Tanpa Pemberitahuan, Hukuman Mereka Dikuatkan
Aktivis PRD sudah divonis banding, sementara memori banding baru diterima beberapa hari sesudahnya. Mereka protes dan akan tetap melakukan kasasi.
ANAK-ANAK muda itu kini tak mirip aktivis lagi. Budiman Sudjatmiko dan teman-temannya, para pentolan Partai Rakyat Demokratik (PRD), kini tak lagi berkulit gelap akibat terbakar matahari di saat mereka melakukan aksi unjuk rasa. Kulit mereka yang putih bersih membuatnya lebih mirip pemuda-pemuda rumahan yang tak pernah bergaul dengan buruh atau aparat keamanan.
Kurungan penjara selama hampir setahun (Budiman dkk. ditangkap di rumah Beni Sumardi di Bekasi bulan Agustus 1996), memang mampu mengubah penampilan fisik Budiman, 27 tahun, Ketua Umum PRD. Begitu juga rekan-rekannya sesama aktivis PRD yang ditahan di Rumah Tahanan Salemba: Garda Sembiring, 27 tahun, Jakobus Eko Kurniawan, 27 tahun, Ign. Pranowo, 28 tahun, dan Suroso, 24 tahun. Namun, satu hal tak berubah dalam diri anak-anak muda itu, cara berbicara mereka tetaplah meledak-ledak dan bersemangat. Mereka pun masih konsisten, agar keadaan lebih baik di negara ini perlu adanya sebuah perubahan. Penjara rupanya tak bisa melunturkan cita-cita mereka.
Sekian lama dalam Rutan Salemba, pemuda-pemuda itu sudah bergaul akrab dengan sesama tahanan. Tak ada hambatan yang berarti untuk menjalin komunikasi. "Kalau koran langganan kami datang, mereka juga baca. Kalau ada berita bagus, kami berdiskusi," cerita Budiman. Tak hanya koran yang ditimbrungi oleh tahanan lain, tapi juga koleksi buku milik pemuda-pemuda pelahap buku tersebut. Segala macam buku ingin dipinjam. "Ada napi yang pinjam buku Demokratisasi Gelombang Ketiga-nya Samuel Huntington. Setelah itu, ia tertarik dengan buku Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi," kata jebolan FE UGM itu sambil tertawa.
Itulah salah satu cara mereka untuk menghabiskan waktu dan meleburkan diri dalam komunitas di rutan. Di samping itu, mantan-mantan mahasiswa itu juga melakukan berbagai aktivitas lainnya. Mulai dari menerjemahkan buku-buku asing, berdiskusi, dan mendengarkan musik. Masih ada satu keinginan Budiman yang hingga kini belum terlaksana: menulis buku soal gerakan demokrasi di sejumlah negara berkembang. Atau paling tidak, sebuah buku tentang pengalaman jadi aktivis PRD yang dipenjara.
Aktivitas serupa juga dilakukan para pentolan PRD yang dipenjara di Surabaya, Dita Indah Sari, Coen Husein Pontoh, dan Mochamad Soleh. Dita, satu-satunya aktivis PRD wanita yang dipenjara--semula di Rutan Medaeng, Sidoarjo, kemudian dipindah ke LP Lowokwaru, Malang, setelah Medaeng terbakar 11 Juni lalu--, kini jadi rajin ikut olahraga voli, berkebun, membaca, menulis, atau pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Kalau tak rajin-rajin menyibukkan diri, masa penahanan mereka akan terasa begitu panjang, soalnya vonis penjara yang mereka terima memang tidak singkat. Budiman, contohnya, harus mendekam 13 tahun dalam penjara dan Dita dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Dan, vonis 12 orang aktivis PRD lainnya bervariasi, yakni antara 5-12 tahun penjara. Ketika divonis, keseluruh anak muda, yang menganggap peradilan buat mereka hanya diada-adakan untuk mencari kambing hitam Peristiwa 27 Juli 1996 itu, menyatakan naik banding.
* Tanpa Pemberitahuan
Dalam posisi tengah menanti putusan banding itu, tak heran bila mereka merasa marah ketika mendengar putusan bandingnya sudah turun tanpa ada sebuah pemberitahuan resmi dari pengadilan pun untuk mereka. Para aktivis beserta pembelanya justru mendengar kabar tersebut dari pihak lain. Budiman dkk., misalnya, mengetahuinya dari membaca surat kabar. Pembela Dita dkk. mengetahuinya dari petugas LP. Para aktivis PRD yang disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikukuhkan hukumannya oleh Pengadilan Tinggi. Itu artinya, Budiman bakal tetap mendekam 13 tahun di penjara, Garda 12 tahun, Pranowo sembilan tahun, Eko delapan tahun, dan Suroso tujuh tahun. Sebagian rekannya di Surabaya mendapat sedikit pengurangan. Dita diturunkan menjadi lima tahun (dari vonis enam tahun), Coen tiga setengah tahun (dari empat tahun), namun Soleh tetap mendapat ganjaran empat tahun penjara.
Berkas perkara rekan-rekan mereka yang disidang di PN Jakarta Selatan (Petrus Hari Hariyanto, Ken Budha Kusumandaru, Victor da Costa, Ign. Putut Arintoko, I Gusti Agung Anom Astika, dan Wilson bin Nurtiyas) menurut Soekardjo, salah satu anggota majelis hakim tinggi yang memutus perkara Budiman dkk. sudah dilimpahkan oleh PN Jakarta Selatan ke PT. "Namun, belum
ditunjuk majelis hakim yang akan mengurus memori bandingnya," katanya.
Karena itu, Budiman pun melontarkan protes. "Hingga kini salinan putusan banding PT Jakarta belum saya terima. (Putusan banding itu ditetapkan tanggal 23 Juni 1997). Memori banding dari jaksa pun tak pernah kami terima, padahal itu penting agar kami bisa membuat kontra memori banding. Memori banding jaksa ini baru kami terima setelah putusan keluar. Seolah-olah memori banding itu hanya kumpulan kertas-kertas biasa. Padahal, di sana ada hak dan segala macam," kata Budiman yang setiap minggu dikunjungi keluarganya dari Bogor itu.
Adapun putusan banding PRD kubu Surabaya yang sudah keluar tanggal 2 Juni lalu (untuk Dita dan Coen) baru diterima pengacaranya tanggal 10 Juli 1997. "Kami baru mendengar kabar putusan banding itu dari pihak LP Kalisosok, tempat Coen dan Soleh ditahan," ujar Yudi Burhan, Kepala Divisi Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang menjadi pembela para aktivis itu. Ia tak tahu mengapa pihak PT terlambat sebulan untuk memberitahukan hal ini pada para terdakwa.
Khusus untuk Mochamad Soleh, putusan bandingnya memang baru turun tanggal 10 Juli lalu. PT menguatkan putusan PN Surabaya. Salah satu alasannya, menurut dugaan para aktivis adalah karena Kakansospol Kodya Surabaya, Letkol Budiyanto, pernah menuduh adik Soleh yang bernama Dwi Harianto adalah yang mendalangi unjuk rasa buruh PT Wangta Agung beberapa waktu lalu. Tuduhan itu dibantah oleh keluarga Soleh, mahasiswa Universitas Wijaya Kusuma yang baru setahun aktif di PRD, karena Soleh adalah anak bungsu. Namun, Letkol Budiyanto menjawab enteng saja soal tuduhannya, "Data soal Dwi itu adiknya Soleh berasal dari aparat keamanan dan kebetulan saya pernah ketemu di pengadilan," katanya kepada Abdul Manan dari D&R.
* Cacat Hukum
Putusan banding ini dinilai Dwiyanto Prihartono, pengacara dari LBH Jakarta, sebagai cacat hukum. "Dan, segala sesuatu yang sifatnya cacat tentunya mengakibatkan putusan banding ini harus dinyatakan batal," kata mantan pembela Budiman cs. yang dicabut kuasa hukumnya oleh Budiman sendiri. Ia lalu mengurutkan proses jalannya berkas tersebut. Tanggal 26 Mei berkas banding diajukan ke PT dan tanpa ada informasi soal sidangnya, tiba-tiba tanggal 23 Juni sudah jatuh putusannya. Salinan putusan itu baru diterima para terdakwa tanggal 30 Juni, sedang memori banding dari jaksa diterima tanggal 25 Juni (untuk Eko dkk.) dan tanggal 30 Juni (Budiman dan Garda). Padahal, salinan putusan dan memori banding itu diperlukan untuk menyusun kontra memori banding yang jelas saja pada saat itu sudah tak dibutuhkan karena toh putusan sudah jatuh tanggal 23 Juni.
"Artinya, para terdakwa tidak memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Sebab, terdakwa harus dihormati hak-haknya untuk menyatakan dirinya tak bersalah selama belum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap," kata Dwiyanto.
Karena itu, bagi PRD kubu Jakarta maupun Surabaya sama-sama berniat untuk mengajukan protes. "Kami akan melayangkan surat ke Mahkamah Agung karena ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi masalah prinsipiil. Kami mengharapkan MA segera memproses pengadilan kami sejak awal kembali dan kalau bisa dianggap sebagai kasus yang layak diputuskan oleh MA," ujar Budiman.
Mereka juga tetap akan mengajukan kasasi. Alasan Budiman, kasus mereka adalah pengadilan pikiran-pikiran politik, namun sejak awal dianggap sebagai tindak pidana. Dita yang mendapat pengurangan setahun dari vonis semula pun berpendapat serupa. "Saya tak merasa bersalah sama sekali. Pembuktian di pengadilan tak meyakinkan," kata Dita yang kulitnya kini makin putih itu. Semula, ia memang ditangkap karena memimpin unjuk rasa buruh Tandes tanggal 8 dan 9 Juli, tapi di tengah jalan terjadi kasus 27 Juli dan tuduhan kepadanya pun berbelok dengan dipakainya pasal-pasal subversi. Tapi, hukumannya dikurangi. "Itu lebih banyak karena faktor kasihan saja," ujarnya.
Pihak Pengadilan Tinggi yang ditanya mengapa vonis banding tak disampaikan ke para terdakwa, mencoba berkelit. "Oleh majelis hakim, keputusan itu sudah dikirim ke bagian pidana dan tentu saja nanti diturunkan ke pengadilan negeri. Dan, itu tugas PN, bukan PT," kata Reni Retnowati, Humas PT Jakarta yang juga salah satu anggota tim majelis yang mengadili Budiman dkk.
Namun, Reni sedikit gelagapan ketika ditanya soal kontra memori banding yang tak diajukan oleh para terdakwa. "Kesempatan itu kan di pengadilan negeri. Saya kira mereka sudah memperoleh haknya, tapi kemungkinan besar kesempatan itu tidak digunakan," ujarnya tak yakin.
Laporan Eko Yulistyo, Gatot Prihanto (Jakarta), I. Saptono, dan Zed Abidien (Surabaya)
D&R, Edisi 970726-049/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
ANAK-ANAK muda itu kini tak mirip aktivis lagi. Budiman Sudjatmiko dan teman-temannya, para pentolan Partai Rakyat Demokratik (PRD), kini tak lagi berkulit gelap akibat terbakar matahari di saat mereka melakukan aksi unjuk rasa. Kulit mereka yang putih bersih membuatnya lebih mirip pemuda-pemuda rumahan yang tak pernah bergaul dengan buruh atau aparat keamanan.
Kurungan penjara selama hampir setahun (Budiman dkk. ditangkap di rumah Beni Sumardi di Bekasi bulan Agustus 1996), memang mampu mengubah penampilan fisik Budiman, 27 tahun, Ketua Umum PRD. Begitu juga rekan-rekannya sesama aktivis PRD yang ditahan di Rumah Tahanan Salemba: Garda Sembiring, 27 tahun, Jakobus Eko Kurniawan, 27 tahun, Ign. Pranowo, 28 tahun, dan Suroso, 24 tahun. Namun, satu hal tak berubah dalam diri anak-anak muda itu, cara berbicara mereka tetaplah meledak-ledak dan bersemangat. Mereka pun masih konsisten, agar keadaan lebih baik di negara ini perlu adanya sebuah perubahan. Penjara rupanya tak bisa melunturkan cita-cita mereka.
Sekian lama dalam Rutan Salemba, pemuda-pemuda itu sudah bergaul akrab dengan sesama tahanan. Tak ada hambatan yang berarti untuk menjalin komunikasi. "Kalau koran langganan kami datang, mereka juga baca. Kalau ada berita bagus, kami berdiskusi," cerita Budiman. Tak hanya koran yang ditimbrungi oleh tahanan lain, tapi juga koleksi buku milik pemuda-pemuda pelahap buku tersebut. Segala macam buku ingin dipinjam. "Ada napi yang pinjam buku Demokratisasi Gelombang Ketiga-nya Samuel Huntington. Setelah itu, ia tertarik dengan buku Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi," kata jebolan FE UGM itu sambil tertawa.
Itulah salah satu cara mereka untuk menghabiskan waktu dan meleburkan diri dalam komunitas di rutan. Di samping itu, mantan-mantan mahasiswa itu juga melakukan berbagai aktivitas lainnya. Mulai dari menerjemahkan buku-buku asing, berdiskusi, dan mendengarkan musik. Masih ada satu keinginan Budiman yang hingga kini belum terlaksana: menulis buku soal gerakan demokrasi di sejumlah negara berkembang. Atau paling tidak, sebuah buku tentang pengalaman jadi aktivis PRD yang dipenjara.
Aktivitas serupa juga dilakukan para pentolan PRD yang dipenjara di Surabaya, Dita Indah Sari, Coen Husein Pontoh, dan Mochamad Soleh. Dita, satu-satunya aktivis PRD wanita yang dipenjara--semula di Rutan Medaeng, Sidoarjo, kemudian dipindah ke LP Lowokwaru, Malang, setelah Medaeng terbakar 11 Juni lalu--, kini jadi rajin ikut olahraga voli, berkebun, membaca, menulis, atau pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Kalau tak rajin-rajin menyibukkan diri, masa penahanan mereka akan terasa begitu panjang, soalnya vonis penjara yang mereka terima memang tidak singkat. Budiman, contohnya, harus mendekam 13 tahun dalam penjara dan Dita dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Dan, vonis 12 orang aktivis PRD lainnya bervariasi, yakni antara 5-12 tahun penjara. Ketika divonis, keseluruh anak muda, yang menganggap peradilan buat mereka hanya diada-adakan untuk mencari kambing hitam Peristiwa 27 Juli 1996 itu, menyatakan naik banding.
* Tanpa Pemberitahuan
Dalam posisi tengah menanti putusan banding itu, tak heran bila mereka merasa marah ketika mendengar putusan bandingnya sudah turun tanpa ada sebuah pemberitahuan resmi dari pengadilan pun untuk mereka. Para aktivis beserta pembelanya justru mendengar kabar tersebut dari pihak lain. Budiman dkk., misalnya, mengetahuinya dari membaca surat kabar. Pembela Dita dkk. mengetahuinya dari petugas LP. Para aktivis PRD yang disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikukuhkan hukumannya oleh Pengadilan Tinggi. Itu artinya, Budiman bakal tetap mendekam 13 tahun di penjara, Garda 12 tahun, Pranowo sembilan tahun, Eko delapan tahun, dan Suroso tujuh tahun. Sebagian rekannya di Surabaya mendapat sedikit pengurangan. Dita diturunkan menjadi lima tahun (dari vonis enam tahun), Coen tiga setengah tahun (dari empat tahun), namun Soleh tetap mendapat ganjaran empat tahun penjara.
Berkas perkara rekan-rekan mereka yang disidang di PN Jakarta Selatan (Petrus Hari Hariyanto, Ken Budha Kusumandaru, Victor da Costa, Ign. Putut Arintoko, I Gusti Agung Anom Astika, dan Wilson bin Nurtiyas) menurut Soekardjo, salah satu anggota majelis hakim tinggi yang memutus perkara Budiman dkk. sudah dilimpahkan oleh PN Jakarta Selatan ke PT. "Namun, belum
ditunjuk majelis hakim yang akan mengurus memori bandingnya," katanya.
Karena itu, Budiman pun melontarkan protes. "Hingga kini salinan putusan banding PT Jakarta belum saya terima. (Putusan banding itu ditetapkan tanggal 23 Juni 1997). Memori banding dari jaksa pun tak pernah kami terima, padahal itu penting agar kami bisa membuat kontra memori banding. Memori banding jaksa ini baru kami terima setelah putusan keluar. Seolah-olah memori banding itu hanya kumpulan kertas-kertas biasa. Padahal, di sana ada hak dan segala macam," kata Budiman yang setiap minggu dikunjungi keluarganya dari Bogor itu.
Adapun putusan banding PRD kubu Surabaya yang sudah keluar tanggal 2 Juni lalu (untuk Dita dan Coen) baru diterima pengacaranya tanggal 10 Juli 1997. "Kami baru mendengar kabar putusan banding itu dari pihak LP Kalisosok, tempat Coen dan Soleh ditahan," ujar Yudi Burhan, Kepala Divisi Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang menjadi pembela para aktivis itu. Ia tak tahu mengapa pihak PT terlambat sebulan untuk memberitahukan hal ini pada para terdakwa.
Khusus untuk Mochamad Soleh, putusan bandingnya memang baru turun tanggal 10 Juli lalu. PT menguatkan putusan PN Surabaya. Salah satu alasannya, menurut dugaan para aktivis adalah karena Kakansospol Kodya Surabaya, Letkol Budiyanto, pernah menuduh adik Soleh yang bernama Dwi Harianto adalah yang mendalangi unjuk rasa buruh PT Wangta Agung beberapa waktu lalu. Tuduhan itu dibantah oleh keluarga Soleh, mahasiswa Universitas Wijaya Kusuma yang baru setahun aktif di PRD, karena Soleh adalah anak bungsu. Namun, Letkol Budiyanto menjawab enteng saja soal tuduhannya, "Data soal Dwi itu adiknya Soleh berasal dari aparat keamanan dan kebetulan saya pernah ketemu di pengadilan," katanya kepada Abdul Manan dari D&R.
* Cacat Hukum
Putusan banding ini dinilai Dwiyanto Prihartono, pengacara dari LBH Jakarta, sebagai cacat hukum. "Dan, segala sesuatu yang sifatnya cacat tentunya mengakibatkan putusan banding ini harus dinyatakan batal," kata mantan pembela Budiman cs. yang dicabut kuasa hukumnya oleh Budiman sendiri. Ia lalu mengurutkan proses jalannya berkas tersebut. Tanggal 26 Mei berkas banding diajukan ke PT dan tanpa ada informasi soal sidangnya, tiba-tiba tanggal 23 Juni sudah jatuh putusannya. Salinan putusan itu baru diterima para terdakwa tanggal 30 Juni, sedang memori banding dari jaksa diterima tanggal 25 Juni (untuk Eko dkk.) dan tanggal 30 Juni (Budiman dan Garda). Padahal, salinan putusan dan memori banding itu diperlukan untuk menyusun kontra memori banding yang jelas saja pada saat itu sudah tak dibutuhkan karena toh putusan sudah jatuh tanggal 23 Juni.
"Artinya, para terdakwa tidak memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Sebab, terdakwa harus dihormati hak-haknya untuk menyatakan dirinya tak bersalah selama belum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap," kata Dwiyanto.
Karena itu, bagi PRD kubu Jakarta maupun Surabaya sama-sama berniat untuk mengajukan protes. "Kami akan melayangkan surat ke Mahkamah Agung karena ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi masalah prinsipiil. Kami mengharapkan MA segera memproses pengadilan kami sejak awal kembali dan kalau bisa dianggap sebagai kasus yang layak diputuskan oleh MA," ujar Budiman.
Mereka juga tetap akan mengajukan kasasi. Alasan Budiman, kasus mereka adalah pengadilan pikiran-pikiran politik, namun sejak awal dianggap sebagai tindak pidana. Dita yang mendapat pengurangan setahun dari vonis semula pun berpendapat serupa. "Saya tak merasa bersalah sama sekali. Pembuktian di pengadilan tak meyakinkan," kata Dita yang kulitnya kini makin putih itu. Semula, ia memang ditangkap karena memimpin unjuk rasa buruh Tandes tanggal 8 dan 9 Juli, tapi di tengah jalan terjadi kasus 27 Juli dan tuduhan kepadanya pun berbelok dengan dipakainya pasal-pasal subversi. Tapi, hukumannya dikurangi. "Itu lebih banyak karena faktor kasihan saja," ujarnya.
Pihak Pengadilan Tinggi yang ditanya mengapa vonis banding tak disampaikan ke para terdakwa, mencoba berkelit. "Oleh majelis hakim, keputusan itu sudah dikirim ke bagian pidana dan tentu saja nanti diturunkan ke pengadilan negeri. Dan, itu tugas PN, bukan PT," kata Reni Retnowati, Humas PT Jakarta yang juga salah satu anggota tim majelis yang mengadili Budiman dkk.
Namun, Reni sedikit gelagapan ketika ditanya soal kontra memori banding yang tak diajukan oleh para terdakwa. "Kesempatan itu kan di pengadilan negeri. Saya kira mereka sudah memperoleh haknya, tapi kemungkinan besar kesempatan itu tidak digunakan," ujarnya tak yakin.
Laporan Eko Yulistyo, Gatot Prihanto (Jakarta), I. Saptono, dan Zed Abidien (Surabaya)
D&R, Edisi 970726-049/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments