Bahaya Adu Massa di Sidang Istimewa
Penggalangan massa untuk mendukung atau menentang sidang istimewa terus berlanjut di seluruh negeri. Bakal rusuh lagikah?
JAKARTA kembali laksana ajang prahara. Tentara dan polisi yang berjaga di kiaran Jembatan Semanggi (Senayan) atau lintasan strategis lain adalah semburat keadaan darurat. Pun kemah-kemah militer di sejumlah tempat serta cahaya temaram yang beberapa hari terakhir meraja kalau malam hari di distrik bisnis Sudirman-Thamrin.
Dua hari menjelang sidang istimewa MPR, 8 November, parade kekuatan dari kalangan yang merasa menjadi bagian langsung dari pertikaian tampak melintas di jalan-jalan Jakarta. Dengan menumpang sejumlah truk terbuka, mereka berseru-seru kepada siapa saja yang dilaluinya. Orang yang belum terbebas dari teror kerusuhan Mei lalu bisa berdetak cepat lagi jantungnya.
Pemandangan lebih seram lagi terasa esok harinya, Senin, 9 November, sehari menjelang pembukaan sidang istimewa. Kali ini, dua kekuatan yang bertentangan semakin terlihat mengasah kapak perangnya. Aparat keamanan pun berjaga lebih ketat. Lokasi-lokasi strategis diawasi mereka secara ekstra, termasuk Istana Negara.
Mahasiswa yang menentang sidang istimewa mencoba mendekat ke gedung DPR/MPR di Senayan setelah tengah hari. Sementara itu, rekan mereka dari kelompok lain masuk ke kitaran Tugu Proklamasi dan menggelar aksi di sana. Seperti galibnya, jalur yang dilalui kedua rombongan akbar itu menjadi macet. Malamnya, giliran pendukung sidang istimewa yang melakukan aksi di Taman Ismail Marzuki. Kendati sejumlah demo berlangsung, tak ada konfrontasi berdarah di Jakarta sehari menjelang hari "H" itu.
Selain di Jakarta, unjuk rasa berlangsung serentak di sejumlah kota di Indonesia pada Senin kemarin itu. Termasuk di Surabaya, Semarang, Yogya, dan Bandung. Pelakunya meliputi pendukung, penentang, dan mereka yang memberi syarat sebelum mengakui keabsahan hasil sidang istimewa. Tuntutan yang umum di luar yang mendukung ini adalah "adili Soeharto, cabut Dwifungsi ABRI, hapuskan asas tunggal Pancasila, serta percepat pemilihan umum yang jujur dan adil".
Di Yogya, seperti hari-hari sebelumnya, demo pada Senin ini cukup ramai. Aksi untuk merespons sidang istimewa sudah berlangsung sejak Rabu, 4 November, di Kota Pelajar dan rencananya akan berlanjut hingga 12 November. Yang menggelar adalah Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Mereka didukung beberapa komponen, termasuk Partai Rakyat Demokratik, Solidaritas Pengamen Indonesia, dan Somasi. Menurut rencana, mereka akan memperpanjang aksi "kemah anti-Dwifungsi ABRI" jika putusan sidang istimewa tidak sesuai aspirasi rakyat. Aspirasi ini, menurut Koordinator KPRP Haris Rusli Moti, setidaknya adalah pencabutan dwifungsi, tolak asas tunggal, dan adili Soeharto.
Adapun di Solo, Dewan Reformasi Masyarakat Surakarta kembali memotori aksi di kampus Universitas Negeri Sebelas Maret. Mereka menolak pemerintahan B.J. Habibie, sidang istimewa, dan Dwifungsi ABRI. Di sisi lain, mereka menuntut pembentukan pemerintah transisi.
* Fasisme dan Nazi
Kendati belum solid, di tengah cobaan berat sekarang perlahan mahasiswa mendapatkan isu sentral yang bisa mengikat mereka. Hal ini dicatat Sekretaris Jendelal Partai Amanat Nasional, Faisal Basri. Menurut ekonom itu, mahasiswa yang tadinya sudah terpecah menjadi tiga kelompok kini sudah bersatu lagi, dipertalikan oleh isu ancaman ABRI. Partai-partai pun, ujar dia, makin mengarah ke kelompok yang anti-sidang istimewa juga karena hal yang sama.
Konsolidasi mahasiswa inilah kiranya yang mengundang reaksi yang lebih keras dari para pendukung sidang istimewa. Dan, itu pulalah yang menjadi celah konfrontasi.
Maka, kendati keadaan di sejumlah kota cukup aman sehari menjelang hari "H", tak ada jaminan bahwa selanjutnya tidak akan chaos. Terutama di Jakarta. Inilah pelajaran yang bisa dipetik dari kerusuhan Mei lalu: di negeri ini, orang perlu senantiasa waspada pada saat suhu politik memuncak.
Kalau melihat kesiagaan massa sekarang, persinggungan yang memicu kerusuhan sangat mungkin terjadi selama hari-hari sidang istimewa. Provokasi dari salah satu pihak cukup untuk memantik prahara. Kini, masing-masing dalam posisi menunggu, dengan tak mau kalah gertak.
Terusik oleh yang ia lihat sebagai pamer kekuatan para penentang sidang istimewa, Eggy Sudjana yang Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa mengerahkan massa sampai ratusan ribu untuk menolak sidang istimewa boleh-boleh saja. "Tapi, sebaliknya, yang mendukung pun boleh melakukan hal serupa. Jadi, nanti, kalau kami turun, itu dalam rangka prinsip keseimbangan," ucap dia.
Eggy menyatakan dirinya tak akan memobilisasi massa secara khusus untuk mendukung sidang istimewa. Dia cukup memanfaatkan massa pengajian (masjid) serta massa kampus. Yang terakhir ini, menurut dia, melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Sebenarnya, massa KAMMI hingga kini tetap mencoba netral dalam persoalan sekarang. Mereka memang hisa menerima sidang istimewa, tapi tetap dengan catatan, yaitu pencabutan Dwifungsi ABRI dan mengadili Soeharto. Fitra Arsil, Ketua Umum KAMMI, mengatakan mereka bisa menerima sidang istimewa karena pemilihan umum (yang jujur dan adil) halus dipercepat. Akan halnya sidang istimewa akan menetapkan jadwal pemilihan umum.
Ahmad Sumargono, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), tokoh yang selama ini sering disebut sehagai motor penggerak massa berpanji Islam, juga menyatakan, bagi organisasinya tidak sulit untuk mendatangkan publik pendukung. "Cukup menelepon ke kantung-kantung massa saja," ujar dia.
Menurut dia, basis massa KISDI sudah melebar sampai ke Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, selain di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Banten. Tapi, ia menyebut KISDI tak turun dalam ramai-ramai sidang istimewa ini Sebab, sudah banyak yang terlibat. "Ngapain kami ikut ngeramein lagi? Kami hanya menjaga di kampung-kampung saja. Itu supaya enggak tumpang tindih," katanya.
Selama ini beredar selentingan bahwa kelompok Adi Sasono, Menteri Koperasi, menggerakkan massa pendukung B.J. Habibie dan sidang istimewa. Operatornya adalah orang seperti Ahmad Sumargono, Eggy Sudjana, dan Bursah Zarnubi. Tapi, ketika hal itu dikonfirmasikan kepada keempat orang tersebut, mereka hanya menganggapnya sebagai gosip murahan.
Menanggapi selentingan bahwa dirinyalah penggerak kubu pendukung sidang istimewa itu, Adi Sasono berkomentar enteng: "Soal santet juga begitu. Saya dituduh. Jadi, tak usah peduli. Menteri Koperasi cuma mengurusi sembilan bahan pokok."
Bagi Adi Sasono, ketegangan yang berujung dengan idemo dan kontrademo merupakan hal yang wajar di negara demokrasi, asalkan saja tak berubah menjadi kontak fisik. Karena satu pihak mengerahkan massa, kubu lawannya pun melakukan hal serupa. "Jadi, jangan dinilai satu pihak saja. Itu juga menunjukkan bahwa di ujung kebebasan kita ada kebebebasan orang lain, ucap Adi.
Perihal pedemo yang membawa-bawa agama pun, menurut Adi, merupakan hal biasa. "Bawa nama Islam atau tidak sama-sama punya hak. Tidak usah kita halang-halangi," katanya.
Irwansyah (Jemi) dari Keluarga Besar Universitas Indonesia menolak pendapat Adi itu. "Dalam momen sejarah, ketika kita sedang melakukan perubahan, justru primordialisme yang diperkental. Itulah yang bahaya," ucap dia sembari mencontohkan munculnya fasisme di Itali dan Nazi di Jerman.
Has/Imelda Bachtiar, Reko Alum, Eko Yulityo A.F., Gatot Prihanto (Jakarta). Koreponden Solo, Prasetyo (Semarang), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 981114-013/Hal. 21 Rubrik Liputan Utama
JAKARTA kembali laksana ajang prahara. Tentara dan polisi yang berjaga di kiaran Jembatan Semanggi (Senayan) atau lintasan strategis lain adalah semburat keadaan darurat. Pun kemah-kemah militer di sejumlah tempat serta cahaya temaram yang beberapa hari terakhir meraja kalau malam hari di distrik bisnis Sudirman-Thamrin.
Dua hari menjelang sidang istimewa MPR, 8 November, parade kekuatan dari kalangan yang merasa menjadi bagian langsung dari pertikaian tampak melintas di jalan-jalan Jakarta. Dengan menumpang sejumlah truk terbuka, mereka berseru-seru kepada siapa saja yang dilaluinya. Orang yang belum terbebas dari teror kerusuhan Mei lalu bisa berdetak cepat lagi jantungnya.
Pemandangan lebih seram lagi terasa esok harinya, Senin, 9 November, sehari menjelang pembukaan sidang istimewa. Kali ini, dua kekuatan yang bertentangan semakin terlihat mengasah kapak perangnya. Aparat keamanan pun berjaga lebih ketat. Lokasi-lokasi strategis diawasi mereka secara ekstra, termasuk Istana Negara.
Mahasiswa yang menentang sidang istimewa mencoba mendekat ke gedung DPR/MPR di Senayan setelah tengah hari. Sementara itu, rekan mereka dari kelompok lain masuk ke kitaran Tugu Proklamasi dan menggelar aksi di sana. Seperti galibnya, jalur yang dilalui kedua rombongan akbar itu menjadi macet. Malamnya, giliran pendukung sidang istimewa yang melakukan aksi di Taman Ismail Marzuki. Kendati sejumlah demo berlangsung, tak ada konfrontasi berdarah di Jakarta sehari menjelang hari "H" itu.
Selain di Jakarta, unjuk rasa berlangsung serentak di sejumlah kota di Indonesia pada Senin kemarin itu. Termasuk di Surabaya, Semarang, Yogya, dan Bandung. Pelakunya meliputi pendukung, penentang, dan mereka yang memberi syarat sebelum mengakui keabsahan hasil sidang istimewa. Tuntutan yang umum di luar yang mendukung ini adalah "adili Soeharto, cabut Dwifungsi ABRI, hapuskan asas tunggal Pancasila, serta percepat pemilihan umum yang jujur dan adil".
Di Yogya, seperti hari-hari sebelumnya, demo pada Senin ini cukup ramai. Aksi untuk merespons sidang istimewa sudah berlangsung sejak Rabu, 4 November, di Kota Pelajar dan rencananya akan berlanjut hingga 12 November. Yang menggelar adalah Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Mereka didukung beberapa komponen, termasuk Partai Rakyat Demokratik, Solidaritas Pengamen Indonesia, dan Somasi. Menurut rencana, mereka akan memperpanjang aksi "kemah anti-Dwifungsi ABRI" jika putusan sidang istimewa tidak sesuai aspirasi rakyat. Aspirasi ini, menurut Koordinator KPRP Haris Rusli Moti, setidaknya adalah pencabutan dwifungsi, tolak asas tunggal, dan adili Soeharto.
Adapun di Solo, Dewan Reformasi Masyarakat Surakarta kembali memotori aksi di kampus Universitas Negeri Sebelas Maret. Mereka menolak pemerintahan B.J. Habibie, sidang istimewa, dan Dwifungsi ABRI. Di sisi lain, mereka menuntut pembentukan pemerintah transisi.
* Fasisme dan Nazi
Kendati belum solid, di tengah cobaan berat sekarang perlahan mahasiswa mendapatkan isu sentral yang bisa mengikat mereka. Hal ini dicatat Sekretaris Jendelal Partai Amanat Nasional, Faisal Basri. Menurut ekonom itu, mahasiswa yang tadinya sudah terpecah menjadi tiga kelompok kini sudah bersatu lagi, dipertalikan oleh isu ancaman ABRI. Partai-partai pun, ujar dia, makin mengarah ke kelompok yang anti-sidang istimewa juga karena hal yang sama.
Konsolidasi mahasiswa inilah kiranya yang mengundang reaksi yang lebih keras dari para pendukung sidang istimewa. Dan, itu pulalah yang menjadi celah konfrontasi.
Maka, kendati keadaan di sejumlah kota cukup aman sehari menjelang hari "H", tak ada jaminan bahwa selanjutnya tidak akan chaos. Terutama di Jakarta. Inilah pelajaran yang bisa dipetik dari kerusuhan Mei lalu: di negeri ini, orang perlu senantiasa waspada pada saat suhu politik memuncak.
Kalau melihat kesiagaan massa sekarang, persinggungan yang memicu kerusuhan sangat mungkin terjadi selama hari-hari sidang istimewa. Provokasi dari salah satu pihak cukup untuk memantik prahara. Kini, masing-masing dalam posisi menunggu, dengan tak mau kalah gertak.
Terusik oleh yang ia lihat sebagai pamer kekuatan para penentang sidang istimewa, Eggy Sudjana yang Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa mengerahkan massa sampai ratusan ribu untuk menolak sidang istimewa boleh-boleh saja. "Tapi, sebaliknya, yang mendukung pun boleh melakukan hal serupa. Jadi, nanti, kalau kami turun, itu dalam rangka prinsip keseimbangan," ucap dia.
Eggy menyatakan dirinya tak akan memobilisasi massa secara khusus untuk mendukung sidang istimewa. Dia cukup memanfaatkan massa pengajian (masjid) serta massa kampus. Yang terakhir ini, menurut dia, melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Sebenarnya, massa KAMMI hingga kini tetap mencoba netral dalam persoalan sekarang. Mereka memang hisa menerima sidang istimewa, tapi tetap dengan catatan, yaitu pencabutan Dwifungsi ABRI dan mengadili Soeharto. Fitra Arsil, Ketua Umum KAMMI, mengatakan mereka bisa menerima sidang istimewa karena pemilihan umum (yang jujur dan adil) halus dipercepat. Akan halnya sidang istimewa akan menetapkan jadwal pemilihan umum.
Ahmad Sumargono, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), tokoh yang selama ini sering disebut sehagai motor penggerak massa berpanji Islam, juga menyatakan, bagi organisasinya tidak sulit untuk mendatangkan publik pendukung. "Cukup menelepon ke kantung-kantung massa saja," ujar dia.
Menurut dia, basis massa KISDI sudah melebar sampai ke Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, selain di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Banten. Tapi, ia menyebut KISDI tak turun dalam ramai-ramai sidang istimewa ini Sebab, sudah banyak yang terlibat. "Ngapain kami ikut ngeramein lagi? Kami hanya menjaga di kampung-kampung saja. Itu supaya enggak tumpang tindih," katanya.
Selama ini beredar selentingan bahwa kelompok Adi Sasono, Menteri Koperasi, menggerakkan massa pendukung B.J. Habibie dan sidang istimewa. Operatornya adalah orang seperti Ahmad Sumargono, Eggy Sudjana, dan Bursah Zarnubi. Tapi, ketika hal itu dikonfirmasikan kepada keempat orang tersebut, mereka hanya menganggapnya sebagai gosip murahan.
Menanggapi selentingan bahwa dirinyalah penggerak kubu pendukung sidang istimewa itu, Adi Sasono berkomentar enteng: "Soal santet juga begitu. Saya dituduh. Jadi, tak usah peduli. Menteri Koperasi cuma mengurusi sembilan bahan pokok."
Bagi Adi Sasono, ketegangan yang berujung dengan idemo dan kontrademo merupakan hal yang wajar di negara demokrasi, asalkan saja tak berubah menjadi kontak fisik. Karena satu pihak mengerahkan massa, kubu lawannya pun melakukan hal serupa. "Jadi, jangan dinilai satu pihak saja. Itu juga menunjukkan bahwa di ujung kebebasan kita ada kebebebasan orang lain, ucap Adi.
Perihal pedemo yang membawa-bawa agama pun, menurut Adi, merupakan hal biasa. "Bawa nama Islam atau tidak sama-sama punya hak. Tidak usah kita halang-halangi," katanya.
Irwansyah (Jemi) dari Keluarga Besar Universitas Indonesia menolak pendapat Adi itu. "Dalam momen sejarah, ketika kita sedang melakukan perubahan, justru primordialisme yang diperkental. Itulah yang bahaya," ucap dia sembari mencontohkan munculnya fasisme di Itali dan Nazi di Jerman.
Has/Imelda Bachtiar, Reko Alum, Eko Yulityo A.F., Gatot Prihanto (Jakarta). Koreponden Solo, Prasetyo (Semarang), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 981114-013/Hal. 21 Rubrik Liputan Utama
Comments