat, kita jua harus legowo menerimanya sebagai presiden.
Islam tidak pemah melarang wanita memiliki peran publik. Contohnya Khadijjah, istri Nabi Muhammad S.A.W.. yang sukses sebagai pedagang dan konglomerat di zaman itu, atau Aisyah yang seorang guru dengan banyak murid pria atau tokoh Umi Attiyah yang insinyur wanita masyhur di zaman Nabi. Belum lagi sultan-sultan wanita yang dipanggil sultanah. Peran mereka bahkan pernah sangat politis dan maskulin. Misalnya Aisyah yang pernah menjadi panglima dalam sebuah perang.
Persoalan kini karena banyak ulama yang merujuk dan mengaitkan fungsi kepala negara dengan imam dalam ibadah agama Islam. Karena memang mustahil bagi seorang wanita meng-imami laki laki dalam salat atau ritual agama yang lain maka mustahil juga bagi dia memimpin bangsa. Jangan lupa, persoalan kultur setempat sangat berpengaruh dalam penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran Dan jangan lupa pula banyak sekali penafsiran yang berasal dari mulafsir-mutafsir laki-laki yang tentu saja sangat gender basa. Misalnya, munculnya pameo swarga nunut neraka katut, atau konco wingking yang menempatkan wanita seolah-olah di bawah pria. Padahal, ayat-ayat Alquran sendiri sangat no-gender based. "Barangsiapa laki-laki atau perempuan melakukan amal baik maka Allah akan memberikan pahala yang setimpal." Tak pernah ada perbedaan karena laki-laki dan perempuan, tapi semata dilihat dari amal dan takwanya."
* Prof. Dr. Siti Chamamah, Wakil Ketua PP Aisyiah: "Dia Bisa Dipilih. . . "
"Tidak ada batasan apakah pemimpin atau presiden itu harus laki-laki atau perempuan. Islam justru mengajarkan yang penting adalah kredibel dan kapabel. Kalau kemudian muncul berbagai pendapat tentang itu, tak lebih karena persoalan interpretasi. Di mata Islam, laki-laki dan perempuan itu sama. Ini tidak hanya untuk jabatan-jabatan penting, misalnya presiden, tapi juga untuk jabatan-jabatan lain yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin.
Memang ada hadis yang menyatakan itu. Tetapi, kita harus meneliti kesahihan hadis itu. Bagaimana asal mulanya ada hadis itu harus diteliti. Istilahnya assal7u n nuzul-nya harus jelas. Jangan hanya karena ada nama kearah-araban terus dianggap sahih. Belum tentu. Kalau memang terus mau mengaitkan agama dalam proses pemilihan pemimpin, sebaiknya ditetapkan bahwa pemimpin itu harus berakhlak karimah. Untuk itu, Aisyiyah dalam menghadapi soal wanita presiden sudah lama hersikap bahwa yang penting adalah kredibel dan kapabel, itu saja. Kalau Ibu Megawati kredibel dan kapabel dan berakhlak karimah dia bisa dipilih jadi presiden."
* K.H. Yusuf Muhammad, Pondok Pesantren Darussolah, Jemher: "Harus Dilihat secara omprehensif".
"Ayat yang berbunyi, arrijalu qowwamuna alannisa' adalah dalil am (dalil umum). Secara umum, saya kira itu betul. Hanya, ayat itu tidak bisa dijadikan pertimbangan satu-satunya untuk menilai wanita jadi pemimpin boleh atau tidak. Kontroversi itu berawal dari makna presiden itu sendiri. Kalau presiden itu seperti sultan, yang diberi wewenang, tidak ada masalah. Lagi pula, presiden itu pelaksana. Dan, juga diawasi. Ini jelas beda dengan imamul a'dzam, imam tertinggi. yang memegang kekuasaan tertinggi. Untuk jabatan imamul a'dzam tidak boleh wanita. Jadi, harus diperjelas apa dan bagaimana presiden itu. Apa dia penentu segalanya? Jangan seperti seorang ustad yang ditanya tentang hukumnya loudspeaker. Dia berkata tegas: haram. Padahal, saat itu dia berada di depan loudspeaker. Saat ditanya, yang anda pakai itu kan loudspeaker juga, Mendengar komentar ini, si ustad lalu mengatakLm, kalau pengeras suara ini halal. Saya kira ributnya di situ. Karena itu untuk menetapkan hukum agama, sesuatu itu mesti dilihat secara komprehensif, lihat konteksnya, serta keterkaitannya.
Hukum agama ada yang harus dilaksanakan secara normal. karena keadaan normal. Namun ketika kondisi berubah, hukum hisa berubah. Lalu ada istilah ruhsoh (dispensasi). Bahkan pada saat teltentu ada kondisi yang lebih dari itu, yang namanya darurat. Artinya, sebuah keputusan hukum itu harus dipertimbangkan secara komprehensif. Apalagi kalau kita harus memilih. Dalam usul fikih dikatakan; kalau kita harus memilih pilihan yang sama jeleknya. ada pilihannya adalah yang lebih kecil mudaratnya. Contohnya sckarang ini. Ada calon wanita presiden, ada realitas dukungan ada kelompok yang namanya status quo, ada orang yang suka menghabiskan anggaran secara tidak proporsional, ada yang calegnya non-muslim, ada yang kebanyakan omong. Kalau kita disuruh memilih, dan pilihannya sama-samajelek, maka kembali ke kaida usul fikih itu.
* Dra. Hj. Tuty Alawiyah, Mubaligah: "Saya Bisa Berbuat Aelawal; Nurani Saya"
"Menurut pendapat saya, pimpinan tertinggi sebuah negara bisa dipisahkan dengan kepemimpinan di dalam agama yang kita sebut imam. Oleh karena itu, secara faktual kita sudah bisa melihat kepemimpinan di suatu level tertentu. Bahkan menurut saya sudah tida perlu kita persoalkan lagi. Lihatlah Perdana Menteri Turki, Pakistan dan Bangladesh yang wanita. Itu semuanya sebagai pemimpin tertinggi negara, dan mengatur rakyat dan bangsanya.
Buat saya, seorang wanita tampil pada posisi ketua partai, itu sudah suatu prestasi yang tinggi. Dan kita menaruh hormat. Saya kira akan diterima oleh Megawati apabila dia memang memenangkan koalisi dan mcmenangkan suara di MPR itu. Sekarang, marilah kita tegakkan di MPR itu dan kita perjuangkan bersamasama. Saya dalam masalah ini, terus terang, lidak memikirkan masalah gendernya. Kenapa, yang pertama sebagai orang muslim, kita ini punya ayat dan hadis yang menyatakan kualitas manusianya. Untuk manusia Indonesia siapa yang terbaik, mari kita lihat. Yang kedua, mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Saya bisa melihat bahwa kita harus memilih mana yang lemah, siapa yang kuat.
Soal keberatan para ulama, kan ada keragaman. Saya tidak bisa mengatakan itu salah atau yang ini yang benar. Saudara bisa melihat, semuanya itu punya dalil yang kuat. Saya tidak bisa mempengaruhi, saya menghargai semuanya. Memang ada hadis. Tapi, konteksnya ke mana? Dan hadis ini menyatakan: "Tidak beruntung," bukannya melarang. Tapi dalam masalah ini, maaf saja saya bisa berbuat melawan nurani saya. Saya lebih senang kita tidak berpikir gender, tapi karena sudah sampai pada topfigur, mari berbuat, mari berjuang, mari berkompetisi supaya kita semua tidak salah. Kebenaran itu akan tampak kalau dari nurani kita."
* K.H. Abdul Khaliq Murad, Mantan Ketua DPP PDI: "Jangan Dihalangi"
"Dari perspektif hukum Islam, wanita menjadi pemimpin, terutama kepala negara, termasuk hal yang dipersengketakan. Tak ada dalil dalam Alquran yang mengharamkan wanita menjadi pemimpin. Yang membolehkan dan yang melarang memiliki argumentasi masing-masing. Sama dengan soal kepiting. Ada yang bilang halal dan ada yang bilang haram. Semuanya pakai dalil.
Islam sudah lama mengenal kepemimpinan wanita, seperti Syajaratud Durr di Mesir, Ratu Arwah dan Asma yang Syiah di Yaman. Karena itu saya tidak mengerti kenapa di Indonesia berusaha tidak dibolehkan wanita menjadi presiden.
Di Indonesia sendiri ketika Megawati dipermasalahkan untuk menjadi presiden, saya justru tidak sependapat dengan pemikiran para ulama, baik yang pro maupun yang kontra. Sebab, mereka semua mempergunakan agama menjadi landasan pijakan. Bagi saya lebih baik biarkan masalah politik itu bergulir mandiri. Kalau nanti Mega jadi presiden silakan rakyat menilai. Yang penting demokrasi ini jangan dihalang-halangi."
Laporan Imelda Bachtiar, Rachmat H. Cahyono, Multa Fidrus (Jakarta) Prasetya (Yogyakarta), Abdul Manan (Surabaya), dan Reporter Semarang.
D&R, Edisi 990628-046/Hal. 22 Rubrik Liputan Utama
Comments