Pesan si Doel untuk Anak Indonesia
Puluhan ribu anak-anak tak bisa melanjutkan sekolah karena krisis ekonomi. Siapa bertanggung jawab atas nasib mereka?
KITA semua tahu, keadaan memang susah. Apa pun yang terjadi, anak-anak jangan sampai putus sekolah," begitu pesan Rano Karno, dalam iklan yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi. Dalam iklan yang didukung oleh hampir semua pemain Si Doel Anak Sekolahan itu, Rano menganjurkan agar anak-anak tetap melanjutkan sekolah walaupun krisis ekonomi sedang melanda Indonesia.
Memang, tingginya angka anak-anak yang tidak melanjutkan lagi sekolahnya, pada tahun ajaran baru. Juli lalu, sungguh luar biasa. Hampir tak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru selama ini.
Di Jawa Timur, misalnya, 40 ribu anak usia sekolah terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Pelinciannya: 30 ribu siswa sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah, dan 10 ribu siswa sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Angka itu memang belum pasti benar. Bisa lebih kecil, bahkan bisa pula lebih besar. Para siswa yang putus sekolah itu kebanyakan berasal dari pesisir pantai Jawa Timur bagian utara yang memang dikenal berpenduduk miskin. Di Kabupaten Tulungagung, misalnya, yang letaknya di pesisir Pantai Selatan, ada 1.800 anak usia 7 hingga 12 tahun tak melanjutkan sekolahnya ke SLTP tahun ajaran 1998/1999. "Ini semua akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan," ujar Sarjono, Kepala Kantor Wilayah Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
Di Tulungagung, para siswa keluar dari sekolah karena ingin bekerja untuk meringankan beban keluarga. Kebanyakan dari mereka ingin bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.
Di Provinsi Jambi, 4.400 anak lulusan SD tak bisa melanjutkan ke SLTP. Sebagian di antaranya tak mampu membayar biaya yang dipatok sekolah-sekolah bersangkutan yang besamya di luar ketentuan pemerintah. Menurut pemantauan DR di beberapa SLTP dan SLTA negeri di Jambi, uang pungutan di luar ketentuan Departemen P&K mencapai angka Rp 180 ribu. Untuk jumlah yang sebenarnya tak terlalu besar itu pun, para orang tua siswa angkat tangan.
Di Jambi, tanpa krisis moneter pun jumlah anak putus sekolah sudah tinggi. Dari 174.785 anak usia 13-16 tahun yang bersekolah hanya 83.102 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan kepala sawit, penyadapan karet, dan industri pengolahan kayu.
Di Jakarta, karena krisis moneter ini, Kantor Wilayah Departemen P&K memperpanjang pendaftaran sekolah bagi siswa-siswa sekolah dasar dan menengah negeri hingga September nanti. Para siswa sekolah dasar dan menengah juga tak diwajibkan mengenakan seragam kalau tak punya uang untuk membeli seragam.
* Mahasiswa Juga Kesulitan
Krisis ekonomi tak hanya menyulitkan anak-anak sekolah dasar dan menengah, namun juga membuat pusing para mahasiswa. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, banyak mahasiswa meminta cuti semester dan penundaan pembayaran uang kuliah. Menurut Bambang Kartika, Pembantu Rektor III UGM, kesulitan yang dialami mahasiswa ini karena harga buku yang melambung tinggi, biaya indekos, dan biaya hidup yang makin mahal.
Uang kuliah di universitas negeri yang cukup temama itu sebenamya tak terlalu mahal, yakni Rp 120 ribu hingga Rp 250 ribu per semester, atau Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. Ini kecil jumlahnya, dibandingkan dengan uang sekolah sejumlah taman kanak-kanak di Jakarta yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah per bulannya. Bagi mahasiswa yang kesulitan membayar uang kuliah, kami memberikan diskon sebesar 25 persen," ujar Bambang kepada D&R.
Di Depok, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengalami nasib serupa. Empat ratus mahasiswa UI harus dibantu dalam membayar uang kuliahnya sebesar Rp 475 ribu per semester agar bisa melanjutkan kuliah. "Ada beberapa bentuk pertolongan yang diberikan. Membantu sebagian uang kuliah, membebaskan dan memberikan pinjaman. Namun, sebagian besar mahasiswa yang datang ingin dibebaskan kewajiban membayar uang kuliahnya," ujar Umar Mansyur, Pembantu Rektor III UI.
UI memang tak akan kesulitan. Maklum alumninya kebanyakan berhasil dalam hal pendapatan ekonomi. Dan para alumni inilah dana digali. "Sudah terkumpul Rp 400 juta. September nanti akan diusahakan memperoleh donasi Rp 100 juta lagi," tuturnya.
Kesulitan yang menimpa para mahasiswa UGM dan Ul baru sebagian kecil saja. Di Indonesia sekarang ini ada 550 ribu mahasiswa yang kehanyakan dari mereka juga lengah mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen P&K akan memberi beasiswa bagi 140 ribu mahasiswa perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. "Anggarannya Rp 150 miliar untuk tahun ajaran 1998/1999," ujar Bambang Suhendro, Dirjen Dikti Departemen P&K kepada D&R.
Itu untuk mahasiswa. Bagaimana bantuan untuk para siswa sekolah dasar dan menengah? Ada program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yakni program yang membebaskan biaya sekolah bagi anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama yang tak mampu. Namun, apakah program ini bisa menolong anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah karena krisis moneter?
Irawan Saptono/Laporan Liwa Ilhamdi (Jambi), Abdul Manan, Zed Abidien (Surabaya), Akhmad Solikhan (Yogyakarta) dan Muhammad Subroto (Jakarta).
