Mengungkap Konspirasi Pembantaian Banyuwangi
Tim Investigasi NU mengancam akan mengungkap hasil temuannya tentang pembunuhan massal di Jawa Timur di Mahkamah Internasional. Siapa saja yang terlibat konspirasi pembantaian itu?
KESABARAN selalu ada batasnya, tak terkecuali bagi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur. Batas waktu yang mereka tetapkan, akhir November lalu, tentang pengungkapan kasus pembantaian di Banyuwangi telah dilewati pemerintah.
Maka, Choirul Anam, Ketua Tim Investigasi NU, pun mengancam: "Jika tidak ada tindak lanjut, Pengurus Besar NU akan meneruskan kasus ini ke Mahkamah Internasional atau Amnesti Internasional." Seperti Anda tahu, kedua lembaga internasional itu dikenal luas sangat memperhatikan soal-soal pelanggaran hak asasi manusia di negara mana saja.
Tim Investigasi NU telah bekerja berbulan-bulan untuk mengungkap konspirasi pembantaian berkedok isu dukun santet itu. Data dan fakta yang berhasil dikumpulkan bisa membuat bulu kuduk Anda berdiri, misalnya soal jumlah korban tewas yang sedikitnya 253 orang. Mereka dibantai di desadesa di tujuh kabupaten di Jawa Timur: Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang. Korban tewas terbanyak tentu saja di Banyuwangi: 148 orang.
Ada yang mati digantung atau dijerat, dibakar bersama rumahnya, dipukuli atau dibacok, dan yang paling banyak adalah dianiaya massa (lihat tabel III). Sebagian besar adalah kaum nahdliyin sendiri, di antaranya pengurus ranting NU, pengurus masjid, atau guru pelajaran mengaji.
Temuan penting lain adalah soal keterlibatan sejumlah pejabat setempat dalam pembunuhan berantai tersebut. Yang disebut-sebut dalam laporan Tim Investigasi NU itu antara lain tiga pejabat Banyuwangi: Bupati T. Purnomo Sidik, Komandan Komando Distrik Militer Letnan Kolonel Subiraharjo. dan Kepala Kepolisian Resor Letnan Kolonel Edy Moerdiono.
Salah satu bukti kuat yang ditemukan adalah kopi radiogram Pak Bupati yang ditujukan kepada para kepala desa, lewat camat-camat di wilayahnya, tertanggal 10 Februari 1998, bernomor 300/70/439.0131/ 1998. Instruksinya: mendata orang-orang yang diduga berpraktik sebagai dukun santet.
Tapi, menurut pengakuan Bupati Purnomo Sidik, radiogram itu dikeluarkannya 16 September 1998, saat ramai-ramainya pembantaian "dukun santet". Tujuannya, kata Sidik, menyelamatkan para dukun santet itu dari amukan massa. Hasilnya, 118 orang tercatat dalam daftar dukun santet. Nah, dari jumlah itu, yang jadi korban amukan massa hanya delapan orang, itu pun karena tak mengindahkan anjuran aparat keamanan.
Tapi, bagi Tim Investigasi NU, daftar-yang entah mengapa jatuh ke tangan khala yak umum--itu justru merupakan pemicu gelombang pembantaian. Sebab, ada yang menafsirkan catatan itu sebagai "daftar target" pembunuhan. Yang jelas, "Setelah (data dan foto) itu beredar di masyarakat, korban baru bertambah banyak," kata sumber D&R di NU Cabang Banyuwangi. Kebetulan atau tidak, hampir 70 persen korban pernbunuhan cocok dengan nama-nama yang ada di daftar tadi.
Fluktuasi jumlah korban juga baru melonjak selama Juli, Agustus, dan September: seratus orang lebih. Korbannya tak lagi sekadar orang-orang yang diduga berpraktik sebagai dukun santet, tapi juga sejumlah ulama setempat. Anehnya, para pelakunya juga bukan penduduk setempat, melainkan orang-orang berpakaian ala ninja yang heroperasi dengan rapi dan sistematis.
* Provokator Dimotori Preman
Kemunculan "pasukan ninja itu sempat disaksikan sejumlah saksi mata yang bercerita kepada Tim Investigasi NU. Bersamaan dengan itu, pola-pola pembantaian juga berubah drastis.
Dulu, putusan untuk mengeksekusi seorang dukun santet memerlukan waktu lama karena harus dimintakan knfirmasi dulu kepada warga setempat: apakah orang yang disasar itu memang mempraktikkan ilmu santet atau tidak. Jika yang mengiyakan hanya sepuluh orang, eksekusi tak jadi berlangsung. Namun, kalau sekitar 50 warga membenarkan, barulah eksekusi direncanakan. Biasanya, warga lalu keturunan untuk membayar algojo atau eksekusi dilakukan beramai-ramai.
Tapi, sejak Juli, dalam setiap aksi pembantaian muncul kelompok provakator yang tak dikenali warga setempat. Belakangan, Tim Investigasi NU berhasil mengidentifikasi para provokator itu, yang dimotori gerombolan preman dan bromocorah. Salah seorang yang pernah dituding Choirul Anam adalah Agus Indriawan, preman yang sehari-harinya berprofesi sebagai calo pengujian kendaraan bermotor di Kantor Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Banyuwangi.
Konon, Agus inilah yang bertugas merekrut para algojo--yang berasal tidak hanya dari Banyuwangi, tapi juga Surabaya dan sekitarnya. Kepada anak buahnya, Agus selalu menegaskan agar tak usah khawatir soal sepak-terjang mereka karena dijamin oleh seorang beking yang berdinas di Kesatuan Intelijen Pengamanan Politik Kepolisian Resor Banyuwangi.
Laporan Tim Investigasi NU menyebutkan rekrutmen komplotan Agus dilakukan secara terencana dan rahasia. Di Banyuwangi, misalnya, order pembunuhan diberikan seorang pengendara motor dalam sebuah amplop tertutup. Di dalam amplop sudah tertulis nama dan alamat lengkap calon korban, lengkap dengan uang senilai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Di Jember, untuk memudahkan para algojo itu melaksanakan tugasnya, komplotan itu memberikan rambu khusus di sekitar rumah calon korban. Bila ada tanda panah merah, sang korban harus dibunuh.
Benar begitu? D&R yang berkali-kali mencari Agus tak berhasil menemuinya. Sejumlah calo di Kantor DLLAJ Banyuwangi yang ditanyai D&R soal keberadaan Agus juga tutup mulut.
Yang pasti, soal keterlibatan aparat polisi juga pernah diungkapkan Camat Purwoharjo, Banyuwangi, kepada tabloid Petisi terbitan Surabaya. Menurut Pak Camat Santoso, pada 11 Februari 1998 ada pertemuan kepala-kepala desa di wilayahnya dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor Purwoharjo. Pada pertemuan yang tanpa persetujuan camat tersebut, pejabat kepolisian itu meminta para kepala desa mendata tukang santet dan dukun pengobatan tradisional di daerahnya. Alasannya: untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan karena saat itu sudah terjadi peristiwa aksi massa yang mengadili dukun santet. Ketika Pak Camat menanyakan soal instruksi pendataan itu, wakil kepala kepolisian sektor itu mengatakan semua itu perintah atasannya.
Siapa atasan yang dimaksud, tak jelas benar. Namun, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Mayor Jenderal Mohamad Dayat, buru-buru membantah keterlibatan aparatnya. Ia juga menegaskan belum ada bukti-buki ada muatan politis di balik pembunuhan massal di Banyuwangi dan kabupaten lain. Jadi, semua kasus pembunuhan itu dinyatakan sebagai kasus kriminal murni.
* Cuma Menjerat Teri
Itu pula yang terlihat dari sidang-sidang di Pengadilan Negeri Banyuwangi, yang mengadili para terdakwa pembunuh dukun santet. Sampai saat ini, baru delapan terdakwa-tercakup dalam tiga berkas--yang dimeja hijaukan. Selain itu, ada enam berita acara pemeriksaan lagi yang sudah diselesaikan kejaksaan. Sisanya, 43 berita acara pemeriksaan lagi, sedang dalam proses penyusunan. Total jenderal terdakwa yang akan dimeja hijaukan berjumlah 173 orang.
Tapi, itulah, seperti telah diduga banyak orang, perkara ini diarahkan menjadi kasus kriminal biasa. Itu jelas terlihat dari sembilan berita acara pemeriksaan yang sudah diselesaikan jaksa: enam menyangkut delik pembunuhan dan tiga yang lain mengenai penggunaan senjata tajam.
Para terdakwanya juga cuma orang-orang awam yang bisa jadi sekadar ikut-ikutan atau malah tak tahu apa-apa. Contohnya Sulhadi, warga Desa Parijatah Wetan, Kecamatan Srono. Suatu hari, pertengahan September lalu, sopir truk itu dicegat ratusan orang ketika akan mengambil gabah. Ia dipaksa mengantarkan massa yang memburu seorang dukun santet di desa tetangga. Untuk jasa mengantar massa itu, Sulhadi diberi uang Rp 15 ribu.
Sebulan kemudian, Sulhadi dicokok polisi di rumahnya. Lalu, ia diperiksa sebagai tersangka pembunuhan. Truknya juga disita sebagai barang bukti. Anehnya, kata Sulhadi, "Orang-orang yang menumpang truk saya tak satu pun yang ditangkap sampai sekarang."
Jaksa juga tak memilah atau mengategorisasi para terdakwa. Padahal, saat pemeriksaan polisi, pemilahan itu sempat diungkapkan. Misalnya, ada yang dikategorikan sebagai penggalang dana, aktor intelektual, dan penggerak lapangan.
Sementara ini, semua terdakwa dijerat dengan pasal-pasal kriminal. Kaderi dan kawan-kawan, misalnya, ditembak dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Dalam dakwaan jaksa tak satu pun kalimat atau bukb yang menyebut-nyebut keberadaan pasukan ninja yang diyakini banyak orang sebagai dalang dan penggerak aksi pembunuhan berantai di Banyuwangi dan sekitarnya.
Padahal, seperti dikatakan Choirul Anam, pasukan ninja itu memang benar ada. Buktinya, Tim Investigasi NU Jawa Timur berhasil menangkap basah tujuh anggota pasukan ninja itu. Dari mereka berhasil dikorek informasi penting mengenai aksi-aksi pembantaian yang terjadi di Banyuwangi, Jember, dan Probolinggo. Malah, ada yang menyebutkan siapa yang membayar dan menggerakkan aksi pembantaian yang menewaskan ratusan nyawa di wilayah itu.
Dalam persidangan pun, sebenarnya, sempat diungkap keterlibatan aparat pemerintah. Misalnya, Misadi dan Kacong--terdakwa dalam kasus percobaan pembunuhan Mateha, 80 tahun, warga Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah--mengaku diperintah Lurah Banjarsari, Ir. Adiyat. Rencana pembunuhan tersebut juga sudah sepengetahuan petugas Komando Rayon Militer Glagah bernama Slamet. Tapi, entah mengapa, pengakuan itu tidak ditindaklanjuti dengan memanggil Pak Kepala Desa dal petugas komando rayon
militer tadi.
Bukti-bukti itu diperkuat sejumlah peralatan operasi, seperti pedang bermata naga, topeng, dan pakaian hitam-hitam yang ditemukan Tim Invesbgasi NU. Lalu, peralatan operasi itu dipotret bersama pemiliknya. Hanya, Anam belum mau mengungkap data-data tersebut, termasuk kepada aparat keamanan. "Kami baru mau menyerahkannya kalau ada jaminan perkara ini aknn diusut dengan sungguh-sungguh," kata Anam tegas.
Selain temuan di atas, Pos Komando Kewaspadaan NU Jawa Timur juga terus mencatat laporan masyarakat tentang pasukan ninja. Pekan lalu, misalnya, ada sekitar delapan laporan yang masuk: dua dari Gresik, lima dari Surabaya, dan satu dari Sidoarjo.
Salah satu laporan menyebutkan warga Rungkut, Surabaya, menangkap seorang yang mencurigakan pada dini hari, 29 Oktober lalu. Orang tak dikenal itu turun dari taksi dan langsung memasuki teras rumah seorang warga setempat. Karena gerak-geriknya mencurigakan, penduduk yang sedang ronda malam langsung meringkusnya, lantas dibawa ke Kantor Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Di sana, orang itu diinterogasi. Beberapa jam kemudian diketahui orang misterius itu anggota Garnisun Surabaya berpangkat sersan. Alasan kedatangannya ke Rungkut adalah untuk menagih utang. Tapi, setelah dicek ke Garnisun Surabaya, sang sersan disebutkan sedang stres. Tak lama kemudian, sersan itu dijemput komandannya. Dan, sepertijuga banyak kasus serupa lain, perkara sersan garnisun itu pun menjadi tak jelas.
Sikap aparat keamanan seperti itulah yang membuat para pengurus NU Jawa Timur kesal. "Gombal (kalau) masalah itu (dikatakan) selesai," kata Anam. Maksudnya, pengungkapan kasus pembantaian itu hanya menjerat "teri"-nya, sedangkan "kakap"-nya masih bebas berkeliaran.
Padahal, kalau saja polisi mau, sebenarnya tak susah menuntaskan perkara berdarah itu. "Tak usah dengan data, analisis saja bisa," tutur Kiai Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.
Soalnya, niat mengungkap perkara hingga tuntas itulah yang tampaknya tak dipunyai aparat keamanan. Karena itu, ada baiknya Tim Investigasi NU membuka lebar-lebar data dan fakta yang ditemukannya agar semuanya menjadi jelas dan terang. Lalu, biarlah publik yang menilai kebenarannya.
Imran Hasibuan Laporan Suma Atmaja (Banyuwangi) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 981212-017/Hal. 47 Rubrik Hukum
Comments