Pasrah Saja kalau Tak Punya Uang
Ada anggapan bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Lalu muncul sentimen. Mereka pun diamuk. Benarkah semua orang cina kaya?
CERITA dari Medan selalu lain. Entah kalau kenyataannya demikian. Kalau di sejumlah kota di Indonesia keturunan Cina dihantui oleh bayang-bayang kerusuhan, mereka yang tinggal di Medan mengatakan tidah begitu terusik. Sebab, sampal saat ini tidak mengalami gangguan. Hanya rumor yang bermunculan, bukti nyatanya tak ada.
Menurut pantauan D&R, sasana bisnis di kota itu memang tak terganggu kendati harga barang tetap tinggi walau operasi pasar telah diadakan. Karena itu, wajar kalau warga Cina-nya bisa tenang-tenang saja. Contohnya Penny, orang Cina pemilik kedai kopi di Jalan Mesjid, Medan. "Lihat bagaimana nanti sajalah. Semua terserah Tuhan saja. Saya kan lahir dan besar di Medan. Jadi tidak akan ke mana-mana," ucap perempuan lajang berusia 47 tahun itu. Penny yang mengusahakan kedai kopi bersama adik-adiknya yang sudah berkeluarga itu menambahkan, dirinya tak akan hengkang ke luar negeri. "Modal apa yang mau kami larikan ke luar negeri? Seandainya saya kaya pun cukup di Medan saja berusaha."
Seperti Penny, Indra Wahidin, Wakil Ketua Bakom PKB Sumatra utara, mengatakan dirinya tak mengkhawatirkan kerusuhan. Sebab, kata generasi ketiga yang lahir di Medan itu menyebut selama ini dirinya berhubungan baik dengan semua kalangan. "Bisa saja karena itu kita dilindungi." Meski demikian, Indra yang dokter itu mengakui bahwa rasa tak aman memang tetap ada dalam dirnya. Karena itu, ia senantiasa awas.
Seperti di kota lain, perekonomian di Medan juga dikuasai orang Cina. Mereka itu umumnya tinggal di pusat kota dan kawasan bisnis lain yang sedang tumbuh. Agak sulit menaksir berapa besar aset mereka karena tertutup, seperti kata Subaninyo Hadiluwih, Asisten Direktur Eksekutif Institut Bina Bisnis Indonesia Medan.
Subanindyo menyebut, dibanding dengan etnik sejenis di Pulau Jawa, Cina Medan lebih sering bepergian untuk urusan keluarga dan bisnis ke negara tetangga. Terutama ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Ada sebuah tradisi bahwa Cina Medan yang telah bereksepsi tak pernah melepaskan akarnya. Mata rantai bisnis dengan Medan tetap dipelihara. Dengan demikian, kata pengamat tentang Cina yang menulis buku Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus di Medan tersebut, pelarian modal sangat mungkin terjadi selama ini. Tapi, bukan karena kerusuhan yang marak belakangan ini.
Kerusuhan besar anti-Cina di Medan hanya terjadi pada tahun 1966 dan 1994. Aksi mengganyang Partai Komunis Indonesia berubah menjadi keluruhan anti-cina pada tahun 1966. Demikian juga unjuk rasa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia pimpinan Muchtar Pakpahan di tahun 1994.
Kalau di Medan orang cina masih bisa tenang-tenang, tidak demikian di Surabaya dan beberapa kota Jawa Timur lainnya. Sejumlah gejolak anti-cina di sana belakangan ini telah membuahkan ketakutan. Kasus terakhir terjadi di Kraton, Pasuruan, awal Februari kemarin. Waktu itu sekitar 12 rumah toko (ruko) milik cina dilempari massa. Ada pula yang dilempari dengan bom molotov. Memang tak ada korban jiwa dalam amuk yang dipicu oleh kenaikan harga minyak tanah menjadi Rp 1.000 per liter tersebut.
Sosiolog Dede Oetomo membandingkan suasana sekarang dengan ketakutan orang cina di Bali pada tahun 1965-an, yang membuat mereka harus mengungsi ke Pulau Jawa. Kalau sekarang mereka hengkang dari Pulau Jawa dan beberapa kota lain ke luar negeri. Menurut Dede, selama krisis sudah sekitar US$ 1 miliar uang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Tentu sebagian besar adalah dana orang cina. Tapi, ketakutan orang cina ini, kata Dede, merupakan gejala lama. Dan, indikasinya sudah bisa dibaca saat pemilu kemarin. Adanya bukan hanya di kalangan kaum keturunan, tapi di lingkungan kaum kelas menengah umumnya.
Kerusuhan itu, menurut dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut tak bisa dijadikan sebagai indikasi kemarahan kepada orang cina. "Saya tak melihat itu. Yang terjadi adalah kerusuhan yang diberi warna anti-cina." Dede mencontohkan amuk di Kraton, Pasuruan. Waktu itu Toko Wahid milik pribumi juga ikut dibakar. Jadi, yang menjadi sasaran bukan hanya cina, tapi mereka yang ekonominya berlebih. Dede membenarkan bahwa kebencian itu memang ada. Tapi, secara umum benci kepada kalangan berduit, yang diberi cap anti-cina atau anti-Kristen. Dede yakin orang seperti dirinya tak ada masalah. "Seperti saya, Arief Budiman, atau Kwik Kian Gie itu sudah seperti luntur bau cina-nya."
Daniel J.T., dosen psikologi di Sekolah Al-Kitab Surabaya menyebut, ada pandangan dalam masyarakat bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Pandangan inilah menurut dia yang memunculkan sentimen. Apalagi ada juga orang cina yang tidak peduli. "Mungkin mereka menganggap kita ini berasal dari keluarga yang sangat mampu semua, sehingga tidak terimbas krisis."
Adanya pandangan yang keliru tadi, kata Daniel, telah menyudutkan kelas menengahhawah orang Cina. Kalangan ini sebenarnya tidak mengerti apa-apa tapi menjadi korban dalam kerusuhan seperti yang terjadi di Ujungpandang dan Jawa Tengah belum lama ini. Mereka hanya bisa pasrah.
Bambang Soedjiartono dan Abdul Manan
D&R, Edisi 980307-029/Hal. 65 Rubrik Bisnis & Ekonomi
CERITA dari Medan selalu lain. Entah kalau kenyataannya demikian. Kalau di sejumlah kota di Indonesia keturunan Cina dihantui oleh bayang-bayang kerusuhan, mereka yang tinggal di Medan mengatakan tidah begitu terusik. Sebab, sampal saat ini tidak mengalami gangguan. Hanya rumor yang bermunculan, bukti nyatanya tak ada.
Menurut pantauan D&R, sasana bisnis di kota itu memang tak terganggu kendati harga barang tetap tinggi walau operasi pasar telah diadakan. Karena itu, wajar kalau warga Cina-nya bisa tenang-tenang saja. Contohnya Penny, orang Cina pemilik kedai kopi di Jalan Mesjid, Medan. "Lihat bagaimana nanti sajalah. Semua terserah Tuhan saja. Saya kan lahir dan besar di Medan. Jadi tidak akan ke mana-mana," ucap perempuan lajang berusia 47 tahun itu. Penny yang mengusahakan kedai kopi bersama adik-adiknya yang sudah berkeluarga itu menambahkan, dirinya tak akan hengkang ke luar negeri. "Modal apa yang mau kami larikan ke luar negeri? Seandainya saya kaya pun cukup di Medan saja berusaha."
Seperti Penny, Indra Wahidin, Wakil Ketua Bakom PKB Sumatra utara, mengatakan dirinya tak mengkhawatirkan kerusuhan. Sebab, kata generasi ketiga yang lahir di Medan itu menyebut selama ini dirinya berhubungan baik dengan semua kalangan. "Bisa saja karena itu kita dilindungi." Meski demikian, Indra yang dokter itu mengakui bahwa rasa tak aman memang tetap ada dalam dirnya. Karena itu, ia senantiasa awas.
Seperti di kota lain, perekonomian di Medan juga dikuasai orang Cina. Mereka itu umumnya tinggal di pusat kota dan kawasan bisnis lain yang sedang tumbuh. Agak sulit menaksir berapa besar aset mereka karena tertutup, seperti kata Subaninyo Hadiluwih, Asisten Direktur Eksekutif Institut Bina Bisnis Indonesia Medan.
Subanindyo menyebut, dibanding dengan etnik sejenis di Pulau Jawa, Cina Medan lebih sering bepergian untuk urusan keluarga dan bisnis ke negara tetangga. Terutama ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Ada sebuah tradisi bahwa Cina Medan yang telah bereksepsi tak pernah melepaskan akarnya. Mata rantai bisnis dengan Medan tetap dipelihara. Dengan demikian, kata pengamat tentang Cina yang menulis buku Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus di Medan tersebut, pelarian modal sangat mungkin terjadi selama ini. Tapi, bukan karena kerusuhan yang marak belakangan ini.
Kerusuhan besar anti-Cina di Medan hanya terjadi pada tahun 1966 dan 1994. Aksi mengganyang Partai Komunis Indonesia berubah menjadi keluruhan anti-cina pada tahun 1966. Demikian juga unjuk rasa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia pimpinan Muchtar Pakpahan di tahun 1994.
Kalau di Medan orang cina masih bisa tenang-tenang, tidak demikian di Surabaya dan beberapa kota Jawa Timur lainnya. Sejumlah gejolak anti-cina di sana belakangan ini telah membuahkan ketakutan. Kasus terakhir terjadi di Kraton, Pasuruan, awal Februari kemarin. Waktu itu sekitar 12 rumah toko (ruko) milik cina dilempari massa. Ada pula yang dilempari dengan bom molotov. Memang tak ada korban jiwa dalam amuk yang dipicu oleh kenaikan harga minyak tanah menjadi Rp 1.000 per liter tersebut.
Sosiolog Dede Oetomo membandingkan suasana sekarang dengan ketakutan orang cina di Bali pada tahun 1965-an, yang membuat mereka harus mengungsi ke Pulau Jawa. Kalau sekarang mereka hengkang dari Pulau Jawa dan beberapa kota lain ke luar negeri. Menurut Dede, selama krisis sudah sekitar US$ 1 miliar uang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Tentu sebagian besar adalah dana orang cina. Tapi, ketakutan orang cina ini, kata Dede, merupakan gejala lama. Dan, indikasinya sudah bisa dibaca saat pemilu kemarin. Adanya bukan hanya di kalangan kaum keturunan, tapi di lingkungan kaum kelas menengah umumnya.
Kerusuhan itu, menurut dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut tak bisa dijadikan sebagai indikasi kemarahan kepada orang cina. "Saya tak melihat itu. Yang terjadi adalah kerusuhan yang diberi warna anti-cina." Dede mencontohkan amuk di Kraton, Pasuruan. Waktu itu Toko Wahid milik pribumi juga ikut dibakar. Jadi, yang menjadi sasaran bukan hanya cina, tapi mereka yang ekonominya berlebih. Dede membenarkan bahwa kebencian itu memang ada. Tapi, secara umum benci kepada kalangan berduit, yang diberi cap anti-cina atau anti-Kristen. Dede yakin orang seperti dirinya tak ada masalah. "Seperti saya, Arief Budiman, atau Kwik Kian Gie itu sudah seperti luntur bau cina-nya."
Daniel J.T., dosen psikologi di Sekolah Al-Kitab Surabaya menyebut, ada pandangan dalam masyarakat bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Pandangan inilah menurut dia yang memunculkan sentimen. Apalagi ada juga orang cina yang tidak peduli. "Mungkin mereka menganggap kita ini berasal dari keluarga yang sangat mampu semua, sehingga tidak terimbas krisis."
Adanya pandangan yang keliru tadi, kata Daniel, telah menyudutkan kelas menengahhawah orang Cina. Kalangan ini sebenarnya tidak mengerti apa-apa tapi menjadi korban dalam kerusuhan seperti yang terjadi di Ujungpandang dan Jawa Tengah belum lama ini. Mereka hanya bisa pasrah.
Bambang Soedjiartono dan Abdul Manan
D&R, Edisi 980307-029/Hal. 65 Rubrik Bisnis & Ekonomi
Comments