D&R, Edisi 980815-052/Hal. 54 Rubrik Pendidikan
KITA semua tahu, keadaan memang susah. Apa pun yang terjadi, anak-anak jangan sampai putus sekolah," begitu pesan Rano Karno, dalam iklan yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi. Dalam iklan yang didukung oleh hampir semua pemain Si Doel Anak Sekolahan itu, Rano menganjurkan agar anak-anak tetap melanjutkan sekolah walaupun krisis ekonomi sedang melanda Indonesia.
Memang, tingginya angka anak-anak yang tidak melanjutkan lagi sekolahnya, pada tahun ajaran baru. Juli lalu, sungguh luar biasa. Hampir tak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru selama ini.
Di Jawa Timur, misalnya, 40 ribu anak usia sekolah terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Pelinciannya: 30 ribu siswa sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah, dan 10 ribu siswa sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Angka itu memang belum pasti benar. Bisa lebih kecil, bahkan bisa pula lebih besar. Para siswa yang putus sekolah itu kebanyakan berasal dari pesisir pantai Jawa Timur bagian utara yang memang dikenal berpenduduk miskin. Di Kabupaten Tulungagung, misalnya, yang letaknya di pesisir Pantai Selatan, ada 1.800 anak usia 7 hingga 12 tahun tak melanjutkan sekolahnya ke SLTP tahun ajaran 1998/1999. "Ini semua akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan," ujar Sarjono, Kepala Kantor Wilayah Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
Di Tulungagung, para siswa keluar dari sekolah karena ingin bekerja untuk meringankan beban keluarga. Kebanyakan dari mereka ingin bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.
Di Provinsi Jambi, 4.400 anak lulusan SD tak bisa melanjutkan ke SLTP. Sebagian di antaranya tak mampu membayar biaya yang dipatok sekolah-sekolah bersangkutan yang besamya di luar ketentuan pemerintah. Menurut pemantauan DR di beberapa SLTP dan SLTA negeri di Jambi, uang pungutan di luar ketentuan Departemen P&K mencapai angka Rp 180 ribu. Untuk jumlah yang sebenarnya tak terlalu besar itu pun, para orang tua siswa angkat tangan.
Di Jambi, tanpa krisis moneter pun jumlah anak putus sekolah sudah tinggi. Dari 174.785 anak usia 13-16 tahun yang bersekolah hanya 83.102 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan kepala sawit, penyadapan karet, dan industri pengolahan kayu.
Di Jakarta, karena krisis moneter ini, Kantor Wilayah Departemen P&K memperpanjang pendaftaran sekolah bagi siswa-siswa sekolah dasar dan menengah negeri hingga September nanti. Para siswa sekolah dasar dan menengah juga tak diwajibkan mengenakan seragam kalau tak punya uang untuk membeli seragam.
* Mahasiswa Juga Kesulitan
Krisis ekonomi tak hanya menyulitkan anak-anak sekolah dasar dan menengah, namun juga membuat pusing para mahasiswa. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, banyak mahasiswa meminta cuti semester dan penundaan pembayaran uang kuliah. Menurut Bambang Kartika, Pembantu Rektor III UGM, kesulitan yang dialami mahasiswa ini karena harga buku yang melambung tinggi, biaya indekos, dan biaya hidup yang makin mahal.
Uang kuliah di universitas negeri yang cukup temama itu sebenamya tak terlalu mahal, yakni Rp 120 ribu hingga Rp 250 ribu per semester, atau Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. Ini kecil jumlahnya, dibandingkan dengan uang sekolah sejumlah taman kanak-kanak di Jakarta yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah per bulannya. Bagi mahasiswa yang kesulitan membayar uang kuliah, kami memberikan diskon sebesar 25 persen," ujar Bambang kepada D&R.
Di Depok, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengalami nasib serupa. Empat ratus mahasiswa UI harus dibantu dalam membayar uang kuliahnya sebesar Rp 475 ribu per semester agar bisa melanjutkan kuliah. "Ada beberapa bentuk pertolongan yang diberikan. Membantu sebagian uang kuliah, membebaskan dan memberikan pinjaman. Namun, sebagian besar mahasiswa yang datang ingin dibebaskan kewajiban membayar uang kuliahnya," ujar Umar Mansyur, Pembantu Rektor III UI.
UI memang tak akan kesulitan. Maklum alumninya kebanyakan berhasil dalam hal pendapatan ekonomi. Dan para alumni inilah dana digali. "Sudah terkumpul Rp 400 juta. September nanti akan diusahakan memperoleh donasi Rp 100 juta lagi," tuturnya.
Kesulitan yang menimpa para mahasiswa UGM dan Ul baru sebagian kecil saja. Di Indonesia sekarang ini ada 550 ribu mahasiswa yang kehanyakan dari mereka juga lengah mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen P&K akan memberi beasiswa bagi 140 ribu mahasiswa perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. "Anggarannya Rp 150 miliar untuk tahun ajaran 1998/1999," ujar Bambang Suhendro, Dirjen Dikti Departemen P&K kepada D&R.
Itu untuk mahasiswa. Bagaimana bantuan untuk para siswa sekolah dasar dan menengah? Ada program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yakni program yang membebaskan biaya sekolah bagi anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama yang tak mampu. Namun, apakah program ini bisa menolong anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah karena krisis moneter?
Irawan Saptono/Laporan Liwa Ilhamdi (Jambi), Abdul Manan, Zed Abidien (Surabaya), Akhmad Solikhan (Yogyakarta) dan Muhammad Subroto (Jakarta).
D&R, Edisi 980815-052/Hal. 54 Rubrik Pendidikan
Comments