Tunggu, Anda Dicekal atau Tidak
Enambelas bank ditutup, 60 pemiliknya dilarang meninggalkan Indonesia. Mereka antara lain Pieter Gontha, Henry Pribadi, dan pemilik Bank Andromeda, Bambang Trihatmodjo.
JUMLAH penganggur bertambah. Setidaknya bertambah 5.000 orang, yakni karyawan dari 16 bank yang ditutup pekan lalu. Itu bila tiap bank tersebut beserta cabangnya memiliki antara 300 dan 400 karyawan. Namun, yang istimewa dari peristiwa yang terjadi pada akhir pekan itu, bukan saja bertambahnya ribuan penganggur yang "tercatat" untuk pertama kalinya, tapi juga itulah untuk pertama kalinya pemerintah "berani" menutup belasan bank bermasalah sekaligus.
Mungkin trauma dengan kasus Bank Summa yang ditutup dan penyelesaiannya bertele-tele, ribut berkepanjangan, jarang bank bermasalah ditindak. Bahkan, Bank Pacific, milik keluarga Ibnu Soetowo, yang sudah ketahuan sejak beberapa bulan lalu "berantakan", tetap dibiarkan dan baru masuk ke dalam paket 16 bank yang dilikuidasi pekan lalu.
Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya bagaikan tokoh kartun Popeye si pelaut, yang dikasih makan bayam. Ototnya mampu menjatuhkan tokoh berewok bertubuh tinggi besar.
Lihat saja para pemilik bank yang dikuidasi itu, seperti Pieter Gontha, Henry Prbadi, Bambang Trihatmodjo, Hashim Djojohadikusumo, Prayogo Pangestu, Probosutedjo. Mereka adalah beberapa di antara pengusaha sukses yang tercatat memiliki banyak perusahaan. Namanya malang-melintang di halaman-halaman koran dan majalah pada setiap berita bisnis.
Dan, tidak tanggung-tanggung, pemerintah pun mengumumkan agar para pemilik pemegang saham, dan pengurus ke-16 bank itu untuk tidak meninggalkan Indonsia. "Istilahnya bukan cekal, karena belum ada permintaan resmi dari Menteri Keuangan atau Kejaksaan Agung. Tapi, kami sudah menginstruksikan kepada 83 tempat pemeriksaan imigrasi di seluruh Indonesia agar menunda keberangkatan para pemilik bank itu," ujar Kepala Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Mursanuddin A. Ghani, kepada Antara. Berapa jumlahnya? Menurut pihak Ditjen Imigrasi kepada D&R, 60 orang.
"Kami tidak mau ambil risiko atau disalahkan nantinya jika ada di antara mereka yang lolos ke luar negeri. Untuk itu, sambil menunggu munculnya permintaan pencekalan secara resmi, dan untuk berjaga-jaga, maka petugas imigrasi akan menunda keberangkatan orang-orang yang terkait dengan kepemilikan 16 bank tersebut," ujar Ghani kepada Antara.
Ghani mengaku belum punya nama-nama yang resmi harus dicekal. Karena itu, katanya, pihak imigrasi dengan bermacam cara dan dari sejumlah sumber mengumpulkan nama-nama pemilik ke 16 bank itu. "Termasuk nama-nama pemilik ke-16 bank yang ditulis di koran. Semuanya kami masukkan ke komputer imigrasi. Kalau mereka ke bandara dan bermaksud pergi ke luar negeri, kami akan bilang, tunggu dulu. Kami akan mengecek ke Menteri Keuangan atau Kejaksaan Agung, Anda dicekal atau tidak," ujarnya. Cuma, menurut sumber D&R di Ditjen Imigrasi, pihaknya sudah langsung menerima daftar nama dari Bank Indonesia (BI). "Bagaimana kami berani mengira-ngira?" katanya.
Akan tetapi, kenapa bank yang dimiliki konglomerat beken, seperti Bank Andromeda, termasuk yang dilikuidasi pemerintah'? "Kami datang ke kantor BI, Sabtu, 1 November, pukul 10 pagi, untuk menyetor sejumlah uang yang disyaratkan BI, namun ditolak BI," ujar Pieter Gontha, dalam sebuah jumpa pers, Minggu malam, 2 November, di Stasiun RCTI, Jakarta.
Alasan penolakan tersebut, menurut Pieter Gontha, karena direksi serta dewan komisaris terlambat dalam membawakan alternatif penyehatan Bank Andromeda. "Karenanya sangat sulit bagi pemerintah untuk mengubah keputusan yang telah dibuat Menkeu," kata Gontha, seperti dikutip Kompas.
Dewan Komisaris PT Bank Andromeda memang mengakui telah melakukan pelanggaran ketentuan Bank Indonesia tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK - legal lending limit), dan giro wajib minimum. Untuk itu, para pemegang saham Bank Andromeda, terdiri dari Prayogo Pangestu (50 persen), selaku komisaris utama, serta Bambang Trihatmodjo, dan Henry Pribadi, masing-masing pemilik saham 25 persen, menerima keputusan pemerintah dan bersedia memenuhi seluruh kewajiban kepada masyarakat.
Menurut Gontha, para pemegang saham sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan Bank Andromeda dari daftar likuidasi, tapi upaya itu gagal karena terlambat memberikan setoran dana tambahan sebesar Rp 350 miliar. Mengumpulkan uang sebanyak itu, menurut Gontha lagi, hanya dalam waktu dua kali duapuluh empat jam. ternyata sulit dilakukan para pemegang saham.
Yang bersikap lebih tegas adalah Presiden Komisaris PT Bank Andromeda, Bambang Trihatmodjo. Di tengah kesibukannya sebagai anggota MPR, ia memberikan keterangan kepada wartawan bahwa sebenarnya Andromeda bisa diselamatkan, lalu "Mengapa mereka memilih melikuidasinya?" (lihat "Kalau Mungkin. Kami Akan PTUN-kan").
Dalam beberapa bulan terakhir, Bank Indonesia kabarnya sudah tnengirim 70 surat kepada sejumlah bank tidak sehat agar segera memperbaiki kinerjanya. Di antara bank-bank yang tidak sehat itu ada beberapa bank yang dibantu Bank Indonesia dengan bantuan teknis dan dana. Ada beberapa bank lainnya yang diupayakan merger dengan bank lain.
Rupanya, setelah dikajiulang, ada sejumlah bankyang diselamatkan dengan cara meminta sejumlah investor atau bank lain mengambil alih. "Dari pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia, terdapat beberapa bank yang keadaan keuangan dan perkembangan usahanya tidak sehat dan tidak solvable sehingga dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan mengganggu sistem perbankan serta merugikan kepentingan masyarakat," kata Mar'ie Muhammad, ketika mengumumkan keputusan itu.
Berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, kata Menkeu, Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan dan terus-menerus melakukan upaya untuk menyelamatkan bank-bank yang menghadapi masalah tersebut, antara lain dengan mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank, meminta pemegang saham untuk menambah modal, memperbaiki kualitas aktiva produktif, dan mencari investor baru serta mendorong penggabungan usaha atau akuisisi dengan bank lain yang sehat.
Dengan upaya-upaya tersebut, sejumlah bank bermasalah telah berhasil diselamatkan, dan pada saat ini telah melakukan kegiatan usahanya dengan baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa bank lainnya yang masih mengalami kesulitan struktural terus-menerus sehingga upaya penyelamatan yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Mengingat kondisi tersebut di atas dan dalam rangka menyehatkan sistem perbankan nasional, sebagaimana telah diputuskan dalam sidang terbatas bidang ekonomi keuangan, pengawasan pembangunan, dan produksi dan distribusi pada 3 September 1997 yang lalu, maka pemerintah menempuh langkah untuk melikuidasi bank-bank yang tidak dapat lagi diupayakan penyelamatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan kecil.
Bagi para nasabah ke 16 bank itu tentu saja tidak perlu panik. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad sudah memberikan jaminannya bahwa kepada nasabah penyimpan dana, baik penabung, giran, dan deposan, akan dibayarkan sejumlah simpanannya sampai dengan jumlah Rp 20 juta, yang merupakan dana talangan pemerintah, besarnya Rp 2,3 triliun. Diperkirakan jumlah seluruh nasabah 115.000 orang. Mereka bisa mengambil uangnya mulai 13 November ini. "Dengan pembayaran deposan kecil, maka sekitar 93,7 persen dari seluruh nasabah penyimpan dana pada bank-bank yang dilikuidasi tersebut dilunasi. Pembayaran deposan kecil akan dilakukan secepatnya," Menkeu menegaskan.
Nama-nama bank pembayar dan cara serta waktu pembayarannya akan diumumkan oleh Bank Indonesia dalam waktu dekat. Bagi karyawan bank yang bersangkutan akan diterapkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Peimbubaran, dan Likuidasi Bank.
Kepada para kreditur seperti bank-bank kreditur, pemegang surat-surat berharga yang diterbitkan bank yang dilikuidasi dan kreditur-kreditur lainnyan, akan dibayar dari hasil penjualan aset bank jika dana hasil likuidasi masih tersedia.
"Kepada para kreditur tetap menyelesaikan kewajibannya, yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh tim likuidasi. Dalam hal mereka tidak melakukan kewajibannya, akan dilakukan tindakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemegang saham bank juga diminta tetap bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dan wajib bekerja sama dengan tim likuidasi," kata Menkeu.
Dalam kesempatan jumpa pers itu, Menkeu mengingatkan, kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan bank, yaitu para pemegang saham, dewan komisaris, direksi, dan karyawan bank-bank lainnya diminta untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pengelolaan bank dan senantiasa berdasarkan asas-asas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian serta dapat diupayakan pencegahannya sedini mungkin. Perlu ditegaskan, seluruh yang dilikuidasi tetap menjalankan operasinya seperti biasa. Masyarakat diharapkan untuk tetap tenang din segala konsekuensi yang timbul akibat pencabutan izin usaha bank-bank tersebut akan diselesaikan oleh tim gabungan dari instansi terkait, yaitu dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Departemen Tenaga Kerja. Tindakan-tindakan lebih lanjut sebagai akibat pencabutan izin usaha bank itu akin dilakukan oleh tim likuidasi tiap-tiap bank. Demikian penjelasan Menteri Keuangan.
Menurut pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, bank-bank yang dilikuidasi itu umumnya adalah bank yang secara prospektif tidak bisa lagi beroperasi dengan baik. Ada beberapa masalah yang terjadi di bank tersebut, seperti banyaknya kredit macet, manajemennya tidak beres, melanggar ketentuan likuiditas minimum, bahkan mungkin juga rugi karena bermain valas.
Sebenarnya, menurut penelitian CSIS, "Sedikitnya 30 bank sudah sekarat per Juli 1997, dan CSIS sudah meminta pemerintah menutup 100 bank demi kepentingan ekonomi yang lebih luas," kata Pande. "Tapi, pengumuman penutupan 16 bank ini sudah merupakan langkah tepat."
Menyambut Baik
Pengamat perbankan dan anggota DPR menyambut baik keputusan pemerintah yang mencabut izin usaha 16 bank itu, meski sebenarnya agak terlambat. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang juga pengamat moneter Hamzah Haz menyatakan, likuidasi 16 bank tersebut memang harus dilakukan. Bank adalah lembaga kepercayaan, karena itu memang sewajamya harus ada seleksi, katanya. "Pada waktu dikeluarkan deregulasi bank (Paket Oktober) jumlah bank yang lahir memang terlalu banyak. Karena persaingan sudah terlalu tajam, membawa dampak ekonomis yang tidak menguntungkan," kata anggota DPR yang membidangi masalah keuangan dan Bank Indonesia itu. Hal senada juga diungkapkan pengamat perbankan Rijanto dan Frans Seda.
Bisa dibayangkan, betapa paniknya nasabah ke-16 bank itu atas nasib uang mereka. Untuk mencegah hal yang demikian, Bank Indonesia Sabtu akhir pekan lalu mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan bahwa Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Dagang Negara (BDN) akan ditugaskan sebagai bank pembayar atas uang nasabah dari bank yang ditutup tadi. Disebutkan, penyimpan perorangan dengan uang maksimum Rp 20 juta, harus datang sendiri (tidak dapat diwakilkan) untuk menarik uangnya di kantor cabang setempat.
BRI akan bertanggung jawab atas nasabah Bank Harapan Sentosa (BHS), Bank Kosagraha Semesta, Bank Industri dan Bank Anrico. BNI bertanggung jawab atas nasabah Bank Dwipa Semesta, Bank Citrahasta Dhanamanunggal, Bank Mataram Dhanarta, dan Bank Pinaesaan.
BDN bertanggung jawab atas nasabah Sejahtera Bank Umum, Bank Astria Raya, Bank Guna Internasional. Bank Jakarta, South East Asia Bank dan Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Demi kelancaran pembayaran, penyimpan perorangan harus membawa dokumen asli dan fotokopi bukti diri (KTP, SIM, dan paspor), buku cek/bilyet giro bagi giran, buku tabungan bagi penabung atau bukti lainnya, atau bilyet dan atau sertifikat deposito bagi deposan.
Akan halnya penyimpan yang berbentuk badan hukum, selain menunjukkan tanda bukti pemilikan rekening atau bilyet deposito, juga harus membawa akta pendirian/anggaran dasar, surat kuasa dari pengurus perseroan, dan pengambil uang harus membawa bukti diri dari pemberi dan penerima kuasa.
Menurut Bank Indonesia, para penyimpan tadi nantinya akan mengisi formulir pada bank yang dilikuidasi, dan selanjutnya menerima cek. Dengan cek itu, nasabah bersangkutan bisa menguangkannya di bank-bank pembayar yang ditunjuk bagi bank yang dilikuidasi. "Harap diingat, jangan lupa membawa bukti diri dari deposan bersangkutan saat menguangkannya," demikian laporan Bank Indonesia.
Satu hari sebelum diumumkan pencabutan izin beroperasinya ke-16 bank itu, terjadi rush nasabah dari beberapa bank yang diisukan akan ditutup antre menarik uangnya. Segera setelah pengumuman likuidasi tersebar, pada Sabtu pekan lalu, banyak nasabah di berbagai kota yang menyerbu bank-bank yang termasuk daftar. Di Bandung misalnya, mereka menyerbu kantor Bank Pacific dan Bank Industri di Jalan Juanda, Bank Harapan Sentosa di Jalan Sudirman.
Di Palembang, sekitar 50 nasabah, Sabtu sore pekan lalu, juga menyerbu Bank Pacific yang telah tutup. Situasi berhasil dikendalikan setelah aparat kepolisian turun tangan. Sekitar pukul 21.00 mereka kembali datang. Namun, aparat memberikan penerangan kepada mereka, sehingga mereka kembali pulang. Di Padang, sepanjang siang dan sore kemarin, karyawan Bank Anrico yang telah mengetahui akan dilikuidasi tampak mengemasi barang-barang mereka. Wajah mereka tampak lesu. Sebagian dari mereka menjawab, belum tahu apa yang mesti mereka lakukan selanjutnya.
Koresponden D&R di Medan melaporkan, Bank Pacific cabang Medan ternyata sudah memberhentikan beberapa karyawan, beberapa hari sebelum pekan lalu. "Saya mendapat pesangon 10 juta," kata Kinong mantan karyawan Bank Pacific.
Di Surabaya, Jalan Panglima Sudirman Senin pagi pekan ini, macet. Di situlah kantor Bank Pinaesean berada, dan pagi ini sejumlah nasabah berdatangan. Tentu saja sia-sia, pintu bank ditutup, polisi berjaga-jaga, meski karyawan bank tetap masuk.
Seorang wanita tampak histeris, duduk bersimpuh di depan pintu masuk. Ia membisu, tak bersedia diajak omong. Di beberapa bank yang lain, Bank Industri, Bank Harapan Sentosa, sama: kebanjiran nasabah. Karyawan bank-bank itu juga tetap masuk "Hari ini kami diminta tetap masuk, untuk mendapat penjelasan nasib kami," kata seorang karyawan BHS cabang Pasdar Besar Wetan, Surabaya kepada D&R.
Yang aneh, BHS cabang Surabaya, menurut SCTV, Minggu, 2 November buka, di beberapa nasabah tampak menarik uangnya. Padahal, menurut keputusan Menteri Keuangan, terhitung sejak pukul 1 siang, Sabtu 1 November, 16 bank diharuskan menutup transaksi dalam bentuk apa pun.
Di Jakarta, Senin, 3 November 1997, banyak nasabah yang mendatangi bank-bank yang ditutup itu. Itu sebabnya, Polda Metro hari itu menambah personelnya untuk ditempatkan di bank-bank yang dicabut izinnya untuk menjaga keamanan. "Pemerintah meminta (masyarakat) tidak panik, karena pemerintah telah mengatur pengembalian uang dari bank yang dicabut izinnya kepada nasabah," kata Kadispen Polda Metro Jaya Letkol (Pol) Edward Aritonang, Sabtu, akhir pekan lalu.
Mereka yang Disingkirkan
Dari 16 bank yang dilikuidasi di antaranya lahir sebelum Paket Oktober (Pakto) 1988. Yaitu, Bank Harapan Sentosa (peringkat ke 11 bank swasta nasional berdasarkan aset tahun 1996), Bank Pacific (19) Sejahtera Bank Umum (21), Bank Industri (56), South East Asia Bank (63), Pinaesaan (69), Bank Jakarta (85), Bank Umum Majapahit Jaya (114) dan Anrico Bank (140).
Sisanya adalah bank yang lahir setelah Pakto. Yaitu, Bank Andromeda (40), Astria Raya Bank (53), Bank Mataram Dhanarta (84), Bank Guna (90), Bank Dwipa Semesta (125), Bank Citrahasta Dharmamanunggal (131), dan Bank Kosagrha Semesta (145). Lima di antara bank yang ditutup itu sudah berstatus bank devisa: Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna, Sejahtera Bank Umum, dan Bank Pacific.
Kecuali lima bank-Bank Pacific, yang yang terjebak kredit macet di bidang properti, BUMJ yang sudah dilarang ikut kliring sejak November 1990, Bank Dwipa Semesta yang oleh pemiliknya Bambang Samijono ditinggal kabur sejak pertengahan tahun 1997, di samping South East Asia Bank dan Bank Industri yang tak kunjung sembuh dari sakit parahnya sejak awal tahun 1990-ke-11 bank
lainnya yang dicabut izinnya termasuk yang di luar dugaan. Berikut profil sejumlah bank yang dilikuidasi.
BANK PINAESAAN
Masa lalu memang tak selamanya cerah seperti sekarang. Tampaknya, itulah yang dialami Bank Pinaesaan. Dalam kancah perbankan, bank ini memang bukanlah pemain baru sebab sudah didirikan sejak 15 September 1969. Waktu itu, inisiatif pendirian diprakarsai oleh 17 orang dari berbagai kalangan seperti petani cengkih, pemilik toko, pengurus koperasi, pengusaha swasta dan pegawai pemda. Berkantor pusat di Manado dengan Jakarta dan Surabaya sebagai kantor cabang, Bank Pinaesaan mendanai usaha petani cengkih, nelayan, toko elektronik, peternakan ayam, toko cindera mata, industri rumah tangga, dan profesional. Sementara itu, di ibu kota, lahannya adalah kredit pembelian mobil taksi.
Sewaktu dipimpin oleh Ibih T.G. Hasan, bank ini sempat menjadi buah bibir karena kepedulian terhadap lingkungan. Para nasabah bank, pada tahun 1993, mendapat paket bibit pohon mangga atau rambutan dari pemasok pohon buah. Rencananya, setiap minggu akan dikirim 10.000 pohon. Dengan sistem poin tabungan, setiap nasabah akan memperoleh bibit jika sudah memiliki tiga poin. Tiap poin senilai dengan tabungan sebesar Rp 10.000.
Juga, tak kalah menarik, semua produk diberi tambahan kata hijau di belakangnya seperti Tabungan Hijau, Deposito Hijau. Sertifikat Deposito Hijau dan Giro Hijau. Nasabah pun dimasukkan dalam keanggotaan Green Friend dengan fasilitas brosur berkala gratis tentang lingkungan dan diundang dalam seminar-seminar lingkungan.
Rupanya, ide baru tersebut memang cukup mampu mendongkrak nama sekaligus memperbesar aliran dana masyarakat yang masuk. Setidaknya, lewat program tersebut ada kenaikan Rp 20 miliar. Bahkan, lebih lagi, predikat banker of the year dari Infobank pernah disematkan kepada Ibi. Pasalnya, ia dinilai inovatif dalam menggagaskan plus merealisasi produk-produk perbankan berwawasan lingkungan.
Sayang, selepas tugas Ibi, bank yang menerbitkan laporan keuangan paling akhir pada Juni 1996 itu kelimpungan. Walau asetnya tercatat sebesar Rp 512 miliar, bank milik Fritz Eman yang bernaung di bawah kelompok Udatin itu memiliki return on assets (ROA) 0,34 persen pada tahun 1994.
BANK INDUSTRI
Manajemen bank milik Hashim S. Djojohadikusumo boleh dibilang sudah menggelepar sejak tahun 1995. Waktu itu, pemerintah telah mempercayakan kepada BRI untuk menanganinya. Maka, tindak lanjutnya, BRI kemudian menempatkan pejabat-pejabat seniornya di situ.
Ketidakberesan memang telah dirasakan sejak tahun 1992. Indikatornya, laba menurun drastis dari Rp 2, 498 miliar menjadi Rp 118 juta dalam jangka waktu satu tahun. Penurunan sekitar 95,27 persen itu boleh dibilang cukup tajam dan mengejutkan. Bayangkan, asetnya ketika itu sebesar Rp 543,9 miliar, sehingga ROA-nya pun otomatis tak sesuai dengan yang diharapkan. Itu pun masih dilengkapi dengan absennya laporan keuangan sejak Maret 1993.
Kondisi tersebut memang amat bertolak belakang saat Bank Industri beserta 37 bank lain "menjegal" Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ) pada tahun 1991. Dalam gugatan terhadap bank bermasalah tersebut, Bank Industri berhasil mengantungi dana sebesar 3,1 miliar rupiah dari piutang BUMJ. Namun, entah apa pun alasannya, bank yang juga dimiliki oleh Titiek Prabowo itu tak jadi mengakuisisi bank milik Effendi Ongko tersebut.
Yang pasti, Grup Tirtamas yang memiliki Bank Niaga, Bank Kredit Asia, Bank Pelita, dan Bank Papan Sejahtera berencana mengambil alih aset-aset nonfinansial milik Bank Industri, seperti 17 kantor cabang, berikut sekitar 600 karyawannya di daerah-daerah. "Tapi, soal utang-piutang tidak diambil alih, karena sudah ditangani tim likuiditas," ujar Jannus Hutapea, Group Head Corporate Communication Tirtamas.
BANK ANRICO
Rupanya di Ranah Minang ada pula bank yang begitu murah hati kepada para calon nasabahnya. Pasalnya, bank ini selalu menawarkan suku bunga yang tinggi. Itulah ciri khas Bank Anrico yang didirikan di Padang 36 tahun lalu. Kiat tersebut memang akhirnya menjadi bumerang bagi pemiliknya, Anwar Syukur. Setelah tak menerbitkan laporan keuangan dalam jangka waktu lama, kabarnya, ia juga selalu menampik tawaran baik Bank Indonesia untuk memasukkan investor baru. Sikap itu memang akhirnya harus dibayar mahal dengan keluarnya Keputusan Menteri Keuangan No. 526/KMK.017/1997 tentang Likuidasi.
BANK PACIFIC
Apa jadinya jika "mesin uang" sebuah grup konglomerasi berantakan? Bisa jadi, perjalanan dana grup tersebut mengalami masa seret. Parahnya, "bank sapi perah" tersebut amat rentan terhadap ancaman likuidasi.
Kondisi itulah yang dialami Bank Pacific. Digawangi oleh keluarga Ibnu Sutowo, bank yang manajemennya dipercayakan kepada putrinya, Endang Utari Mokodompit, terjegal oleh commercial paper sebagai jaminan PT Pacific International Finance sebesar Rp 1 triliun. Kabarnya, Endang amat berambisi untuk mengembangkan bisnis properti di daerah Lido, Sukabumi. Sayang, hasrat tersebut teradang oleh musim lesunya bisnis properti saat itu. Akibatnya, kawasan resor yang gagal meraup keuntungan besar itu tak berhasil pula menutup utangnya kepada Bank Pacific. Persoalan klasik itulah yang akhirnya menutup buku Bank Pacific yang terakhir kali mempublikasikan laporan keuangannya pada Juni 1995. Saat itu, asetnya masih Rp 2,2 triliun lebih.
Sementara itu, tanda-tanda ekspansi yang berlebihan sudah terlihat dari kredit yang disalurkan mencapai Rp 2,1 triliun. Akan halnya dari pihak ketiga berhasil dihimpun sekitar Rp 1,66 triliun. Dengan bisnis rawan properti, Endang Utari mesti menerima kenyataan seperti sekarang ini.
BANK ANDROMEDA
Bank yang namanya diambil dari nama seorang dewi cantik menurut mitologi Yunani itu didirikan pada Mei 1990. Tiga wajah lama yang berperan adalah Bambang Trihatmodjo, Prayogo Pangestu, dan Henry Pribadi. Komposisinya adalah 25 persen, 50 persen, dan 25 persen. Modal dasarnya Rp 10 miliar. Pada tahun pertama, ditargetkan aset sebesar Rp 300 miliar. Ini tak termasuk pembangunan gedung berlantai lima serta pembelian perangkat komputer sebesar Rp 5,2 miliar.
Target untuk tahun kedua menjadi dua kali lipat sebesar Rp 700 miliar. Ambisinya, Andromeda akan masuk dalam 10 besar bank swasta. Sementara itu, 65 persen kekuatan bank akan diarahkan pada corporate banking, tentu dengan menyediakan kredit jangka panjang. Di samping itu, dikeluarkan pula tiga produk sekaligus yaitu Andro Consult, Andro Cash, dan Ando Integral.
Mengenai kesiapan sumber daya manusia, Bank Andromeda telah memberikan pendidikan tambahan, baik di LPPM dan Perbanas hingga 1995 kepada 160 staf. Kenaikan jumlah karyawan sebesar 20,53 persen terjadi setahun kemudian. Karenanya, jumlah karyawan meningkat menjadi 229 orang. Mungkin pekerjaan rumah terbesar bagi para pemilik bank itu adalah ke mana akan disalurkan tenaga-tenaga yang selama ini "membangun" Bank Andromeda.
BANK UMUM MAJAPAHIT JAYA (BUMJ)
Kisah tentang bank milik Effendi Ongko ini memang sempat memenuhi halaman media-media cetak sekitar enam tahun lalu. BUMJ akhirnya rontok setelah dinyatakan kalah kliring oleh Bank Indonesia pada 27 November 1991. Akibatnya, tagihan utang yang mesti dibayar senilai 66,4 miliar rupiah. Menurut catatan, uang sebesar itu adalah hasil warkat deposito yang tak ada dananya pada 37 bank. Jumlah tersebut masih ditambah dengan susulan pengaduan dari lima bank, yaitu Bank Niaga, BCA, Bank Swadesi, Bank Industri, dan Bank Metro Express.
Dugaan penyebab ambruknya salah satu bank papan tengah itu ditujukan kepada Lody Djunaedi, menantu Ongko. Setelah ditangkap di Hong Kong, Lody yang selalu tampil dendi itu dituduh membawa lari uang BUMJ sebesar 170 miliar. Termasuk, 125 miliar rupiah dana kredit fiktif.
Dengan tabungan "dosa" itu, pembayaran kepada nasabah memang merupakan proses yang belum terselesaikan. Sebab, konsentrasi terbesar adalah membayar piutang bank kepada ke-37 bank yang telah dirugikan selama jangka waktu tersebut.
BANK DWIPA
Masuk dalam daftar bank papan bawah berpredikat tidak bagus pada proyeksi peringkat Desember 1995-1996, bank milik Bambang Samiyono memang kerap dijadikan "bank tuyul" bagi kepentingan pribadinya. Ia menguasai 38 persen saham Bank Dwipa. Kasus yang menimpa saat ini pun berkaitan erat dengan rekayasa transaksi pasar uang antarbank (PUAB) dengan menciptakan surat berharga papers (CP) dan surat sanggup atau promes. Diduga, jaminan atas transaksi PUAB tadi nilainya sekitar 150 miliar rupiah.
Makanya, selain telah lama tak menyalurkan kredit sebenarnya, Bank Dwipa telah "menyimpan" beberapa orang direkturnya dalam tahanan polisi. Walau, bunga tabungan yang dipatok untuk merangsang masuknya dana dari masyarakat relatif tinggi, yaitu 22 persen hingga 25 persen.
Bank Dwipa sedikitnya telah kebobolan 300 miliar rupiah. Separo di antaranya berasal dari penerbitan surat piutang fiktif tadi. Dengan perilaku pernilik bank seperti itu, amatlah wajar jika Bank Dwipa harus terdepak oleh likuidasi.
BANK CITRA
Nama Bambang Samiyono kembali berkibar di balik runtuhnya Bank Citra. Reputasi negatif dari pria bernama asli Tjiauw Kim Tian itu terulang saat dibelinya bank yang salah satu kantornya terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta, pada 28 Juli 1993. Saat itu, dimanfaatkanlah nama sepupunya, Lyli Vondawati. Padahal, waktu itu, modalnya cuma sebesar Rp 10 miliar.
Bank yang telah kebobolan ratusan miliar itu-lagi-lagi soal CP "aspal" juga sempat "menitipkan" sejumlah direksinya (termasuk AF sendiri) ke tahanan polisi. Meski, konon, Grup Kresna pimpinan Bambang R. Sugama sedang melakukan pembenahan. Amat disayangkan, citra buruk yang melekat cukup kuat tersebut menjadi penentu robohnya bank yang sedang berusaha mengganti logo lama pembawa sial itu.
BANK HARAPAN SANTOSA
Sorotan pada bank milik Hendra Rahardja muncul kembali pada tahun 1997. Dengan LCDR sebesar 82,43 persen, BHS ternyata terjegal pula oleh kesulitan likuiditas. Meski, dalam kelompok aset 1-10 triliun rupiah, BHS mendapat predikat paling ekspansif dalam mengucurkan kredit pada tahun 1995. Isu kemudian merebak bahwa bank milik adik Eddy Tansil itu akan ditolong BCA. Namun, saat dikonfirmasikan, Benny Samosa, Direktur Grup Salim membantah hal tersebut.
Catatan terhadap kiprah BHS, salah satunya, adalah persoalan gugatan ahli waris Arifin Sasmita, Kepala Cabang BHS Tanjungkarang. Waktu itu, Ketua Perbanas Cabang Lampung tersebut meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Serang, Jawa Barat.
Setelah diadakan perhitungan, santunan yang diterima ahli waris seharusnya berjumlah 138.330.000 rupiah. Tapi, pihak Asuransi Tenaga Kerja (Astek) hanya membayar Rp 3,4 juta. Alasannya, sesuai dengan surat keterangan kematian yang dikeluarkan BHS, almarhum meninggal akibat kecelakaan biasa, bukan dalam tugas. Padahal, surat tugas tersebut dibuat belakangan setelah perjalanan membawa dua buah sertifikat tanah dilakukan dari Tanjungkarang ke Jakarta. Persis saat maut mencabut nyawa Arifin berikut istri dan salah seorang putranya itu.
SOUTH EAST ASIA BANK
Pada Februari 1990, 50 persen saham South East Asia Bank (SEAB) dikuasai oleh Panin Bank. Dalam bentuk dana segar jumlah itu setara dengan 15 miliar rupiah. Suntikan dana yang sempat menimbulka pertanyaan tersebut semata-mata dilakukan agar SEAB bisa berkembang lebih cepat, demikian pernyataan Prijatna Atmadja, Presiden Direktur Panin Bank. Pernyataan tersebut memang akhirnya mampu menampik kecurigaan terjadinya "apa-apa" dengan bank yang berkantor di daerah Jakarta Kota.
Selain itu, pada tahun yang sama, Panin akan mencarikan lagi investor baru. Dengan demikian, kelak SEAB akan dimiliki oleh tiga pihak. Dengan modal Rp 30 miliar. SEAB tetap dikuasai pemilik lama Trisno Haryanto dkk. bersama Panin dengan rasio pembagian saham 50 : 50.
Dengan mengandalkan nasabah dari kalangan menengah ke bawah, saat itu, kredit yang sudah disalurkan SEAB sebesar Rp 140 miliar. Dari sejumlah itu, 28 persen berbentuk kredit usaha kecil (KUK). Sisanya berupa kredit komersial yang berbunga 2,5 persen sebulan. Semoga saja bank-bank lainnya yang masih dinilai layak beroperasi cepat-cepat memperbaiki kinerjanya, agar tidak lagi menjadi korban likuidasi, yang pada gilirannya akan merugikan nasabah, dan terancamnya PHK bagi karyawannya.
BANK GUNA INTERNASIONAL
Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia, masuknya Bank Guna ke dalam daftar bank yang ditutup, cukup mengejutkan. Seperti diketahui, Bank Guna merupakan bank yang naik statusnya dari bank pasar menjadi bank umum pada 6 Juni 1990. Karena, kondisinya dianggap sehat, Februari 1995, BI menaikkan statusnya menjadi bank devisa. Pada Februari 1997 terjadi merger dengan Bank Sake yang dimasukkan ke dalam Bank Guna. Penambahan modal Bank Sake itu tak membuat Bank Guna menjadi semakin kuat. Akhirnya masuk juga ke dalam daftar bank yang dilikuidasi, Sabtu lalu.
Muhammad Jusuf - Laporan Josephus Primus, Silvester Keda, dan Reko Alum (Jakarta), Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya), dan Bambang Soedjiartono (Medan)
D&R, Edisi 971108-012/Hal. 18 Rubrik Liputan Utama
JUMLAH penganggur bertambah. Setidaknya bertambah 5.000 orang, yakni karyawan dari 16 bank yang ditutup pekan lalu. Itu bila tiap bank tersebut beserta cabangnya memiliki antara 300 dan 400 karyawan. Namun, yang istimewa dari peristiwa yang terjadi pada akhir pekan itu, bukan saja bertambahnya ribuan penganggur yang "tercatat" untuk pertama kalinya, tapi juga itulah untuk pertama kalinya pemerintah "berani" menutup belasan bank bermasalah sekaligus.
Mungkin trauma dengan kasus Bank Summa yang ditutup dan penyelesaiannya bertele-tele, ribut berkepanjangan, jarang bank bermasalah ditindak. Bahkan, Bank Pacific, milik keluarga Ibnu Soetowo, yang sudah ketahuan sejak beberapa bulan lalu "berantakan", tetap dibiarkan dan baru masuk ke dalam paket 16 bank yang dilikuidasi pekan lalu.
Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya bagaikan tokoh kartun Popeye si pelaut, yang dikasih makan bayam. Ototnya mampu menjatuhkan tokoh berewok bertubuh tinggi besar.
Lihat saja para pemilik bank yang dikuidasi itu, seperti Pieter Gontha, Henry Prbadi, Bambang Trihatmodjo, Hashim Djojohadikusumo, Prayogo Pangestu, Probosutedjo. Mereka adalah beberapa di antara pengusaha sukses yang tercatat memiliki banyak perusahaan. Namanya malang-melintang di halaman-halaman koran dan majalah pada setiap berita bisnis.
Dan, tidak tanggung-tanggung, pemerintah pun mengumumkan agar para pemilik pemegang saham, dan pengurus ke-16 bank itu untuk tidak meninggalkan Indonsia. "Istilahnya bukan cekal, karena belum ada permintaan resmi dari Menteri Keuangan atau Kejaksaan Agung. Tapi, kami sudah menginstruksikan kepada 83 tempat pemeriksaan imigrasi di seluruh Indonesia agar menunda keberangkatan para pemilik bank itu," ujar Kepala Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Mursanuddin A. Ghani, kepada Antara. Berapa jumlahnya? Menurut pihak Ditjen Imigrasi kepada D&R, 60 orang.
"Kami tidak mau ambil risiko atau disalahkan nantinya jika ada di antara mereka yang lolos ke luar negeri. Untuk itu, sambil menunggu munculnya permintaan pencekalan secara resmi, dan untuk berjaga-jaga, maka petugas imigrasi akan menunda keberangkatan orang-orang yang terkait dengan kepemilikan 16 bank tersebut," ujar Ghani kepada Antara.
Ghani mengaku belum punya nama-nama yang resmi harus dicekal. Karena itu, katanya, pihak imigrasi dengan bermacam cara dan dari sejumlah sumber mengumpulkan nama-nama pemilik ke 16 bank itu. "Termasuk nama-nama pemilik ke-16 bank yang ditulis di koran. Semuanya kami masukkan ke komputer imigrasi. Kalau mereka ke bandara dan bermaksud pergi ke luar negeri, kami akan bilang, tunggu dulu. Kami akan mengecek ke Menteri Keuangan atau Kejaksaan Agung, Anda dicekal atau tidak," ujarnya. Cuma, menurut sumber D&R di Ditjen Imigrasi, pihaknya sudah langsung menerima daftar nama dari Bank Indonesia (BI). "Bagaimana kami berani mengira-ngira?" katanya.
Akan tetapi, kenapa bank yang dimiliki konglomerat beken, seperti Bank Andromeda, termasuk yang dilikuidasi pemerintah'? "Kami datang ke kantor BI, Sabtu, 1 November, pukul 10 pagi, untuk menyetor sejumlah uang yang disyaratkan BI, namun ditolak BI," ujar Pieter Gontha, dalam sebuah jumpa pers, Minggu malam, 2 November, di Stasiun RCTI, Jakarta.
Alasan penolakan tersebut, menurut Pieter Gontha, karena direksi serta dewan komisaris terlambat dalam membawakan alternatif penyehatan Bank Andromeda. "Karenanya sangat sulit bagi pemerintah untuk mengubah keputusan yang telah dibuat Menkeu," kata Gontha, seperti dikutip Kompas.
Dewan Komisaris PT Bank Andromeda memang mengakui telah melakukan pelanggaran ketentuan Bank Indonesia tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK - legal lending limit), dan giro wajib minimum. Untuk itu, para pemegang saham Bank Andromeda, terdiri dari Prayogo Pangestu (50 persen), selaku komisaris utama, serta Bambang Trihatmodjo, dan Henry Pribadi, masing-masing pemilik saham 25 persen, menerima keputusan pemerintah dan bersedia memenuhi seluruh kewajiban kepada masyarakat.
Menurut Gontha, para pemegang saham sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan Bank Andromeda dari daftar likuidasi, tapi upaya itu gagal karena terlambat memberikan setoran dana tambahan sebesar Rp 350 miliar. Mengumpulkan uang sebanyak itu, menurut Gontha lagi, hanya dalam waktu dua kali duapuluh empat jam. ternyata sulit dilakukan para pemegang saham.
Yang bersikap lebih tegas adalah Presiden Komisaris PT Bank Andromeda, Bambang Trihatmodjo. Di tengah kesibukannya sebagai anggota MPR, ia memberikan keterangan kepada wartawan bahwa sebenarnya Andromeda bisa diselamatkan, lalu "Mengapa mereka memilih melikuidasinya?" (lihat "Kalau Mungkin. Kami Akan PTUN-kan").
Dalam beberapa bulan terakhir, Bank Indonesia kabarnya sudah tnengirim 70 surat kepada sejumlah bank tidak sehat agar segera memperbaiki kinerjanya. Di antara bank-bank yang tidak sehat itu ada beberapa bank yang dibantu Bank Indonesia dengan bantuan teknis dan dana. Ada beberapa bank lainnya yang diupayakan merger dengan bank lain.
Rupanya, setelah dikajiulang, ada sejumlah bankyang diselamatkan dengan cara meminta sejumlah investor atau bank lain mengambil alih. "Dari pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia, terdapat beberapa bank yang keadaan keuangan dan perkembangan usahanya tidak sehat dan tidak solvable sehingga dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan mengganggu sistem perbankan serta merugikan kepentingan masyarakat," kata Mar'ie Muhammad, ketika mengumumkan keputusan itu.
Berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, kata Menkeu, Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan dan terus-menerus melakukan upaya untuk menyelamatkan bank-bank yang menghadapi masalah tersebut, antara lain dengan mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank, meminta pemegang saham untuk menambah modal, memperbaiki kualitas aktiva produktif, dan mencari investor baru serta mendorong penggabungan usaha atau akuisisi dengan bank lain yang sehat.
Dengan upaya-upaya tersebut, sejumlah bank bermasalah telah berhasil diselamatkan, dan pada saat ini telah melakukan kegiatan usahanya dengan baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa bank lainnya yang masih mengalami kesulitan struktural terus-menerus sehingga upaya penyelamatan yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Mengingat kondisi tersebut di atas dan dalam rangka menyehatkan sistem perbankan nasional, sebagaimana telah diputuskan dalam sidang terbatas bidang ekonomi keuangan, pengawasan pembangunan, dan produksi dan distribusi pada 3 September 1997 yang lalu, maka pemerintah menempuh langkah untuk melikuidasi bank-bank yang tidak dapat lagi diupayakan penyelamatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan kecil.
Bagi para nasabah ke 16 bank itu tentu saja tidak perlu panik. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad sudah memberikan jaminannya bahwa kepada nasabah penyimpan dana, baik penabung, giran, dan deposan, akan dibayarkan sejumlah simpanannya sampai dengan jumlah Rp 20 juta, yang merupakan dana talangan pemerintah, besarnya Rp 2,3 triliun. Diperkirakan jumlah seluruh nasabah 115.000 orang. Mereka bisa mengambil uangnya mulai 13 November ini. "Dengan pembayaran deposan kecil, maka sekitar 93,7 persen dari seluruh nasabah penyimpan dana pada bank-bank yang dilikuidasi tersebut dilunasi. Pembayaran deposan kecil akan dilakukan secepatnya," Menkeu menegaskan.
Nama-nama bank pembayar dan cara serta waktu pembayarannya akan diumumkan oleh Bank Indonesia dalam waktu dekat. Bagi karyawan bank yang bersangkutan akan diterapkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Peimbubaran, dan Likuidasi Bank.
Kepada para kreditur seperti bank-bank kreditur, pemegang surat-surat berharga yang diterbitkan bank yang dilikuidasi dan kreditur-kreditur lainnyan, akan dibayar dari hasil penjualan aset bank jika dana hasil likuidasi masih tersedia.
"Kepada para kreditur tetap menyelesaikan kewajibannya, yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh tim likuidasi. Dalam hal mereka tidak melakukan kewajibannya, akan dilakukan tindakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemegang saham bank juga diminta tetap bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dan wajib bekerja sama dengan tim likuidasi," kata Menkeu.
Dalam kesempatan jumpa pers itu, Menkeu mengingatkan, kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan bank, yaitu para pemegang saham, dewan komisaris, direksi, dan karyawan bank-bank lainnya diminta untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pengelolaan bank dan senantiasa berdasarkan asas-asas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian serta dapat diupayakan pencegahannya sedini mungkin. Perlu ditegaskan, seluruh yang dilikuidasi tetap menjalankan operasinya seperti biasa. Masyarakat diharapkan untuk tetap tenang din segala konsekuensi yang timbul akibat pencabutan izin usaha bank-bank tersebut akan diselesaikan oleh tim gabungan dari instansi terkait, yaitu dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Departemen Tenaga Kerja. Tindakan-tindakan lebih lanjut sebagai akibat pencabutan izin usaha bank itu akin dilakukan oleh tim likuidasi tiap-tiap bank. Demikian penjelasan Menteri Keuangan.
Menurut pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, bank-bank yang dilikuidasi itu umumnya adalah bank yang secara prospektif tidak bisa lagi beroperasi dengan baik. Ada beberapa masalah yang terjadi di bank tersebut, seperti banyaknya kredit macet, manajemennya tidak beres, melanggar ketentuan likuiditas minimum, bahkan mungkin juga rugi karena bermain valas.
Sebenarnya, menurut penelitian CSIS, "Sedikitnya 30 bank sudah sekarat per Juli 1997, dan CSIS sudah meminta pemerintah menutup 100 bank demi kepentingan ekonomi yang lebih luas," kata Pande. "Tapi, pengumuman penutupan 16 bank ini sudah merupakan langkah tepat."
Menyambut Baik
Pengamat perbankan dan anggota DPR menyambut baik keputusan pemerintah yang mencabut izin usaha 16 bank itu, meski sebenarnya agak terlambat. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang juga pengamat moneter Hamzah Haz menyatakan, likuidasi 16 bank tersebut memang harus dilakukan. Bank adalah lembaga kepercayaan, karena itu memang sewajamya harus ada seleksi, katanya. "Pada waktu dikeluarkan deregulasi bank (Paket Oktober) jumlah bank yang lahir memang terlalu banyak. Karena persaingan sudah terlalu tajam, membawa dampak ekonomis yang tidak menguntungkan," kata anggota DPR yang membidangi masalah keuangan dan Bank Indonesia itu. Hal senada juga diungkapkan pengamat perbankan Rijanto dan Frans Seda.
Bisa dibayangkan, betapa paniknya nasabah ke-16 bank itu atas nasib uang mereka. Untuk mencegah hal yang demikian, Bank Indonesia Sabtu akhir pekan lalu mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan bahwa Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Dagang Negara (BDN) akan ditugaskan sebagai bank pembayar atas uang nasabah dari bank yang ditutup tadi. Disebutkan, penyimpan perorangan dengan uang maksimum Rp 20 juta, harus datang sendiri (tidak dapat diwakilkan) untuk menarik uangnya di kantor cabang setempat.
BRI akan bertanggung jawab atas nasabah Bank Harapan Sentosa (BHS), Bank Kosagraha Semesta, Bank Industri dan Bank Anrico. BNI bertanggung jawab atas nasabah Bank Dwipa Semesta, Bank Citrahasta Dhanamanunggal, Bank Mataram Dhanarta, dan Bank Pinaesaan.
BDN bertanggung jawab atas nasabah Sejahtera Bank Umum, Bank Astria Raya, Bank Guna Internasional. Bank Jakarta, South East Asia Bank dan Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Demi kelancaran pembayaran, penyimpan perorangan harus membawa dokumen asli dan fotokopi bukti diri (KTP, SIM, dan paspor), buku cek/bilyet giro bagi giran, buku tabungan bagi penabung atau bukti lainnya, atau bilyet dan atau sertifikat deposito bagi deposan.
Akan halnya penyimpan yang berbentuk badan hukum, selain menunjukkan tanda bukti pemilikan rekening atau bilyet deposito, juga harus membawa akta pendirian/anggaran dasar, surat kuasa dari pengurus perseroan, dan pengambil uang harus membawa bukti diri dari pemberi dan penerima kuasa.
Menurut Bank Indonesia, para penyimpan tadi nantinya akan mengisi formulir pada bank yang dilikuidasi, dan selanjutnya menerima cek. Dengan cek itu, nasabah bersangkutan bisa menguangkannya di bank-bank pembayar yang ditunjuk bagi bank yang dilikuidasi. "Harap diingat, jangan lupa membawa bukti diri dari deposan bersangkutan saat menguangkannya," demikian laporan Bank Indonesia.
Satu hari sebelum diumumkan pencabutan izin beroperasinya ke-16 bank itu, terjadi rush nasabah dari beberapa bank yang diisukan akan ditutup antre menarik uangnya. Segera setelah pengumuman likuidasi tersebar, pada Sabtu pekan lalu, banyak nasabah di berbagai kota yang menyerbu bank-bank yang termasuk daftar. Di Bandung misalnya, mereka menyerbu kantor Bank Pacific dan Bank Industri di Jalan Juanda, Bank Harapan Sentosa di Jalan Sudirman.
Di Palembang, sekitar 50 nasabah, Sabtu sore pekan lalu, juga menyerbu Bank Pacific yang telah tutup. Situasi berhasil dikendalikan setelah aparat kepolisian turun tangan. Sekitar pukul 21.00 mereka kembali datang. Namun, aparat memberikan penerangan kepada mereka, sehingga mereka kembali pulang. Di Padang, sepanjang siang dan sore kemarin, karyawan Bank Anrico yang telah mengetahui akan dilikuidasi tampak mengemasi barang-barang mereka. Wajah mereka tampak lesu. Sebagian dari mereka menjawab, belum tahu apa yang mesti mereka lakukan selanjutnya.
Koresponden D&R di Medan melaporkan, Bank Pacific cabang Medan ternyata sudah memberhentikan beberapa karyawan, beberapa hari sebelum pekan lalu. "Saya mendapat pesangon 10 juta," kata Kinong mantan karyawan Bank Pacific.
Di Surabaya, Jalan Panglima Sudirman Senin pagi pekan ini, macet. Di situlah kantor Bank Pinaesean berada, dan pagi ini sejumlah nasabah berdatangan. Tentu saja sia-sia, pintu bank ditutup, polisi berjaga-jaga, meski karyawan bank tetap masuk.
Seorang wanita tampak histeris, duduk bersimpuh di depan pintu masuk. Ia membisu, tak bersedia diajak omong. Di beberapa bank yang lain, Bank Industri, Bank Harapan Sentosa, sama: kebanjiran nasabah. Karyawan bank-bank itu juga tetap masuk "Hari ini kami diminta tetap masuk, untuk mendapat penjelasan nasib kami," kata seorang karyawan BHS cabang Pasdar Besar Wetan, Surabaya kepada D&R.
Yang aneh, BHS cabang Surabaya, menurut SCTV, Minggu, 2 November buka, di beberapa nasabah tampak menarik uangnya. Padahal, menurut keputusan Menteri Keuangan, terhitung sejak pukul 1 siang, Sabtu 1 November, 16 bank diharuskan menutup transaksi dalam bentuk apa pun.
Di Jakarta, Senin, 3 November 1997, banyak nasabah yang mendatangi bank-bank yang ditutup itu. Itu sebabnya, Polda Metro hari itu menambah personelnya untuk ditempatkan di bank-bank yang dicabut izinnya untuk menjaga keamanan. "Pemerintah meminta (masyarakat) tidak panik, karena pemerintah telah mengatur pengembalian uang dari bank yang dicabut izinnya kepada nasabah," kata Kadispen Polda Metro Jaya Letkol (Pol) Edward Aritonang, Sabtu, akhir pekan lalu.
Mereka yang Disingkirkan
Dari 16 bank yang dilikuidasi di antaranya lahir sebelum Paket Oktober (Pakto) 1988. Yaitu, Bank Harapan Sentosa (peringkat ke 11 bank swasta nasional berdasarkan aset tahun 1996), Bank Pacific (19) Sejahtera Bank Umum (21), Bank Industri (56), South East Asia Bank (63), Pinaesaan (69), Bank Jakarta (85), Bank Umum Majapahit Jaya (114) dan Anrico Bank (140).
Sisanya adalah bank yang lahir setelah Pakto. Yaitu, Bank Andromeda (40), Astria Raya Bank (53), Bank Mataram Dhanarta (84), Bank Guna (90), Bank Dwipa Semesta (125), Bank Citrahasta Dharmamanunggal (131), dan Bank Kosagrha Semesta (145). Lima di antara bank yang ditutup itu sudah berstatus bank devisa: Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna, Sejahtera Bank Umum, dan Bank Pacific.
Kecuali lima bank-Bank Pacific, yang yang terjebak kredit macet di bidang properti, BUMJ yang sudah dilarang ikut kliring sejak November 1990, Bank Dwipa Semesta yang oleh pemiliknya Bambang Samijono ditinggal kabur sejak pertengahan tahun 1997, di samping South East Asia Bank dan Bank Industri yang tak kunjung sembuh dari sakit parahnya sejak awal tahun 1990-ke-11 bank
lainnya yang dicabut izinnya termasuk yang di luar dugaan. Berikut profil sejumlah bank yang dilikuidasi.
BANK PINAESAAN
Masa lalu memang tak selamanya cerah seperti sekarang. Tampaknya, itulah yang dialami Bank Pinaesaan. Dalam kancah perbankan, bank ini memang bukanlah pemain baru sebab sudah didirikan sejak 15 September 1969. Waktu itu, inisiatif pendirian diprakarsai oleh 17 orang dari berbagai kalangan seperti petani cengkih, pemilik toko, pengurus koperasi, pengusaha swasta dan pegawai pemda. Berkantor pusat di Manado dengan Jakarta dan Surabaya sebagai kantor cabang, Bank Pinaesaan mendanai usaha petani cengkih, nelayan, toko elektronik, peternakan ayam, toko cindera mata, industri rumah tangga, dan profesional. Sementara itu, di ibu kota, lahannya adalah kredit pembelian mobil taksi.
Sewaktu dipimpin oleh Ibih T.G. Hasan, bank ini sempat menjadi buah bibir karena kepedulian terhadap lingkungan. Para nasabah bank, pada tahun 1993, mendapat paket bibit pohon mangga atau rambutan dari pemasok pohon buah. Rencananya, setiap minggu akan dikirim 10.000 pohon. Dengan sistem poin tabungan, setiap nasabah akan memperoleh bibit jika sudah memiliki tiga poin. Tiap poin senilai dengan tabungan sebesar Rp 10.000.
Juga, tak kalah menarik, semua produk diberi tambahan kata hijau di belakangnya seperti Tabungan Hijau, Deposito Hijau. Sertifikat Deposito Hijau dan Giro Hijau. Nasabah pun dimasukkan dalam keanggotaan Green Friend dengan fasilitas brosur berkala gratis tentang lingkungan dan diundang dalam seminar-seminar lingkungan.
Rupanya, ide baru tersebut memang cukup mampu mendongkrak nama sekaligus memperbesar aliran dana masyarakat yang masuk. Setidaknya, lewat program tersebut ada kenaikan Rp 20 miliar. Bahkan, lebih lagi, predikat banker of the year dari Infobank pernah disematkan kepada Ibi. Pasalnya, ia dinilai inovatif dalam menggagaskan plus merealisasi produk-produk perbankan berwawasan lingkungan.
Sayang, selepas tugas Ibi, bank yang menerbitkan laporan keuangan paling akhir pada Juni 1996 itu kelimpungan. Walau asetnya tercatat sebesar Rp 512 miliar, bank milik Fritz Eman yang bernaung di bawah kelompok Udatin itu memiliki return on assets (ROA) 0,34 persen pada tahun 1994.
BANK INDUSTRI
Manajemen bank milik Hashim S. Djojohadikusumo boleh dibilang sudah menggelepar sejak tahun 1995. Waktu itu, pemerintah telah mempercayakan kepada BRI untuk menanganinya. Maka, tindak lanjutnya, BRI kemudian menempatkan pejabat-pejabat seniornya di situ.
Ketidakberesan memang telah dirasakan sejak tahun 1992. Indikatornya, laba menurun drastis dari Rp 2, 498 miliar menjadi Rp 118 juta dalam jangka waktu satu tahun. Penurunan sekitar 95,27 persen itu boleh dibilang cukup tajam dan mengejutkan. Bayangkan, asetnya ketika itu sebesar Rp 543,9 miliar, sehingga ROA-nya pun otomatis tak sesuai dengan yang diharapkan. Itu pun masih dilengkapi dengan absennya laporan keuangan sejak Maret 1993.
Kondisi tersebut memang amat bertolak belakang saat Bank Industri beserta 37 bank lain "menjegal" Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ) pada tahun 1991. Dalam gugatan terhadap bank bermasalah tersebut, Bank Industri berhasil mengantungi dana sebesar 3,1 miliar rupiah dari piutang BUMJ. Namun, entah apa pun alasannya, bank yang juga dimiliki oleh Titiek Prabowo itu tak jadi mengakuisisi bank milik Effendi Ongko tersebut.
Yang pasti, Grup Tirtamas yang memiliki Bank Niaga, Bank Kredit Asia, Bank Pelita, dan Bank Papan Sejahtera berencana mengambil alih aset-aset nonfinansial milik Bank Industri, seperti 17 kantor cabang, berikut sekitar 600 karyawannya di daerah-daerah. "Tapi, soal utang-piutang tidak diambil alih, karena sudah ditangani tim likuiditas," ujar Jannus Hutapea, Group Head Corporate Communication Tirtamas.
BANK ANRICO
Rupanya di Ranah Minang ada pula bank yang begitu murah hati kepada para calon nasabahnya. Pasalnya, bank ini selalu menawarkan suku bunga yang tinggi. Itulah ciri khas Bank Anrico yang didirikan di Padang 36 tahun lalu. Kiat tersebut memang akhirnya menjadi bumerang bagi pemiliknya, Anwar Syukur. Setelah tak menerbitkan laporan keuangan dalam jangka waktu lama, kabarnya, ia juga selalu menampik tawaran baik Bank Indonesia untuk memasukkan investor baru. Sikap itu memang akhirnya harus dibayar mahal dengan keluarnya Keputusan Menteri Keuangan No. 526/KMK.017/1997 tentang Likuidasi.
BANK PACIFIC
Apa jadinya jika "mesin uang" sebuah grup konglomerasi berantakan? Bisa jadi, perjalanan dana grup tersebut mengalami masa seret. Parahnya, "bank sapi perah" tersebut amat rentan terhadap ancaman likuidasi.
Kondisi itulah yang dialami Bank Pacific. Digawangi oleh keluarga Ibnu Sutowo, bank yang manajemennya dipercayakan kepada putrinya, Endang Utari Mokodompit, terjegal oleh commercial paper sebagai jaminan PT Pacific International Finance sebesar Rp 1 triliun. Kabarnya, Endang amat berambisi untuk mengembangkan bisnis properti di daerah Lido, Sukabumi. Sayang, hasrat tersebut teradang oleh musim lesunya bisnis properti saat itu. Akibatnya, kawasan resor yang gagal meraup keuntungan besar itu tak berhasil pula menutup utangnya kepada Bank Pacific. Persoalan klasik itulah yang akhirnya menutup buku Bank Pacific yang terakhir kali mempublikasikan laporan keuangannya pada Juni 1995. Saat itu, asetnya masih Rp 2,2 triliun lebih.
Sementara itu, tanda-tanda ekspansi yang berlebihan sudah terlihat dari kredit yang disalurkan mencapai Rp 2,1 triliun. Akan halnya dari pihak ketiga berhasil dihimpun sekitar Rp 1,66 triliun. Dengan bisnis rawan properti, Endang Utari mesti menerima kenyataan seperti sekarang ini.
BANK ANDROMEDA
Bank yang namanya diambil dari nama seorang dewi cantik menurut mitologi Yunani itu didirikan pada Mei 1990. Tiga wajah lama yang berperan adalah Bambang Trihatmodjo, Prayogo Pangestu, dan Henry Pribadi. Komposisinya adalah 25 persen, 50 persen, dan 25 persen. Modal dasarnya Rp 10 miliar. Pada tahun pertama, ditargetkan aset sebesar Rp 300 miliar. Ini tak termasuk pembangunan gedung berlantai lima serta pembelian perangkat komputer sebesar Rp 5,2 miliar.
Target untuk tahun kedua menjadi dua kali lipat sebesar Rp 700 miliar. Ambisinya, Andromeda akan masuk dalam 10 besar bank swasta. Sementara itu, 65 persen kekuatan bank akan diarahkan pada corporate banking, tentu dengan menyediakan kredit jangka panjang. Di samping itu, dikeluarkan pula tiga produk sekaligus yaitu Andro Consult, Andro Cash, dan Ando Integral.
Mengenai kesiapan sumber daya manusia, Bank Andromeda telah memberikan pendidikan tambahan, baik di LPPM dan Perbanas hingga 1995 kepada 160 staf. Kenaikan jumlah karyawan sebesar 20,53 persen terjadi setahun kemudian. Karenanya, jumlah karyawan meningkat menjadi 229 orang. Mungkin pekerjaan rumah terbesar bagi para pemilik bank itu adalah ke mana akan disalurkan tenaga-tenaga yang selama ini "membangun" Bank Andromeda.
BANK UMUM MAJAPAHIT JAYA (BUMJ)
Kisah tentang bank milik Effendi Ongko ini memang sempat memenuhi halaman media-media cetak sekitar enam tahun lalu. BUMJ akhirnya rontok setelah dinyatakan kalah kliring oleh Bank Indonesia pada 27 November 1991. Akibatnya, tagihan utang yang mesti dibayar senilai 66,4 miliar rupiah. Menurut catatan, uang sebesar itu adalah hasil warkat deposito yang tak ada dananya pada 37 bank. Jumlah tersebut masih ditambah dengan susulan pengaduan dari lima bank, yaitu Bank Niaga, BCA, Bank Swadesi, Bank Industri, dan Bank Metro Express.
Dugaan penyebab ambruknya salah satu bank papan tengah itu ditujukan kepada Lody Djunaedi, menantu Ongko. Setelah ditangkap di Hong Kong, Lody yang selalu tampil dendi itu dituduh membawa lari uang BUMJ sebesar 170 miliar. Termasuk, 125 miliar rupiah dana kredit fiktif.
Dengan tabungan "dosa" itu, pembayaran kepada nasabah memang merupakan proses yang belum terselesaikan. Sebab, konsentrasi terbesar adalah membayar piutang bank kepada ke-37 bank yang telah dirugikan selama jangka waktu tersebut.
BANK DWIPA
Masuk dalam daftar bank papan bawah berpredikat tidak bagus pada proyeksi peringkat Desember 1995-1996, bank milik Bambang Samiyono memang kerap dijadikan "bank tuyul" bagi kepentingan pribadinya. Ia menguasai 38 persen saham Bank Dwipa. Kasus yang menimpa saat ini pun berkaitan erat dengan rekayasa transaksi pasar uang antarbank (PUAB) dengan menciptakan surat berharga papers (CP) dan surat sanggup atau promes. Diduga, jaminan atas transaksi PUAB tadi nilainya sekitar 150 miliar rupiah.
Makanya, selain telah lama tak menyalurkan kredit sebenarnya, Bank Dwipa telah "menyimpan" beberapa orang direkturnya dalam tahanan polisi. Walau, bunga tabungan yang dipatok untuk merangsang masuknya dana dari masyarakat relatif tinggi, yaitu 22 persen hingga 25 persen.
Bank Dwipa sedikitnya telah kebobolan 300 miliar rupiah. Separo di antaranya berasal dari penerbitan surat piutang fiktif tadi. Dengan perilaku pernilik bank seperti itu, amatlah wajar jika Bank Dwipa harus terdepak oleh likuidasi.
BANK CITRA
Nama Bambang Samiyono kembali berkibar di balik runtuhnya Bank Citra. Reputasi negatif dari pria bernama asli Tjiauw Kim Tian itu terulang saat dibelinya bank yang salah satu kantornya terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta, pada 28 Juli 1993. Saat itu, dimanfaatkanlah nama sepupunya, Lyli Vondawati. Padahal, waktu itu, modalnya cuma sebesar Rp 10 miliar.
Bank yang telah kebobolan ratusan miliar itu-lagi-lagi soal CP "aspal" juga sempat "menitipkan" sejumlah direksinya (termasuk AF sendiri) ke tahanan polisi. Meski, konon, Grup Kresna pimpinan Bambang R. Sugama sedang melakukan pembenahan. Amat disayangkan, citra buruk yang melekat cukup kuat tersebut menjadi penentu robohnya bank yang sedang berusaha mengganti logo lama pembawa sial itu.
BANK HARAPAN SANTOSA
Sorotan pada bank milik Hendra Rahardja muncul kembali pada tahun 1997. Dengan LCDR sebesar 82,43 persen, BHS ternyata terjegal pula oleh kesulitan likuiditas. Meski, dalam kelompok aset 1-10 triliun rupiah, BHS mendapat predikat paling ekspansif dalam mengucurkan kredit pada tahun 1995. Isu kemudian merebak bahwa bank milik adik Eddy Tansil itu akan ditolong BCA. Namun, saat dikonfirmasikan, Benny Samosa, Direktur Grup Salim membantah hal tersebut.
Catatan terhadap kiprah BHS, salah satunya, adalah persoalan gugatan ahli waris Arifin Sasmita, Kepala Cabang BHS Tanjungkarang. Waktu itu, Ketua Perbanas Cabang Lampung tersebut meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Serang, Jawa Barat.
Setelah diadakan perhitungan, santunan yang diterima ahli waris seharusnya berjumlah 138.330.000 rupiah. Tapi, pihak Asuransi Tenaga Kerja (Astek) hanya membayar Rp 3,4 juta. Alasannya, sesuai dengan surat keterangan kematian yang dikeluarkan BHS, almarhum meninggal akibat kecelakaan biasa, bukan dalam tugas. Padahal, surat tugas tersebut dibuat belakangan setelah perjalanan membawa dua buah sertifikat tanah dilakukan dari Tanjungkarang ke Jakarta. Persis saat maut mencabut nyawa Arifin berikut istri dan salah seorang putranya itu.
SOUTH EAST ASIA BANK
Pada Februari 1990, 50 persen saham South East Asia Bank (SEAB) dikuasai oleh Panin Bank. Dalam bentuk dana segar jumlah itu setara dengan 15 miliar rupiah. Suntikan dana yang sempat menimbulka pertanyaan tersebut semata-mata dilakukan agar SEAB bisa berkembang lebih cepat, demikian pernyataan Prijatna Atmadja, Presiden Direktur Panin Bank. Pernyataan tersebut memang akhirnya mampu menampik kecurigaan terjadinya "apa-apa" dengan bank yang berkantor di daerah Jakarta Kota.
Selain itu, pada tahun yang sama, Panin akan mencarikan lagi investor baru. Dengan demikian, kelak SEAB akan dimiliki oleh tiga pihak. Dengan modal Rp 30 miliar. SEAB tetap dikuasai pemilik lama Trisno Haryanto dkk. bersama Panin dengan rasio pembagian saham 50 : 50.
Dengan mengandalkan nasabah dari kalangan menengah ke bawah, saat itu, kredit yang sudah disalurkan SEAB sebesar Rp 140 miliar. Dari sejumlah itu, 28 persen berbentuk kredit usaha kecil (KUK). Sisanya berupa kredit komersial yang berbunga 2,5 persen sebulan. Semoga saja bank-bank lainnya yang masih dinilai layak beroperasi cepat-cepat memperbaiki kinerjanya, agar tidak lagi menjadi korban likuidasi, yang pada gilirannya akan merugikan nasabah, dan terancamnya PHK bagi karyawannya.
BANK GUNA INTERNASIONAL
Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia, masuknya Bank Guna ke dalam daftar bank yang ditutup, cukup mengejutkan. Seperti diketahui, Bank Guna merupakan bank yang naik statusnya dari bank pasar menjadi bank umum pada 6 Juni 1990. Karena, kondisinya dianggap sehat, Februari 1995, BI menaikkan statusnya menjadi bank devisa. Pada Februari 1997 terjadi merger dengan Bank Sake yang dimasukkan ke dalam Bank Guna. Penambahan modal Bank Sake itu tak membuat Bank Guna menjadi semakin kuat. Akhirnya masuk juga ke dalam daftar bank yang dilikuidasi, Sabtu lalu.
Muhammad Jusuf - Laporan Josephus Primus, Silvester Keda, dan Reko Alum (Jakarta), Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya), dan Bambang Soedjiartono (Medan)
D&R, Edisi 971108-012/Hal. 18 Rubrik Liputan Utama
Comments