Pengungsi Madura, Nasibmu Kini...
Survei Pemda Bangkalan menunjukkan, sebagian besar pengungsi Madura dari Kal-Bar memilih tinggal di Pulau Garam dan menolak relokasi.
BUPATI Bangkalan M. Fatah kelabakan akibat banjir pengungsi Madura korban keru suhan etnis di Sambas, Kalimantan Barat (Kal-Bar). Hingga kini, pengungsi yang kondisinya sangat memperihatinkan itu jumlahnya sudah 12.373 jiwa.
Repotnya, ada di antara mereka yang mengalami depresi berat akibat pengalaman yang traumatis itu. Dan, kebanyakan dari mereka memilih menghindar jika didekati petugas Pemerintah Daerah (Pemda) Bangkalan atau aparat keamanan setempat. "Kalau didekati petugas, mereka langsung sembunyi dan berteriak-teriak histeris, "Jangan tembak..., jangan tembak!" Akibat stres berat itu, mereka banyak yang tidak mau makan," ujar M. Fatah dalam diskusi "Mencari Solusi Pengungsi Sambas di Madura", Kamis, 29 April lalu di Surabaya.
Di Bangkalan dan Sampang, Madura (Jawa Timur), para pengungsi menempati rumah-rumah penduduk. Satu rumah bisa menampung sampai 20 jiwa. Minimal menampung delapan jiwa. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terpaksa tidur di halaman atau di kandang sapi. Akibat keadaan yang mengenaskan itu tercatat lima orang pengungsi meninggal dan belasan orang membutuhkan perawatan intensif.
Berdasarkan survei yang dilakukan Pemda Bangkalan beberapa waktu lalu diketahui, para pengungsi itu menuntut pemerintah mengembalikan tanah, rumah, sawah, ternak, dan harta-benda yang pernah mereka miliki selama menetap di Sambas. Mereka juga menuntut adanya rumah hunian baru di Madura sebagai tempat mengungsi untuk menyelamatkan jiwanya yang terancam. Survei itu menyebutkan, 75 persen pengungsi memilih tinggal di Madura, 5 persen siap ditransmigrasikan, dan 15 persen ingin kembali ke kampung lamanya di Sambas.
Dengan begitu, sebagian besar pengungsi menolak rencana relokasi di Pulau Padangtikar dan Desa Tebangkacang, Kabupaten Pontianak, seperti yang diputuskan Gubemur Kal-Bar Aspar Aswin. Padahal, Aswin mengatakan penempatan itu telah dipertimbangkan dari berbagai aspek agar tidak menimbulkan masalah di masa datang. Pemda Kal-Bar merasa khawatir pengungsi Madura yang kini jumlahnya mencapai 33 ribu jiwa dan menempati beberapa tempat penampungan di Kal-Bar itu akan menimbulkan masalah sosial baru nantinya. Dan, Pemda Kal-Bar menjamin dua lokasi itu merupakan lahan subur bagi pertanian dan berjarak hanya sekitar 25 kilometer dari Kotamadya Pontianak, berdekatan dengan wilayah transmigrasi Rasaujaya. "Kami tidak akan menganaktirikan mereka. Malah, mereka mendapatkan perlakukan khusus," kata Aspar Aswin.
* Tidak Sanggup
Sungguhpun begitu, K.H. Fuad Amin Imron dari Madura menolak mentah-mentah rencana relokasi itu. "Martabat etnis Madura sudah terinjak satu langkah. Dengan menerima itu berarti menyetujui pengusiran orang Madura dari Sambas dan melegitimasi kerusuhan itu," ujarnya bersemangat. Dan, salah satu tokoh masyarakat Madura yang mantan Gubernur Jawa Timur, M. Noer, menegaskan, tidak ada unsur pemaksaan bagi pengungsi untuk ikut dalam program relokasi. "Silakan saja pengungsi ikut program tersebut, tidak pun tidak apa-apa," katanya. M. Noer mengungkapkan, dalam pertemuan tokoh Madura dengan Presiden B.J. Habibie di Surabaya beberapa waktu lalu, kepala negara menyetujui relokasi nantinya bukan di sebuah pulau, melainkan di suatu wilayah di Kal-Bar. "Kalau di pulau, apa kami ini PKI (Partai Komunis Indonesia)?" kata sesepuh Madura itu.
Jika para pengungsi tetap ngotot tinggal di Madura atau kembali ke Sambas, niscaya itu bukan perkara mudah bagi pemerintah. "Kalau mereka ingin tinggal di Madura, Pemda Bangkalan tidak sanggup menanggung bebannya," kata M. Fatah. Setidaknya, Pemda Bangkalan memerlukan dana Rp 92 miliar untuk mengatasi para pengungsi, yang kemungkinan jumlahnya akan terus membengkak. Dana itu untuk biaya perbaikan jalan yang rusak sebesar Rp 50 miliar, untuk rehabilitasi sekolah dasar Rp 6 miliar, dan biaya pembuatan 2.400 unit rumah hunian sebesar Rp 36 miliar. Sementara itu, anggaran Pemda Bangkalan hanya Rp 1 miliar tiap tahun.
Besarnya biaya perbaikan jalan karena jarak antardesa di Bangkalan sekitar lima kilometer; sedangkan biaya perbaikan per meter perseginya mencapai Rp 50 ribu untuk lebar jalan empat meter. Terdapat 50 desa di Bangkalan yang menjadi lokasi pengungsi dari Sambas. Lalu, soal pendidikan, umumnya bangunan fisik sekolah dasar di Bangkalan memprihatinkan. Di Bangkalan terdapat 600 sekolah dasar dan yang baru direhabilitasi hanya 20 unit sekolah dasar. "Kondisi yang lain sangat memprihatinkan, sehingga kalau pengungsi itu membutuhkan pendidikan diperlukan pula biaya rehabilitasi untuk sekolah dasar sebesar Rp 6 miliar," kata M. Fatah.
Akan halnya Pemda Kal-Bar agaknya trauma jika mereka kembali ketempat semula, khawatir memicu konflik lagi. Apalagi, hingga kini, keadaan di sana belum sepenuhnya aman. Aparat keamanan masih tampak berjagajaga di sejumlah tempat di Sambas, Pontianak, dan Singkawang. Dan, sesekali gerombolan etnis Dayak dan Melayu bergerombol di sekitar lokasi penampungan pengungsi.
I.W.L./Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 990503-038/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
BUPATI Bangkalan M. Fatah kelabakan akibat banjir pengungsi Madura korban keru suhan etnis di Sambas, Kalimantan Barat (Kal-Bar). Hingga kini, pengungsi yang kondisinya sangat memperihatinkan itu jumlahnya sudah 12.373 jiwa.
Repotnya, ada di antara mereka yang mengalami depresi berat akibat pengalaman yang traumatis itu. Dan, kebanyakan dari mereka memilih menghindar jika didekati petugas Pemerintah Daerah (Pemda) Bangkalan atau aparat keamanan setempat. "Kalau didekati petugas, mereka langsung sembunyi dan berteriak-teriak histeris, "Jangan tembak..., jangan tembak!" Akibat stres berat itu, mereka banyak yang tidak mau makan," ujar M. Fatah dalam diskusi "Mencari Solusi Pengungsi Sambas di Madura", Kamis, 29 April lalu di Surabaya.
Di Bangkalan dan Sampang, Madura (Jawa Timur), para pengungsi menempati rumah-rumah penduduk. Satu rumah bisa menampung sampai 20 jiwa. Minimal menampung delapan jiwa. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terpaksa tidur di halaman atau di kandang sapi. Akibat keadaan yang mengenaskan itu tercatat lima orang pengungsi meninggal dan belasan orang membutuhkan perawatan intensif.
Berdasarkan survei yang dilakukan Pemda Bangkalan beberapa waktu lalu diketahui, para pengungsi itu menuntut pemerintah mengembalikan tanah, rumah, sawah, ternak, dan harta-benda yang pernah mereka miliki selama menetap di Sambas. Mereka juga menuntut adanya rumah hunian baru di Madura sebagai tempat mengungsi untuk menyelamatkan jiwanya yang terancam. Survei itu menyebutkan, 75 persen pengungsi memilih tinggal di Madura, 5 persen siap ditransmigrasikan, dan 15 persen ingin kembali ke kampung lamanya di Sambas.
Dengan begitu, sebagian besar pengungsi menolak rencana relokasi di Pulau Padangtikar dan Desa Tebangkacang, Kabupaten Pontianak, seperti yang diputuskan Gubemur Kal-Bar Aspar Aswin. Padahal, Aswin mengatakan penempatan itu telah dipertimbangkan dari berbagai aspek agar tidak menimbulkan masalah di masa datang. Pemda Kal-Bar merasa khawatir pengungsi Madura yang kini jumlahnya mencapai 33 ribu jiwa dan menempati beberapa tempat penampungan di Kal-Bar itu akan menimbulkan masalah sosial baru nantinya. Dan, Pemda Kal-Bar menjamin dua lokasi itu merupakan lahan subur bagi pertanian dan berjarak hanya sekitar 25 kilometer dari Kotamadya Pontianak, berdekatan dengan wilayah transmigrasi Rasaujaya. "Kami tidak akan menganaktirikan mereka. Malah, mereka mendapatkan perlakukan khusus," kata Aspar Aswin.
* Tidak Sanggup
Sungguhpun begitu, K.H. Fuad Amin Imron dari Madura menolak mentah-mentah rencana relokasi itu. "Martabat etnis Madura sudah terinjak satu langkah. Dengan menerima itu berarti menyetujui pengusiran orang Madura dari Sambas dan melegitimasi kerusuhan itu," ujarnya bersemangat. Dan, salah satu tokoh masyarakat Madura yang mantan Gubernur Jawa Timur, M. Noer, menegaskan, tidak ada unsur pemaksaan bagi pengungsi untuk ikut dalam program relokasi. "Silakan saja pengungsi ikut program tersebut, tidak pun tidak apa-apa," katanya. M. Noer mengungkapkan, dalam pertemuan tokoh Madura dengan Presiden B.J. Habibie di Surabaya beberapa waktu lalu, kepala negara menyetujui relokasi nantinya bukan di sebuah pulau, melainkan di suatu wilayah di Kal-Bar. "Kalau di pulau, apa kami ini PKI (Partai Komunis Indonesia)?" kata sesepuh Madura itu.
Jika para pengungsi tetap ngotot tinggal di Madura atau kembali ke Sambas, niscaya itu bukan perkara mudah bagi pemerintah. "Kalau mereka ingin tinggal di Madura, Pemda Bangkalan tidak sanggup menanggung bebannya," kata M. Fatah. Setidaknya, Pemda Bangkalan memerlukan dana Rp 92 miliar untuk mengatasi para pengungsi, yang kemungkinan jumlahnya akan terus membengkak. Dana itu untuk biaya perbaikan jalan yang rusak sebesar Rp 50 miliar, untuk rehabilitasi sekolah dasar Rp 6 miliar, dan biaya pembuatan 2.400 unit rumah hunian sebesar Rp 36 miliar. Sementara itu, anggaran Pemda Bangkalan hanya Rp 1 miliar tiap tahun.
Besarnya biaya perbaikan jalan karena jarak antardesa di Bangkalan sekitar lima kilometer; sedangkan biaya perbaikan per meter perseginya mencapai Rp 50 ribu untuk lebar jalan empat meter. Terdapat 50 desa di Bangkalan yang menjadi lokasi pengungsi dari Sambas. Lalu, soal pendidikan, umumnya bangunan fisik sekolah dasar di Bangkalan memprihatinkan. Di Bangkalan terdapat 600 sekolah dasar dan yang baru direhabilitasi hanya 20 unit sekolah dasar. "Kondisi yang lain sangat memprihatinkan, sehingga kalau pengungsi itu membutuhkan pendidikan diperlukan pula biaya rehabilitasi untuk sekolah dasar sebesar Rp 6 miliar," kata M. Fatah.
Akan halnya Pemda Kal-Bar agaknya trauma jika mereka kembali ketempat semula, khawatir memicu konflik lagi. Apalagi, hingga kini, keadaan di sana belum sepenuhnya aman. Aparat keamanan masih tampak berjagajaga di sejumlah tempat di Sambas, Pontianak, dan Singkawang. Dan, sesekali gerombolan etnis Dayak dan Melayu bergerombol di sekitar lokasi penampungan pengungsi.
I.W.L./Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 990503-038/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments