Awas, Kelaparan Mengancam
Harga beras terus melejit tak terkendali. Operasi pasar Bulog malah "disabot" para spekulan dan tengkulak. Akibatnya, rawan pangan mengancam di mana-mana.
PERUT lapar gampang menjelma jadi kemarahan. Itulah yang terjadi di Bondowoso, Jawa Timur, Rabu, 26 Agustus lalu. Di pagi hari, ratusan orang secara bersamaaan menjarah sekitar 150 ton beras yang teronggok di empat gudang perusahaan penggilingan padi. Siang harinya, aksi penjarahan merembet ke toko-toko yang menjual sembilan kebutuhan pokok alias sembako. Akibatnya, para pedagang lain segera menutup tokonya selama beberapa hari. Suasana Kota Bondowoso dan beberapa kota kecamatan lain lengang dan mencekam.
Di hari yang sama, Kantor Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, didalangi sekitar 200 aktivis Arek Surabaya Pro Reformasi (ASPR). Mereka menuntut transparansi dolog saat mendistribusikan sembako ke masyarakat. "Selama ini, aparat dolog tidak becus mengurusi distribusi sembako. Akibatnya, harga beras terus naik tak masuk akal," kata Yuli, Koordinator ASPR.
Sehari kemudian, giliran sekitar 300 tukang becak--yang tergabung dalam Paguyuban Tukang Becak Surabaya--mendatangi kantor yang sama. "Kami menuntut dolog memberi jatah beras dengan harga murah," kata Sutikno, tukang becak asal Nganjuk. Selama dua jam, para tukang becak itu meneriakkan yel-yel dan membentangkan spanduk bernada protes. Sementara itu enam wakil mereka berdialog dengan Kepala Dolog Jawa Timur, Andi Chaerudin. Dalam pertemuan itu, Chaerudin menyanggupi menyediakan beras
dengan harga yang terjangkau masyarakat luas, mulai pekan ini. Maksudnya sesuai patokan harga operasi pasar: Rp 1.900 per kilogram.
Akankah janji itu bisa terpenuhi? Belum tentu juga. Yang jelas, sampai akhir pekan lalu, harga beras yang beredar di pasaran jauh mengambang di atas harga patokan pemerintah. Di pasar-pasar Jawa Timur--antara lain Pasar Genteng, Ciputran, Wonokromo, dan Keputran--harga beras kualitas bagus sudah mencapai Rp 4.500 per kilogram. Padahal, harga patokan dolog cuma Rp 2 ribu. Adapun di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, beras kelas dua dan kelas satu
sudah berkisar Rp 3.500 sampai Rp 4.000. Beras yang paling murah, jenis IR3, di jual dengan harga Rp 3 ribu per kilogram.
Gejolak harga itu mcnyebar ke seluruh wilayah negeri. Operasi pasar yang gencar dilakukan dolog tak banyak gunanya. Malah, mengundang para spekulan dan tengkulak. Contohnya terjadi di Semarang, pekan-pekan terakhir ini. "Ada tengkulak beras dari Surabaya masuk Pasar Dargo dan memhorong beras besar-besaran," kata Koelyani, Ketua Persatuan Pedagang Beras Pasar Dargo, Semarang.
Anehnya, para petugas dolog dengan gampang melepas beras operasi pasar itu ke para tengkulak. Maklum, tengkulak dan spekulan itu berani membayar lebih mahal dibanding para pedagang. "Kalau begitu terus, harga beras tetap tak bisa dikendalikan," tutur Koelyani. Bahkan, di Pasar Peterongan, Semarang, para preman kelas teri ikut-ikutan mengacaukan operasi pasar. Mereka menagih "uang keamanan" ke para petugas operasi pasar. Para preman itu juga ikut-ikutan mengatur ke siapa saja beras harus dijual. Akibatnya, "Untuk sementara, kami menghentikan operasi pasar di Pasar Peterongan," kata Anton Samawi, Kepala Subdolog Semarang.
Memang, tengkulak dan preman itu kerap mengganggu. Tapi, "bandit beras" kelas kakap ternyata berasal dari orang dalam sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, banyak pejabat Badan Urusan Logistik (Bulog) yang ikut bermain dalam pendistribusian beras. Biasanya, mereka bekerja sama dengan sejumlah pengusaha yang menjadi rekanan Bulog. Bukan mendistribusikan beras kemasyarakat, mereka melainkan malah mengekspor kembali beras-beras itu ke luar negeri. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita sendiri mengakui kemungkinan adanya rekanan Bulog yang berperilaku seperti itu.
* Ancaman Rawan Pangan
Yang paling terkena imbas melonjaknya harga beras itu tentu rakyat kecil, seperti Walsini, 37 tahun, warga Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Ibu dari empat anak yang baru saja ditinggal mati suaminya itu sehari-hari bekerja serabutan, di antaranya buruh tani, tukang cuci pakaian, dan mencari kayu bakar. Penghasilannya yang rata-rata Rp 1.000 per hari terasa makin menyusut daya belinya, untuk menghidupi keluarganya, empat anak dan ibunya, Nyonya Karni, 80 tahun. Kalau dulu bisa beli beras satu kilogram, kini hanya cukup setengah kilogram," ujar Walsini mengeluh.
Bahkan, tak jarang anak-anaknya harus berpuasa sehari-dua hari. "Rasanya, saya tak kuat lagi menghadapi kenyataan ini. Tapi, bagaimanapun, saya tak bisa membiarkan anak-anak yang menangis kelaparan," kata Walsini. Memang, pernah ia mendapat bantuan sepuluh kilogram dari Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung. Rumah Walsini juga pernah didatangi Gubernur Jawa Tengah kala itu, Soewardi, yang menyerahkan uang Rp 500 ribu. Tapi, semua bantuan itu hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup selama beberapa minggu.
Walsini tak sendirian. Nasib terancam kelaparan juga dialami puluhan juta penduduk Indonesia yang lain. Di Kabupaten Temanggung (yang mempunyai 13 kecamatan dan 288 desa), misalnya, separo lebih penduduknya sudah masuk kategori "rawan pangan". Pasalnya, mereka merupakan petani ladang yang mengalami gagal panen di musim tanam kali ini. Hampi seluruh tanaman jagung, bawang, dan tembakau layu dihantam musim kering berkepanjangan.
Ancaman rawan pangan itu sebenarnya sudah diramalkan Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut laporan FAO, yang diterbitkan April lalu, akibat kekeringan karena el nino dan krisis moneter yang berlarut-larut, sampai akhir 1998 ini di Indonesia diperkirakan 1,5 juta keluarga atau sekitar 7,5 juta orang menderita kelaparan. Lima ratus ribu orang di antaranya akan menderita sangat serius.
Jutaan orang yang terancam kelaparan itu adalah penduduk 53 kabupaten di 15 provinsi: Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Tengah, Timor Timur, Irianjaya, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat. "Banyak penduduk akan mengalami kekurangan pangan," kata Uwe Kracht, Ketua Misi FAO.
* Politik Pangan Semrawut
Dari hitung-hitungan FAO dan World Food Program (WFP), tahun ini Indonesia kekurangan beras sebesar 3,5 juta ton. Hitungannya begini: produksi beras tahun ini diperkirakan hanya mencapai 47,5 juta ton, padahal setiap tahun kebutuhan setiap orang Indonesia mencapai 149 kilogram. Kalau penduduk Indonesia sekarang ada 203,3 juta, kebutuhan beras nasional setahun sebesar 51 juta ton. Jadi, Indonesia mesti mengimpor beras sebesar 3,5 juta ton. Minus ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah pengadaan pangan di Indonesia. Dan, itu pun kalau hitugannya benar, tak meleset, misalnya ternyata diperlukan lebih dari 3,5 juta ton.
Pemerintah Indonesia sebelumnya merencanakan akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. Namun, karena pengadaan beras dalam negeri makin memburuk, Kepala Bulog kala itu, Beddu Amang, di depan DPR mengatakan pemerintah berencana mengh1lpor beras hingga 3,1 juta ton. Sialnya, devisa menipis.
Untunglah, FAO/WFP pada April lalu telah meminta para anggotanya untuk memberikan bantuan pangan, baik berupa pinjaman beras maupun hibah. Pinjaman itu memang mengalir dari Amerika Serikat, Jepang, Cina, Thailand, Vietnam, dan Taiwan. Impor ini sudah tentu amat mahal, sekilogramnya bisa mencapai Rp 3.250. Subsidi pangan jelas akan membengkak tahun ini.
Selain el nino, penyebab kekurangan pangan yang kronis adalah semrawutnya kebijakan politik pangan yang diterapkan pemerintah selama ini. Itu antara lain tampak dari minimnya insentif untuk petani berkaitan dengan harga gabah. Harga gabah kering giling memang naik sekitar 16 persen, dari Rp 600 menjadi Rp 700 per kilogram, beberapa waktu lalu. Namun, pada saat yang sama, harga
obat-obatan, pestisida, pupuk, dan bibit naik 200 persen hingga 300 persen.
Lalu, untuk menstabilkan harga beras, pemerintah mengandalkan impor dari sejumlah negara tetangga. Sebenarnya, sejak empat tahun lalu, Bulog sudah mengimpor dua juta ton beras setiap tahun. Untuk itu, pemerintah harus mengeluarkan devisa US$ 2 miliar. Tapi, anehnya, dalam laporan Departemen Pertanian selalu diumumkan Indonesia mengalami surplus produksi beras.
Lo, kok bisa? Menurut H.S. Dillon, Direktur Center for Agriculture Policy Studies, itu hanya akal-akalan para pejabat Departemen Pertanian. "Mereka menghitung berdasarkan Sensus Pertanian Nasional, yang kebutuhan per kapita beras adalah 130 kilogram per tahun. Nah, setelah dihitung-hitung ketemulah harga surplus itu," ujar Dillon.
Mentalitas seperti itu mestinya segera di reformasi. Atau, masih perlu gerakan mahasiswa lagi?
Imran Hasbuan/Laporan Prasetya (Semarang), Ahmad Solikhan (Yogyakarta) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980905-003/Hal. 56 Rubrik Bisnis & Ekonomi
PERUT lapar gampang menjelma jadi kemarahan. Itulah yang terjadi di Bondowoso, Jawa Timur, Rabu, 26 Agustus lalu. Di pagi hari, ratusan orang secara bersamaaan menjarah sekitar 150 ton beras yang teronggok di empat gudang perusahaan penggilingan padi. Siang harinya, aksi penjarahan merembet ke toko-toko yang menjual sembilan kebutuhan pokok alias sembako. Akibatnya, para pedagang lain segera menutup tokonya selama beberapa hari. Suasana Kota Bondowoso dan beberapa kota kecamatan lain lengang dan mencekam.
Di hari yang sama, Kantor Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, didalangi sekitar 200 aktivis Arek Surabaya Pro Reformasi (ASPR). Mereka menuntut transparansi dolog saat mendistribusikan sembako ke masyarakat. "Selama ini, aparat dolog tidak becus mengurusi distribusi sembako. Akibatnya, harga beras terus naik tak masuk akal," kata Yuli, Koordinator ASPR.
Sehari kemudian, giliran sekitar 300 tukang becak--yang tergabung dalam Paguyuban Tukang Becak Surabaya--mendatangi kantor yang sama. "Kami menuntut dolog memberi jatah beras dengan harga murah," kata Sutikno, tukang becak asal Nganjuk. Selama dua jam, para tukang becak itu meneriakkan yel-yel dan membentangkan spanduk bernada protes. Sementara itu enam wakil mereka berdialog dengan Kepala Dolog Jawa Timur, Andi Chaerudin. Dalam pertemuan itu, Chaerudin menyanggupi menyediakan beras
dengan harga yang terjangkau masyarakat luas, mulai pekan ini. Maksudnya sesuai patokan harga operasi pasar: Rp 1.900 per kilogram.
Akankah janji itu bisa terpenuhi? Belum tentu juga. Yang jelas, sampai akhir pekan lalu, harga beras yang beredar di pasaran jauh mengambang di atas harga patokan pemerintah. Di pasar-pasar Jawa Timur--antara lain Pasar Genteng, Ciputran, Wonokromo, dan Keputran--harga beras kualitas bagus sudah mencapai Rp 4.500 per kilogram. Padahal, harga patokan dolog cuma Rp 2 ribu. Adapun di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, beras kelas dua dan kelas satu
sudah berkisar Rp 3.500 sampai Rp 4.000. Beras yang paling murah, jenis IR3, di jual dengan harga Rp 3 ribu per kilogram.
Gejolak harga itu mcnyebar ke seluruh wilayah negeri. Operasi pasar yang gencar dilakukan dolog tak banyak gunanya. Malah, mengundang para spekulan dan tengkulak. Contohnya terjadi di Semarang, pekan-pekan terakhir ini. "Ada tengkulak beras dari Surabaya masuk Pasar Dargo dan memhorong beras besar-besaran," kata Koelyani, Ketua Persatuan Pedagang Beras Pasar Dargo, Semarang.
Anehnya, para petugas dolog dengan gampang melepas beras operasi pasar itu ke para tengkulak. Maklum, tengkulak dan spekulan itu berani membayar lebih mahal dibanding para pedagang. "Kalau begitu terus, harga beras tetap tak bisa dikendalikan," tutur Koelyani. Bahkan, di Pasar Peterongan, Semarang, para preman kelas teri ikut-ikutan mengacaukan operasi pasar. Mereka menagih "uang keamanan" ke para petugas operasi pasar. Para preman itu juga ikut-ikutan mengatur ke siapa saja beras harus dijual. Akibatnya, "Untuk sementara, kami menghentikan operasi pasar di Pasar Peterongan," kata Anton Samawi, Kepala Subdolog Semarang.
Memang, tengkulak dan preman itu kerap mengganggu. Tapi, "bandit beras" kelas kakap ternyata berasal dari orang dalam sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, banyak pejabat Badan Urusan Logistik (Bulog) yang ikut bermain dalam pendistribusian beras. Biasanya, mereka bekerja sama dengan sejumlah pengusaha yang menjadi rekanan Bulog. Bukan mendistribusikan beras kemasyarakat, mereka melainkan malah mengekspor kembali beras-beras itu ke luar negeri. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita sendiri mengakui kemungkinan adanya rekanan Bulog yang berperilaku seperti itu.
* Ancaman Rawan Pangan
Yang paling terkena imbas melonjaknya harga beras itu tentu rakyat kecil, seperti Walsini, 37 tahun, warga Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Ibu dari empat anak yang baru saja ditinggal mati suaminya itu sehari-hari bekerja serabutan, di antaranya buruh tani, tukang cuci pakaian, dan mencari kayu bakar. Penghasilannya yang rata-rata Rp 1.000 per hari terasa makin menyusut daya belinya, untuk menghidupi keluarganya, empat anak dan ibunya, Nyonya Karni, 80 tahun. Kalau dulu bisa beli beras satu kilogram, kini hanya cukup setengah kilogram," ujar Walsini mengeluh.
Bahkan, tak jarang anak-anaknya harus berpuasa sehari-dua hari. "Rasanya, saya tak kuat lagi menghadapi kenyataan ini. Tapi, bagaimanapun, saya tak bisa membiarkan anak-anak yang menangis kelaparan," kata Walsini. Memang, pernah ia mendapat bantuan sepuluh kilogram dari Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung. Rumah Walsini juga pernah didatangi Gubernur Jawa Tengah kala itu, Soewardi, yang menyerahkan uang Rp 500 ribu. Tapi, semua bantuan itu hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup selama beberapa minggu.
Walsini tak sendirian. Nasib terancam kelaparan juga dialami puluhan juta penduduk Indonesia yang lain. Di Kabupaten Temanggung (yang mempunyai 13 kecamatan dan 288 desa), misalnya, separo lebih penduduknya sudah masuk kategori "rawan pangan". Pasalnya, mereka merupakan petani ladang yang mengalami gagal panen di musim tanam kali ini. Hampi seluruh tanaman jagung, bawang, dan tembakau layu dihantam musim kering berkepanjangan.
Ancaman rawan pangan itu sebenarnya sudah diramalkan Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut laporan FAO, yang diterbitkan April lalu, akibat kekeringan karena el nino dan krisis moneter yang berlarut-larut, sampai akhir 1998 ini di Indonesia diperkirakan 1,5 juta keluarga atau sekitar 7,5 juta orang menderita kelaparan. Lima ratus ribu orang di antaranya akan menderita sangat serius.
Jutaan orang yang terancam kelaparan itu adalah penduduk 53 kabupaten di 15 provinsi: Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Tengah, Timor Timur, Irianjaya, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat. "Banyak penduduk akan mengalami kekurangan pangan," kata Uwe Kracht, Ketua Misi FAO.
* Politik Pangan Semrawut
Dari hitung-hitungan FAO dan World Food Program (WFP), tahun ini Indonesia kekurangan beras sebesar 3,5 juta ton. Hitungannya begini: produksi beras tahun ini diperkirakan hanya mencapai 47,5 juta ton, padahal setiap tahun kebutuhan setiap orang Indonesia mencapai 149 kilogram. Kalau penduduk Indonesia sekarang ada 203,3 juta, kebutuhan beras nasional setahun sebesar 51 juta ton. Jadi, Indonesia mesti mengimpor beras sebesar 3,5 juta ton. Minus ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah pengadaan pangan di Indonesia. Dan, itu pun kalau hitugannya benar, tak meleset, misalnya ternyata diperlukan lebih dari 3,5 juta ton.
Pemerintah Indonesia sebelumnya merencanakan akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. Namun, karena pengadaan beras dalam negeri makin memburuk, Kepala Bulog kala itu, Beddu Amang, di depan DPR mengatakan pemerintah berencana mengh1lpor beras hingga 3,1 juta ton. Sialnya, devisa menipis.
Untunglah, FAO/WFP pada April lalu telah meminta para anggotanya untuk memberikan bantuan pangan, baik berupa pinjaman beras maupun hibah. Pinjaman itu memang mengalir dari Amerika Serikat, Jepang, Cina, Thailand, Vietnam, dan Taiwan. Impor ini sudah tentu amat mahal, sekilogramnya bisa mencapai Rp 3.250. Subsidi pangan jelas akan membengkak tahun ini.
Selain el nino, penyebab kekurangan pangan yang kronis adalah semrawutnya kebijakan politik pangan yang diterapkan pemerintah selama ini. Itu antara lain tampak dari minimnya insentif untuk petani berkaitan dengan harga gabah. Harga gabah kering giling memang naik sekitar 16 persen, dari Rp 600 menjadi Rp 700 per kilogram, beberapa waktu lalu. Namun, pada saat yang sama, harga
obat-obatan, pestisida, pupuk, dan bibit naik 200 persen hingga 300 persen.
Lalu, untuk menstabilkan harga beras, pemerintah mengandalkan impor dari sejumlah negara tetangga. Sebenarnya, sejak empat tahun lalu, Bulog sudah mengimpor dua juta ton beras setiap tahun. Untuk itu, pemerintah harus mengeluarkan devisa US$ 2 miliar. Tapi, anehnya, dalam laporan Departemen Pertanian selalu diumumkan Indonesia mengalami surplus produksi beras.
Lo, kok bisa? Menurut H.S. Dillon, Direktur Center for Agriculture Policy Studies, itu hanya akal-akalan para pejabat Departemen Pertanian. "Mereka menghitung berdasarkan Sensus Pertanian Nasional, yang kebutuhan per kapita beras adalah 130 kilogram per tahun. Nah, setelah dihitung-hitung ketemulah harga surplus itu," ujar Dillon.
Mentalitas seperti itu mestinya segera di reformasi. Atau, masih perlu gerakan mahasiswa lagi?
Imran Hasbuan/Laporan Prasetya (Semarang), Ahmad Solikhan (Yogyakarta) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980905-003/Hal. 56 Rubrik Bisnis & Ekonomi
Comments