Antara Kesenjangan dan Kebusukan
Maraknya kerusuhan diduga lantaran aspirasi masyarakat meningkat tapi kemampuan memenuhi aspirasi itu tetap, bahkan merosot. Konfrontasi akan selalu terjadi selama negara tidak mengurangi kadar hegemoninya.
KESENJANGAN dan kebusukan, itulah kata kunci untuk menjelaskan kerusuhan yang susul-menyusul di Jakarta dan berbagai daerah, yang intensitasnya memasuki tahun 1999 boleh dibilang meningkat, yakni kesenjangan antara aspirasi rakyat yang makin meningkat di era reformasi dan ketidakmampuan mereka-yang nasibnya makin terpuruk akibat krisis ekonomi--serta kegagalan sistem busuk warisan Orde Baru untuk memenuhi harapan itu.
Justru dalam bulan suci Ramadan ini, belasan kerusuhan terjadi di berbagai daerah, mulai dari Timor Timur, Irianjaya, Surabaya, Ponorogo, Bandung, Garut, Purwakarta, Sukabumi, Karawang, Poso, Gorontalo, Bitung Timur, Lampung Barat, hingga Pidie dan Lhokseumawe, dengan bermacam sebab. Bukan tidak mungkin itu akan terus berlanjut. Setidaknya, banyak yang meramalkan, hingga
pemilihan umum Juni nanti atau malah sepanjang 1999, kerusuhan bakal marak. Dalam konteks sosiologis, maraknya kemsuhan belakangan ini menunjukkan adanya budaya kekerasan yang, menurut sosiolog dari Universitas Airlangga, Dr. Hotman Siahaan, disebabkan masyarakat mengalami deprivasi relatif.
Mengutip teori psikologi-sosial, orang akan mudah marah jika sedang mengalami deprivasi relatif, yaitu adanya kesenjangan antara nilai kapabilitas (kemampuan) dan nilai ekspektasi (harapan). Kemauan orang meningkat, sedangkan kemampuannya sudah tidak bisa memenuhi kemauan itu.
Deprivasi relatif itu ada tingkatannya. Tingkat pertama: harapan meningkat tapi kemampuan tetap. Yang paling berbahaya adalah deprivasi relatif progresif, yaitu ketika harapan meningkat tapi kemampuan menurun. Kalau itu yang terjadi, akan muncul kerusuhan ketika orang marah, merusak apa saja, dan cenderung anarkis. Tingkat kedua dari kerusuhan adalah konspirasi: munculnya konspirasi jahat di tengah masyarakat yang juga memicu kerusuhan. Dan tingkat ketiga--yang paling berbahaya--adalah terjadinya perang saudara, perang di antara sesama.
"Itu yang kita alami sekarang. Ketika orang mengalami deprivasi relatif karena pembangunan, aspek ekonomi dan aspirasi politik meningka tapi kapabilitas seluruh institusi politik ternyata enggak mampu menjawab aspirasi yang meningkat itu," ujar Hotman, yang disertasi doktoralnya berjudul "Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intenifikasi sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi" (Universitas Airlangga, 1996).
Dan kalau dalam kerusuhan itu massa selalu menjadikan simbol-simbol negara sebagai sasaran, hal itu karena negara selama ini sudah dianggap simbol dari seluruh penindasan, mengingat hegemoni negara yang sangat kuat pada era rezim Orde Baru.
"Simbol-simbol negara selalu menjadi persoalan besar. Dengan merusak simbol-simbol negara, mereka seolah telah merusak alat penindasan, termasuk di dalamnya militer, polisi, dan birokrasi, "kata Hotman. Dan boleh jadi kerusuhan akan terus berlangsung selama tidak ada klarifikasi dari negara, untuk lebih memberdayakan rakyat. Dengan kata lain, selama negara tidak mengurangi kadar hegemoninya, negara akan tetap mengalami konfrontasi dengan rakyat.
* "Kado Bom" di Jakarta
Jakarta sendiri, pusat hegemoni negara, tidak luput dari berbagai kerusuhan dan aksi kekerasan. Entah itu sekadar aksi kriminal biasa atau bermotivasi politik. Batas-batas di antara dua hal itu pun makin samar, seperti aksi-aksi pengeboman yang terjadi sebulan terakhir ini.
Rasa was-was menghantui warga Jakarta, pasca kerusuhan, karena ancaman "teror bom". Dalam tiga pekan, di Jakarta telah terjadi tiga ledakan bom. Sebuah ledakan menghancurkan dua anjungan tunai mandiri (ATM) BCA di Atrium Senen, 11 Desember lalu. Sebuah ledakan kemudian terjadi di bekas galian di sebelah Markas Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, 29 Desember. Pada 2 Januari, sebuah ledakan kembali terjadi di Jalan Agus Salim 22 (Sabang). Selain itu Kamis, 7 Januari, ditemukan bahan peledak di Lantai I Wisma BNI 46.
Ledakan bom pada Sabtu dini hari di Jalan Agus Salim itu memorakporandakan lantai satu gedung yang sejak Juni lalu tidak digunakan lagi sebagai Toko Serba-ada Ramayana. Ledakan meninggalkan lubang cekung sedalam setengah meter di tanah, dengan diameter 50 sentimeter, juga menghancurkan kaca-kaca beberapa toko di seberangnya. Sebuah boks telepon umum dan gerobak penjual haso yang diletakkan di sebidang tanah kosong di samping kanan serta sebuah mobil Mitsubishi T 120 SS yang diparkir di depan toko itu hancur berantakan.
