Satuan Siluman atau Regular?
Komisi Nasiomal Hak Asasi Manusia menyimpulkan mereka yang hilang bukanlah karena sukarela, melainkan karana pemaksaan. Mengapa begitu sulit mengidentifikasi pelakunya.
DULU, pelawak Srimulat mengatakan, "Untung ada Gepeng." Sekarang, kelompok pendamba demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini boleh bilang utung ada Pius Lustrilang". Kalau saja Pius tak omong di Komisi Naional Hak Asasi Manusia, sangat mungkin kisah gelombang penculikan aktivis belakangan ini tak akan bertepi, seperti banyak kasus sebelumnya mulai dari Gerakan Septemher, Peristiwa Tanjungpriok, Timor Timur, Aceh, Irianjaya hingga Insiden 27 Juli 1996.
Kalau memakai bahasa lakon, Pius bukanlah pemain yang cepal in. Lihatlah, setelah dibebaskan penculik dan kembali ke keluarganya di Palembang. Ia cooling down dulu. Seperti Haryanto Taslam dan korban yang lain, ia mengatakan bukan, diculik, melainkan sengaja menghilang untuk menenangkan diri. Dengan cerita seperti itu hampir saja disappearrance kali ini juga masuk peti es.
Namun, hak pemain matang. Pius melakukan manuver. Sungguh mendadak. Di hari keaksiannya itu juga ia terbang ke Amsterdam. Datang dan perginya seperti angin. Orang boleh bilang anak muda yang pekan ini akan bersaksi di Komite Senat Amerika Serikat tersebut tak Jantan Tapi. apalah arti kejantanan di jaman serba tak menentu seperti sekarang? Dalam konndisi serbagagap kini, niat paling baik pun bukan jaminan untuk diindahkan.
Tak termungkiri bahwa Sekretaris Jenderal Aliansi Demokrasi Rakyat itu telah mencairkan kebekuan panjang. Barangkali bukan dia orang pertama yang melakukannya. Karena. orang seperti Hendrik Dikson Sirait, aktivis Pijar yang hilang setelah Peristiwaa 27 juli,setidaknya kepada pers sudah menceritakan siksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap dirinya. Pun korban hiklang yang lain. Andi Ariel. Lewat tuturan sanak dan pengacaranya. pers telah memberitakan kisah penculikan Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (,SMID) itu bedanya selain bicara secara terbuka kepada Komisi Nisional Hak Asasi Manusia dan per, momen keaksian Pius jauh lebih tepat. Rentetan, aktivis yang hilang jutru di saat tuntutan reformasi politik semakin keras dan posisi pemerintah jauh dari menguntungkan, itulah yang membuat gaung kesaksian Pius menjadi begitu nyaring.
Tentu saja gaung ini akan bertamhah keras kalau saja pegiat PDI Megawati, Haryanto Taslam, beraki juga di komisi itu perihal penghilangan dirinya. Namun. itu tak ia lakukan. la cukup meminta agar sikap tutup mulutnya dimaknai secara arif. Yang menarik, dia mengatakan keberatan terhadap kesaksian Pius dan Andi Arief yang menyangkut dirinya
* Faksi Militer Tertentu
Kesaksian Pius dan tuturan Andi Arief kepada keluarga dan pengacaranya puda dasarnya saling menggenapi Pius yang ngalami aniaya sewaktu pemeriksaan awal , mengatakan, dan dalam sel bisa bercakap-cakap dengan mereka yang selama ini masuk dalam daftar "hilang", yaitu Hary. Taslam, Desmon J. Mahesa Sonny, Yani Avri, Herman Sadli. Rahardjo Waluyo Djati dan Faisol Reza.Dari percakapan mereka Pius menyimpulkan bahwa pola penculikan para aktivis itu sama Karena ditempat di ruangan yang sama, Iulusan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universita Parahyangan, Bandung. ini menduga hahwa lakunya sama.
Tentang Taslam. Pius mengatakan ke da D&R bahwa ia sempat omong panjang dengan Wakil Sekretaris Jenderal PDI-Mega itu di sel. Taslam mengatakan tidak pernah disiksa para penculik itu.
