Ninja Palsu pun Dibantai

Masyarakat Jawa Timur melakukan aksi balas dendam terhadap pasukan ninja. Tapi, yang jadi korban kebanyakan orang tak bersalah.

BANJIR darah di Jawa Timur sepertinya tak hendak berhenti. Korbannya juga masih sama: orang-orang tak bersalah. Yang berbeda cuma label yang dilekatkan kepada mereka: jika dulu "dukun santet", kini "pasukan ninja".

Pelakunya-ini yang menyedihkan tak lain masyarakat setempat yang memang tengah dicekam rasa saling curiga. "Apa salahnya masyarakat lebih dulu bertindak, daripada kedahuluan? Soalnya, sekarang ini, siapa yang bisa menjamin keselamatan kami?" kata seorang warga Kecamatan Jenggawah. Suatu hari pada pekan lalu, ia ikut mengeroyok seorang yang dicurigai sebagai anggota pasukan ninja-istilah populer untuk gerombolan yang membantai sejumlah ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Ada nada cemas, bahkan ketakutan, dari pernyataan itu. Dari sana kemudian muncul sisi hitam manusia: gampang bertindak di luar batas perikemanusiaan. Begitu melihat orang asing yang dicurigai sebagai pasukan ninja, tak peduli siapa pun dia, massa langsung menghajarnya.

Akibatnya, sampai akhir pekan lalu tercatat sedikitnya 25 orang menjadi korban aksi balas dendam massa. Perinciannya: sembilan korban jatuh di Jember, sepuluh di Malang, serta masing-masing tiga di Lumajang dan Probolinggo.

Dibanding ratusan korban gerombolan pembantai, jumlah itu mungkin belum seberapa. Tapi, cara pembantaian massa itu tak kalah kejinya. Coba simak peristiwa di Markas Kepolisian Sektor Ledokombo, Jember, 7 Oktober lalu, di bawah ini.

Malam itu, penduduk yang sedang berjaga-jaga berhasil menangkap basah dua orang yang dicurigai sebagai ninja. Tapi, belum sempat massa menghajar, tiba-tiba petugas Kepolisian Sektor Ledokombo datang menyelamatkan ninja-ninja tadi.

Merasa tak puas, massa pun marah. Malam itu juga mereka mengejar "buruan"-nya ke kantor polisi. Di sana, massa menuntut agar ninja-ninja tadi diserahkan kepada mereka. Tapi, polisi tak mau. Akibatnya, massa mengancam akan membakar habis markas polisi itu. Dan, entah bagaimana, di tengah suasana panas tiba-tiba seorang tahanan berhasil diseret ke luar. Lalu, tanpa ba-bi-bu lagi, orang itu dikeroyok hingga tewas.

Sejak itu, aksi balas dendam mulai merebak. Berikut kronologi yang bisa dicatat koresponden D&R.

* 8 Oktober. Petugas Kepolisian Sektor Sumberjambe, Jember, bersama 150-an warga setempat meringkus sepuluh tersangka pembantaian berkedok dukun santet. Lutfi, 40 tahun, salah seorang tersangka, mati tertembak karena melawan. Seorang yang lain ditusuk senjata tajam massa, tapi tak sampai tewas.

* 10 Oktober. Di Jember, masyarakat yang mulah melakukan aksi memburu ninja melakukan penjagaan ketat di mana-mana. Kembali, dua orang yang dicurigai ninja dibantai massa di halaman Markas Kepolisian Sektor Ledokombo.

* 12 Oktober. Matrois, 35 tahun, warga Desa Karangpiring, Kecamatan Sukorambi, Jember, ditemukan menjadi mayat. Diduga, ia dibantai massa, lalu mayatnya dibuang begitu saja. Kabarnya, saat kepergok massa, Matrois tak bisa menunjukkan identitasnya.

* 13 Oktober. Sebuah konvoi sepeda motor mendatangi Markas Kepolisian Sektor Mumbulsari. Massa menuntut lima orang yang ditahan di kantor polisi itu diserahkan karena para tahanan itu dicurigai sebagai ninja. Polisi menolak. Lalu, massa membakar kantor polisi hingga hangus. Akibat peristiwa pembakaran itu, 16 orang ditahan. Juga, 18 sepeda motor dan puluhan senjata tajam disita.

* 14 Oktober. Pengurus Wilayah NU Jawa Timur membentuk pasukan anti ninja. Kesepakatan berlangsung di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, dihadiri seluruh pimpinan cabang NU se-Jawa Timur. Kesepakatan itu diambil karena teror yang dialami para kiai dan pimpinan pondok pesantren sudah sampai ancaman dibunuh.

Sementara itu, Barisan Serbaguna NU Bojonegoro menyiapkan 600 pasukan "ninja putih" yang terlatih. Pembentukan pasukan ini untuk mengantisipasi kemungkinan penyerangan gerombolan ninja ke pesantren-pesantren.

Di Surabaya, ribuan orang menyerbu Markas Kepolisian Sektor Semampir. Mereka menuntut polisi menyerahkan tiga orang berpakaian serbahitam yang ditahan. Sebelumnya, ketiga orang itu diduga kuat akan membunuh ustad Saleh, warga Nyamplungan, Surabaya.

Polisi tak mau memenuhi tuntutan massa. Akibatnya, massa melempari markas polisi itu dengan batu, kayu, serta benda keras lain. Polisi membalas dengan tembakan peringatan. Akhirnya, polisi mengakui ketiga orang itu adalah petugas Kepolisian Daerah Jawa Timur yang sengaja diterjunkan untuk menyelidiki keadaan.

Di Probolinggo, massa melihat ada orang masuk ke masjid, lalu salat menghadap ke utara, tak sesuai arah kiblat. Karena mencurigakan, orang itu diseret ke luar, lantas dikeroyok hingga tewas. Belakangan baru diketahui orang tersebut tak waras alias gila. Di Pasuruan, seorang tukang batu bernama Didik Rubiantoo, 21 tahun, dicokok massa dari tahanan Markas Komando Rayon
Militer Lekok. Sebelumnya, Didik datang ke pesantren di Desa Pasinan, yang diasuh Kiai Haji Abdullah Chunein. Ia bermaksud menemui Kiai Chunein. Tapi, ketika massa minta kartu tanda penduduknya diperlihatkan, Didik mengatakan hilang.

Karena mencurigakan, Didik diserahkan ke Markas Komando Rayon Militer Lekok. Tapi, mayoritas massa tak puas, lalu mendatangi markas tentara itu. Nah, begitu diserahkan petugas, massa pun membantai Didik tepat di halaman markas militer tersebut.

* 17 Oktober. Petugas Kepolisian Sektor Gumukmas, Jember, terpaksa mengamankan empat warga Pasirian, Lumajang, yang dicurigai warga setempat sebagai ninja. Massa mencegat keempat orang itu di jalan. Keempat orang itu berhasil diselamatkan, tapi mobil minibus yang ditumpangi mereka hangus dibakar massa.

* 18 Oktober. Di Malang Selatan, hari itu massa membunuh lima orang yang dicurigai sebagai anggota pasukan ninja. Orang-orang itu dibunuh massa di tempat terpisah.

Korban pertama dihajar massa di Desa Gondanglegi Kulon. Korban yang lain diidentifikasi bernama Riono, warga Jalan Kresna, Malang. Pria ini dibunuh massa di Kebalen Wetan, Gang VIII, Kecamatan Kedungkandang. Yang paling sadis adalah kejadian di kawasan Druju, Sumbermanjing Wetan. Siang itu, massa menangkap dua orang tak dikenal. Salah seorang langsung tewas dikeroyok massa, yang satu lagi sempat diamankan petugas dan dibawa dengan truk. Namun, sesampai di Sedayu, Kecamatan Turen, truk itu dihadang konvoi sepeda motor.

Orang itu dipaksa turun, lantas dieksekusi massa. Belum cukup, kepalanya dipenggal, lulu diarak keliling kota dengan konvoi sepeda motor. Arak-arakan itu malah sempat berhenti di depan Markas Kepolisian Resor Malang.

Kejadian serupa terjadi di Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur. Seorang tak dikenal yang ditangkap massa dihajar hingga tewas. Kemudian, kepalanya dipenggal dan diarak keliling kecamatan; sedangkan tubuh mayat diseret sepeda motor, lalu diletakkan begitu saja di depan Markas Kepolisian Sektor Turen. Markas Kepolisian Sektor Wajak juga didatangi massa, yang meminta seorang tahanan. Entah mengapa, tuntutan itu diluluskan. Setelah diarak, orang itu dibantai di Pasar Wajak.

* Sabtu, 24 Oktober: Saat malam tiba, Kota Pasuruan kembali rusuh. Toko-toko dan bank di sepanjang Jalan Soekamo-Hatta, Jalan Niaga, dan Jalan Nusantara dirusak massa. Sebuah sedan Mazda ringsek dijungkirbalikkan massa dan dua penumpangnya luka-luka dianiaya.

Pangkal kerusuhan adalah tertangkapnya seorang gelandangan bernama Ahmad Sulaiman. Orang ini, yang belakangan diketahui mengidap gangguan jiwa, diamankan di rumah Basar, salah seorang ketua rukun tetangga di Kelurahan Ngemplakrejo. Namun, siapa yang meniupkan, isu yang beredar mengabarkan seorang ninja tertangkap.

Dalam sekejap, rumah Basar didatangi massa, menuntut Ahmad dihajar saja. Polisi yang berusaha mengamankan Ahmad tak berkutik, dihadang massa. Ban mobil Toyota Kijang milik polisi dibacok hingga kempes. Baru, setelah didatangkan pasukan gabungan dari brigade mobil, batalyon zeni tempur, dan batalyon kavaleri setempat, Ahmad berhasil dibawa ke Markas Kepolisian Resor Pasuruan.

Rupanya, massa yang tak puas mengikuti konvoi pasukan itu. Nah, entah siapa yang memulai, massa mulai merusak pertokoan di sepanjang jalan.

* Tak Peduli Orang Gila Sekalipun

Aksi pembalasan itu memang sudah membabi-buta. Sebabnya, kata Kepala Kepolisian Resor Lumajang, Letnan Kolonel I.G. Atang Wiguna, isu ninja sudah begitu merasuki masyarakat. "Mereka khawatir menjadi sasaran, lalu melakukan pengamanan berlebihan," kata Wiguna.

Akibatnya, yang menjadi korban kebanyakan orang tak bersalah. Peristiwa yang menimpa Rachmat Hidayat, 16 tahun, warga Kelurahan Rogotrunan, Lumajang, contohnya. Hari itu, 16 Oktober, pelajar itu meninggalkan rumah sekitar pukul 16.00. Orang tuanya mengira ia akan mencari ular karena saat pergi membawa bambu kuning.

Tapi, sekitar pukul 18.30, Hari, ayah Rachmat, mendapat informasi anaknya dihajar massa di Desa Blukon, sekitar empat kilometer dari rumahnya. Hari pun bergegas ke desa tetangga itu. Di sana, ia melihat kerumunan massa di rumah Kepala Desa Blukon, Sukarto. Rupanya, Pak Kepala Desa berusaha menyelamatkan Rachmat dari keroyokan massa.

Hari pun segera berbaur di tengah kerumunan. Kepada massa, ia menjelaskan anaknya bukanlah ninja, melainkan pelajar biasa. Sialnya, massa tak bisa ditenangkan. Gantian, Hari dihajar. Untung, Sukarto hertindak sigap menyelamatkan Hari, membawanya ke rumah salah seorang penduduk.

Nah, saat itulah, massa yang sudah beringas mendobrak pintu rumah Sukarto. Rachmat yang ketakutan langsung di seret ke balai desa. Di sana, ia dipukuli hingga ajalnya melayang.

Sebagian korban lain adalah orang-orang tak waras alias gila. Memang, belakangan, banyak orang gila berpakaian hitam-hitam berkeliaran di kota-kota Jawa Timur. Kebetulan atau tidak, kebanyakan mereka berkeliaran di sekitar pondok-pondok pesantren. Bisa jadi, orang-orang tak waras itu sengaja dilepaskan para penggerak teror untuk memperkeruh suasana yang sudah panas. Agaknya, mereka ini sengaja dijadikan "tumbal" untuk melampiaskan amarah massa.

Mengapa massa tega-membantai orangorang tak waras itu? Itu karena warga sempat pula beberapa kali menangkap basah ninja profesional yang berpura-pura gila. Misalnya kejadian di Kelurahan Kebraon, Surabaya, 20 Oktober lalu. Kala itu, massa melihat seorang yang mencurigakan berkeliaran di desa itu. Saat dikejar, dengan tangkas, ia herusaha melarikan diri.

Akhirnya, massa berhasil meringkus pemuda tersebut, yang belakangan mengaku bernama Badjuri, berasal dari Banten, Jawa Barat. "Namun, ketika tertangkap, dia berlagak pilon seperti orang tak waras," tutur seorang warga Kebraon, seperti dikutip Bisnis Indonesia. Langsung saja, massa menghajarnya. Lalu, dalam keadaan payah, Badjuri dibawa ke Kepolisian Sektor Karangpilang.

Akibatnya, makin hari, keberingasan massa semakin memuncak. Apalagi, sampai saat ini, polisi dan tentara belum juga berhasil mengungkap dalang dan penggerak di balik pembantaian sejumlah tokoh agama. "Masyarakat tak percaya lagi kepada aparat keamanan," kata Kiai Haji Yusuf Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Jember.

Polisi sendiri memang terkesan kebingungan menghadapi situasi ini. "Kami menjadi serbasalah," kata Leman Kolonel Atang Wiguna. Bersikap hati-hati dibilang lamban. Mengamankan orang yang diduga pelaku pembantaian malah dikatakan melindungi.

Akibatnya, yang terjadi kemudian adalah sikap saling curiga antarkelompok masyarakat. Dan, rasa curiga merupakan lahan subur tumbuhnya perilaku kekerasan yang menafikan akal sehat.

Imran Hasibuan/Laporan Suma Atmadja (Banyuwangi) dan Abdul Manan (Surabaya)

D&R Edisi 981031-011/Hal. 19 Rubrik Liputan Utama

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO