Hotman Siahaan: "Satu-satunya Pilihan Memang Pemilu"
KEADAAN mendatang sangat mengkhawatirkan," bagi kata Dr. Hotman Siahaan, dosen Fakultas Ilmu Sosial-Ilmu Politik dan Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, tentang realitas sosial-politik Indonesia. Berikut petikan wawancara reporter D&R, Abdul Manan dengan sosiolog itu.
Kerusuhan makin gampang saja terjadi di Indonesia belakangan ini. Ada apa sebenarnya?
Kerusuhan sekarang ini, amuk massa sekarang ini, sebenarnya lahir alibat banyak variabel. Sesudah terjadi reformasi, ketika ada tuntutan moral yang baru, orang lalu meragukan semua legitimasi yang datang dari negara. Di sisi lain, kemudian legitimasi negara yang sangat lemah itu juga membuat suasana orang bisa sangat rawan amuk.
Perkelahian pelajar juga semakin marak. Apakah itu bisa dilihat dalam perspektif yang sama?
Betul. Institusi-institusi pendidikan kita juga terhegemoni sehingga seolah kehilangan kiprah sebagai proses berpikir, lebih menjadi birokrasi pendidikan. Itulah yang terjadi dalam pendidikan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Dan, pelajar-pelajar itu lahir dari suatu generasi yang apolitis. Nah, luapan-luapan ekspresi mereka terwujud di jalan, semacam itu, karena memang kurikulum kita sama sekali tidak memberi peluang. Kurikulum itu membelenggu orang untuk belajar, belajar, dan belajar terus. Tidak ada luapan ekspresi yang bisa dipakai.
Apakah keadaan terhegemoni seperti itu merupakan suatu proses alami?
Dari perspektif mana? Kita mengalami ini karena proses politik kita selama ini berjalan tidak benar. Yang kita sebut demokratisasi itu hanya performa. Karena yang kita sebut proses suksesi itu hampir tidak pernah terjadi. Penyebabnya: dominasi negara yang sangat kuat, yang menghegemoni semua kekuatan politik. Dan, yang terjadi sekarang ini adalah semua tindakan ekstra konstitusional.
Kalau melihat kecenderungan sekarang, apakah kerusuhan atau situasi kacau seperti ini akan terus berlanjut?
Saya sangat sedih karena itulah yang terjadi. Selama kita tidak punya proses politik yang betul-betul mampu meredam seluruh potensi konflik, gesekan-gesekan ini makin keras. Boleh dikata, situasi kita mendatang ini sangat menakutkan. Karena apa?
Misalnya, bisa dibayangkan kalau Mei nanti kita muLai melakukan kampanye. Sekarang saja--enggak sedang kampanye dua organisasi peserta pemilu bertemu saja sudah seperti itu, bentrok. Itu kasus Blora dan Buleleng. Sekarang, jumlah partai ada ratusan. sistemnya proporsional lagi, yang kemungkinan terjadi reli-reli dalam kampanye. Ini tidak menutup kemungkinan berpapasan. Bukan main!
Jadi, bisa terjadi revolusi sosial...?
Revolusi sosial seperti apa dulu? Kalau yang dibayangkan adalah revolusi sosial yang dipicu oleh sebuah chaos, ya, memang sangat mengerikan. Tapi, kalau revolusi sosial itu terjadi sebagai bentuk perubahan total dari sebuah sistem, berjalan dalam sebuah bingkai moral politik dan etika politik, saya kira tidak terlalu mahal harganya. Yang saya, khawatir kalau terjadi revolusi sosial yang didorong oleh chaos semacam itu. Harga yang kita bayar akan sangat mahal.
Maksudnya?
Pertama, akan tejadi bentrok fisik yang memakan korban luar biasa. Suasana itu akan memancing munculnya tangan besi, militerisme. Kalau itu yang terjadi, akan sangat setback. Atau, yang kedua, revolusi sosial itu akan memicu disintegrasi. Bisa saja nanti orang dari pulau lain ingin merdeka dan keluar dari republik. Suara-suara itu sudah kencang. Di beberapa tempat orang sudah merasa "apa pengikat kami dengan republik; historis juga enggak." Itu yang dikatakan orang-orang Irianjaya dan Timor Timur. "Kalaupun kita dianggap punya keterikatan historis, yang mana?" Mungkin, secara historis punya keterikatan. Tapi, kalau secara ekonomi dan politik tidak merasa? Itu kemungkinan terjadi pada Aceh dan Bali. Dan, itu problem yang kita hadapi sekarang. Celakanya, Orde Baru membangun nasionalismenya di atas kekuasaan dan kekerasan. Itu susahnya. Seluruh proses integrasi kita pada dasarnya byforce.
Apakah kekerasan yang berlangsung belakangan ini tidak bisa dicegah?
Seharusnya bisa dicegah. Tapi, bagaimana membuatnya kalau seluruh legitimasi dari struktur politik kita itu dipertanyakan? Di sanalah dilema kita. Karena itu, saya setuju, satu-satunya pilihan memang pemilu. Pertanyaannya kemudian, bisakah kita menciptakan pemilu yang betul-betul jujur dan adil. Itu pertanyaan besar sekarang.
