Jurnalis Melawan "Teroris"
Di era reformasi, para insan pers justru harus berhadapan dengan para "teroris", yang mengancam akan melakukan tindakan kekerasan, bahkan siap membunuh.
JEMBER dan Banyuwangi di Jawa Timur bukanlah daerah bergolak seperti Bosnia-Herzegovina atau Lebanon Selatan. Tapi, bagi para jurnalis, risikonya sekarang sama saja. Sewaktu-waktu, jika lengah dan bernasib nahas, mereka bisa saja kehilangan nyawa. Itulah risiko profesi yang dihadapi para jurnalis sekarang.
Sesudah aksi pembantaian di Jawa Timur terhadap kiai Nahdlatul Ulama, aktivis Partai Persatuan Pembangunan, dan kalangan masyarakat kecil dengan tuduhan "dukun santet"-yang terkesan sistematis, terorganisasi rapi, dan dilakukan orang-orang terlatih kini giliran para jurnalis diteror dan diancam dibunuh.
Lebih buruk lagi, meski dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda, aksi kekerasan terhadap jurnalis juga muncul di Ujungpandang, Manado, dan Tanjungbalai (Sumatra Utara).
Kelompok antireformasi pelaku pembantaian di Jawa Timur tampaknya mulai gerah dengan pemberitaan gencar media massa, yang mulai memojokkan dan membatasi ruang gerak niereka. Maka, dengan mengatasnamakan Alim Ulama Jember dan Rakyat Jember yang Cinta Damai, mereka menyebarkan selebaran yang menuduh pemberitaan media elektronik dan cetak "berlebihan" dan "hanya memuat yang negatif.
Lebih spesifik, selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat umum sejak 19 Oktober itu menuduh, di belakang para wartawan itu terdapat sisa-sisa Partai Komunis Indonesia. Disebut juga sejumlah nama wartawan, yakni Eko (RCTI), Didik (Surya), Andung (Jawa Pos), dan dari Kompas (tidak disebut nama wartawannya). Selebaran yang berjudul "Imbauan kepada Masyarakat Jember" itu diakhiri dengan seruan seram: "Mari, wahai warga Jember, kita bunuh dan habisi penyiar kabarbohong (wartawan) yang ditulis di
atas!"
Kepada D&R, sejumlah wartawan Eko Suryono, Didik Masyhudi, Andung Kurniawan, dan Syamsul Hadi (Kompas) yang disebut dalam selebaran menyatakan keheranannya. Menurut mereka, berita yang mereka tulis masih biasa-biasa saja. "Dan, semua koran juga memberitakan, mengapa hanya nama tertentuyang disebut di selebaran," ujar Didik.
Didik tidak percaya selebaran itu dibuat alim ulama Jember. Bantahan juga sudah dinyatakan pimpinan Pondok Pesantren Darus Shalah di Jember, K.H. Yusuf Muhammad. Menurut tokoh yang biasa dipanggil Gus Yus itu, ada kelompok yang ingin mengadu domba wartawan dengan ulama.
Apa pun kasusnya, yang jelas, rumah Syamsul sempat didatangi dua orang tak dikenal, beberapa jam setelah "selebaran teroris" itu dipublikasikan. Untungnya, Syamsul sedang tak ada di rumah. Namun, setelah kejadian itu, Syamsul terpaksa mengungsi ke rumah orang tuanya.
Eko juga terpaksa tidur berpindah-pindah, terkadang di Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Pokoknya, kata Eko-yang menelepon dari penginapannya di Banyuwangi-ia harus bergerak terus. Pasalnya, meski Didik dan Andung merasa tidak ada masalah, Eko khawatir ancaman dalam selebaran itu betul-betul diwujudkan.
Jangan Menjelekkan Pemerintah
Para kuli tinta di Jember belum merasa perlu minta perlindungan aparat keamanan. Tapi, para wartawan di Surabaya sudah khawatir karena mereka juga diteror. Wartawan Tempo yang juga Pelaksana Harian Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jawa Timur. Jalil Hakim, diancam lewat telepon oleh seseorang yang tak mau
menyebutkan namanya.
Retno dari Reuters Surabaya juga diancam lewat pemilik rumah kontrakannya. Seorang pria berpakaian rapi, berjas hijau tua. mengatakan kepada pemilik rumah: "Tolong katakan kepada dia (Retno), "Kamu mesti hati-hati, jangan menjelek-jelekkan pemerintah. Pokoknya, jangan macam-macam. Kalau tidak, habis nanti dia."
Karena berbagai teror itu, Komite Solidaritas untuk Keselamatan Wartawan (Kostrat) di Surabaya sudah meminta gubernur, Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, serta Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur memberi jaminan keamanan. Kostrat juga mengirim surat ke Serikat Penerbit Suratkabar dan pemilik media, agar memberi jaminan keselamatan kepada wartawannya. Misalnya, jika lebih aman memakai mobil dalam peliputan, ya, mobil itu harus disediakan.
Jalan menuju reformasi ternyata masih sangat panjang bagi kalangan pers Indonesia, apalagi kalau di sepanjang jalan banyak teroris menghadang. Bagi para jurnalis yang independen hanya ada satu kata: lawan!
Satrio Arismunandar/Laporan: Suma Atmaja (Jember) Abdul Manan (Surabaya), Patria Pombengi (Manado). Edrin Adriansyah (Medan)
D&R Edisi 981031-011/Hal. 74 Rubrik Media
JEMBER dan Banyuwangi di Jawa Timur bukanlah daerah bergolak seperti Bosnia-Herzegovina atau Lebanon Selatan. Tapi, bagi para jurnalis, risikonya sekarang sama saja. Sewaktu-waktu, jika lengah dan bernasib nahas, mereka bisa saja kehilangan nyawa. Itulah risiko profesi yang dihadapi para jurnalis sekarang.
Sesudah aksi pembantaian di Jawa Timur terhadap kiai Nahdlatul Ulama, aktivis Partai Persatuan Pembangunan, dan kalangan masyarakat kecil dengan tuduhan "dukun santet"-yang terkesan sistematis, terorganisasi rapi, dan dilakukan orang-orang terlatih kini giliran para jurnalis diteror dan diancam dibunuh.
Lebih buruk lagi, meski dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda, aksi kekerasan terhadap jurnalis juga muncul di Ujungpandang, Manado, dan Tanjungbalai (Sumatra Utara).
Kelompok antireformasi pelaku pembantaian di Jawa Timur tampaknya mulai gerah dengan pemberitaan gencar media massa, yang mulai memojokkan dan membatasi ruang gerak niereka. Maka, dengan mengatasnamakan Alim Ulama Jember dan Rakyat Jember yang Cinta Damai, mereka menyebarkan selebaran yang menuduh pemberitaan media elektronik dan cetak "berlebihan" dan "hanya memuat yang negatif.
Lebih spesifik, selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat umum sejak 19 Oktober itu menuduh, di belakang para wartawan itu terdapat sisa-sisa Partai Komunis Indonesia. Disebut juga sejumlah nama wartawan, yakni Eko (RCTI), Didik (Surya), Andung (Jawa Pos), dan dari Kompas (tidak disebut nama wartawannya). Selebaran yang berjudul "Imbauan kepada Masyarakat Jember" itu diakhiri dengan seruan seram: "Mari, wahai warga Jember, kita bunuh dan habisi penyiar kabarbohong (wartawan) yang ditulis di
atas!"
Kepada D&R, sejumlah wartawan Eko Suryono, Didik Masyhudi, Andung Kurniawan, dan Syamsul Hadi (Kompas) yang disebut dalam selebaran menyatakan keheranannya. Menurut mereka, berita yang mereka tulis masih biasa-biasa saja. "Dan, semua koran juga memberitakan, mengapa hanya nama tertentuyang disebut di selebaran," ujar Didik.
Didik tidak percaya selebaran itu dibuat alim ulama Jember. Bantahan juga sudah dinyatakan pimpinan Pondok Pesantren Darus Shalah di Jember, K.H. Yusuf Muhammad. Menurut tokoh yang biasa dipanggil Gus Yus itu, ada kelompok yang ingin mengadu domba wartawan dengan ulama.
Apa pun kasusnya, yang jelas, rumah Syamsul sempat didatangi dua orang tak dikenal, beberapa jam setelah "selebaran teroris" itu dipublikasikan. Untungnya, Syamsul sedang tak ada di rumah. Namun, setelah kejadian itu, Syamsul terpaksa mengungsi ke rumah orang tuanya.
Eko juga terpaksa tidur berpindah-pindah, terkadang di Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Pokoknya, kata Eko-yang menelepon dari penginapannya di Banyuwangi-ia harus bergerak terus. Pasalnya, meski Didik dan Andung merasa tidak ada masalah, Eko khawatir ancaman dalam selebaran itu betul-betul diwujudkan.
Jangan Menjelekkan Pemerintah
Para kuli tinta di Jember belum merasa perlu minta perlindungan aparat keamanan. Tapi, para wartawan di Surabaya sudah khawatir karena mereka juga diteror. Wartawan Tempo yang juga Pelaksana Harian Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jawa Timur. Jalil Hakim, diancam lewat telepon oleh seseorang yang tak mau
menyebutkan namanya.
Retno dari Reuters Surabaya juga diancam lewat pemilik rumah kontrakannya. Seorang pria berpakaian rapi, berjas hijau tua. mengatakan kepada pemilik rumah: "Tolong katakan kepada dia (Retno), "Kamu mesti hati-hati, jangan menjelek-jelekkan pemerintah. Pokoknya, jangan macam-macam. Kalau tidak, habis nanti dia."
Karena berbagai teror itu, Komite Solidaritas untuk Keselamatan Wartawan (Kostrat) di Surabaya sudah meminta gubernur, Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, serta Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur memberi jaminan keamanan. Kostrat juga mengirim surat ke Serikat Penerbit Suratkabar dan pemilik media, agar memberi jaminan keselamatan kepada wartawannya. Misalnya, jika lebih aman memakai mobil dalam peliputan, ya, mobil itu harus disediakan.
Jalan menuju reformasi ternyata masih sangat panjang bagi kalangan pers Indonesia, apalagi kalau di sepanjang jalan banyak teroris menghadang. Bagi para jurnalis yang independen hanya ada satu kata: lawan!
Satrio Arismunandar/Laporan: Suma Atmaja (Jember) Abdul Manan (Surabaya), Patria Pombengi (Manado). Edrin Adriansyah (Medan)
D&R Edisi 981031-011/Hal. 74 Rubrik Media
Comments