Setelah IPTN, Kini PAL
Ribuan karyawan PT PAL mengikuti jejak rekan-rekannya dari IPTN: menuntut kenaikan gaji. Kerugian negara cukup besar.
PENYELESAIAN kemelut kepegawaian di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang berhasil dituntaskan B.J. Habibie pada pertengahan Oktober lalu ternyata berbalik jadi bumerang. Karyawan-karyawan di badan usaha milik negara industri strategis (BUMN-IS)-ada 10 industri strategis di bawah Ketua B.J. Habibie-tentu tak mau terima begitu saja penyelesaian yang ditawarkan ke IPTN, sementara di lingkungan kerja mereka yang gaji dan fasilitasnya sama tak mendapat perbaikan apa-apa.
Maka, setelah unjuk rasa kenaikan gaji di IPTN bisa ditenangkan, giliran pegawai di lingkungan industri strategis lain yang mulai bergolak. Yang pertama protes adalah karyawan-karyawan di PT Perindustrian Angkatan Laut (PAL) di Surabaya. "Kalau di IPTN bisa, kenapa di PT PAL tidak," kata salah pegawai yang berunjuk rasa pada Kamis pekan lampau, 30 Oktober. Bersama ratusan karyawan lain dari divisi niaga, divisi kapal perang, divisi material, dan personalia hari itu, saat makan siang, mereka tak pergi ke kantin, tapi langsung berbondong-bondong menuju ke gedung kantor pusat. Di sana, mereka mengajukan tuntutan kepada pimpinan perusahaan. Dan, setelah duduk-duduk selama satu setengah jam, Wakil Direktur Utama Ainuddin Latief bersedia berbicara dengan mereka.
Kepada Ainuddin, mereka mengajukan rangkaian tuntutannya yang ada 16 buah. Isi tuntutan mereka ternyata setali tiga uang dengan rekan-rekannya di IPTN, yang sudah lebih dulu berhasil memperjuangkan haknya. Alasannya pun sama: selama tujuh tahun, mereka tak pemah merasakan kenaikan gaji. Tuntutan itu antara lain gaji pokok dinaikkan 200-300 persen, plafon kesehatan tak terbatas, biaya berobat keluarga diganti, ada tunjangan pendidikan, technical assistance dikurangi, tranportasi diperbaiki, adanya tunjangan perumahan, hapus penghapusan ausser tariff atau insentif, gaji pejabat teras dalam bentuk dolar diganti rupiah, hingga soal uang makan dan koperasi.
Tuntutan-tuntutan itulah yang diajukan oleh sekitar 10 ribu-dari 16 ribu-karyawan IPTN yang sejak 8 Oktober melakukan aksi unjuk rasa selama beberapa hari. Ah, menuntut kenaikan gaji yang tak lazim sebuah BUMN itu, apalagi BUMN yang mendapat banyak keistimewaan dari pemerintah seperti IPTN, sempat menarik perhatian masyarakat. Dengan memasang spanduk sepanjang 25 meter, poster-poster bernada mengejek-macam "B.J. Habibie = Banyak Janji Hanya Bikin Bingung, Euy" dan "Basmi Koruptor"-serta boneka pesawat yang dikerek, aksi itu tampak marak karena para karyawan ramai-ramai memukuli tong-tong sampah yang ada.
Aksi para karyawan yang biasanya selalu dibangga-banggakan oleh B.J. Habibie itu membuat Direktur Utama IPTN itu segera bereaksi. Dua hari setelah aksi demo digelar, ia menyempatkan diri memenuhi tuntutan pegawainya untuk berdialog dengan mereka. Di tengah krisis moneter dan kemungkinan dibabatnya proyek prestisius-paling tidak menurut dia-N-2130, Habibie mengabulkan tuntutan karyawan untuk membebaskan plafon kesehatan. Sepekan kemudian, dalam suasana yang lebih tenang, Habibie berdialog dengan 180 orang wakil karyawan dan ia mengabulkan delapan dari 14 tuntutan mereka. Misalnya, karyawan yang bergaji di bawah Rp 700 ribu akan mendapat tunjangan penyesuaian pendapatan Rp 150 ribu per bulan, subsidi uang makan dinaikkan dari Rp 1.500 menjadi Rp 2.000, tenaga asing akan diciutkan dan gajinya akan dibagikan ke karyawan, akan ada 800 rumah dinas, dan dana pensiun diperkecil dari 8,6 persen menjadi enam persen.
Tuntutan utama karyawan yang ingin kenaikan gaji 300 persen karena tak pernah naik selama tujuh tahun belum bisa dipenuhi oleh Menteri Riset dan Teknologi yang diunggulkan untuk menjadi calon presiden periode mendatang itu. "Dari mana duitnya? Kalau saya punya duit, saya tingkatkan gaji pokoknya. Bagaimana dengan industri strategis lain, bagaimana BUMN yang lain, bagaimana pegawai negeri? Itu bisa menjadikan ekonomi kita kewalahan," ujar Habibie, yang ditemui sehari sesudah menyelesaikan kemelut di IPTN itu. Nyatanya, kekhawatirannya jadi kenyataan. Pegawai BUMNIS lain tentu merasa iri dengan perbaikan yang diterima karyawan IPTN.
Sudah Lama
Kembali ke unjuk rasa karyawan PT PAL di atas. Karena dialog dengan Wakil Direktur Ainuddin tak membuahkan hasil, esoknya, hampir semua karyawan di lima divisi yang ada di perusahaan itu melakukan pemogokan. Mereka bukan tak ingin melanjutkan aksi unjuk rasa, tapi bagaimana bisa ke halaman bila di tiap ruang kerja dijaga ketat oleh Marinir, TNI Angkatan Darat, dan anggota polisi. Siapa saja karyawan yang berani ke luar ruang kerjanya akan ditangkap. Pintu gerbang pun dijaga dengan ketat sehingga tak ada seorang wartawan pun yang bisa masuk. Tak heran, perusahaan itu memang masih ada di lingkungan militer.
Maka, sebagian besar dari 4.200 karyawan tetap dan 1.000 karyawan kontrak PT PAL hanya duduk-duduk di dalam mang kerjanya. Suara-suara barang yang diketuk pun terdengar dari mana-mana. Saat mogok itu, tiga orang karyawan ditangkap ketika akan masuk kantor. Rupanya, mereka membawa spanduk yang berisi tuntutan karyawan. Namun, sore itu juga, mereka sudah dilepas. Para karyawan mengaku akan meneruskan mogok kerja hingga Kamis pekan ini kalau Habibie tak bersedia menyelesaikan masalah mereka. "Kami minta Pak Habibie turun langsung karena, kalau hanya ditangani unsur pimpinan lokal, persoalan tak kunjung selesai," kata seorang karyawan. Sayangnya, hingga awal pekan ini, Habibie masih ada di luar negeri.
Keresahan di BUMN itu sebenarnya bukan baru sekarang terjadi. Tanggal 24 Januari 1997, misalnya, sudah terdengar adanya pemogokan karyawan PT PAL, yang sayangnya sulit dikonfirmasikan karena ditutup-tutupi. Saat itu, kabarnya, 700 karyawan di divisi niaga mogok kerja karena sistem pembayaran gaji diubah menjadi sore hari dan jam kerja pun diajukan 30 menit, menjadi pukul 07.00.
Tentu saja, mereka juga meresahkan soal gaji karena penghasilan dari perusahaan yang memproduksi kapal itu dianggap tak memadai. Salah seorang karyawan lulusan sekolah teknik menengah (STM) kemudian bercerita bahwa, meski ia sudah bekerja sejak tahun 1962, hingga kini baru masuk ke golongan penggajian II/A. Padahal, karyawan yang masuk golongan II/T saja cuma bergaji Rp 480 ribu. Tambahan penghasilan cuma didapatkannya dari uang makan dan uang hadir sebesar Rp 10 ribu per bulan.
Seorang lulusan STM lain yang sudah bekerja sejak tahun 1982 kini masuk ke golongan IX. Gaji pokok yang diterimanya sebesar Rp 250 ribu, setelah dipotong untuk tunjangan hari tua. Gaji para lulusan STM yang menempati hampir 70 persen karyawan PT PAL itu terasa njomplang dengan gaji para bos. Seorang kepala divisi, misalnya, bisa mencapai Rp 15 juta per bulan. Belum lagi pelbagai macam fasilitas yang diterimanya, seperti tidur di hotel dan fasilitas mobil.
Tumpukan keresahan karyawan itu bisa meledak karena karyawan-karyawan muda yang bergelar sarjana teknik kini berani memperjuangkan haknya. Mereka memang mendapat tunjangan kesehatan Rp 2 juta, tapi mereka tak terima bila biaya kesehatan lebih dari plafon itu gajinya akan dipotong. "Kalau seperti kami ini, jelas tidak berani protes. Sebab, kalau dipecat dari situ, akan bekerja di mana lagi?" kata seorang lulusan STM.
Namun, soal unjuk rasa itu dibantah Direktur Umum PT PAL Ir. Auzai. "Tidak benar ada unjuk rasa dan pemogokan. Yang dilakukan karyawan adalah berdialog dengan Koordinator Korps Pegawai Republik Indonesia," ujarnya. Ia juga membantah bahwa perusahaan telah memberangus hak-hak karyawan. Bahkan, beberapa waktu lalu, gaji pokok telah dinaikkan 30 persen, ada premi insentif proyek tunjangan natura, tunjangan kehadiran, kenaikan tarif lembur, dan ada pemberian bonus. Dialog para hos dengan karyawan, menurut dia, memang akan diteruskan pada Kamis mendatang.
Masih Rugi
Meski Ir. Auzai mencoba menutupi aksi yang terjadi, bagaimanapun ada kekawatiran bahwa tidak bekerjanya para karyawan itu akan membawa kerugian yang tak kecil pada PT PAL. Soalnya, saat ini perusahaan perkapalan itu sedang menggarap delapan kapal angkutan (voter) pesanan Prancis, dengan nilai proyek per kapal tak kecil, sekitar Rp 24 miliar. Padahal, baru sebuah kapal yang berhasil diselesaikan. Kapal kedua baru ditangani seperempatnya. Konon, bila PT PAL terlambat menyerahkan sesuai jadwal, harus menyerahkan ganti rugi per hari sampai Rp 1 miliar. Padahal, pekan lalu saja, mereka sudah dua hari tak bekerja.
Masih ada utang PT PAL yang lain, yaitu kapal-kapal patroli yang akan dipakai oleh kepolisian di Batam. Ada lima pesanan yang harus diselesaikan perusahaan itu dan hingga kini baru dua buah yang selesai.
Persoalan itu tentu memusingkan BJ. Habibie di tengah krisis moneter seperti sekarang. Apalagi, seperti juga IPTN, PT PAL belum bisa mengikuti jejak PT Krakatau Steel, PT Inti, dan PT Inka yang sudah bisa memberikan keuntungan sebagai salah satu dari BUMNIS. Tahun 1995 misalnya, PTPAL, yang selalu dibanggakan Habibie karena berhasil memproduksi kapal jenis Caraka, masih rugi Rp 19 miliar. Utang PTPAL hingga tahun 1996 bahkan sudah mencapai Rp 1,4 triliun. Tentu, utang itu akan bertambah bila persoalan karyawan di atas tak cepat-cepat diselesaikan.
Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 971108-012/Hal. 28 Rubrik Peristiwa & Analisa
PENYELESAIAN kemelut kepegawaian di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang berhasil dituntaskan B.J. Habibie pada pertengahan Oktober lalu ternyata berbalik jadi bumerang. Karyawan-karyawan di badan usaha milik negara industri strategis (BUMN-IS)-ada 10 industri strategis di bawah Ketua B.J. Habibie-tentu tak mau terima begitu saja penyelesaian yang ditawarkan ke IPTN, sementara di lingkungan kerja mereka yang gaji dan fasilitasnya sama tak mendapat perbaikan apa-apa.
Maka, setelah unjuk rasa kenaikan gaji di IPTN bisa ditenangkan, giliran pegawai di lingkungan industri strategis lain yang mulai bergolak. Yang pertama protes adalah karyawan-karyawan di PT Perindustrian Angkatan Laut (PAL) di Surabaya. "Kalau di IPTN bisa, kenapa di PT PAL tidak," kata salah pegawai yang berunjuk rasa pada Kamis pekan lampau, 30 Oktober. Bersama ratusan karyawan lain dari divisi niaga, divisi kapal perang, divisi material, dan personalia hari itu, saat makan siang, mereka tak pergi ke kantin, tapi langsung berbondong-bondong menuju ke gedung kantor pusat. Di sana, mereka mengajukan tuntutan kepada pimpinan perusahaan. Dan, setelah duduk-duduk selama satu setengah jam, Wakil Direktur Utama Ainuddin Latief bersedia berbicara dengan mereka.
Kepada Ainuddin, mereka mengajukan rangkaian tuntutannya yang ada 16 buah. Isi tuntutan mereka ternyata setali tiga uang dengan rekan-rekannya di IPTN, yang sudah lebih dulu berhasil memperjuangkan haknya. Alasannya pun sama: selama tujuh tahun, mereka tak pemah merasakan kenaikan gaji. Tuntutan itu antara lain gaji pokok dinaikkan 200-300 persen, plafon kesehatan tak terbatas, biaya berobat keluarga diganti, ada tunjangan pendidikan, technical assistance dikurangi, tranportasi diperbaiki, adanya tunjangan perumahan, hapus penghapusan ausser tariff atau insentif, gaji pejabat teras dalam bentuk dolar diganti rupiah, hingga soal uang makan dan koperasi.
Tuntutan-tuntutan itulah yang diajukan oleh sekitar 10 ribu-dari 16 ribu-karyawan IPTN yang sejak 8 Oktober melakukan aksi unjuk rasa selama beberapa hari. Ah, menuntut kenaikan gaji yang tak lazim sebuah BUMN itu, apalagi BUMN yang mendapat banyak keistimewaan dari pemerintah seperti IPTN, sempat menarik perhatian masyarakat. Dengan memasang spanduk sepanjang 25 meter, poster-poster bernada mengejek-macam "B.J. Habibie = Banyak Janji Hanya Bikin Bingung, Euy" dan "Basmi Koruptor"-serta boneka pesawat yang dikerek, aksi itu tampak marak karena para karyawan ramai-ramai memukuli tong-tong sampah yang ada.
Aksi para karyawan yang biasanya selalu dibangga-banggakan oleh B.J. Habibie itu membuat Direktur Utama IPTN itu segera bereaksi. Dua hari setelah aksi demo digelar, ia menyempatkan diri memenuhi tuntutan pegawainya untuk berdialog dengan mereka. Di tengah krisis moneter dan kemungkinan dibabatnya proyek prestisius-paling tidak menurut dia-N-2130, Habibie mengabulkan tuntutan karyawan untuk membebaskan plafon kesehatan. Sepekan kemudian, dalam suasana yang lebih tenang, Habibie berdialog dengan 180 orang wakil karyawan dan ia mengabulkan delapan dari 14 tuntutan mereka. Misalnya, karyawan yang bergaji di bawah Rp 700 ribu akan mendapat tunjangan penyesuaian pendapatan Rp 150 ribu per bulan, subsidi uang makan dinaikkan dari Rp 1.500 menjadi Rp 2.000, tenaga asing akan diciutkan dan gajinya akan dibagikan ke karyawan, akan ada 800 rumah dinas, dan dana pensiun diperkecil dari 8,6 persen menjadi enam persen.
Tuntutan utama karyawan yang ingin kenaikan gaji 300 persen karena tak pernah naik selama tujuh tahun belum bisa dipenuhi oleh Menteri Riset dan Teknologi yang diunggulkan untuk menjadi calon presiden periode mendatang itu. "Dari mana duitnya? Kalau saya punya duit, saya tingkatkan gaji pokoknya. Bagaimana dengan industri strategis lain, bagaimana BUMN yang lain, bagaimana pegawai negeri? Itu bisa menjadikan ekonomi kita kewalahan," ujar Habibie, yang ditemui sehari sesudah menyelesaikan kemelut di IPTN itu. Nyatanya, kekhawatirannya jadi kenyataan. Pegawai BUMNIS lain tentu merasa iri dengan perbaikan yang diterima karyawan IPTN.
Sudah Lama
Kembali ke unjuk rasa karyawan PT PAL di atas. Karena dialog dengan Wakil Direktur Ainuddin tak membuahkan hasil, esoknya, hampir semua karyawan di lima divisi yang ada di perusahaan itu melakukan pemogokan. Mereka bukan tak ingin melanjutkan aksi unjuk rasa, tapi bagaimana bisa ke halaman bila di tiap ruang kerja dijaga ketat oleh Marinir, TNI Angkatan Darat, dan anggota polisi. Siapa saja karyawan yang berani ke luar ruang kerjanya akan ditangkap. Pintu gerbang pun dijaga dengan ketat sehingga tak ada seorang wartawan pun yang bisa masuk. Tak heran, perusahaan itu memang masih ada di lingkungan militer.
Maka, sebagian besar dari 4.200 karyawan tetap dan 1.000 karyawan kontrak PT PAL hanya duduk-duduk di dalam mang kerjanya. Suara-suara barang yang diketuk pun terdengar dari mana-mana. Saat mogok itu, tiga orang karyawan ditangkap ketika akan masuk kantor. Rupanya, mereka membawa spanduk yang berisi tuntutan karyawan. Namun, sore itu juga, mereka sudah dilepas. Para karyawan mengaku akan meneruskan mogok kerja hingga Kamis pekan ini kalau Habibie tak bersedia menyelesaikan masalah mereka. "Kami minta Pak Habibie turun langsung karena, kalau hanya ditangani unsur pimpinan lokal, persoalan tak kunjung selesai," kata seorang karyawan. Sayangnya, hingga awal pekan ini, Habibie masih ada di luar negeri.
Keresahan di BUMN itu sebenarnya bukan baru sekarang terjadi. Tanggal 24 Januari 1997, misalnya, sudah terdengar adanya pemogokan karyawan PT PAL, yang sayangnya sulit dikonfirmasikan karena ditutup-tutupi. Saat itu, kabarnya, 700 karyawan di divisi niaga mogok kerja karena sistem pembayaran gaji diubah menjadi sore hari dan jam kerja pun diajukan 30 menit, menjadi pukul 07.00.
Tentu saja, mereka juga meresahkan soal gaji karena penghasilan dari perusahaan yang memproduksi kapal itu dianggap tak memadai. Salah seorang karyawan lulusan sekolah teknik menengah (STM) kemudian bercerita bahwa, meski ia sudah bekerja sejak tahun 1962, hingga kini baru masuk ke golongan penggajian II/A. Padahal, karyawan yang masuk golongan II/T saja cuma bergaji Rp 480 ribu. Tambahan penghasilan cuma didapatkannya dari uang makan dan uang hadir sebesar Rp 10 ribu per bulan.
Seorang lulusan STM lain yang sudah bekerja sejak tahun 1982 kini masuk ke golongan IX. Gaji pokok yang diterimanya sebesar Rp 250 ribu, setelah dipotong untuk tunjangan hari tua. Gaji para lulusan STM yang menempati hampir 70 persen karyawan PT PAL itu terasa njomplang dengan gaji para bos. Seorang kepala divisi, misalnya, bisa mencapai Rp 15 juta per bulan. Belum lagi pelbagai macam fasilitas yang diterimanya, seperti tidur di hotel dan fasilitas mobil.
Tumpukan keresahan karyawan itu bisa meledak karena karyawan-karyawan muda yang bergelar sarjana teknik kini berani memperjuangkan haknya. Mereka memang mendapat tunjangan kesehatan Rp 2 juta, tapi mereka tak terima bila biaya kesehatan lebih dari plafon itu gajinya akan dipotong. "Kalau seperti kami ini, jelas tidak berani protes. Sebab, kalau dipecat dari situ, akan bekerja di mana lagi?" kata seorang lulusan STM.
Namun, soal unjuk rasa itu dibantah Direktur Umum PT PAL Ir. Auzai. "Tidak benar ada unjuk rasa dan pemogokan. Yang dilakukan karyawan adalah berdialog dengan Koordinator Korps Pegawai Republik Indonesia," ujarnya. Ia juga membantah bahwa perusahaan telah memberangus hak-hak karyawan. Bahkan, beberapa waktu lalu, gaji pokok telah dinaikkan 30 persen, ada premi insentif proyek tunjangan natura, tunjangan kehadiran, kenaikan tarif lembur, dan ada pemberian bonus. Dialog para hos dengan karyawan, menurut dia, memang akan diteruskan pada Kamis mendatang.
Masih Rugi
Meski Ir. Auzai mencoba menutupi aksi yang terjadi, bagaimanapun ada kekawatiran bahwa tidak bekerjanya para karyawan itu akan membawa kerugian yang tak kecil pada PT PAL. Soalnya, saat ini perusahaan perkapalan itu sedang menggarap delapan kapal angkutan (voter) pesanan Prancis, dengan nilai proyek per kapal tak kecil, sekitar Rp 24 miliar. Padahal, baru sebuah kapal yang berhasil diselesaikan. Kapal kedua baru ditangani seperempatnya. Konon, bila PT PAL terlambat menyerahkan sesuai jadwal, harus menyerahkan ganti rugi per hari sampai Rp 1 miliar. Padahal, pekan lalu saja, mereka sudah dua hari tak bekerja.
Masih ada utang PT PAL yang lain, yaitu kapal-kapal patroli yang akan dipakai oleh kepolisian di Batam. Ada lima pesanan yang harus diselesaikan perusahaan itu dan hingga kini baru dua buah yang selesai.
Persoalan itu tentu memusingkan BJ. Habibie di tengah krisis moneter seperti sekarang. Apalagi, seperti juga IPTN, PT PAL belum bisa mengikuti jejak PT Krakatau Steel, PT Inti, dan PT Inka yang sudah bisa memberikan keuntungan sebagai salah satu dari BUMNIS. Tahun 1995 misalnya, PTPAL, yang selalu dibanggakan Habibie karena berhasil memproduksi kapal jenis Caraka, masih rugi Rp 19 miliar. Utang PTPAL hingga tahun 1996 bahkan sudah mencapai Rp 1,4 triliun. Tentu, utang itu akan bertambah bila persoalan karyawan di atas tak cepat-cepat diselesaikan.
Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 971108-012/Hal. 28 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments