Sampai Kapan Habibie Bertahan
Mahasiswa berdemo lagi, menuntut harga sembako diturunkan, dan Presiden Habibie turun. Muncul demo tandingan, mempertahankan Habibie. Wajah politik kita hari ini.
SEPERTINYA mereka hendak mengulang sejarah. Ribuan mahasiswa mendatangi gedung DPR-MPR, dua pekan lalu, dan siap menggelindingkan yang dulu oleh sebagian pers Barat disebut "Revolusi Mei". Ketika itu, 19 Mei, mereka menginap di gedung itu, dan beberapa hari kemudian Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Senin, 7 September dua pekan lalu itu, di antara 2.000-an mahasiswa beberapa mengacung-acungkan poster. "Habibie turun!" bunyi salah satu poster. "Turunkan harga sembako," bunyi poster yang lain. Tapi, mereka masuk ke halaman gedung pun tak bisa. Aparat keburu menutup gerbang, dan mahasiswa hanya bisa sampai di luar pagar. Di salah satu sisi, pagar berupa teralis besi itu roboh didesak-desak demonstran.
Itu di Jakarta. Dua hari kemudian, demonstrasi muncul di Surabaya. Tuntutannya sama, meski bunyinya agak lain. "Tolak Habibie," bunyi poster yang dibawa-bawa oleh mahasiswa yang terhimpun dalam Arek Pro-Reformasi (APR). Buat mereka, seperti tercantum dalam salah satu poster, "Reformasi belum selesai." Maksudnya, seperti dikatakan Merwan Febriyadi, Koordinator APR Surabaya, "Secara politis Habibie lama dengan Soeharto. Dia tidak dipilih rakyat. Habibie dipilih oleh Soeharto."
Lalu, kenapa anggota APR itu beramai-ramai mendatangi Gedung Negara Grahadi? Hari itu, 9 September, Presiden Habibie memang berkunjung ke Surabaya. Tapi, demonstran tak sempat bertemu dengan presiden yang buru-buru balik ke Jakarta.
Esoknya, 10 September, agak lebih besar daripada tiga hari sebelumnya, kembali muncul demonstrasi mahasiswa di Ibu Kota. Bukan hanya gedung DPR-MPR yang mereka singgahi, juga kawasan sekitar Monas. Daerah yang "rawan" karena dekat dengan Istana Negara ini, sudah tentu, mendapat pengawalan ketat. Bukan cuma personel aparat yang berderet menghadang mahasiswa agar tak menuju ke Istana Negara. Puluhan parser pun siaga di jalan-jalan di kawasan ini. Menjelang sore, demonstran membubarkan diri. Ada isu, katanya akan muncul demo tandingan. Pimpinan mahasiswa rupanya tak hendak memicu konflik, dan dengan bijak mereka meminta teman-teman mereka pulang saja.
Esoknya, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin menyebut demo mahasiswa sebagai pangkal terpuruknya kembali rupiah, dari semula Rp 11.000 per satu dolar AS menjadi Rp 12.300. Bahkan Panglima ABRI (Pangab) mengatakan mahasiswa sudah bereaksi secara berlebihan. Apakah dengan demonstrasi lalu harga sembako turun, kata Jenderal Wiranto.
Meski agak di luar biasa reaksi para pejabat ini, masih tergolong klise. Yang "kreatif" kemudian adalah reaksi entah dari siapa, berupa spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai sudut Ibu Kota.
Di dekat Masjid Istiqlal, misalnya, sebuah spanduk terentang panjang dan bertuliskan: "Akibat Forkot Demonstrasi, Dolar Naik, Rakyat Tambah Menderita." Di bawah tulisan ada keterangan: Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia.
Lalu, di sekitar patung Pak Tani di kawasan Menteng, dua spanduk terpasang. "Apa pun yang Terjadi, Kami Tak Akan Melupakan Jasa ABRI Menumpas PKI" Satu lagi spanduk terbaca: "Kader-Kader PKI Dalang Kerusuhan dan Penjarahan."
* Perang Saudara
Selain Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indionesia tadi, ratusan spanduk yang tersebar di seantero Jakarta itu beridentitaskan macam-macam. Ada Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI); Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; Gerakan Pemuda Islam, dan banyak lagi. Munculnya spanduk-spanduk itu diawali oleh aksi ribuan massa di gedung DPR-MPR, Senin, 14 September pekan lalu. Aksi ini mengatasnamakan FAB atau Forum Aksi Bersama, gabungan dari berbagai organisasi, antara lain: Gerakan Reformasi Anti-Anarki, Forum Penyelamat Reformasi, Gerakan Reformasi Masyarakat Banter, Penyaluran Aspirasi Kaum Buruh Indonesia, Masyarakat Perduli Bangsa, Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Perguruan Tinggi Dakwah Islam Indonesia.
Ketika itu mereka membawa spanduk-spanduk juga "Setop Gerakan ke Arab Perang Saudara," bunyi salah satu spanduk. Abdul Rasjid, juru bicara FAB, mengatakar kepada wartawan kenapa mereka melakukan ini. Katanya, ini untuk mengimbangi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam Forkot seminggu sebelumnya, dan Abdul punya bukti bahwa demonstrasi yang lebih besar akan dilakukan Forkot bersama Barisan Nasional pada 30 September pekan depan.
Perkembangan politik seperti apa yang terjadi?
Tak terlalu istimewa sebenamya, dan bahkan cenderung klise. Forkot, Forum Kota, wadah gabungan mahasiswa perguruan tinggi se-Jabotabek, mencoba menyampaikan aspirasi yang ada di masyarakat. Yakni, Presiden Habibie perlu legitimasi, dan bahwa harga-harga kebutuhan pokok perlu diturunkan. "Ini gerakan moral, bukan didorong oleh ideologi," kata Hardian, Koordinator Forkot Posko Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dan, gerakan ini mencoba menyuarakan suara rakyat banyak yang kini menderita karena harga-harga kebutuhan melambung, dan angka pengangguran meningkat.
Jadi, apa salah Forkot? Kenapa muncul tuduhan bahwa mereka "kader-kader PKI"? Kenapa mereka dituduh anti-Habibie dan menyudutkan Islam? Menurut Hardian, bisa jadi karena mereka membentuk Komite Rakyat Indonesia. Bukankah kata "komite" berasosiasi pada komunisme, kata Hardian. Tapi, buru-buru ia membantahnya sendiri, "Kalau demikian," katanya, kenapa KNPI, ormas pemuda yang bernaung di bawah Golkar, tak dibubarkan dari dulu. Banar, KNPI itu kepanjangannya kan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Bagi Hardian, munculnya tuduhan-tuduhan itu justru memperkuat dugaan bahwa pemerintahan Habibie tak berbeda dengan pemerintahan Soeharto. "Bukankah stigmatisasi PKI adalah pelajaran yang diberikan oleh Soeharto dan Orde Baru-nya untuk memangkas gerakan-gerakan prodemokrasi?" kata salah seorang koordinator Forkot ini.
Dan Habibie, bila mereka mengkritiknya, bukanlah hal yang baru kali ini disuarakan. Ada dua soal pokok pada Habibie. Pertama, legitimasi pengangkatannya yang hanya ditunjuk oleh Presiden Soeharto (bukan lewat pemilu) dan dilantik oleh Mahkamah Agung (bukan MPR). Kedua, rekaman korupsi, kolusi, nepotisme Habibie di Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sempat memarakkan protes, ketika ia masih menjadi pimpinan di pabrik pesawat itu.
Adapun tuduhan bahwa Forkot antiIslam, hendak memojokkan Islam, menimbulkan keheranan mahasiswa UKI ini. Soalnya, di dalam Forkot juga tergabung mahasiswa-mahasiswa Islam, misalnya: mahasiswa Institut Agama Islam Negeri, Universitas Ibnu Chaldun, Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran, dan lain-lain.
* Menunggu Pemilu
Tapi, benarkah tuduhan datang dari KISDI, misalnya? Atau, dari organisasi yang diketahui dekat dengan KISDI, antara lain Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)?
Setidaknya, Ketua KISDI, Achmad Sumargono, menolak bila pihaknya dituduh sebagai pencetus demo tandingan. Cuma, ia berterus-terang bahwa demo mahasiswa saat ini sudah cenderung anarkis, dan tuntutannya tidak logis, "Menuntut turun harga sekarang juga."
Lalu, soal tuntutan rnahasiswa agar Habibie turun, kata Achmad: "Tunggu, dan kasih kesempatan kepada Habibie dulu." Ia menyarankan agar semua pihak bersabar dan menunggu pemilu bila benar-benar hendak memilih pemimpin yang legitimate.
Buat Eggi Sudjana, Ketua PPMI, boleh-boleh saja mahasiswa menuntut Habibie turun seperti empat bulan lalu menuntut Soeharto turun. Tapi, katanya, apakah daya dukung demonstrasi sekarang sama dengan yang dulu? Apakah "demonstrasi yang menuntut Habibie turun sama daya dukungnya dengan yang menuntut Soeharto turun?"
Menurut Eggi, tuntutan terhadap Soeharto hampir tak ada masalah karena sebagian besar masyarakat kertika itu bersuara sama. Kini, tuntutan terhadap Habibie bermasalah karena "ada kelompok lain, juga mahasiswa, yang mendukung Habibie."
Ia khawatir bila kedua kelompok prokontra Habibie ini terus berkembang akan terjadi konflik yang tidak produktif. Jadi, senapas dengan Achmad Sumargono, ia mengusulkan kita semua menunggu pemilu Mei tahun depan. Tak berarti kritik terhadap Habibie dilarang. Bisa saja itu disampaikan, misalnya lewat delegasi. "Soalnya, dengan aksi mereka bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru," katanya.
Eggi, dikenal suka menggalang demonstrasi pula, mempertanyakan juga, andai Habibie benar-benar turun, akankah itu menyelesaikan masalah?
Sebenarnya, ada persamaan bila dilihat dari suatu jarak. Mereka yang menuntut Habibie turun dan yang minta agar Habibie diberi kesempatan adalah sama-sama untuk kepentinghan rakyat banyak. Adanya pemimpin baru diharapkan bisa menyelesaikan masalah ekonomi dan lebih memperlancar jalannya reformasi dengan menegakkan hukum dan lain-lain. Mereka yang mempertahankan Habibie adalah dengan harapan yang sama: Habibie bisa mencari solusi ekonomi, di samping membangun demokrasi. Kata Sekjen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, Adi Sasono, yang tentu saja dekat dengan Presiden Habibie itu, bahwa Habibie memberikan kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat (lihat wawancara Adi Sasono).
Tapi, tentu saja masalahnya tak sesederhana itu. Dalam masyarakat, mestinya kini bergerak banyak kepentingan, dan masing-masing memakai jalannya sendiri. Dan, justru karena itu kedemokrasian tiap-tiap pihak dituntut. Bila saja percaturan adalah pertarungan ide-ide, pengajuan calon masing-masing yang dianggap layak, bukan dicampuri konflik fisik dan tumpahnya darah, bukankah ini demokrasi yang dicita-citakan?
Mungkin sudah saatnya kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk tak malu-malu mengajukan calon masing-masing. Seperti kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, yang melihat bahwa tokoh semacam Amien Rais, Megawati, dan Abdurrahman Wahid punya potensi menyaingi Habibie. Bahkan, menurut Arbi; mereka lebih jelas punya dukungan-Amien Rais punya 30 juta umat Muhammadiyah, Gus Dur di belakangnya mengikut 40 juta umat Nahdlatul Ulama, dan Megawati, jangan ditanya lagi berapa juta pendukungnya.
Masalahnya, bagaimana percaturan ini benar-benar terjadi dalam suatu wadah yang disebut civil society. Mudahnya, bagaimana agar mereka yang empunya senjata tak ikut campur dan bukan hanya berdiri netral, tapi benar-benar berada di tempatnya sebagai penjaga keamanan negara dari ancaman luar. Karena itu, tanggapan Pangab yang telah dikutip, bahwa mahasiswa telah beraksi berlebihan, mestinya juga berlaku untuk demo tandingannya, atau untuk spanduk-spanduk yang mem-PKI-kan mahasiswa.
Bila demikian soalnya, tinggal mencari pemimpin, yang salah satu kriterinya seperti dikatakan oleh seorang pemimpin mahasiswa. Yakni, pemimpin yang berani lantang berbicara kepada rakyat: "Marilah kita sama-sama melarat dulu, menderita dulu, dan bekerja untuk masa depan yang lebih baik."
Dan jelas, pemimpin seperti itu memerlukan keabsahan dan kepercayaan dari rakyat; adakah Presiden Habibie memilikinya?
Bambang Bujono/Laporan: Andreas Ambar Purwanto, Budi Nugroho, Eko Sulistyo, Ahmed Nur Sobirin, J. Primus, Abdul Manan
(Surabaya) Ahmed Solikhan (Yogyakarta)
D&R Edisi 980926-006/Hal. 17 Rubrik Liputan Utama
SEPERTINYA mereka hendak mengulang sejarah. Ribuan mahasiswa mendatangi gedung DPR-MPR, dua pekan lalu, dan siap menggelindingkan yang dulu oleh sebagian pers Barat disebut "Revolusi Mei". Ketika itu, 19 Mei, mereka menginap di gedung itu, dan beberapa hari kemudian Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Senin, 7 September dua pekan lalu itu, di antara 2.000-an mahasiswa beberapa mengacung-acungkan poster. "Habibie turun!" bunyi salah satu poster. "Turunkan harga sembako," bunyi poster yang lain. Tapi, mereka masuk ke halaman gedung pun tak bisa. Aparat keburu menutup gerbang, dan mahasiswa hanya bisa sampai di luar pagar. Di salah satu sisi, pagar berupa teralis besi itu roboh didesak-desak demonstran.
Itu di Jakarta. Dua hari kemudian, demonstrasi muncul di Surabaya. Tuntutannya sama, meski bunyinya agak lain. "Tolak Habibie," bunyi poster yang dibawa-bawa oleh mahasiswa yang terhimpun dalam Arek Pro-Reformasi (APR). Buat mereka, seperti tercantum dalam salah satu poster, "Reformasi belum selesai." Maksudnya, seperti dikatakan Merwan Febriyadi, Koordinator APR Surabaya, "Secara politis Habibie lama dengan Soeharto. Dia tidak dipilih rakyat. Habibie dipilih oleh Soeharto."
Lalu, kenapa anggota APR itu beramai-ramai mendatangi Gedung Negara Grahadi? Hari itu, 9 September, Presiden Habibie memang berkunjung ke Surabaya. Tapi, demonstran tak sempat bertemu dengan presiden yang buru-buru balik ke Jakarta.
Esoknya, 10 September, agak lebih besar daripada tiga hari sebelumnya, kembali muncul demonstrasi mahasiswa di Ibu Kota. Bukan hanya gedung DPR-MPR yang mereka singgahi, juga kawasan sekitar Monas. Daerah yang "rawan" karena dekat dengan Istana Negara ini, sudah tentu, mendapat pengawalan ketat. Bukan cuma personel aparat yang berderet menghadang mahasiswa agar tak menuju ke Istana Negara. Puluhan parser pun siaga di jalan-jalan di kawasan ini. Menjelang sore, demonstran membubarkan diri. Ada isu, katanya akan muncul demo tandingan. Pimpinan mahasiswa rupanya tak hendak memicu konflik, dan dengan bijak mereka meminta teman-teman mereka pulang saja.
Esoknya, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin menyebut demo mahasiswa sebagai pangkal terpuruknya kembali rupiah, dari semula Rp 11.000 per satu dolar AS menjadi Rp 12.300. Bahkan Panglima ABRI (Pangab) mengatakan mahasiswa sudah bereaksi secara berlebihan. Apakah dengan demonstrasi lalu harga sembako turun, kata Jenderal Wiranto.
Meski agak di luar biasa reaksi para pejabat ini, masih tergolong klise. Yang "kreatif" kemudian adalah reaksi entah dari siapa, berupa spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai sudut Ibu Kota.
Di dekat Masjid Istiqlal, misalnya, sebuah spanduk terentang panjang dan bertuliskan: "Akibat Forkot Demonstrasi, Dolar Naik, Rakyat Tambah Menderita." Di bawah tulisan ada keterangan: Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia.
Lalu, di sekitar patung Pak Tani di kawasan Menteng, dua spanduk terpasang. "Apa pun yang Terjadi, Kami Tak Akan Melupakan Jasa ABRI Menumpas PKI" Satu lagi spanduk terbaca: "Kader-Kader PKI Dalang Kerusuhan dan Penjarahan."
* Perang Saudara
Selain Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indionesia tadi, ratusan spanduk yang tersebar di seantero Jakarta itu beridentitaskan macam-macam. Ada Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI); Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; Gerakan Pemuda Islam, dan banyak lagi. Munculnya spanduk-spanduk itu diawali oleh aksi ribuan massa di gedung DPR-MPR, Senin, 14 September pekan lalu. Aksi ini mengatasnamakan FAB atau Forum Aksi Bersama, gabungan dari berbagai organisasi, antara lain: Gerakan Reformasi Anti-Anarki, Forum Penyelamat Reformasi, Gerakan Reformasi Masyarakat Banter, Penyaluran Aspirasi Kaum Buruh Indonesia, Masyarakat Perduli Bangsa, Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Perguruan Tinggi Dakwah Islam Indonesia.
Ketika itu mereka membawa spanduk-spanduk juga "Setop Gerakan ke Arab Perang Saudara," bunyi salah satu spanduk. Abdul Rasjid, juru bicara FAB, mengatakar kepada wartawan kenapa mereka melakukan ini. Katanya, ini untuk mengimbangi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam Forkot seminggu sebelumnya, dan Abdul punya bukti bahwa demonstrasi yang lebih besar akan dilakukan Forkot bersama Barisan Nasional pada 30 September pekan depan.
Perkembangan politik seperti apa yang terjadi?
Tak terlalu istimewa sebenamya, dan bahkan cenderung klise. Forkot, Forum Kota, wadah gabungan mahasiswa perguruan tinggi se-Jabotabek, mencoba menyampaikan aspirasi yang ada di masyarakat. Yakni, Presiden Habibie perlu legitimasi, dan bahwa harga-harga kebutuhan pokok perlu diturunkan. "Ini gerakan moral, bukan didorong oleh ideologi," kata Hardian, Koordinator Forkot Posko Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dan, gerakan ini mencoba menyuarakan suara rakyat banyak yang kini menderita karena harga-harga kebutuhan melambung, dan angka pengangguran meningkat.
Jadi, apa salah Forkot? Kenapa muncul tuduhan bahwa mereka "kader-kader PKI"? Kenapa mereka dituduh anti-Habibie dan menyudutkan Islam? Menurut Hardian, bisa jadi karena mereka membentuk Komite Rakyat Indonesia. Bukankah kata "komite" berasosiasi pada komunisme, kata Hardian. Tapi, buru-buru ia membantahnya sendiri, "Kalau demikian," katanya, kenapa KNPI, ormas pemuda yang bernaung di bawah Golkar, tak dibubarkan dari dulu. Banar, KNPI itu kepanjangannya kan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Bagi Hardian, munculnya tuduhan-tuduhan itu justru memperkuat dugaan bahwa pemerintahan Habibie tak berbeda dengan pemerintahan Soeharto. "Bukankah stigmatisasi PKI adalah pelajaran yang diberikan oleh Soeharto dan Orde Baru-nya untuk memangkas gerakan-gerakan prodemokrasi?" kata salah seorang koordinator Forkot ini.
Dan Habibie, bila mereka mengkritiknya, bukanlah hal yang baru kali ini disuarakan. Ada dua soal pokok pada Habibie. Pertama, legitimasi pengangkatannya yang hanya ditunjuk oleh Presiden Soeharto (bukan lewat pemilu) dan dilantik oleh Mahkamah Agung (bukan MPR). Kedua, rekaman korupsi, kolusi, nepotisme Habibie di Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sempat memarakkan protes, ketika ia masih menjadi pimpinan di pabrik pesawat itu.
Adapun tuduhan bahwa Forkot antiIslam, hendak memojokkan Islam, menimbulkan keheranan mahasiswa UKI ini. Soalnya, di dalam Forkot juga tergabung mahasiswa-mahasiswa Islam, misalnya: mahasiswa Institut Agama Islam Negeri, Universitas Ibnu Chaldun, Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran, dan lain-lain.
* Menunggu Pemilu
Tapi, benarkah tuduhan datang dari KISDI, misalnya? Atau, dari organisasi yang diketahui dekat dengan KISDI, antara lain Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)?
Setidaknya, Ketua KISDI, Achmad Sumargono, menolak bila pihaknya dituduh sebagai pencetus demo tandingan. Cuma, ia berterus-terang bahwa demo mahasiswa saat ini sudah cenderung anarkis, dan tuntutannya tidak logis, "Menuntut turun harga sekarang juga."
Lalu, soal tuntutan rnahasiswa agar Habibie turun, kata Achmad: "Tunggu, dan kasih kesempatan kepada Habibie dulu." Ia menyarankan agar semua pihak bersabar dan menunggu pemilu bila benar-benar hendak memilih pemimpin yang legitimate.
Buat Eggi Sudjana, Ketua PPMI, boleh-boleh saja mahasiswa menuntut Habibie turun seperti empat bulan lalu menuntut Soeharto turun. Tapi, katanya, apakah daya dukung demonstrasi sekarang sama dengan yang dulu? Apakah "demonstrasi yang menuntut Habibie turun sama daya dukungnya dengan yang menuntut Soeharto turun?"
Menurut Eggi, tuntutan terhadap Soeharto hampir tak ada masalah karena sebagian besar masyarakat kertika itu bersuara sama. Kini, tuntutan terhadap Habibie bermasalah karena "ada kelompok lain, juga mahasiswa, yang mendukung Habibie."
Ia khawatir bila kedua kelompok prokontra Habibie ini terus berkembang akan terjadi konflik yang tidak produktif. Jadi, senapas dengan Achmad Sumargono, ia mengusulkan kita semua menunggu pemilu Mei tahun depan. Tak berarti kritik terhadap Habibie dilarang. Bisa saja itu disampaikan, misalnya lewat delegasi. "Soalnya, dengan aksi mereka bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru," katanya.
Eggi, dikenal suka menggalang demonstrasi pula, mempertanyakan juga, andai Habibie benar-benar turun, akankah itu menyelesaikan masalah?
Sebenarnya, ada persamaan bila dilihat dari suatu jarak. Mereka yang menuntut Habibie turun dan yang minta agar Habibie diberi kesempatan adalah sama-sama untuk kepentinghan rakyat banyak. Adanya pemimpin baru diharapkan bisa menyelesaikan masalah ekonomi dan lebih memperlancar jalannya reformasi dengan menegakkan hukum dan lain-lain. Mereka yang mempertahankan Habibie adalah dengan harapan yang sama: Habibie bisa mencari solusi ekonomi, di samping membangun demokrasi. Kata Sekjen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, Adi Sasono, yang tentu saja dekat dengan Presiden Habibie itu, bahwa Habibie memberikan kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat (lihat wawancara Adi Sasono).
Tapi, tentu saja masalahnya tak sesederhana itu. Dalam masyarakat, mestinya kini bergerak banyak kepentingan, dan masing-masing memakai jalannya sendiri. Dan, justru karena itu kedemokrasian tiap-tiap pihak dituntut. Bila saja percaturan adalah pertarungan ide-ide, pengajuan calon masing-masing yang dianggap layak, bukan dicampuri konflik fisik dan tumpahnya darah, bukankah ini demokrasi yang dicita-citakan?
Mungkin sudah saatnya kelompok-kelompok masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk tak malu-malu mengajukan calon masing-masing. Seperti kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, yang melihat bahwa tokoh semacam Amien Rais, Megawati, dan Abdurrahman Wahid punya potensi menyaingi Habibie. Bahkan, menurut Arbi; mereka lebih jelas punya dukungan-Amien Rais punya 30 juta umat Muhammadiyah, Gus Dur di belakangnya mengikut 40 juta umat Nahdlatul Ulama, dan Megawati, jangan ditanya lagi berapa juta pendukungnya.
Masalahnya, bagaimana percaturan ini benar-benar terjadi dalam suatu wadah yang disebut civil society. Mudahnya, bagaimana agar mereka yang empunya senjata tak ikut campur dan bukan hanya berdiri netral, tapi benar-benar berada di tempatnya sebagai penjaga keamanan negara dari ancaman luar. Karena itu, tanggapan Pangab yang telah dikutip, bahwa mahasiswa telah beraksi berlebihan, mestinya juga berlaku untuk demo tandingannya, atau untuk spanduk-spanduk yang mem-PKI-kan mahasiswa.
Bila demikian soalnya, tinggal mencari pemimpin, yang salah satu kriterinya seperti dikatakan oleh seorang pemimpin mahasiswa. Yakni, pemimpin yang berani lantang berbicara kepada rakyat: "Marilah kita sama-sama melarat dulu, menderita dulu, dan bekerja untuk masa depan yang lebih baik."
Dan jelas, pemimpin seperti itu memerlukan keabsahan dan kepercayaan dari rakyat; adakah Presiden Habibie memilikinya?
Bambang Bujono/Laporan: Andreas Ambar Purwanto, Budi Nugroho, Eko Sulistyo, Ahmed Nur Sobirin, J. Primus, Abdul Manan
(Surabaya) Ahmed Solikhan (Yogyakarta)
D&R Edisi 980926-006/Hal. 17 Rubrik Liputan Utama
Comments
www.adiannapitupulu.blogspot.com