Unjuk Rasa Boleh, Asal Aman
Sejumlah kiai di Jawa Timur membolehkan unjuk rasa sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Upaya mencegah kerusuhan dengan rambu-rambu fikih.
BOLEHKAH aksi unjuk rasa dari sudut pandang agama Islam? Para kiai Nahdhatul Ulama di Jawa Timur membahas kasus tersebut--rasanya ini pembahasan yang pertama kali. Tentu, bukan tanpa latar belakang (asbabun nuzul). Seperti diketahui, belakangan ini, kerusuhan yang merupakan buntut dari unjuk rasa marak di daerah-daerah kantung santri. Menyebut dua kasus besar, misalnya, protes masyarakat terhadap vonis atas Soleh yang menghina almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin, kiai besar dari Pesantren Asembagus, dan kerusuhan di Sampang akhir Mei lalu karena protes masyarakat atas kecurangan dalam pelaksanaan pemungutan suara.
Bahwa setiap muslim haruslah melakukan fungsi kritik sosial seperti yang tersurat dalam prinsip amar makruf nahi mungkar (menyuruh berbuat baik, mencegah perbuatan yang merusak), rasanya sudah diketahui umum. Namun, bagaimana cara melakukannya, apakah bisa dengan cara unjuk rasa, tampaknya para kiai perlu berembuk dulu. Tentu, maksudnya agar misi kritik tidak terjerumus ke perbuatan merusak yang tak sesuai dengan pesan Islam. Dan, itulah yang dibahas oleh Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur dalam forum pengkajian masalah-masalah fikih yang dihadiri 300 orang, di Pesantren Alfattah Siman Sekaran, Lamongan, Sabtu dua pekan lalu.
Merujuk kitab-kitab kuning semacam Az-Zawaajir, Ihyaa' Uluumuddiin, Jalaal 'alal Minhaj dan I'aanatut Thaalibiin, para kiai nahdhiyyin itu berkesimpulan bahwa unjuk rasa dan pemogokan yang ditujukan untuk mengoreksi perorangan atau lembaga swasta maupun pemerintahan diperbolehkan. Prinsip amar makruf nahi mungkar menjadi dasar utama kesimpulan itu. Dalil lain yang mereka pakai adalah hadis kuat dan populer, "Man ro'a minkum munkaron fal yughoyyirhu bi yadihi, fain lam yastathi' fal yughoyyirhu bi lisaanihi, fain lam yastathi' fal yughoyyirhu bi qalbihi. Wa dhaalika 'adh'aful iimaan." Artinya, orang yang menyaksikan suatu kesalahan (kemungkaran) sedang berlangsung, hendaklah ia mencegah dengan otoritasnya, kalau tak bisa, hendaklah dicoba dengan bahasa kata, kalau tak mempan juga, baru dengan komitmen dalam hati, namun yang terakhir ini cermin iman yang lemah.
Lebih spesifik, mereka mencari landasan etik dari kitab Ihyaa' Ulumuddiin karya Imam Ghazali. Ahli tasawuf dan pemikir besar Islam sepanjang zaman itu menguraikan cara mengimplementasikan pesan amar makruf nahi mungkar dalam empat tingkat. Ada yang dengan cara baik-baik, berupa penjelasan lisan, atau nasihat dengan tutur kata yang terjaga. Cara lain dengan peringatan keras berupa gertakan. Yang paling keras ya dengan cara paksa. Sayang, para kiai itu tak menjelaskan lebih detail cara paksa yang dimaksudkan.
Namun, apa benar unjuk rasa diperbolehkan? Nanti dulu. Sebab, pembolehan unjuk rasa dan mogok itu masih disertai berbagai catatan. Antara lain, unjuk rasa boleh-boleh saja asal tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan tidak membahayakan jiwa dan harta orang lain. Syarat lain, unjuk rasa baru boleh, bila jalan musyawarah memang sudah buntu. Dan, khusus untuk kritik yang ditujukan ke penguasa, yang boleh dilakukan sebatas memberi penjelasan dan nasihat. Mengapa begitu? "Soalnya, selama pemerintah tidak menganjurkan melakukan perbuatan kafir, misalnya, menyuruh menyembah berhala, selama itu kita tidak boleh memberontak," kata K.H. Masduqi Mahfud, kiai yang ikut merumuskan hukum unjuk rasa itu.
K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PW NU Jawa Timur, menjelaskannya dengan bahasa yang lebih gamblang. Menurut kiai lulusan Pesantren Gontor, Ponorogo itu, perlawanan terhadap lembaga, yaitu pemerintahan yang sah, tidak diperbolehkan. Ia membedakan pengertian antara pemerintah yang dalam Islam disebut imarah dan pejabat pemerintah yang disebut sulthon. "Lembaga pemerintah yang sah tidak boleh dilawan. Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang salah (mungkar), ini yang harus ditindak," kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi penjelasan lain. "Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan," ujar Hasyim Muzadi. Dasar yang dipakai adalah kaidah ushul fiqh, "menolak bahaya tidak boleh dengan menciptakan bahaya.". Dalam arti lain, "Kalau ada sesuatu yang salah (kemungkaran), ya, kemungkarannya itu yang diatasi, jangan membuat kemungkaran baru. Ibarat kalau menuntut kenaikan gaji dari perusahaan, jangan pabriknya yang dibakar, nanti kan malah menganggur," tutur Hasyim Muzadi.
Jadi, silakan berunjuk rasa, asal tertib dan aman, begitu Kiai?
K.M.N./Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970823-001/Hal. 105 Rubrik Agama
BOLEHKAH aksi unjuk rasa dari sudut pandang agama Islam? Para kiai Nahdhatul Ulama di Jawa Timur membahas kasus tersebut--rasanya ini pembahasan yang pertama kali. Tentu, bukan tanpa latar belakang (asbabun nuzul). Seperti diketahui, belakangan ini, kerusuhan yang merupakan buntut dari unjuk rasa marak di daerah-daerah kantung santri. Menyebut dua kasus besar, misalnya, protes masyarakat terhadap vonis atas Soleh yang menghina almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin, kiai besar dari Pesantren Asembagus, dan kerusuhan di Sampang akhir Mei lalu karena protes masyarakat atas kecurangan dalam pelaksanaan pemungutan suara.
Bahwa setiap muslim haruslah melakukan fungsi kritik sosial seperti yang tersurat dalam prinsip amar makruf nahi mungkar (menyuruh berbuat baik, mencegah perbuatan yang merusak), rasanya sudah diketahui umum. Namun, bagaimana cara melakukannya, apakah bisa dengan cara unjuk rasa, tampaknya para kiai perlu berembuk dulu. Tentu, maksudnya agar misi kritik tidak terjerumus ke perbuatan merusak yang tak sesuai dengan pesan Islam. Dan, itulah yang dibahas oleh Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur dalam forum pengkajian masalah-masalah fikih yang dihadiri 300 orang, di Pesantren Alfattah Siman Sekaran, Lamongan, Sabtu dua pekan lalu.
Merujuk kitab-kitab kuning semacam Az-Zawaajir, Ihyaa' Uluumuddiin, Jalaal 'alal Minhaj dan I'aanatut Thaalibiin, para kiai nahdhiyyin itu berkesimpulan bahwa unjuk rasa dan pemogokan yang ditujukan untuk mengoreksi perorangan atau lembaga swasta maupun pemerintahan diperbolehkan. Prinsip amar makruf nahi mungkar menjadi dasar utama kesimpulan itu. Dalil lain yang mereka pakai adalah hadis kuat dan populer, "Man ro'a minkum munkaron fal yughoyyirhu bi yadihi, fain lam yastathi' fal yughoyyirhu bi lisaanihi, fain lam yastathi' fal yughoyyirhu bi qalbihi. Wa dhaalika 'adh'aful iimaan." Artinya, orang yang menyaksikan suatu kesalahan (kemungkaran) sedang berlangsung, hendaklah ia mencegah dengan otoritasnya, kalau tak bisa, hendaklah dicoba dengan bahasa kata, kalau tak mempan juga, baru dengan komitmen dalam hati, namun yang terakhir ini cermin iman yang lemah.
Lebih spesifik, mereka mencari landasan etik dari kitab Ihyaa' Ulumuddiin karya Imam Ghazali. Ahli tasawuf dan pemikir besar Islam sepanjang zaman itu menguraikan cara mengimplementasikan pesan amar makruf nahi mungkar dalam empat tingkat. Ada yang dengan cara baik-baik, berupa penjelasan lisan, atau nasihat dengan tutur kata yang terjaga. Cara lain dengan peringatan keras berupa gertakan. Yang paling keras ya dengan cara paksa. Sayang, para kiai itu tak menjelaskan lebih detail cara paksa yang dimaksudkan.
Namun, apa benar unjuk rasa diperbolehkan? Nanti dulu. Sebab, pembolehan unjuk rasa dan mogok itu masih disertai berbagai catatan. Antara lain, unjuk rasa boleh-boleh saja asal tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan tidak membahayakan jiwa dan harta orang lain. Syarat lain, unjuk rasa baru boleh, bila jalan musyawarah memang sudah buntu. Dan, khusus untuk kritik yang ditujukan ke penguasa, yang boleh dilakukan sebatas memberi penjelasan dan nasihat. Mengapa begitu? "Soalnya, selama pemerintah tidak menganjurkan melakukan perbuatan kafir, misalnya, menyuruh menyembah berhala, selama itu kita tidak boleh memberontak," kata K.H. Masduqi Mahfud, kiai yang ikut merumuskan hukum unjuk rasa itu.
K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PW NU Jawa Timur, menjelaskannya dengan bahasa yang lebih gamblang. Menurut kiai lulusan Pesantren Gontor, Ponorogo itu, perlawanan terhadap lembaga, yaitu pemerintahan yang sah, tidak diperbolehkan. Ia membedakan pengertian antara pemerintah yang dalam Islam disebut imarah dan pejabat pemerintah yang disebut sulthon. "Lembaga pemerintah yang sah tidak boleh dilawan. Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang salah (mungkar), ini yang harus ditindak," kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi penjelasan lain. "Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan," ujar Hasyim Muzadi. Dasar yang dipakai adalah kaidah ushul fiqh, "menolak bahaya tidak boleh dengan menciptakan bahaya.". Dalam arti lain, "Kalau ada sesuatu yang salah (kemungkaran), ya, kemungkarannya itu yang diatasi, jangan membuat kemungkaran baru. Ibarat kalau menuntut kenaikan gaji dari perusahaan, jangan pabriknya yang dibakar, nanti kan malah menganggur," tutur Hasyim Muzadi.
Jadi, silakan berunjuk rasa, asal tertib dan aman, begitu Kiai?
K.M.N./Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 970823-001/Hal. 105 Rubrik Agama
Comments