D&R, Edisi 990104-021/Hal. 27 Rubrik Peristiwa & Analisa
Kerusuhan makin gampang saja terjadi di Indonesia belakangan ini. Ada apa sebenarnya?
Kerusuhan sekarang ini, amuk massa sekarang ini, sebenarnya lahir alibat banyak variabel. Sesudah terjadi reformasi, ketika ada tuntutan moral yang baru, orang lalu meragukan semua legitimasi yang datang dari negara. Di sisi lain, kemudian legitimasi negara yang sangat lemah itu juga membuat suasana orang bisa sangat rawan amuk.
Perkelahian pelajar juga semakin marak. Apakah itu bisa dilihat dalam perspektif yang sama?
Betul. Institusi-institusi pendidikan kita juga terhegemoni sehingga seolah kehilangan kiprah sebagai proses berpikir, lebih menjadi birokrasi pendidikan. Itulah yang terjadi dalam pendidikan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Dan, pelajar-pelajar itu lahir dari suatu generasi yang apolitis. Nah, luapan-luapan ekspresi mereka terwujud di jalan, semacam itu, karena memang kurikulum kita sama sekali tidak memberi peluang. Kurikulum itu membelenggu orang untuk belajar, belajar, dan belajar terus. Tidak ada luapan ekspresi yang bisa dipakai.
Apakah keadaan terhegemoni seperti itu merupakan suatu proses alami?
Dari perspektif mana? Kita mengalami ini karena proses politik kita selama ini berjalan tidak benar. Yang kita sebut demokratisasi itu hanya performa. Karena yang kita sebut proses suksesi itu hampir tidak pernah terjadi. Penyebabnya: dominasi negara yang sangat kuat, yang menghegemoni semua kekuatan politik. Dan, yang terjadi sekarang ini adalah semua tindakan ekstra konstitusional.
Kalau melihat kecenderungan sekarang, apakah kerusuhan atau situasi kacau seperti ini akan terus berlanjut?
Saya sangat sedih karena itulah yang terjadi. Selama kita tidak punya proses politik yang betul-betul mampu meredam seluruh potensi konflik, gesekan-gesekan ini makin keras. Boleh dikata, situasi kita mendatang ini sangat menakutkan. Karena apa?
Misalnya, bisa dibayangkan kalau Mei nanti kita muLai melakukan kampanye. Sekarang saja--enggak sedang kampanye dua organisasi peserta pemilu bertemu saja sudah seperti itu, bentrok. Itu kasus Blora dan Buleleng. Sekarang, jumlah partai ada ratusan. sistemnya proporsional lagi, yang kemungkinan terjadi reli-reli dalam kampanye. Ini tidak menutup kemungkinan berpapasan. Bukan main!
Jadi, bisa terjadi revolusi sosial...?
Revolusi sosial seperti apa dulu? Kalau yang dibayangkan adalah revolusi sosial yang dipicu oleh sebuah chaos, ya, memang sangat mengerikan. Tapi, kalau revolusi sosial itu terjadi sebagai bentuk perubahan total dari sebuah sistem, berjalan dalam sebuah bingkai moral politik dan etika politik, saya kira tidak terlalu mahal harganya. Yang saya, khawatir kalau terjadi revolusi sosial yang didorong oleh chaos semacam itu. Harga yang kita bayar akan sangat mahal.
Maksudnya?
Pertama, akan tejadi bentrok fisik yang memakan korban luar biasa. Suasana itu akan memancing munculnya tangan besi, militerisme. Kalau itu yang terjadi, akan sangat setback. Atau, yang kedua, revolusi sosial itu akan memicu disintegrasi. Bisa saja nanti orang dari pulau lain ingin merdeka dan keluar dari republik. Suara-suara itu sudah kencang. Di beberapa tempat orang sudah merasa "apa pengikat kami dengan republik; historis juga enggak." Itu yang dikatakan orang-orang Irianjaya dan Timor Timur. "Kalaupun kita dianggap punya keterikatan historis, yang mana?" Mungkin, secara historis punya keterikatan. Tapi, kalau secara ekonomi dan politik tidak merasa? Itu kemungkinan terjadi pada Aceh dan Bali. Dan, itu problem yang kita hadapi sekarang. Celakanya, Orde Baru membangun nasionalismenya di atas kekuasaan dan kekerasan. Itu susahnya. Seluruh proses integrasi kita pada dasarnya byforce.
Apakah kekerasan yang berlangsung belakangan ini tidak bisa dicegah?
Seharusnya bisa dicegah. Tapi, bagaimana membuatnya kalau seluruh legitimasi dari struktur politik kita itu dipertanyakan? Di sanalah dilema kita. Karena itu, saya setuju, satu-satunya pilihan memang pemilu. Pertanyaannya kemudian, bisakah kita menciptakan pemilu yang betul-betul jujur dan adil. Itu pertanyaan besar sekarang.
D&R, Edisi 990104-021/Hal. 27 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments