Patgulipat Aset Pemda Surabaya
DPRD KMS merasa dilangkahi dalam soal penglepasan aset pemda, namun menurut pemda, mereka cuma menyewakannya. Surabaya memang miskin kawasan terbuka.
UDARA gerah di pengujung musim kemarau ini terasa makin tak nyaman. Terutama, di lingkungan DPRD Kota Madya. Surabaya (KMS), Jawa Timur (Ja-Tim). Pekan-pekan ini, para wakil rakyat di sana, agaknya, tak cuma harus menahan panasnya hawa "Kota Buaya". Tapi, juga harus menahan dongkol melihat ulah Pemda KMS. "Kami tak pernah diajak omong," kata Ali Yakob, anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP).
Yang dimaksud oleh Ali, Ketua Komisi B itu, para pejabat pemda kerap "bermain belakang" melepas beberapa asetnya kepada swasta tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan DPRD. Aset-aset itu antara lain kantor dan tanah Pembantu Wali Kota Madya Surabaya Timur, Unit Pengelola Perparkiran Daerah, BP7, serta lahan-lahan kosong di kawasan Rungkutmadya, Panjangjiwo, dan Jalan Ahmad Yani.
Menyalahi Permendagri
Kalau mau ditambah, deretan contoh itu bisa lebih panjang. Pemda juga sedang memproses penglepasan hak atas asetnya yang selama ini berfungsi sebagai fasilitas umum. Yakni, tanah seluas 1.000 meter persegi dan bangunan Puskesmas Pucangsewu, Pasar Induk di Kendangsari, lapangan hoki di Jalan Dharmawangsa, bumi perkemahan di Jurangkuping, lapangan sepak bola Kolombo di kawasan Perak dan Thor di kawasan Pakis, serta beberapa jalur hijau. Hampir semua lahan itu rencananya akan disulap menjadi fasilitas bisnis.
Cukup menggiurkan, agaknya. Maklum, hampir semua lahan itu terletak di lokasi-lokasi strategis. Lagi pula, bila kegiatan bisnis di Surabaya semakin ramai, tentu keuntungannya tak cuma akan diraup pengusaha. Tapi, juga akan dirasakan oleh pemda.
Namun, bukan cuma keuntungan itu yang dipikirkan oleh anggota dewan. Tindakan pemda, menurut Ali, tak sesuai dengan Peraturan Mendagri Nomor 4/1979, bahwa penglepasan aset milik pemerintah harus dimusyawarahkan dengan DPRD. Tujuannya, untuk mempertimbangkan faktor kepentingan masyarakat umum. "Bukan cuma menuruti kemauan investor dan pertimbangan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kalau cuma mau mendongkrak PAD, bisa-bisa tanah Tugu Pahlawan dan Taman Surya nanti dilepas juga," ujar Ali, kesal.
Untuk yang terakhir itu, boleh jadi Ali berseloroh. Dua lahan tersebut disebutnya merupakan lokasi bernilai historis. Kawasan Tugu Pahlawan adalah lahan terbuka di sekitar monumen perjuangan "arek-arek Suroboyo" yang setiap tahun menjadi lokasi upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan hari Pahlawan 10 November.
Selain itu, menurut Mentik Budiwijono, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), pendapatan yang diperoleh dari penglepasan aset itu juga tak pernah disampaikan kepada DPRD. "Duitnya berapa atau disimpan di mana, enggak pernah transparan," kata Mentik.
Cuma Penglepasan Hak
Wah, masalahnya seperti bertumpuk-tumpuk. Tapi, tentu saja, pemda tak merasa bersalah. Karena, menurut M. Faruq, Kabag Humas Pemda KMS, yang terjadi selama ini hanyalah penglepasan hak tanah kepada investor lewat pola sewa jangka pendek maupun panjang (20 tahun). Caranya, dengan memberikan status hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan (HPL).
Cara itu dipakai, misalnya, ketika pemda menyewakan 4,3 hektare lahan di kawasan Panjangjiwo yang kini ditempati PT Abatoir Surya Jaya, perusahaan pemotongan hewan yang 30 persen sahamnya dimiliki pemda. Tanah itu ditawar oleh perusahaan properti PT Rungkut Megah Santosa dengan imbalan lahan seluas 15 hektare plus kantor di daerah Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Jadi, "Aset pemda tak berkurang," kilah Faruq. Dus, pemda tak merasa perlu membicarakannya dengan DPRD.
Itulah yang tampaknya sulit diterima anggota dewan. Pengalihan hak dengan cara sewa, menurut Mentik, susah dikontrol. Karena, HGB yang berumur maksimal 20 tahun nantinya bisa saja berubah menjadi hak milik. "Dalam waktu 20 tahun, anggota dewan mungkin sudah banyak berubah. Orang juga sudah lupa," kata Mentik. Karena itu, Mentik menuding, pemda sengaja menggunakan cara sewa semacam itu untuk berkelit dari pengawasan dewan. "Itu kan sama saja bohong-bohongan," katanya.
Kisah Sedih Kebun Bibit
Pernyataan Mentik ada benarnya. Jangankan dalam waktu 20 tahun, beberapa kasus yang terjadi selama kurang dari 10 tahun pun barangkali tak banyak diingat orang. Sebut saja perkara lahan kebun bibit di kawasan Bratang yang mencuat sekitar lima tahun silam. Dulu, lahan seluas tujuh hektare itu berupa tanah subur lokasi pembibitan tanaman penghijauan kota. Lalu, ada ide mengubahnya menjadi kolam renang. Tapi, ide itu batal lantaran diduga tanahnya mengandung minyak.
Belakangan, entah bagaimana, areal itu ditukar-gulingkan (ruislag) dengan tanah bekas tambak seluas 10 hektare di Wonorejo, kawasan timur Surabaya dan kompensasi senilai Rp 4,24 miliar. Suara untuk mempertahankan hutan kota seperti sia-sia. Kebun bibit pun berubah menjadi kompleks ruko dan pompa bensin yang konon milik Nyonya Marie Basofi Sudirman, istri Gubernur
Ja-Tim. Lahan terbuka yang tersisa kini cuma "taman kota" seluas 0,25 hektare yang dihuni beberapa jenis bunga dan beberapa pohon cemara.
Sementara itu, nasib kebun bibit di Wonorejo jauh lebih "mengenaskan". Cuma 23 hektare arealnya yang menjadi kebun bibit bagi 160-an jenis tanaman pelindung dan hias. Pertumbuhan tanaman di sana pun tak istimewa. Selain kering, tekstur tanahnya juga kurang menunjang. Lapisan tanah taman cuma sedalam satu meter. Selebihnya adalah tanah pasir batu. Akibatnya, "Air gampang meresap. Hanya satu atau dua jam setelah disiram air, tanah langsung kering," kata Hendrik, staf pengelola kebun bibit itu.
Toh, kini nyaris tak ada yang mempersoalkan nasib kebun bibit itu. Begitu pula dengan berubahnya beberapa lokasi jalur hijau-termasuk di beberapa bantaran Sungai Kalimas yang membelah kota-menjadi stasiun pompa bensin atau munculnya gedung baru di bekas areal terbuka. Kalau pun ada yang bersuara, kecuali anggota DPRD, adalah pihak yang langsung bersentuhan dengan perubahan itu.
Misalnya pengelola RS Dr. Soetomo yang terganggu dengan rencana pemda mengoper lahan lapangan hoki kepada swasta untuk disulap menjadi kompleks pertokoan. Menurut dr. Dikman Angsar, Direktur RS Dr. Soetomo, lahan dan lingkungan rumah sakit hanya dipisahkan oleh Jalan Dharmawangsa, yang lalu lintasnya cukup padat. Lagi pula, selama ini pihak rumah sakit kerap memanfaatkan lapangan itu sebagai tempat pendaratan helikopter, bagi pasien rujukan dari daerah. Pendapat itu tak cuma didukung oleh para anggota DPRD KMS. Tapi, sempat pula ditanyakan oleh DPRD Ja-Tim kepada Pemda Ja-Tim.
Lantas? Itulah. Menurut Wakil Gubernur M. Zuhdi, Pemda KMS terpaksa menempuh langkah itu, karena kesulitan lahan bagi pertokoan.
Sepintas saja, jawaban Zuhdi terkesan mengada-ada. Tak heran kalau Sudarto, Wakil Ketua Komisi E (Kesejahteraan) DPRD Ja-Tim menyatakan, pihaknya akan terus berjuang agar lapangan hoki itu tetap pada fungsinya. Kalaupun pemda ngotot, Sudarto akan membuka kembali file pada awal tahun 1990-an, zamannya Gubernur Soelarso. Saat meletakkan batu pertama fasilitas gawat darurat, Soelarso (kini Dubes RI di Turki) sempat menyinggung rencana memanfaatkan lapangan itu bagi pengembangan sarana pendukung kegiatan RS Dr. Soetomo. "Agar kualitas pelayanan masyarakat dapat lebih ditingkatkan," kata Sudarto kepada D&R
Menyempal dari RDTRK
Memang, perkembangan bisnis yang pesat di Surabaya, mau tak mau, menuntut ruang baru. Kecenderungan itu telah ditangkap ketika Surabaya Master Plan 2000 disusun, sekitar 20 tahun lampau. Masterplan itu mengatur peruntukan lahan agar semua aspek pembangunan Kota Surabaya-mulai bisnis hingga lingkungan hidup-seimbang. Termasuk, menyisakan sepertiga wilayah bagi kawasan terbuka berbentuk danau, jalur hijau atau taman. Cuma menurut Profesor Johan Silas, pakar tata kota dari Institut Teknologi Surabaya, masterplan itu dirancang untuk 20 tahun.
Jadi, sekarang sudah kedaluwarsa? Entahlah. Kata kedaluwarsa agaknya tak layak disentil. Sebab, saat master plan itu masih berlaku pun, peruntukan lahan bisa saja berubah. Seperti terjadi di kawasan timur. Sejak tahun 1990, areal yang semula dicanangkan sebagai lahan konservasi itu diubah menjadi kawasan permukiman dan ditawarkan kepada investor swasta.
Perubahan itu, menurut Siti Noor Endah. Wakil Ketua Komisi A DPRD KMS memang dimungkinkan dengan pertimbangan perkembangan zaman. Untuk itu, pemda mengubah rencana detail tata ruang kota (RDTRK) dengan persetujuan DPRD lalu mengusulkannya kepada Mendagri. "Tapi, syaratnya tak berubah, sepertiga kawasan itu harus dipertahankan sebagai wilayah terbuka," katanya.
Cuma, siapa berani menjamin investor pasti memenuhi syarat itu? Bahkan, Siti pun mengaku belum pernah mengeceknya di lapangan. Padahal, seperti selalu disebut Johan Silas sejak beberapa tahun lalu, Surabaya sangat miskin kawasan terbuka. Terutama, bila dibandingkan dengan Jakarta. Di Surabaya, jangankan hutan kota, mencari lahan parkir terbuka dan gedung dengan halaman atau taman yang memadai saja sulitnya bukan main. Satu-satunya lahan hijau hanyalah kebun binatang. Maka, "Surabaya harusnya memetik pelajaran dari Jakarta, yang banyak memiliki paru-paru kota," kata Johan.
Dulu, sekitar 10 tahun silam, Soelarso sempat mengembangkan konsep Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo dan Lamongan) dan Central Bisnis District (CBD). Meniru Jabotabek di DKI Jakarta, Gerbang Kertosusila mengarahkan kegiatan industri dan permukiman ke kota-kota di sekitar Surabaya. Adapun CBD merupakan upaya menciptakan kawasan terpadu untuk menyebar aktivitas masyarakat. Siapa tahu, mungkin konsep-konsep itu pun kini dianggap pimpinan sekarang telah kedaluwarsa.
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 971025-010/Hal. 42 Rubrik Peristiwa & Analisa
UDARA gerah di pengujung musim kemarau ini terasa makin tak nyaman. Terutama, di lingkungan DPRD Kota Madya. Surabaya (KMS), Jawa Timur (Ja-Tim). Pekan-pekan ini, para wakil rakyat di sana, agaknya, tak cuma harus menahan panasnya hawa "Kota Buaya". Tapi, juga harus menahan dongkol melihat ulah Pemda KMS. "Kami tak pernah diajak omong," kata Ali Yakob, anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP).
Yang dimaksud oleh Ali, Ketua Komisi B itu, para pejabat pemda kerap "bermain belakang" melepas beberapa asetnya kepada swasta tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan DPRD. Aset-aset itu antara lain kantor dan tanah Pembantu Wali Kota Madya Surabaya Timur, Unit Pengelola Perparkiran Daerah, BP7, serta lahan-lahan kosong di kawasan Rungkutmadya, Panjangjiwo, dan Jalan Ahmad Yani.
Menyalahi Permendagri
Kalau mau ditambah, deretan contoh itu bisa lebih panjang. Pemda juga sedang memproses penglepasan hak atas asetnya yang selama ini berfungsi sebagai fasilitas umum. Yakni, tanah seluas 1.000 meter persegi dan bangunan Puskesmas Pucangsewu, Pasar Induk di Kendangsari, lapangan hoki di Jalan Dharmawangsa, bumi perkemahan di Jurangkuping, lapangan sepak bola Kolombo di kawasan Perak dan Thor di kawasan Pakis, serta beberapa jalur hijau. Hampir semua lahan itu rencananya akan disulap menjadi fasilitas bisnis.
Cukup menggiurkan, agaknya. Maklum, hampir semua lahan itu terletak di lokasi-lokasi strategis. Lagi pula, bila kegiatan bisnis di Surabaya semakin ramai, tentu keuntungannya tak cuma akan diraup pengusaha. Tapi, juga akan dirasakan oleh pemda.
Namun, bukan cuma keuntungan itu yang dipikirkan oleh anggota dewan. Tindakan pemda, menurut Ali, tak sesuai dengan Peraturan Mendagri Nomor 4/1979, bahwa penglepasan aset milik pemerintah harus dimusyawarahkan dengan DPRD. Tujuannya, untuk mempertimbangkan faktor kepentingan masyarakat umum. "Bukan cuma menuruti kemauan investor dan pertimbangan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kalau cuma mau mendongkrak PAD, bisa-bisa tanah Tugu Pahlawan dan Taman Surya nanti dilepas juga," ujar Ali, kesal.
Untuk yang terakhir itu, boleh jadi Ali berseloroh. Dua lahan tersebut disebutnya merupakan lokasi bernilai historis. Kawasan Tugu Pahlawan adalah lahan terbuka di sekitar monumen perjuangan "arek-arek Suroboyo" yang setiap tahun menjadi lokasi upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan hari Pahlawan 10 November.
Selain itu, menurut Mentik Budiwijono, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), pendapatan yang diperoleh dari penglepasan aset itu juga tak pernah disampaikan kepada DPRD. "Duitnya berapa atau disimpan di mana, enggak pernah transparan," kata Mentik.
Cuma Penglepasan Hak
Wah, masalahnya seperti bertumpuk-tumpuk. Tapi, tentu saja, pemda tak merasa bersalah. Karena, menurut M. Faruq, Kabag Humas Pemda KMS, yang terjadi selama ini hanyalah penglepasan hak tanah kepada investor lewat pola sewa jangka pendek maupun panjang (20 tahun). Caranya, dengan memberikan status hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan (HPL).
Cara itu dipakai, misalnya, ketika pemda menyewakan 4,3 hektare lahan di kawasan Panjangjiwo yang kini ditempati PT Abatoir Surya Jaya, perusahaan pemotongan hewan yang 30 persen sahamnya dimiliki pemda. Tanah itu ditawar oleh perusahaan properti PT Rungkut Megah Santosa dengan imbalan lahan seluas 15 hektare plus kantor di daerah Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Jadi, "Aset pemda tak berkurang," kilah Faruq. Dus, pemda tak merasa perlu membicarakannya dengan DPRD.
Itulah yang tampaknya sulit diterima anggota dewan. Pengalihan hak dengan cara sewa, menurut Mentik, susah dikontrol. Karena, HGB yang berumur maksimal 20 tahun nantinya bisa saja berubah menjadi hak milik. "Dalam waktu 20 tahun, anggota dewan mungkin sudah banyak berubah. Orang juga sudah lupa," kata Mentik. Karena itu, Mentik menuding, pemda sengaja menggunakan cara sewa semacam itu untuk berkelit dari pengawasan dewan. "Itu kan sama saja bohong-bohongan," katanya.
Kisah Sedih Kebun Bibit
Pernyataan Mentik ada benarnya. Jangankan dalam waktu 20 tahun, beberapa kasus yang terjadi selama kurang dari 10 tahun pun barangkali tak banyak diingat orang. Sebut saja perkara lahan kebun bibit di kawasan Bratang yang mencuat sekitar lima tahun silam. Dulu, lahan seluas tujuh hektare itu berupa tanah subur lokasi pembibitan tanaman penghijauan kota. Lalu, ada ide mengubahnya menjadi kolam renang. Tapi, ide itu batal lantaran diduga tanahnya mengandung minyak.
Belakangan, entah bagaimana, areal itu ditukar-gulingkan (ruislag) dengan tanah bekas tambak seluas 10 hektare di Wonorejo, kawasan timur Surabaya dan kompensasi senilai Rp 4,24 miliar. Suara untuk mempertahankan hutan kota seperti sia-sia. Kebun bibit pun berubah menjadi kompleks ruko dan pompa bensin yang konon milik Nyonya Marie Basofi Sudirman, istri Gubernur
Ja-Tim. Lahan terbuka yang tersisa kini cuma "taman kota" seluas 0,25 hektare yang dihuni beberapa jenis bunga dan beberapa pohon cemara.
Sementara itu, nasib kebun bibit di Wonorejo jauh lebih "mengenaskan". Cuma 23 hektare arealnya yang menjadi kebun bibit bagi 160-an jenis tanaman pelindung dan hias. Pertumbuhan tanaman di sana pun tak istimewa. Selain kering, tekstur tanahnya juga kurang menunjang. Lapisan tanah taman cuma sedalam satu meter. Selebihnya adalah tanah pasir batu. Akibatnya, "Air gampang meresap. Hanya satu atau dua jam setelah disiram air, tanah langsung kering," kata Hendrik, staf pengelola kebun bibit itu.
Toh, kini nyaris tak ada yang mempersoalkan nasib kebun bibit itu. Begitu pula dengan berubahnya beberapa lokasi jalur hijau-termasuk di beberapa bantaran Sungai Kalimas yang membelah kota-menjadi stasiun pompa bensin atau munculnya gedung baru di bekas areal terbuka. Kalau pun ada yang bersuara, kecuali anggota DPRD, adalah pihak yang langsung bersentuhan dengan perubahan itu.
Misalnya pengelola RS Dr. Soetomo yang terganggu dengan rencana pemda mengoper lahan lapangan hoki kepada swasta untuk disulap menjadi kompleks pertokoan. Menurut dr. Dikman Angsar, Direktur RS Dr. Soetomo, lahan dan lingkungan rumah sakit hanya dipisahkan oleh Jalan Dharmawangsa, yang lalu lintasnya cukup padat. Lagi pula, selama ini pihak rumah sakit kerap memanfaatkan lapangan itu sebagai tempat pendaratan helikopter, bagi pasien rujukan dari daerah. Pendapat itu tak cuma didukung oleh para anggota DPRD KMS. Tapi, sempat pula ditanyakan oleh DPRD Ja-Tim kepada Pemda Ja-Tim.
Lantas? Itulah. Menurut Wakil Gubernur M. Zuhdi, Pemda KMS terpaksa menempuh langkah itu, karena kesulitan lahan bagi pertokoan.
Sepintas saja, jawaban Zuhdi terkesan mengada-ada. Tak heran kalau Sudarto, Wakil Ketua Komisi E (Kesejahteraan) DPRD Ja-Tim menyatakan, pihaknya akan terus berjuang agar lapangan hoki itu tetap pada fungsinya. Kalaupun pemda ngotot, Sudarto akan membuka kembali file pada awal tahun 1990-an, zamannya Gubernur Soelarso. Saat meletakkan batu pertama fasilitas gawat darurat, Soelarso (kini Dubes RI di Turki) sempat menyinggung rencana memanfaatkan lapangan itu bagi pengembangan sarana pendukung kegiatan RS Dr. Soetomo. "Agar kualitas pelayanan masyarakat dapat lebih ditingkatkan," kata Sudarto kepada D&R
Menyempal dari RDTRK
Memang, perkembangan bisnis yang pesat di Surabaya, mau tak mau, menuntut ruang baru. Kecenderungan itu telah ditangkap ketika Surabaya Master Plan 2000 disusun, sekitar 20 tahun lampau. Masterplan itu mengatur peruntukan lahan agar semua aspek pembangunan Kota Surabaya-mulai bisnis hingga lingkungan hidup-seimbang. Termasuk, menyisakan sepertiga wilayah bagi kawasan terbuka berbentuk danau, jalur hijau atau taman. Cuma menurut Profesor Johan Silas, pakar tata kota dari Institut Teknologi Surabaya, masterplan itu dirancang untuk 20 tahun.
Jadi, sekarang sudah kedaluwarsa? Entahlah. Kata kedaluwarsa agaknya tak layak disentil. Sebab, saat master plan itu masih berlaku pun, peruntukan lahan bisa saja berubah. Seperti terjadi di kawasan timur. Sejak tahun 1990, areal yang semula dicanangkan sebagai lahan konservasi itu diubah menjadi kawasan permukiman dan ditawarkan kepada investor swasta.
Perubahan itu, menurut Siti Noor Endah. Wakil Ketua Komisi A DPRD KMS memang dimungkinkan dengan pertimbangan perkembangan zaman. Untuk itu, pemda mengubah rencana detail tata ruang kota (RDTRK) dengan persetujuan DPRD lalu mengusulkannya kepada Mendagri. "Tapi, syaratnya tak berubah, sepertiga kawasan itu harus dipertahankan sebagai wilayah terbuka," katanya.
Cuma, siapa berani menjamin investor pasti memenuhi syarat itu? Bahkan, Siti pun mengaku belum pernah mengeceknya di lapangan. Padahal, seperti selalu disebut Johan Silas sejak beberapa tahun lalu, Surabaya sangat miskin kawasan terbuka. Terutama, bila dibandingkan dengan Jakarta. Di Surabaya, jangankan hutan kota, mencari lahan parkir terbuka dan gedung dengan halaman atau taman yang memadai saja sulitnya bukan main. Satu-satunya lahan hijau hanyalah kebun binatang. Maka, "Surabaya harusnya memetik pelajaran dari Jakarta, yang banyak memiliki paru-paru kota," kata Johan.
Dulu, sekitar 10 tahun silam, Soelarso sempat mengembangkan konsep Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo dan Lamongan) dan Central Bisnis District (CBD). Meniru Jabotabek di DKI Jakarta, Gerbang Kertosusila mengarahkan kegiatan industri dan permukiman ke kota-kota di sekitar Surabaya. Adapun CBD merupakan upaya menciptakan kawasan terpadu untuk menyebar aktivitas masyarakat. Siapa tahu, mungkin konsep-konsep itu pun kini dianggap pimpinan sekarang telah kedaluwarsa.
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 971025-010/Hal. 42 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments