Mereka Ingin Menjaring Suara
Sejumlah jajak pendapat tentang suksesi kepemimpinan nasional beredar di kalangan mahasiswa. Sebagian besar menolak pencalonan Soeharto kembali. Aparat keamanan tersinggung.
DI antara mahasiswa dan politisi sudah biasa terjadi perbedaan pendapat. Mungkin karena kepentingan keduanya berbeda. Maka, tak mengherankan kalau petinggi-petinggi organisasi sosial-politik menganggap suksesi kepemimphlan nasional sudah final dengan dicalonkan Soeharto tapi soal itu bagi mahasiswa masihlah mengambang. Karena itu, para pemuda itu melasa sah-sah saja mengikuti anjuran Presiden Soeharto untuk mengecek suara masyarakat tentang kepemimpinan nasional. Bentuk pengecekannya, ya, apa lagi kalau bukan jajak pendapat.
Bagi mereka, dengan jajak pendapat itu justru jelas seberapa banyak masyarakat yang benar-benar mendukung kepemimpinan nasional. Jajak pendapat tersehut, walaupun respondennya amat terbatas dan tak bisa mewakili rakyat Indonesia, jelas lebih jujur dibandingkan pernyataan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Golkar yang berani menyatakan bahwa penduduk Indonesia mendukung penuh pencalonan kembali Soeharto tanpa dijelaskan dari mana ia mendapatkan datanya.
Dengan prinsip seperti itu jajak-jajak pendapat pun banyak beredar di lingkungan mahasiswa. Dimulai dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengadakan referendum istilah mereka untuk jajak pendapat--tentang pencalonan kembali Pak Harto, pertengahan Desember lalu. Tema yang sama dipilih mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang. dan Yayasan Islam (YIS) Abad 21 di Bandung.
Selain itu, selama bulan Januari lalu, angket suksesi serupa dibuat oleh majalah Acta Surya Sekolah Tinggi Komunikasi Massa Surabaya, majalah Ganesha Institut Teknologi Bandung (ITB). mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Adapun jumlah angket terbesar diedarkan oleh beberapa organisasi pemuda di Solo, Jawa Tengah yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Perubahan (GRUP), akhir Januari lalu. Ada 25 ribu lembar kuesioner disebarkan oleh kelompok yang antara lain terdiri dari Himpunm Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Senat Universitas Muhammadiyah. Rupanya, peringatan aparat keamanan yang mengecam hasil jajak pendapat yang sudah lebih dulu dilakukan tak membuat mereka bergeming untuk menjaring suara-suara masyarakat yang selama ini tak pernah tertampung di DPR.
* Menolak Pencalonan Kembali
Memang, tak mengherankan bila aparat keamanan malah dengan sejumlah jajak pendapat mahasiswa itu. Karena kebanyakan jajak pendapat itu diisi oleh mahasiswa yang relatif tak punya kepentingan politik dibanding para politisi hasilnya sebagian besar menginginkan adanya pergantian pimpinan nasional. Contohnya, dari 9.587 suara mahasiswa UGM. hampir 3 menyatakan tidak setuju ketika ditanya tentang pencalonan kembali Soeharto Angket yang lain, seperti dari YIS 21, malah mencantumkan calon presiden pilihannya sendiri: Amien Rais.
Hasil yang cukup menarik didapat dari jajak pendapat majalah Ganesha karena lembar kuesioner sebanyak 800 lembar tak hanya diedarkan di kalangan mahasiswa tapi juga karyawan dan dosen yang notabene pegawai negeri. Dan sikap karyawan dan dosen itu ternyata tak kalah kerasnya dengan para mahasiswa. Dari 95 lembar angket, lebih dari 93% menginginkan kepemimpinan nasional diganti, dengan penggantinya adalah Try Surisno (36% suara). Bandingkan hasilnya dengan suara 550 mahasiswa pengisi angket yang hanya 90'70-nya ingin agar kepemimpinan nasional diganti. Calon pengganti pilihan mahasiswaberbedadengan karyawan karena mereka condong memilih Amien Rais (35%).
Mahasiswa FISIP UI ternyata tak seradikal teman-temannya dari ITB. Itu bisa dibaca dari hasil jajak pendapat yang dilakukan 19-23 Januari lalu. Dari 1.200 lembar angket yang disebarkan--923 di antaranya dikembalikan--79% (72 orang) yang tidak setuju Soeharto dipilih kembali. Cukup mengagetkan bahwa jumlah yang cukup besar--hampir 20% menyatakan setuju pada pencalonan Pak Harto kembali. Namun, dalam soal pembalasan masa jabatan, lebih dari 92% menyetujui diadakannya pembatasan.
Mahasiswa UII tak hanya menyorot soal kepemimpinan nasional, tapi juga akar masalahnya, seperti belum terwujudnya pemerintahan yang bersih. Hal itu menurut mereka, karena kekuasaan presiden yang terlalu lama dan lemahnya fungsi DPR. Untuk itu, 89,9% responden yang mengisi 2.000 lembar kuesioner--dari 2.500 buah yang diedarkan--menuntut diadakannya pergantian presiden dalam sidang umum MPR mendatang.
Yang masih ditunggu adalah hasil jajak pendapat yang diedarkan oleh GRUP di Solo. Ketika tulisan ini dibuat panitia baru menghitung setengah dari angket yang disebar dan hasilnya, 90% responden tak setuju Pak Harto dipilih kembali. Hasil angket itu mungkin lebih obyektif mencerminkan pendapat masyarakat di banding angket-angket mahaslswa di atas karena jumlah kuesionernya lebih banyak--25 ribu atau 5% penduduk Solo--dan respondennya pun lebih beragam.
* Reaksi Aparat Keamanan
Sayangnya, seobyektif apa pun angket-angket yang disebarkan itu, lain lagi tanggapan aparat keamanan. Rupanya, sebagian dari mereka punya pikiran yang sejalan dengan para politisi dan menganggap soal kepemimpinan nasional sudah rampung. Adanya jajak pendapat, bagi mereka, malah bisa membuat masyarakat terpecah-belah.
Maka aparat keamanan di beberapa daerah pun merasa perlu membereskan para pembuat angket yang dianggap mengganggu stabilitas itu. Kepolisian Resor Bandung misalnya, menangkap Zaidan, salah seorang pengurus YIS 21, dengan tuduhan telah menyebarkan angke ilegal. Tuduhan itu dibantah Ketua YIS 21 Mursillin Dahlan karena organiasinya didirikan secara sah di depan notaris.
Sikap yang sama kerasnya dilakukan aparat keamanan di Solo. Awal Februari lalu, para wakil pengurus GRUP, termasuk Rahadi, anggota DPRD yang dianggap membantu kegiatan itu, dipinggir komandan komando disitrik militer (kodim). Namun, karena tak mengikuti aturan--pemanggilan hanya dilakukan secara lisan--mereka terpaksa mengulangnya melalui surat resmi. Komandan kodam maupun komandan komando resor militer (korem) mengimbau agar angket berbiaya Rp 1 juta itu dihentikan. Tampaknya karena angket itu juga disebarkan di kalangan ARI/purnawirawan. "Timing-nya enggak tepat. Semua sudah final mencalonkan Pak Harto, kok, diutik lagi. Nanti akan menimbulkan pecah-belahnya masyarakat," kata Kolonel Sriyanto, Komandan Korem Warastama Surakarta.
Lalu, apa jawaban penyelenggara angket? "Ini kan kegiatan ilmiah murni. Kami rnenampung aspirasi mereka yang mungkin belum scmpat ke DPR. Lagi pula, pelarangannya terlambat karena kami tinggal menarik data," kata Nurcahyo, Koordinator GRUP. Jadi, kita tunggu saja bagaimana kelanjutan jajak pendapat itu.
Laporan Moh. Subroto, Abdul Manan, Dwi Arjanto, dan L.N. Idayanie
D&R, Edisi 980221-027/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
DI antara mahasiswa dan politisi sudah biasa terjadi perbedaan pendapat. Mungkin karena kepentingan keduanya berbeda. Maka, tak mengherankan kalau petinggi-petinggi organisasi sosial-politik menganggap suksesi kepemimphlan nasional sudah final dengan dicalonkan Soeharto tapi soal itu bagi mahasiswa masihlah mengambang. Karena itu, para pemuda itu melasa sah-sah saja mengikuti anjuran Presiden Soeharto untuk mengecek suara masyarakat tentang kepemimpinan nasional. Bentuk pengecekannya, ya, apa lagi kalau bukan jajak pendapat.
Bagi mereka, dengan jajak pendapat itu justru jelas seberapa banyak masyarakat yang benar-benar mendukung kepemimpinan nasional. Jajak pendapat tersehut, walaupun respondennya amat terbatas dan tak bisa mewakili rakyat Indonesia, jelas lebih jujur dibandingkan pernyataan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Golkar yang berani menyatakan bahwa penduduk Indonesia mendukung penuh pencalonan kembali Soeharto tanpa dijelaskan dari mana ia mendapatkan datanya.
Dengan prinsip seperti itu jajak-jajak pendapat pun banyak beredar di lingkungan mahasiswa. Dimulai dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengadakan referendum istilah mereka untuk jajak pendapat--tentang pencalonan kembali Pak Harto, pertengahan Desember lalu. Tema yang sama dipilih mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang. dan Yayasan Islam (YIS) Abad 21 di Bandung.
Selain itu, selama bulan Januari lalu, angket suksesi serupa dibuat oleh majalah Acta Surya Sekolah Tinggi Komunikasi Massa Surabaya, majalah Ganesha Institut Teknologi Bandung (ITB). mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Adapun jumlah angket terbesar diedarkan oleh beberapa organisasi pemuda di Solo, Jawa Tengah yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Perubahan (GRUP), akhir Januari lalu. Ada 25 ribu lembar kuesioner disebarkan oleh kelompok yang antara lain terdiri dari Himpunm Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Senat Universitas Muhammadiyah. Rupanya, peringatan aparat keamanan yang mengecam hasil jajak pendapat yang sudah lebih dulu dilakukan tak membuat mereka bergeming untuk menjaring suara-suara masyarakat yang selama ini tak pernah tertampung di DPR.
* Menolak Pencalonan Kembali
Memang, tak mengherankan bila aparat keamanan malah dengan sejumlah jajak pendapat mahasiswa itu. Karena kebanyakan jajak pendapat itu diisi oleh mahasiswa yang relatif tak punya kepentingan politik dibanding para politisi hasilnya sebagian besar menginginkan adanya pergantian pimpinan nasional. Contohnya, dari 9.587 suara mahasiswa UGM. hampir 3 menyatakan tidak setuju ketika ditanya tentang pencalonan kembali Soeharto Angket yang lain, seperti dari YIS 21, malah mencantumkan calon presiden pilihannya sendiri: Amien Rais.
Hasil yang cukup menarik didapat dari jajak pendapat majalah Ganesha karena lembar kuesioner sebanyak 800 lembar tak hanya diedarkan di kalangan mahasiswa tapi juga karyawan dan dosen yang notabene pegawai negeri. Dan sikap karyawan dan dosen itu ternyata tak kalah kerasnya dengan para mahasiswa. Dari 95 lembar angket, lebih dari 93% menginginkan kepemimpinan nasional diganti, dengan penggantinya adalah Try Surisno (36% suara). Bandingkan hasilnya dengan suara 550 mahasiswa pengisi angket yang hanya 90'70-nya ingin agar kepemimpinan nasional diganti. Calon pengganti pilihan mahasiswaberbedadengan karyawan karena mereka condong memilih Amien Rais (35%).
Mahasiswa FISIP UI ternyata tak seradikal teman-temannya dari ITB. Itu bisa dibaca dari hasil jajak pendapat yang dilakukan 19-23 Januari lalu. Dari 1.200 lembar angket yang disebarkan--923 di antaranya dikembalikan--79% (72 orang) yang tidak setuju Soeharto dipilih kembali. Cukup mengagetkan bahwa jumlah yang cukup besar--hampir 20% menyatakan setuju pada pencalonan Pak Harto kembali. Namun, dalam soal pembalasan masa jabatan, lebih dari 92% menyetujui diadakannya pembatasan.
Mahasiswa UII tak hanya menyorot soal kepemimpinan nasional, tapi juga akar masalahnya, seperti belum terwujudnya pemerintahan yang bersih. Hal itu menurut mereka, karena kekuasaan presiden yang terlalu lama dan lemahnya fungsi DPR. Untuk itu, 89,9% responden yang mengisi 2.000 lembar kuesioner--dari 2.500 buah yang diedarkan--menuntut diadakannya pergantian presiden dalam sidang umum MPR mendatang.
Yang masih ditunggu adalah hasil jajak pendapat yang diedarkan oleh GRUP di Solo. Ketika tulisan ini dibuat panitia baru menghitung setengah dari angket yang disebar dan hasilnya, 90% responden tak setuju Pak Harto dipilih kembali. Hasil angket itu mungkin lebih obyektif mencerminkan pendapat masyarakat di banding angket-angket mahaslswa di atas karena jumlah kuesionernya lebih banyak--25 ribu atau 5% penduduk Solo--dan respondennya pun lebih beragam.
* Reaksi Aparat Keamanan
Sayangnya, seobyektif apa pun angket-angket yang disebarkan itu, lain lagi tanggapan aparat keamanan. Rupanya, sebagian dari mereka punya pikiran yang sejalan dengan para politisi dan menganggap soal kepemimpinan nasional sudah rampung. Adanya jajak pendapat, bagi mereka, malah bisa membuat masyarakat terpecah-belah.
Maka aparat keamanan di beberapa daerah pun merasa perlu membereskan para pembuat angket yang dianggap mengganggu stabilitas itu. Kepolisian Resor Bandung misalnya, menangkap Zaidan, salah seorang pengurus YIS 21, dengan tuduhan telah menyebarkan angke ilegal. Tuduhan itu dibantah Ketua YIS 21 Mursillin Dahlan karena organiasinya didirikan secara sah di depan notaris.
Sikap yang sama kerasnya dilakukan aparat keamanan di Solo. Awal Februari lalu, para wakil pengurus GRUP, termasuk Rahadi, anggota DPRD yang dianggap membantu kegiatan itu, dipinggir komandan komando disitrik militer (kodim). Namun, karena tak mengikuti aturan--pemanggilan hanya dilakukan secara lisan--mereka terpaksa mengulangnya melalui surat resmi. Komandan kodam maupun komandan komando resor militer (korem) mengimbau agar angket berbiaya Rp 1 juta itu dihentikan. Tampaknya karena angket itu juga disebarkan di kalangan ARI/purnawirawan. "Timing-nya enggak tepat. Semua sudah final mencalonkan Pak Harto, kok, diutik lagi. Nanti akan menimbulkan pecah-belahnya masyarakat," kata Kolonel Sriyanto, Komandan Korem Warastama Surakarta.
Lalu, apa jawaban penyelenggara angket? "Ini kan kegiatan ilmiah murni. Kami rnenampung aspirasi mereka yang mungkin belum scmpat ke DPR. Lagi pula, pelarangannya terlambat karena kami tinggal menarik data," kata Nurcahyo, Koordinator GRUP. Jadi, kita tunggu saja bagaimana kelanjutan jajak pendapat itu.
Laporan Moh. Subroto, Abdul Manan, Dwi Arjanto, dan L.N. Idayanie
D&R, Edisi 980221-027/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments