Soetandyo: "Merupakan Kunci Reformasi Politik"
SOETANDYO Wigyosoebroto menyebut kunci reformasi politik adalah reformasi lima paket undang-undang politik. Reporter D&R Abdul Manan mewawancarai guru besar Universitas Airlangga tersebut. Berikut petikannya.
Mahasiswa sekarang ramai mempersoalkan lima paket undang-undang politik. Sebenarnya, apa urgensinya?
Mahasiswa mengharapkan reformasi tidak berhenti di bidang ekonomi saja. Karena, menurut paham mereka, segala sebab krisis ekonomi ini berakar pada struktur politik. Ekonomi sangat dikontrol oleh kepentingan-kepentingan politik. Karena itu, harus berlanjut ke reformasi politik. Dan, kunci reformasi politik adalah reformasi lima paket undang-undang politik.
Salah satu argumen mahasiswa: paket undang-undang politik telah mengebiri hak politik rakyat.
Ya, memang. Kelima undang-undang itu, ditambah UU tentang Pemcrintah Daerah dan Pemerintah Desa, itu telah memperbesar kewenangan pemerintah pusat, sedangkan politik rakyat makin menyusut.
Menurut Anda, apa "kesalahan" paling mendasar kelima paket tersebut?
Kebebasan dan kemungkinan masyarakat umum membuat pilihan-pilihan kian kecil karenanya. Sementara kewenangan besar makin menggumpal, kebebasan individu untuk membuat pilihan-pilihan pada tingkat hawah (grassroots) semakin menyusut.
Jadi, secara esensial, paket tadi bertentangan dengan demokrasi?
Itu memang tidak demokratis, kalau tidak bisa dikatakan bertentangan sama sekali. Pembenarannya adalah percayakan kekuasaan ke pusat agar pusat bisa menjalankan pemerintahan yang stabil dan melaksanakn pembangunan. Tapi, akhir-akhir ini terbukti pembangunan tidak menguntungkan rakyat banyak. Maka, sekarang, orang menagih kembali. Kelihatan undang-undang yang memberi kekuasan besar di pusat itu hanya menguntungkan sekelompok kecil. Menyebabkan monopoli kekuasan oleh segelintir orang. Dan, monopoli itu termanfaatkan dalam eksploitasi sumber daya alam.
Kalau dengan UUD 145 dan Pancasila bertentangankah?
UUD 1945 dan Pancasila, sih, tidak mengatur itu secara tegas. Tapi, prinsip di negara demokrasi, prinsip yang disebut dalam konstitusi bahwa rakyat punya hak-hak dasar--yaitu kebebasan berpendapat, berserikat, dan sebagainya--sangat dikurangi.
Dengan demikian perubahan paket undang-undang politik sudah tak terelakkan?
Ya, kalau melihat perkembangan sekarang. Dan, ini memang absolut. Itu merupakan undang-undang dari tahun 1970-an. Mungkin, pada waktu itu sangat fungsional dan daya gunanya tinggi. Tapi, undang-undang kan tidak dibuat untuk seumur hidup-barangkali juga untuk satu masa, yang terkadang pendek saja. Kalau sekarang, pergerakannya kan sudah menuju masyarakat yang kian terpelajar dan kritis. Keberanian untuk menyampaikan kritik lebih besar. Dan, pemerintah sendiri kini dalam posisi yang tak bisa memhuktikan keadidayaannya. Mereka kurang mampu mengayomi masyarakat. Akibatnya, kini rakyat gelisah di mana-mana. Terbukti, akhirnya pemerintah yang selama ini kelihatannya sungguh berkuasa rapuh juga.
Apakah krisis sekarang cukup membantu mendesakkan terjadinya perubahan paket undang-undang politik?
Bisa sebaliknya: perubahan akan menyebabkan krisis karena tidak diantisipasi secara baik.
Kalau pencabutan paket undang-undang politik akan dilakukan, sepatutnya oleh siapa?
Undang-undang itu dibuat presiden dengan persetujuan wakil rakyat. Jadi, pemrakarsanya adalah presiden. Karena, selama ini kan prakarsa dari badan legislatif tak pernah ada. Badan legislatif sendiri dalam kenyataannya--suhordinatif terhadap eksekutif. Kita juga bisa lihat lembaga legislatif begitu didominasi tokoh-tokoh yang tak berpengalaman di partai, tapi di birokrasi dan ABRI. Jalur ABRI dan birokrasi-lah yang kuat. Belum lagi fraksi ABRI yang punya 75 wakil di badan legislatif. Akan halnya mahasiswa, yang jumlahnya melebihi ABRI, praktis tidak merasa terwakili.
Kalau dicabut, apakah undang-undang tersebut perlu pengganti?
Ya, harus ada penggantinya. Jadi, UU Pemilu diganti undang-undang pemilu, UU Pemerintahan diganti dengan undang-undang sejenis. Cuma, suhstansi dan moralnya mesti erasa betul memihak rakyat. Harus lebih populis-demokratis, bukan otokratis-aristokratis.
D&R, Edisi 980425-036/Hal. 54 Rubrik Liputan Khusus
Mahasiswa sekarang ramai mempersoalkan lima paket undang-undang politik. Sebenarnya, apa urgensinya?
Mahasiswa mengharapkan reformasi tidak berhenti di bidang ekonomi saja. Karena, menurut paham mereka, segala sebab krisis ekonomi ini berakar pada struktur politik. Ekonomi sangat dikontrol oleh kepentingan-kepentingan politik. Karena itu, harus berlanjut ke reformasi politik. Dan, kunci reformasi politik adalah reformasi lima paket undang-undang politik.
Salah satu argumen mahasiswa: paket undang-undang politik telah mengebiri hak politik rakyat.
Ya, memang. Kelima undang-undang itu, ditambah UU tentang Pemcrintah Daerah dan Pemerintah Desa, itu telah memperbesar kewenangan pemerintah pusat, sedangkan politik rakyat makin menyusut.
Menurut Anda, apa "kesalahan" paling mendasar kelima paket tersebut?
Kebebasan dan kemungkinan masyarakat umum membuat pilihan-pilihan kian kecil karenanya. Sementara kewenangan besar makin menggumpal, kebebasan individu untuk membuat pilihan-pilihan pada tingkat hawah (grassroots) semakin menyusut.
Jadi, secara esensial, paket tadi bertentangan dengan demokrasi?
Itu memang tidak demokratis, kalau tidak bisa dikatakan bertentangan sama sekali. Pembenarannya adalah percayakan kekuasaan ke pusat agar pusat bisa menjalankan pemerintahan yang stabil dan melaksanakn pembangunan. Tapi, akhir-akhir ini terbukti pembangunan tidak menguntungkan rakyat banyak. Maka, sekarang, orang menagih kembali. Kelihatan undang-undang yang memberi kekuasan besar di pusat itu hanya menguntungkan sekelompok kecil. Menyebabkan monopoli kekuasan oleh segelintir orang. Dan, monopoli itu termanfaatkan dalam eksploitasi sumber daya alam.
Kalau dengan UUD 145 dan Pancasila bertentangankah?
UUD 1945 dan Pancasila, sih, tidak mengatur itu secara tegas. Tapi, prinsip di negara demokrasi, prinsip yang disebut dalam konstitusi bahwa rakyat punya hak-hak dasar--yaitu kebebasan berpendapat, berserikat, dan sebagainya--sangat dikurangi.
Dengan demikian perubahan paket undang-undang politik sudah tak terelakkan?
Ya, kalau melihat perkembangan sekarang. Dan, ini memang absolut. Itu merupakan undang-undang dari tahun 1970-an. Mungkin, pada waktu itu sangat fungsional dan daya gunanya tinggi. Tapi, undang-undang kan tidak dibuat untuk seumur hidup-barangkali juga untuk satu masa, yang terkadang pendek saja. Kalau sekarang, pergerakannya kan sudah menuju masyarakat yang kian terpelajar dan kritis. Keberanian untuk menyampaikan kritik lebih besar. Dan, pemerintah sendiri kini dalam posisi yang tak bisa memhuktikan keadidayaannya. Mereka kurang mampu mengayomi masyarakat. Akibatnya, kini rakyat gelisah di mana-mana. Terbukti, akhirnya pemerintah yang selama ini kelihatannya sungguh berkuasa rapuh juga.
Apakah krisis sekarang cukup membantu mendesakkan terjadinya perubahan paket undang-undang politik?
Bisa sebaliknya: perubahan akan menyebabkan krisis karena tidak diantisipasi secara baik.
Kalau pencabutan paket undang-undang politik akan dilakukan, sepatutnya oleh siapa?
Undang-undang itu dibuat presiden dengan persetujuan wakil rakyat. Jadi, pemrakarsanya adalah presiden. Karena, selama ini kan prakarsa dari badan legislatif tak pernah ada. Badan legislatif sendiri dalam kenyataannya--suhordinatif terhadap eksekutif. Kita juga bisa lihat lembaga legislatif begitu didominasi tokoh-tokoh yang tak berpengalaman di partai, tapi di birokrasi dan ABRI. Jalur ABRI dan birokrasi-lah yang kuat. Belum lagi fraksi ABRI yang punya 75 wakil di badan legislatif. Akan halnya mahasiswa, yang jumlahnya melebihi ABRI, praktis tidak merasa terwakili.
Kalau dicabut, apakah undang-undang tersebut perlu pengganti?
Ya, harus ada penggantinya. Jadi, UU Pemilu diganti undang-undang pemilu, UU Pemerintahan diganti dengan undang-undang sejenis. Cuma, suhstansi dan moralnya mesti erasa betul memihak rakyat. Harus lebih populis-demokratis, bukan otokratis-aristokratis.
D&R, Edisi 980425-036/Hal. 54 Rubrik Liputan Khusus
Comments