Selain satu bom yang meledak, polisi juga menemukan dua bom lain yang tidak meledak. Masing-masing diletakkan di trotoar tepat di muka Galeri FS dan Restoran Hot Pot Gardena. Tidak meledaknya kedua bom berdiameter 20 sentimeter yang dibungkus tas plastik warna hitam itu diperkirakan karena sumbunya tidak menyala sempurna dan padam akibat terguyur hujan rintik-rintik, yang pagi itu memang membasahi sebagian Jakarta.
Kepala Polda Metro Jaya Mayor Jenderal Noegroho Djajusman menyimpulkan, bom itu adalah rakitan dari sejenis bahan baku mercon karena ditemukan beberapa bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan mercon, seperti kalium klorat (potas) yang berfungsi sebagai oksidan keras, karbon dan belerang sebagai pembakar, serta bubuk aluminium sebagai penambah daya bakar.
Menurut Komandan Korps Reserse Kepolisian RI Mayor Jenderal Da'i Bachtiar, dilihat dari potas yang digunakan, bom itu biasa untuk bom ikan dan punya kesamaan dengap bom yang digunakan untuk merusak ATM BCA di kawasan Atrium Senen. "Kesimpulan kami, pelakunya jelas sangat menguasai bom. Sekurangnya sangat tahu soal bahan peledak," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letnan Kolonel Edward Aritonang.
Menurut Jonathan Alexander alias Johni, salah seorang anggota satuan pengaman di pertokoan Jalan Agus Salim, sebelum kejadian, ia melihat sebuah kendaraan jip Daihatsu Feroza diiringi enam orang yang mengendarai tiga sepeda motor, menuju ke arah Ramayana. Tidak lama setelah orang-orang itu pergi terjadi ledakan. Dari tiga sepeda motor yars digunakan pelaku, salah satunya sudah sering mondar-mondir di sana.
Kejadian yang sama juga disaksikan Ade Surachman, seorang juru parkir yang ketika ledakan terjadi ada di lokasi kejadian. Menurut Ade, ketiga pembonceng sepeda motor itulah yang meletakkan bom-bom itu. Mereka terlihat tengah merokok dan menyulut benda itu dengan bara rokoknya, lalu buru-buru pergi.
* Teror dan Teror
Warga setempat mengatakan, sebelumnya mereka sudah dua kali diteror oleh orang tak dikenal yang berusaha membakar kawasan tersebut. Agustus 1998, percobaan pembakaran pertama dilakukan di belakang toko. Sebuah jeriken dilengkapi sumbu kompor cukup panjang yang sudah basah oleh bensin kemudian disulut. Pembakaran gagal karena api keburu padam. Peristiwa kedua terjadi pada November 1998 di sisi kanan Ramayana, tepat di samping lubang ledakan bom kemarin. Jelaga hitam bekas jilatan api akibat pembakaran itu masih terlihat hingga kini.
Teror-teror itu diperkirakan berhubungan dengan kasus sengketa tanah yang memang masih berlangsung di antara para pemilik tanah di Jalan Agus Salim. Menurut Direktur Pelaksana Sri Vishnu's Tailor, K.T. Adnani, sejak 1993 di wilayah itu terjadi sengketa tanah yang belum terselesaikan. Sengketa berawal ketika Bank Dagang Negara hendak membeli tanah di sepanjang jalan itu, termasuk di antaranya Ramayana dan toko miliknya serta tanah lahl yang dimiliki sembilan orang. Namun, tidak teljadi kesepakatan harga. "Tanah kami bersertilkat lengkap tapi hanya ditawar Rp 5 juta per meter persegi, sementara kami meminta Rp 15 juta," katanya. Meskipun begitu, negosiasi terus bergulir. Akhirnya terjadi kesepakatan, para pemilik toko bersedia pindah jika tanahnya diganti di tempat lain yang strategis.
Dalam negosiasi ini, menurut Adnani, perusahaan itu diwakili sebuah perusahaan sekuritas yang berkantor di Pusat Perdagangan Roxi Mas. Namun kemudian sengketa itu berlarut dan masuk ke meja hijau.
* Surabaya dan Ponorogo
Gara-gara iu eorang penjarah, Suwandi tewas di tahanan kepolisian, ratusan warga mengamuk dan membakar Kantor Kepolisian Sektor Kota Lakarsantri, Suralaya, 2 Januari malam. Akibatnya, empat tahahan kabur serta empat mohil dan sepeda motor petugas dibakar massa. Amuk massa lalu meluas ke kawasan
Perumahan Citra Raya. Di lokasi itu, tiga rumah-toko dirusak serta sebuah sedan Timor dan sepeda motor dibakar. Petugas menangkap sedikitnya 84 orang yang diduga terlibat kerusuhan; dan menyelidiki penggerak yang membawa massa dengan truk dalam penyerbuan ke pos polisi itu.
Suwandi, yang ditahan bersama Slamet sebetulnya meninggal akibat dikeroyok massa setelah tertangkap basah mencuri di Citra Raya, 1 Januari. Tersangka Suwandi bersama Slamet yang babak belur dihajar mass diserahkan warga Citra Raya ke petugas jag Markas Kepolisian Sektor Kota Lakarsantri Karena kondisi kesehatan Suwandi yan sudah parah, ia oleh polisi dibawa ke pusat kesehatan masyarakat setempat, tapi nyawanya tak tertolong.
Di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan warg Desa Prajegan, Kecamatan Sukorejo, pad 28 Desember mengamuk dan merusak kantor camat, gedung perwakilan Badan Koor dinasi Keluarga Berencana Nasional, panti pembinaan kesejahteraan keluarga, dan Kantor Kredit untuk Rakyat Kecil. Aksi ini disebabkan warga mencurigai Camat Rachmat Winardi telah merekayasa hasil pemilihan kepala Desa Prajegan.
* Sukabumi dan Cilegon
Suasana malam Tahun Baru diwarna amuk massa yang merusak puluhan toko dar fasilitas umum. Sedikitnya 15 pemuda yang dicurigai sebagai provokator diringkus petugas Kepolisian Resort Sukabumi, Jawa Barat Kerusuhan dimulai dari berkumpulnya ratusan pemuda di sekitar Lapangan Merdeka.
Dua jam kemudian, mereka bergabung dengan massa lain yang lebih besar dan datang secara tiba-tiba, lalu bergerak ke jalan utama di kota. Di sepanjang jalan, merek, memecahkan pot-pot bunga dan menjadikan pecahan pot itu sebagai senjata untuk melempari toko-toko. Massa bergerak ke aral Pasar Marema, tapi berhasil dihalang petugas.
Kerusuhan juga hampir pecah di Cilegon, Banten, juga di Jawa Barat, akibat ulah ribuan massa yang melemparkan petasan di jalan raya. Massa menutup jalan dengan bangku dan tong sampah sehingga banyak pengguna jalan yang terkurung. Para pengemudi dan penumpang menjadi panik setelah mereka dilempari petasan oleh massa yang seolah-olah mau membuat kerusuhan.
* Bandung dan Garut
Malam Tahun Baru di Bandung diwarnai dengan tindak kekerasan, seperti pelemparan, perusakan pot bunga, dan pemukulan mobil. Aksi pelemparan, antara lain, terjadi di Jalan Asia-Afrika. Warga dari pinggir kota berduyun-duyun melalui jalan tersebut dan melempari pos satuan pengamanan sejumlah kantor, di antaranya pos yang ada di Bank Panin, Auto 2000, Bank Industri, Bank Danamon, Bank Tamara, Bank Pacific, dan Rumah Makan Simpang Raya. Sejumlah mobil juga menjadi sasaran.
Massa juga menggulingkan sedikitnya 30 pot bunga di Jalan Asia-Afrika dan Jalan Ahmad Yani. Sementara itu, masyarakat yang berkerumun di Jalan Merdeka, depan Plaza Bandung Indah, memukuli dan menggoncang-goncang sejumlah mobil yang lewat. Setiap mobil dipukuli dengan tangan kosong. Bahkan, sebagian dari kerumunan nekat naik ke atas mobil sambil "menari-nari".
Di Garut, Jawa Barat, aksi pelemparan pada Tahun Baru terjadi juga. Sasarannya adalah Nusantara Pasaraya, Toko Serba-ada Asia, Pasar Swalayan Hero, Bank Bumi Daya, BCA, dan toko-toko lain. Kaca-kaca toko dan perkantoran pecah, bahkan barang yang dipajang di Nusantara Pasar,aya dijarah massa. Aksi pelemparan ini dimulai dengan "perang petasan" di depan Pasar Swalayan Hero. Karena ribut, pelaym toko menyiram penyulut petasan dengan air. Akibatnya: timbul aksi perusakan.
* Waytenong
Kematian Sanim, seorang tahanan polisi di Desa Fajarbulan, yang mencungakan pada 28 Desember lalu berkembang menjadi amuk massa yang merusak dua pos polisi serta pembakaran empat rumah dan tiga mobil. Akibatnya, sembilan anggota polisi luka kena lemparan batu. Sanim bersama dua rekannya ditangkap gara-gara pengaduan Hasan Saburi, seorang pedagang kopi, dengan tuduhan mencuri uang Rp 600 juta miliknya. Setelah diperiksa sehari oleh polisi, Sanim disebutkan tewas akibat "bunuh diri".
Amuk terjadi di ibu Kola Kecamatan Waytenong, 185 kilometer utara Bandarlampung, dipicu oleh kecurigaan warga atas tewasnya Sanim. Keluarga Sanim curiga kematian itu tak wajar karena dari mulut dan hidungnya mengeluarkan cairan mirip minyak pelumas. Beberapa bagian tubuhnya terlihat lebam seperti bekas penganiayaan. Padahal, kondisi Sanim sangat sehat ketika ditangkap. Beberapa polisi lalu diperiksa Provos Kepolisian Resor Lampung Barat untuk menyingkap kasus ini.
* Poso
Kerusuhan pecah menjelang Tahun Baru di Poso, 220 kilometer selatan Palu, melibatkan ribuan massa dari luar kota sebelh timur dan barat, termasuk massa dari Tentena yang memicu kerusuhan. Kerusuhan sebenarnya berinti pada ketidak puasan warga atas pemilihan bupati yang dicurigai tercemar kasus suap. Entah bagaimana, hal itu "diselewengkan" kearah isu suku, agama,
ras, dan antar golongan.
Kerusuhan meledak lagi pada 28 Desember, dipicu kedatangan tiga truk massa dari Tentena yang dipimpin Herman Parimo, salah satu tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Padahal, sehari sebelumnya ada kesepakatan antara tokoh lslam, Kristen, dan tokoh pemuda untuk saling menahan diri.
Dalam kerusuhan yang terjadi sejak 26 Desember, sedikitnya sepuluh mobil, 130 rumah, dan tujuh toko musnah terbakar. Puluhan bangunan lain dirusak massa. Kerusakan terburuk terjadi di Kelurahan Lombogia, Sayo, dan Bonesampe. Dalam kerusuhan ini, 79 orang mengalami luka akibat benda tumpul dan senjata tajam, tujuh di antaranya luka berat. Namun, tidak satu pun rumah ibadah, baik gereja ataupun masjid, yang dirusak massa.
* Bitung Timur
Gara-gara isu menjual sajadah sebagai keset, Toko Sangrila milik Tommy Silas di Desa Buntulis Selatan menjadi sasaran amuk massa dan pembakaran. Padahal, yang dijual memang betul-betul keset biasa, bukan sajadah. Bermula dari transaksi dagang pada 31 Desember lalu, pemilik toko menawarkan keset dari bahan karpet mirip beludru, bergambar, dan berjumbai-jumbai kepada seorang pembeli.
Secara kebetulan, tawar-menawar itu didengar Rahman Kalo, warga Marisa. Tanpa mengecek lebih dulu, Rahman langsung menyebarkan isu, yang kemudian berkembang dari mulut ke mulut. Esoknya, 1 Januari, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, 400 orang mengamuk dan membakar Toko Sangrila. Rahman ditahan polisi karena kerusuhan ini.
Sementara itu, di Kecamatan Bitung Timur, Sulawesi Utara, sejumlah kios dilempari batu oleh massa pada 1-2 Januari malam. Akibatnya, sejumlah warga luka-luka. Kerusuhan bermula dari tindakan sewenang-wenang seorang polisi yang memukul warga setempat. Warga yang dipukul itu memangil rekan-rekannya di kampung dan menyerbu petugas keamanan yang bersembunyi di kios, sehingga jadi sasaran amuk massa.
* Banjar
Bentrokan di antara massa dua desa terjadi lagi di Kecamatan Banjar sesudah bentrokan pada 10-12 Desember 1998. Dua warga Desa Sidetapa yang baru pulang dari Denpasar, Nyoman Kariada dan Putu Santika, ditemukan tewas akibat luka bacokan dan pukulan benda tumpul, 4 Januari.
Walau belum diketahui siapa pembunuhnya, esok harinya, massa Desa Sidetapa membalas. Ratusan massa menyerbu rumah warga Dusun Ingsakan, Desa Pedawa, di perbatasan. memhakar delapan rumah dan menewaskan I Ngetis yang sedang menyabit di tegalannya. Serangan balasan itu juga disertai penjarahan. Puluhan warga dari berbagai pihak yang bertikai jadi mengungsi karena bentrokan itu; dan sampai kini belum berani pulang. Mahasiswa dan aktivis Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan setempat menduga ada provokator dan "proyek politik" di balik kerusuhan itu.
* Ainaro
Bentrokan antara massa anti-inteasi dan pro-integrasi pecah lagi di Kabupaten Ainaro, 160 kilometer selatan Dili, 3 Januari. Kala itu sekitar pukul 08.00 pagi, kelompok pro-intregrasi bersama dengan anggota Mati Hidup demi Integrasi (Mahidi)--semacam rakyat terlatih yang dipersenjatai--tengah membersihkan pos ronda di Desa Manutasi, Ainaro. Tiba-tiba, mereka dikepung sekitar seratus massa anti-integrasi yang bersenjata tombak, parang, dan panah.
Merasa terdesak, anggota Mahidi melepaskan tembakan peringatan. Tapi, kalangan penyerbu malah makin beringas, bahkan berusaha merebut senjata. Maka, salah satu anggota Mahidi mengarahkan tembakan ke arah kaki kelompok anti-integrasi dan kemudian ke tuhuh para penyerang. Akibatnya, dua orang--Julio dari Desa Maulo dan Rainaldo dari Desa Soro--tewas. Sementara itu, lima korban lain dari pihak anti-integrasi luka serius dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ainaro.
Tawuran itu berbuntut panjang. Sekitar pukul 15.00 waktu setempat, kelompok anti-integrasi yang datang dengan massa lebih banyak melancarkan aksi protes ke Markas Komando Distrik Militer 1633 Ainaro. Massa menuntut agar organisasi Mahidi dibubarkan serta penarikan kembali senjata yang sudah dihagikan ke anggota Mahidi.
* Wamena
Tujuh anggota Angkatan Darat masuk tiba-tiba ke perayaan Natal yang diselenggarakan Paguyuban Masyarakat Jawa di Wamena, Trianjaya, Desember lalu. Padahal, saat itu, ibadah sedang berlangsung dipimpin Pendeta Titiheru. Aparat Komandan Distrik Militer 1702 Wamena yang diduga sedang mabuk itu masuk ke gereja dan memukul dua anggota aparat Kepolisian Resor Wamena yang sedang beribadah.
Tampaknya, di antara mereka sudah ada perselisihan sebelumnya. Jemaat yang terganggu langsung menegur dan menyuruh tujuh aparat militer itu keluar, tapi tak digubris. Seorang jemaat mendorong mereka. Anggota Angkatan Darat itu mengeluarkan senjata tajam. Massa jemaat kabur dan mengambil parang dan balik mengejar anggota Angkatan Darat itu yang lari ke Markas Komando Distrik Militer Wamena. Pendeta setempat telah mengirim laporan ke panglima komando daerah dan Panglima ABRI atas kasus itu.
Satrio/Laporan Imam Wahjoe L. Andreas Ambar, Purwanto (jakarta), Abdul Manan (Surabaya), Aendra H. Medita (Bandung), Gebeh Paramarta (Denpasar), H.A. Ondi (Jayapura), Patria Pombengi (Ujungpandang), dan Alex Assis Pangma (Dili)
D&R, Edisi 990111-022/Hal. 50 Rubrik Liputan Khusus
KESENJANGAN dan kebusukan, itulah kata kunci untuk menjelaskan kerusuhan yang susul-menyusul di Jakarta dan berbagai daerah, yang intensitasnya memasuki tahun 1999 boleh dibilang meningkat, yakni kesenjangan antara aspirasi rakyat yang makin meningkat di era reformasi dan ketidakmampuan mereka-yang nasibnya makin terpuruk akibat krisis ekonomi--serta kegagalan sistem busuk warisan Orde Baru untuk memenuhi harapan itu.
Justru dalam bulan suci Ramadan ini, belasan kerusuhan terjadi di berbagai daerah, mulai dari Timor Timur, Irianjaya, Surabaya, Ponorogo, Bandung, Garut, Purwakarta, Sukabumi, Karawang, Poso, Gorontalo, Bitung Timur, Lampung Barat, hingga Pidie dan Lhokseumawe, dengan bermacam sebab. Bukan tidak mungkin itu akan terus berlanjut. Setidaknya, banyak yang meramalkan, hingga
pemilihan umum Juni nanti atau malah sepanjang 1999, kerusuhan bakal marak. Dalam konteks sosiologis, maraknya kemsuhan belakangan ini menunjukkan adanya budaya kekerasan yang, menurut sosiolog dari Universitas Airlangga, Dr. Hotman Siahaan, disebabkan masyarakat mengalami deprivasi relatif.
Mengutip teori psikologi-sosial, orang akan mudah marah jika sedang mengalami deprivasi relatif, yaitu adanya kesenjangan antara nilai kapabilitas (kemampuan) dan nilai ekspektasi (harapan). Kemauan orang meningkat, sedangkan kemampuannya sudah tidak bisa memenuhi kemauan itu.
Deprivasi relatif itu ada tingkatannya. Tingkat pertama: harapan meningkat tapi kemampuan tetap. Yang paling berbahaya adalah deprivasi relatif progresif, yaitu ketika harapan meningkat tapi kemampuan menurun. Kalau itu yang terjadi, akan muncul kerusuhan ketika orang marah, merusak apa saja, dan cenderung anarkis. Tingkat kedua dari kerusuhan adalah konspirasi: munculnya konspirasi jahat di tengah masyarakat yang juga memicu kerusuhan. Dan tingkat ketiga--yang paling berbahaya--adalah terjadinya perang saudara, perang di antara sesama.
"Itu yang kita alami sekarang. Ketika orang mengalami deprivasi relatif karena pembangunan, aspek ekonomi dan aspirasi politik meningka tapi kapabilitas seluruh institusi politik ternyata enggak mampu menjawab aspirasi yang meningkat itu," ujar Hotman, yang disertasi doktoralnya berjudul "Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intenifikasi sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi" (Universitas Airlangga, 1996).
Dan kalau dalam kerusuhan itu massa selalu menjadikan simbol-simbol negara sebagai sasaran, hal itu karena negara selama ini sudah dianggap simbol dari seluruh penindasan, mengingat hegemoni negara yang sangat kuat pada era rezim Orde Baru.
"Simbol-simbol negara selalu menjadi persoalan besar. Dengan merusak simbol-simbol negara, mereka seolah telah merusak alat penindasan, termasuk di dalamnya militer, polisi, dan birokrasi, "kata Hotman. Dan boleh jadi kerusuhan akan terus berlangsung selama tidak ada klarifikasi dari negara, untuk lebih memberdayakan rakyat. Dengan kata lain, selama negara tidak mengurangi kadar hegemoninya, negara akan tetap mengalami konfrontasi dengan rakyat.
* "Kado Bom" di Jakarta
Jakarta sendiri, pusat hegemoni negara, tidak luput dari berbagai kerusuhan dan aksi kekerasan. Entah itu sekadar aksi kriminal biasa atau bermotivasi politik. Batas-batas di antara dua hal itu pun makin samar, seperti aksi-aksi pengeboman yang terjadi sebulan terakhir ini.
Rasa was-was menghantui warga Jakarta, pasca kerusuhan, karena ancaman "teror bom". Dalam tiga pekan, di Jakarta telah terjadi tiga ledakan bom. Sebuah ledakan menghancurkan dua anjungan tunai mandiri (ATM) BCA di Atrium Senen, 11 Desember lalu. Sebuah ledakan kemudian terjadi di bekas galian di sebelah Markas Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, 29 Desember. Pada 2 Januari, sebuah ledakan kembali terjadi di Jalan Agus Salim 22 (Sabang). Selain itu Kamis, 7 Januari, ditemukan bahan peledak di Lantai I Wisma BNI 46.
Ledakan bom pada Sabtu dini hari di Jalan Agus Salim itu memorakporandakan lantai satu gedung yang sejak Juni lalu tidak digunakan lagi sebagai Toko Serba-ada Ramayana. Ledakan meninggalkan lubang cekung sedalam setengah meter di tanah, dengan diameter 50 sentimeter, juga menghancurkan kaca-kaca beberapa toko di seberangnya. Sebuah boks telepon umum dan gerobak penjual haso yang diletakkan di sebidang tanah kosong di samping kanan serta sebuah mobil Mitsubishi T 120 SS yang diparkir di depan toko itu hancur berantakan.
Selain satu bom yang meledak, polisi juga menemukan dua bom lain yang tidak meledak. Masing-masing diletakkan di trotoar tepat di muka Galeri FS dan Restoran Hot Pot Gardena. Tidak meledaknya kedua bom berdiameter 20 sentimeter yang dibungkus tas plastik warna hitam itu diperkirakan karena sumbunya tidak menyala sempurna dan padam akibat terguyur hujan rintik-rintik, yang pagi itu memang membasahi sebagian Jakarta.
Kepala Polda Metro Jaya Mayor Jenderal Noegroho Djajusman menyimpulkan, bom itu adalah rakitan dari sejenis bahan baku mercon karena ditemukan beberapa bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan mercon, seperti kalium klorat (potas) yang berfungsi sebagai oksidan keras, karbon dan belerang sebagai pembakar, serta bubuk aluminium sebagai penambah daya bakar.
Menurut Komandan Korps Reserse Kepolisian RI Mayor Jenderal Da'i Bachtiar, dilihat dari potas yang digunakan, bom itu biasa untuk bom ikan dan punya kesamaan dengap bom yang digunakan untuk merusak ATM BCA di kawasan Atrium Senen. "Kesimpulan kami, pelakunya jelas sangat menguasai bom. Sekurangnya sangat tahu soal bahan peledak," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letnan Kolonel Edward Aritonang.
Menurut Jonathan Alexander alias Johni, salah seorang anggota satuan pengaman di pertokoan Jalan Agus Salim, sebelum kejadian, ia melihat sebuah kendaraan jip Daihatsu Feroza diiringi enam orang yang mengendarai tiga sepeda motor, menuju ke arah Ramayana. Tidak lama setelah orang-orang itu pergi terjadi ledakan. Dari tiga sepeda motor yars digunakan pelaku, salah satunya sudah sering mondar-mondir di sana.
Kejadian yang sama juga disaksikan Ade Surachman, seorang juru parkir yang ketika ledakan terjadi ada di lokasi kejadian. Menurut Ade, ketiga pembonceng sepeda motor itulah yang meletakkan bom-bom itu. Mereka terlihat tengah merokok dan menyulut benda itu dengan bara rokoknya, lalu buru-buru pergi.
* Teror dan Teror
Warga setempat mengatakan, sebelumnya mereka sudah dua kali diteror oleh orang tak dikenal yang berusaha membakar kawasan tersebut. Agustus 1998, percobaan pembakaran pertama dilakukan di belakang toko. Sebuah jeriken dilengkapi sumbu kompor cukup panjang yang sudah basah oleh bensin kemudian disulut. Pembakaran gagal karena api keburu padam. Peristiwa kedua terjadi pada November 1998 di sisi kanan Ramayana, tepat di samping lubang ledakan bom kemarin. Jelaga hitam bekas jilatan api akibat pembakaran itu masih terlihat hingga kini.
Teror-teror itu diperkirakan berhubungan dengan kasus sengketa tanah yang memang masih berlangsung di antara para pemilik tanah di Jalan Agus Salim. Menurut Direktur Pelaksana Sri Vishnu's Tailor, K.T. Adnani, sejak 1993 di wilayah itu terjadi sengketa tanah yang belum terselesaikan. Sengketa berawal ketika Bank Dagang Negara hendak membeli tanah di sepanjang jalan itu, termasuk di antaranya Ramayana dan toko miliknya serta tanah lahl yang dimiliki sembilan orang. Namun, tidak teljadi kesepakatan harga. "Tanah kami bersertilkat lengkap tapi hanya ditawar Rp 5 juta per meter persegi, sementara kami meminta Rp 15 juta," katanya. Meskipun begitu, negosiasi terus bergulir. Akhirnya terjadi kesepakatan, para pemilik toko bersedia pindah jika tanahnya diganti di tempat lain yang strategis.
Dalam negosiasi ini, menurut Adnani, perusahaan itu diwakili sebuah perusahaan sekuritas yang berkantor di Pusat Perdagangan Roxi Mas. Namun kemudian sengketa itu berlarut dan masuk ke meja hijau.
* Surabaya dan Ponorogo
Gara-gara iu eorang penjarah, Suwandi tewas di tahanan kepolisian, ratusan warga mengamuk dan membakar Kantor Kepolisian Sektor Kota Lakarsantri, Suralaya, 2 Januari malam. Akibatnya, empat tahahan kabur serta empat mohil dan sepeda motor petugas dibakar massa. Amuk massa lalu meluas ke kawasan
Perumahan Citra Raya. Di lokasi itu, tiga rumah-toko dirusak serta sebuah sedan Timor dan sepeda motor dibakar. Petugas menangkap sedikitnya 84 orang yang diduga terlibat kerusuhan; dan menyelidiki penggerak yang membawa massa dengan truk dalam penyerbuan ke pos polisi itu.
Suwandi, yang ditahan bersama Slamet sebetulnya meninggal akibat dikeroyok massa setelah tertangkap basah mencuri di Citra Raya, 1 Januari. Tersangka Suwandi bersama Slamet yang babak belur dihajar mass diserahkan warga Citra Raya ke petugas jag Markas Kepolisian Sektor Kota Lakarsantri Karena kondisi kesehatan Suwandi yan sudah parah, ia oleh polisi dibawa ke pusat kesehatan masyarakat setempat, tapi nyawanya tak tertolong.
Di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan warg Desa Prajegan, Kecamatan Sukorejo, pad 28 Desember mengamuk dan merusak kantor camat, gedung perwakilan Badan Koor dinasi Keluarga Berencana Nasional, panti pembinaan kesejahteraan keluarga, dan Kantor Kredit untuk Rakyat Kecil. Aksi ini disebabkan warga mencurigai Camat Rachmat Winardi telah merekayasa hasil pemilihan kepala Desa Prajegan.
* Sukabumi dan Cilegon
Suasana malam Tahun Baru diwarna amuk massa yang merusak puluhan toko dar fasilitas umum. Sedikitnya 15 pemuda yang dicurigai sebagai provokator diringkus petugas Kepolisian Resort Sukabumi, Jawa Barat Kerusuhan dimulai dari berkumpulnya ratusan pemuda di sekitar Lapangan Merdeka.
Dua jam kemudian, mereka bergabung dengan massa lain yang lebih besar dan datang secara tiba-tiba, lalu bergerak ke jalan utama di kota. Di sepanjang jalan, merek, memecahkan pot-pot bunga dan menjadikan pecahan pot itu sebagai senjata untuk melempari toko-toko. Massa bergerak ke aral Pasar Marema, tapi berhasil dihalang petugas.
Kerusuhan juga hampir pecah di Cilegon, Banten, juga di Jawa Barat, akibat ulah ribuan massa yang melemparkan petasan di jalan raya. Massa menutup jalan dengan bangku dan tong sampah sehingga banyak pengguna jalan yang terkurung. Para pengemudi dan penumpang menjadi panik setelah mereka dilempari petasan oleh massa yang seolah-olah mau membuat kerusuhan.
* Bandung dan Garut
Malam Tahun Baru di Bandung diwarnai dengan tindak kekerasan, seperti pelemparan, perusakan pot bunga, dan pemukulan mobil. Aksi pelemparan, antara lain, terjadi di Jalan Asia-Afrika. Warga dari pinggir kota berduyun-duyun melalui jalan tersebut dan melempari pos satuan pengamanan sejumlah kantor, di antaranya pos yang ada di Bank Panin, Auto 2000, Bank Industri, Bank Danamon, Bank Tamara, Bank Pacific, dan Rumah Makan Simpang Raya. Sejumlah mobil juga menjadi sasaran.
Massa juga menggulingkan sedikitnya 30 pot bunga di Jalan Asia-Afrika dan Jalan Ahmad Yani. Sementara itu, masyarakat yang berkerumun di Jalan Merdeka, depan Plaza Bandung Indah, memukuli dan menggoncang-goncang sejumlah mobil yang lewat. Setiap mobil dipukuli dengan tangan kosong. Bahkan, sebagian dari kerumunan nekat naik ke atas mobil sambil "menari-nari".
Di Garut, Jawa Barat, aksi pelemparan pada Tahun Baru terjadi juga. Sasarannya adalah Nusantara Pasaraya, Toko Serba-ada Asia, Pasar Swalayan Hero, Bank Bumi Daya, BCA, dan toko-toko lain. Kaca-kaca toko dan perkantoran pecah, bahkan barang yang dipajang di Nusantara Pasar,aya dijarah massa. Aksi pelemparan ini dimulai dengan "perang petasan" di depan Pasar Swalayan Hero. Karena ribut, pelaym toko menyiram penyulut petasan dengan air. Akibatnya: timbul aksi perusakan.
* Waytenong
Kematian Sanim, seorang tahanan polisi di Desa Fajarbulan, yang mencungakan pada 28 Desember lalu berkembang menjadi amuk massa yang merusak dua pos polisi serta pembakaran empat rumah dan tiga mobil. Akibatnya, sembilan anggota polisi luka kena lemparan batu. Sanim bersama dua rekannya ditangkap gara-gara pengaduan Hasan Saburi, seorang pedagang kopi, dengan tuduhan mencuri uang Rp 600 juta miliknya. Setelah diperiksa sehari oleh polisi, Sanim disebutkan tewas akibat "bunuh diri".
Amuk terjadi di ibu Kola Kecamatan Waytenong, 185 kilometer utara Bandarlampung, dipicu oleh kecurigaan warga atas tewasnya Sanim. Keluarga Sanim curiga kematian itu tak wajar karena dari mulut dan hidungnya mengeluarkan cairan mirip minyak pelumas. Beberapa bagian tubuhnya terlihat lebam seperti bekas penganiayaan. Padahal, kondisi Sanim sangat sehat ketika ditangkap. Beberapa polisi lalu diperiksa Provos Kepolisian Resor Lampung Barat untuk menyingkap kasus ini.
* Poso
Kerusuhan pecah menjelang Tahun Baru di Poso, 220 kilometer selatan Palu, melibatkan ribuan massa dari luar kota sebelh timur dan barat, termasuk massa dari Tentena yang memicu kerusuhan. Kerusuhan sebenarnya berinti pada ketidak puasan warga atas pemilihan bupati yang dicurigai tercemar kasus suap. Entah bagaimana, hal itu "diselewengkan" kearah isu suku, agama,
ras, dan antar golongan.
Kerusuhan meledak lagi pada 28 Desember, dipicu kedatangan tiga truk massa dari Tentena yang dipimpin Herman Parimo, salah satu tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Padahal, sehari sebelumnya ada kesepakatan antara tokoh lslam, Kristen, dan tokoh pemuda untuk saling menahan diri.
Dalam kerusuhan yang terjadi sejak 26 Desember, sedikitnya sepuluh mobil, 130 rumah, dan tujuh toko musnah terbakar. Puluhan bangunan lain dirusak massa. Kerusakan terburuk terjadi di Kelurahan Lombogia, Sayo, dan Bonesampe. Dalam kerusuhan ini, 79 orang mengalami luka akibat benda tumpul dan senjata tajam, tujuh di antaranya luka berat. Namun, tidak satu pun rumah ibadah, baik gereja ataupun masjid, yang dirusak massa.
* Bitung Timur
Gara-gara isu menjual sajadah sebagai keset, Toko Sangrila milik Tommy Silas di Desa Buntulis Selatan menjadi sasaran amuk massa dan pembakaran. Padahal, yang dijual memang betul-betul keset biasa, bukan sajadah. Bermula dari transaksi dagang pada 31 Desember lalu, pemilik toko menawarkan keset dari bahan karpet mirip beludru, bergambar, dan berjumbai-jumbai kepada seorang pembeli.
Secara kebetulan, tawar-menawar itu didengar Rahman Kalo, warga Marisa. Tanpa mengecek lebih dulu, Rahman langsung menyebarkan isu, yang kemudian berkembang dari mulut ke mulut. Esoknya, 1 Januari, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, 400 orang mengamuk dan membakar Toko Sangrila. Rahman ditahan polisi karena kerusuhan ini.
Sementara itu, di Kecamatan Bitung Timur, Sulawesi Utara, sejumlah kios dilempari batu oleh massa pada 1-2 Januari malam. Akibatnya, sejumlah warga luka-luka. Kerusuhan bermula dari tindakan sewenang-wenang seorang polisi yang memukul warga setempat. Warga yang dipukul itu memangil rekan-rekannya di kampung dan menyerbu petugas keamanan yang bersembunyi di kios, sehingga jadi sasaran amuk massa.
* Banjar
Bentrokan di antara massa dua desa terjadi lagi di Kecamatan Banjar sesudah bentrokan pada 10-12 Desember 1998. Dua warga Desa Sidetapa yang baru pulang dari Denpasar, Nyoman Kariada dan Putu Santika, ditemukan tewas akibat luka bacokan dan pukulan benda tumpul, 4 Januari.
Walau belum diketahui siapa pembunuhnya, esok harinya, massa Desa Sidetapa membalas. Ratusan massa menyerbu rumah warga Dusun Ingsakan, Desa Pedawa, di perbatasan. memhakar delapan rumah dan menewaskan I Ngetis yang sedang menyabit di tegalannya. Serangan balasan itu juga disertai penjarahan. Puluhan warga dari berbagai pihak yang bertikai jadi mengungsi karena bentrokan itu; dan sampai kini belum berani pulang. Mahasiswa dan aktivis Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan setempat menduga ada provokator dan "proyek politik" di balik kerusuhan itu.
* Ainaro
Bentrokan antara massa anti-inteasi dan pro-integrasi pecah lagi di Kabupaten Ainaro, 160 kilometer selatan Dili, 3 Januari. Kala itu sekitar pukul 08.00 pagi, kelompok pro-intregrasi bersama dengan anggota Mati Hidup demi Integrasi (Mahidi)--semacam rakyat terlatih yang dipersenjatai--tengah membersihkan pos ronda di Desa Manutasi, Ainaro. Tiba-tiba, mereka dikepung sekitar seratus massa anti-integrasi yang bersenjata tombak, parang, dan panah.
Merasa terdesak, anggota Mahidi melepaskan tembakan peringatan. Tapi, kalangan penyerbu malah makin beringas, bahkan berusaha merebut senjata. Maka, salah satu anggota Mahidi mengarahkan tembakan ke arah kaki kelompok anti-integrasi dan kemudian ke tuhuh para penyerang. Akibatnya, dua orang--Julio dari Desa Maulo dan Rainaldo dari Desa Soro--tewas. Sementara itu, lima korban lain dari pihak anti-integrasi luka serius dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ainaro.
Tawuran itu berbuntut panjang. Sekitar pukul 15.00 waktu setempat, kelompok anti-integrasi yang datang dengan massa lebih banyak melancarkan aksi protes ke Markas Komando Distrik Militer 1633 Ainaro. Massa menuntut agar organisasi Mahidi dibubarkan serta penarikan kembali senjata yang sudah dihagikan ke anggota Mahidi.
* Wamena
Tujuh anggota Angkatan Darat masuk tiba-tiba ke perayaan Natal yang diselenggarakan Paguyuban Masyarakat Jawa di Wamena, Trianjaya, Desember lalu. Padahal, saat itu, ibadah sedang berlangsung dipimpin Pendeta Titiheru. Aparat Komandan Distrik Militer 1702 Wamena yang diduga sedang mabuk itu masuk ke gereja dan memukul dua anggota aparat Kepolisian Resor Wamena yang sedang beribadah.
Tampaknya, di antara mereka sudah ada perselisihan sebelumnya. Jemaat yang terganggu langsung menegur dan menyuruh tujuh aparat militer itu keluar, tapi tak digubris. Seorang jemaat mendorong mereka. Anggota Angkatan Darat itu mengeluarkan senjata tajam. Massa jemaat kabur dan mengambil parang dan balik mengejar anggota Angkatan Darat itu yang lari ke Markas Komando Distrik Militer Wamena. Pendeta setempat telah mengirim laporan ke panglima komando daerah dan Panglima ABRI atas kasus itu.
Satrio/Laporan Imam Wahjoe L. Andreas Ambar, Purwanto (jakarta), Abdul Manan (Surabaya), Aendra H. Medita (Bandung), Gebeh Paramarta (Denpasar), H.A. Ondi (Jayapura), Patria Pombengi (Ujungpandang), dan Alex Assis Pangma (Dili)
D&R, Edisi 990111-022/Hal. 50 Rubrik Liputan Khusus
Comments