Akan halnya Andi Arief. ia menyebut pernah bersua dengan Taslam, Faisol Reza,dan Waluyo Djati di sel Dari Reza ia mendapat informasi bahwa Pius dan Desmon yang tadinya mendekam di sana sudah dilepas. Adapun Herman Hendrawan hanya sehari di sana yaitu waktu Pius dan Desn belum keluar. Dari keterangan Pius dan Arief itu bisa disimpulkan bahwa mereka semua pernah ditempatkan di ruang tahanan yang sama. Dengan demikian, penculiknya adalah tim yang sama.
Lalu siapa? Untuk menjawab pertanyaan itu tim Komisi untuk orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), yang menangani kasus penculikan ini, mencoba mengidentifikasi ciri, modus, topik dalam interogasi, serta kapabilitas pelaku. Kesimpulannya: secara individu, pelaku terlatih melakukan tugas khusus, bekerja profesional, punya persenjataan, perlengkapan, dan sarana yang memadai untuk menundukkan korban, punya intensi politik tertentu, cenderung superior dibanding polisi, dan punya informasi memadai tentang korban.
Kualifikasi yang disebut itu bisa mengarah ke satuan tertentu, apalagi kalau ditambah informasi yang digali Andi Arief dari pelaku sendiri, yaitu sebagian pernah bertugas di Timor-Timur dan dari mereka ada yang baru pulang pendidikan di Inggris.
Pius cenderung berpendapat bahwa operasi penculikan dilakukan oleh faksi militer tertentu. Andi Arief yakin polisi mengetahui sipelaku. Lalu. apa kata polisi? Di sini keterangan Komandan Korps Reserse Markas Besar Kepolisian Rl (Mabes Polri) Mayor Jenderal Nurfaizi menarik dicermati, kendati sebatas penangkapan Andi Arief. la menyatakan anggota tim yang dibentuknyalah yang "mengambil" Andi di rumah kakaknya di Lampung, waktu itu. Tim yang terdiri dari reserse mobil dari Mabes Polri dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya itu bertugas untuk memantau kegiatan Partai Rakyat Demokratik.
* Satuan Antiteror
Namun, keterangan Nurfaizi itu dibantah Andi dan pengacaranya dari Kontras, Munir. Lewat Munir, Andi menyatakan dirinya dipindahkan ke Mahes Polri lewat sehuah proses. Maksudnya, setelah diculik di Lampung pada 28 Maret, ia tidaklah langsung dibawa ke sana. Tapi, diinterogasi di sebuah sel. Dibawa ke Mabes Polri baru tanggal 17 April. Adapun sura penangkapan dikirimkan pihak kepolisian ke keluarganya pada keesokan harinya lewat pos. Menurut Munir, itu merupakan keganjilan. Hal serupa terjadi waktu kasus Marsinah.
Munir menyehut, ketika di Mabes Polri, ia pernah menanyakan Andi, apakah ada kenal petugas yang waktu itu sedang berkumpul di ruangan. Setelah mencermati, termasuk suaranya, Andi mengatakan tak mengenal satu pun. " Kalau benar orang Mabes Polri yang menangkap, pasti dong Andi ada kenal. Paling tidak suaranya. Bukankah ia sudah sebulan ditahan?" kata Munir.
Keterangan Nurfaizi memperlihatkan sejumlah keganjilan lain, kata Munir. Misalnya, kalau memang Mabes Polri yang menangkap, pasti mereka akan melakukan koordinasi dengan polda setempat, dalam hal ini Polda Lampung. Ternyata, pihak Polda Iampung yang beberapa kali didatangi keluarga Andi menyatakan tidak mengetahui keberadaan Ketua SMID itu. Kepala Dinas Penerangan Polda Lampung Letnan Kolonel Anto Sugiarto, misalnya, kaget ketika dikonfirmasikan Kompas pada 29 Maret. "Kalau petugas polda lain, biasanya ada koordinasi. Sejauh ini belum ada laporan masuk," ujarnya.
Menurut Munir, sambil memperlihatkan surat perintah menangkapan, seorang perwira Polda Metro Jaya pernah mengatakan bahwa pihaknya telah keduluan pihak lain. Waktu itu Andi sudah di tangan kepolisian.
Lalu, lanjut Munir, waktu Andi diperiksa sebagai saksi dalam kasus Agus Priyono, tertuduh dalam kasus ledakan bom di Rumah Susun Tanah tinggi, Jakarta Pusat, yang ditanyai justru soal Herman Hendrawan, Faisol Reza, dan Rahardjo Waluyo Djali yang waktu itu sepengetahuan masyarakat masih hilang. "Ini aneh. Dari mana polisi tahu soal mereka? Jangan jangan polisi sudah hendak memindahkan mereka bertiga waktu itu ke tempat Andi," kata Munir. Kesimpulannya, Munir yakin polisi hanya dikambing hitamkan dan tak kuasa mengelak. Menurut dia, kasus ini sebenarnya sangat transparan, karena ada saksi korban dan sebagian mereka--Pius dan Andi Arief--telah berbicara.
Trimoelja D.Soerjadi. pengacara dari Surabaya yang dulu menangani kasus Marsinah, menyatakan modus penculikan para aktivis sekarang sama dengan yang dialami Yudi Susanto, bos Marsinah. Seperti dalam kasus Andi Arief, surat penangkapan Yudi Susanto diberikan jauh setelah dia ditahan. Jawaban-jawaban dari Mabes ABRI juga, menurut Trimoelja, aneh. " Ketika ada berita Andi Arief hilang, misalnya, pihak Mabes (ABRI) mengatakan tidak tahu-menahu. Tapi, sekarang, Nulaizi mengatakan pihaknya yang menjemput. Polisi itu kan bagian dari ABRI. Mengapa tidak sejak awal saja diakui?" ucap Trimoelja.
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Wiranto sendiri menegaskan bukan kebijakan ABRI menghilangkan orang. Hal serupa dikatakan Kepala Pusat Penerangan ABRI A.W. Mokodongan. Adapun Komandan Pusat ,Polisi Militer ABRI Mayor Jenderal Syamsu yang ditunjuk Jenderal Wiranto sebagai ketua tim pencari fakta meminta semua pihak jangan berburuk sangka dulu. Karena, nanti yang memutuskannya adalah mahkamah militer.
Menurut Syamsu, kondisi sel seperti yang disebutkan Pius, yaitu ruangan seukuran dua meter kali dua setengah meter, berpintu terali besi dengan kamera di tiap ruang, itu tidak identik dengan sel-sel yang digunakan ABRI. Sebab, sel untuk ABRI sama saja dengan sel untuk sipil. "Sel militer itu untuk anggota yang melakukan pelanggaran. Bagaimana pula bisa ada kamera atau radio? Kecuali rumah lahanan yang dahulu memang dikhususkan bagi tahanan politik, Nirbaya. Tapi itu dulu, saya tidak tahu kalau sekarang," ujarnya.
Syamsu juga menegaskan bahwa Andi Arief bukan diculik, tapi ditangkap oleh satuan antiteror. Di dalam ABRI sendiri, seperti diakui oleh Syamsu, pasukan antiteror demikian juga ada. Tapi, dia mengisyaratkan bahwa pasukan antiteror dalam ABRI tidak digerakkan untuk penculikan para aktivis seperti sekarang.
Dircktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, mengomentari bantahan-bantahan dari ABRI iu. Menurut dia, fakta-fakta cukup memperlihatkan bahwa dalam penahanan Pius telah digunakan alat-alat atau senjata organik yang biasa dimiliki aparat keamanan serta sel tahanan yang punya fasilitas lengkap. Hendardi menyebut, kalau memang aparat keamanan tidak terlibat, berarti Indonesia tak cukup aman. Sebab, ada kelompok yang bisa sewenang-wenang dan punya perlengkapan serta senjata. "Berarti, klaim ABRI sebagai stabilisator terpatahkan, dong," ucapnya.
Tiarma Siboro, Rachmat H. Cahyono, Seno Joko Suyono, Budi Nugroho Jakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R Edisi 980509-038/Hal. 16 Rubrik Liputan Utama
DULU, pelawak Srimulat mengatakan, "Untung ada Gepeng." Sekarang, kelompok pendamba demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini boleh bilang utung ada Pius Lustrilang". Kalau saja Pius tak omong di Komisi Naional Hak Asasi Manusia, sangat mungkin kisah gelombang penculikan aktivis belakangan ini tak akan bertepi, seperti banyak kasus sebelumnya mulai dari Gerakan Septemher, Peristiwa Tanjungpriok, Timor Timur, Aceh, Irianjaya hingga Insiden 27 Juli 1996.
Kalau memakai bahasa lakon, Pius bukanlah pemain yang cepal in. Lihatlah, setelah dibebaskan penculik dan kembali ke keluarganya di Palembang. Ia cooling down dulu. Seperti Haryanto Taslam dan korban yang lain, ia mengatakan bukan, diculik, melainkan sengaja menghilang untuk menenangkan diri. Dengan cerita seperti itu hampir saja disappearrance kali ini juga masuk peti es.
Namun, hak pemain matang. Pius melakukan manuver. Sungguh mendadak. Di hari keaksiannya itu juga ia terbang ke Amsterdam. Datang dan perginya seperti angin. Orang boleh bilang anak muda yang pekan ini akan bersaksi di Komite Senat Amerika Serikat tersebut tak Jantan Tapi. apalah arti kejantanan di jaman serba tak menentu seperti sekarang? Dalam konndisi serbagagap kini, niat paling baik pun bukan jaminan untuk diindahkan.
Tak termungkiri bahwa Sekretaris Jenderal Aliansi Demokrasi Rakyat itu telah mencairkan kebekuan panjang. Barangkali bukan dia orang pertama yang melakukannya. Karena. orang seperti Hendrik Dikson Sirait, aktivis Pijar yang hilang setelah Peristiwaa 27 juli,setidaknya kepada pers sudah menceritakan siksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap dirinya. Pun korban hiklang yang lain. Andi Ariel. Lewat tuturan sanak dan pengacaranya. pers telah memberitakan kisah penculikan Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (,SMID) itu bedanya selain bicara secara terbuka kepada Komisi Nisional Hak Asasi Manusia dan per, momen keaksian Pius jauh lebih tepat. Rentetan, aktivis yang hilang jutru di saat tuntutan reformasi politik semakin keras dan posisi pemerintah jauh dari menguntungkan, itulah yang membuat gaung kesaksian Pius menjadi begitu nyaring.
Tentu saja gaung ini akan bertamhah keras kalau saja pegiat PDI Megawati, Haryanto Taslam, beraki juga di komisi itu perihal penghilangan dirinya. Namun. itu tak ia lakukan. la cukup meminta agar sikap tutup mulutnya dimaknai secara arif. Yang menarik, dia mengatakan keberatan terhadap kesaksian Pius dan Andi Arief yang menyangkut dirinya
* Faksi Militer Tertentu
Kesaksian Pius dan tuturan Andi Arief kepada keluarga dan pengacaranya puda dasarnya saling menggenapi Pius yang ngalami aniaya sewaktu pemeriksaan awal , mengatakan, dan dalam sel bisa bercakap-cakap dengan mereka yang selama ini masuk dalam daftar "hilang", yaitu Hary. Taslam, Desmon J. Mahesa Sonny, Yani Avri, Herman Sadli. Rahardjo Waluyo Djati dan Faisol Reza.Dari percakapan mereka Pius menyimpulkan bahwa pola penculikan para aktivis itu sama Karena ditempat di ruangan yang sama, Iulusan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universita Parahyangan, Bandung. ini menduga hahwa lakunya sama.
Tentang Taslam. Pius mengatakan ke da D&R bahwa ia sempat omong panjang dengan Wakil Sekretaris Jenderal PDI-Mega itu di sel. Taslam mengatakan tidak pernah disiksa para penculik itu.
Akan halnya Andi Arief. ia menyebut pernah bersua dengan Taslam, Faisol Reza,dan Waluyo Djati di sel Dari Reza ia mendapat informasi bahwa Pius dan Desmon yang tadinya mendekam di sana sudah dilepas. Adapun Herman Hendrawan hanya sehari di sana yaitu waktu Pius dan Desn belum keluar. Dari keterangan Pius dan Arief itu bisa disimpulkan bahwa mereka semua pernah ditempatkan di ruang tahanan yang sama. Dengan demikian, penculiknya adalah tim yang sama.
Lalu siapa? Untuk menjawab pertanyaan itu tim Komisi untuk orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), yang menangani kasus penculikan ini, mencoba mengidentifikasi ciri, modus, topik dalam interogasi, serta kapabilitas pelaku. Kesimpulannya: secara individu, pelaku terlatih melakukan tugas khusus, bekerja profesional, punya persenjataan, perlengkapan, dan sarana yang memadai untuk menundukkan korban, punya intensi politik tertentu, cenderung superior dibanding polisi, dan punya informasi memadai tentang korban.
Kualifikasi yang disebut itu bisa mengarah ke satuan tertentu, apalagi kalau ditambah informasi yang digali Andi Arief dari pelaku sendiri, yaitu sebagian pernah bertugas di Timor-Timur dan dari mereka ada yang baru pulang pendidikan di Inggris.
Pius cenderung berpendapat bahwa operasi penculikan dilakukan oleh faksi militer tertentu. Andi Arief yakin polisi mengetahui sipelaku. Lalu. apa kata polisi? Di sini keterangan Komandan Korps Reserse Markas Besar Kepolisian Rl (Mabes Polri) Mayor Jenderal Nurfaizi menarik dicermati, kendati sebatas penangkapan Andi Arief. la menyatakan anggota tim yang dibentuknyalah yang "mengambil" Andi di rumah kakaknya di Lampung, waktu itu. Tim yang terdiri dari reserse mobil dari Mabes Polri dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya itu bertugas untuk memantau kegiatan Partai Rakyat Demokratik.
* Satuan Antiteror
Namun, keterangan Nurfaizi itu dibantah Andi dan pengacaranya dari Kontras, Munir. Lewat Munir, Andi menyatakan dirinya dipindahkan ke Mahes Polri lewat sehuah proses. Maksudnya, setelah diculik di Lampung pada 28 Maret, ia tidaklah langsung dibawa ke sana. Tapi, diinterogasi di sebuah sel. Dibawa ke Mabes Polri baru tanggal 17 April. Adapun sura penangkapan dikirimkan pihak kepolisian ke keluarganya pada keesokan harinya lewat pos. Menurut Munir, itu merupakan keganjilan. Hal serupa terjadi waktu kasus Marsinah.
Munir menyehut, ketika di Mabes Polri, ia pernah menanyakan Andi, apakah ada kenal petugas yang waktu itu sedang berkumpul di ruangan. Setelah mencermati, termasuk suaranya, Andi mengatakan tak mengenal satu pun. " Kalau benar orang Mabes Polri yang menangkap, pasti dong Andi ada kenal. Paling tidak suaranya. Bukankah ia sudah sebulan ditahan?" kata Munir.
Keterangan Nurfaizi memperlihatkan sejumlah keganjilan lain, kata Munir. Misalnya, kalau memang Mabes Polri yang menangkap, pasti mereka akan melakukan koordinasi dengan polda setempat, dalam hal ini Polda Lampung. Ternyata, pihak Polda Iampung yang beberapa kali didatangi keluarga Andi menyatakan tidak mengetahui keberadaan Ketua SMID itu. Kepala Dinas Penerangan Polda Lampung Letnan Kolonel Anto Sugiarto, misalnya, kaget ketika dikonfirmasikan Kompas pada 29 Maret. "Kalau petugas polda lain, biasanya ada koordinasi. Sejauh ini belum ada laporan masuk," ujarnya.
Menurut Munir, sambil memperlihatkan surat perintah menangkapan, seorang perwira Polda Metro Jaya pernah mengatakan bahwa pihaknya telah keduluan pihak lain. Waktu itu Andi sudah di tangan kepolisian.
Lalu, lanjut Munir, waktu Andi diperiksa sebagai saksi dalam kasus Agus Priyono, tertuduh dalam kasus ledakan bom di Rumah Susun Tanah tinggi, Jakarta Pusat, yang ditanyai justru soal Herman Hendrawan, Faisol Reza, dan Rahardjo Waluyo Djali yang waktu itu sepengetahuan masyarakat masih hilang. "Ini aneh. Dari mana polisi tahu soal mereka? Jangan jangan polisi sudah hendak memindahkan mereka bertiga waktu itu ke tempat Andi," kata Munir. Kesimpulannya, Munir yakin polisi hanya dikambing hitamkan dan tak kuasa mengelak. Menurut dia, kasus ini sebenarnya sangat transparan, karena ada saksi korban dan sebagian mereka--Pius dan Andi Arief--telah berbicara.
Trimoelja D.Soerjadi. pengacara dari Surabaya yang dulu menangani kasus Marsinah, menyatakan modus penculikan para aktivis sekarang sama dengan yang dialami Yudi Susanto, bos Marsinah. Seperti dalam kasus Andi Arief, surat penangkapan Yudi Susanto diberikan jauh setelah dia ditahan. Jawaban-jawaban dari Mabes ABRI juga, menurut Trimoelja, aneh. " Ketika ada berita Andi Arief hilang, misalnya, pihak Mabes (ABRI) mengatakan tidak tahu-menahu. Tapi, sekarang, Nulaizi mengatakan pihaknya yang menjemput. Polisi itu kan bagian dari ABRI. Mengapa tidak sejak awal saja diakui?" ucap Trimoelja.
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Wiranto sendiri menegaskan bukan kebijakan ABRI menghilangkan orang. Hal serupa dikatakan Kepala Pusat Penerangan ABRI A.W. Mokodongan. Adapun Komandan Pusat ,Polisi Militer ABRI Mayor Jenderal Syamsu yang ditunjuk Jenderal Wiranto sebagai ketua tim pencari fakta meminta semua pihak jangan berburuk sangka dulu. Karena, nanti yang memutuskannya adalah mahkamah militer.
Menurut Syamsu, kondisi sel seperti yang disebutkan Pius, yaitu ruangan seukuran dua meter kali dua setengah meter, berpintu terali besi dengan kamera di tiap ruang, itu tidak identik dengan sel-sel yang digunakan ABRI. Sebab, sel untuk ABRI sama saja dengan sel untuk sipil. "Sel militer itu untuk anggota yang melakukan pelanggaran. Bagaimana pula bisa ada kamera atau radio? Kecuali rumah lahanan yang dahulu memang dikhususkan bagi tahanan politik, Nirbaya. Tapi itu dulu, saya tidak tahu kalau sekarang," ujarnya.
Syamsu juga menegaskan bahwa Andi Arief bukan diculik, tapi ditangkap oleh satuan antiteror. Di dalam ABRI sendiri, seperti diakui oleh Syamsu, pasukan antiteror demikian juga ada. Tapi, dia mengisyaratkan bahwa pasukan antiteror dalam ABRI tidak digerakkan untuk penculikan para aktivis seperti sekarang.
Dircktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, mengomentari bantahan-bantahan dari ABRI iu. Menurut dia, fakta-fakta cukup memperlihatkan bahwa dalam penahanan Pius telah digunakan alat-alat atau senjata organik yang biasa dimiliki aparat keamanan serta sel tahanan yang punya fasilitas lengkap. Hendardi menyebut, kalau memang aparat keamanan tidak terlibat, berarti Indonesia tak cukup aman. Sebab, ada kelompok yang bisa sewenang-wenang dan punya perlengkapan serta senjata. "Berarti, klaim ABRI sebagai stabilisator terpatahkan, dong," ucapnya.
Tiarma Siboro, Rachmat H. Cahyono, Seno Joko Suyono, Budi Nugroho Jakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R Edisi 980509-038/Hal. 16 Rubrik Liputan Utama
Comments