Pilih Kasih untuk Pelanggar Pemilu
Menurut Ketua Panwaslak ada 3.000 kasus pelanggaran pemilu yang akan ditindaklanjuti. Tapi, hingga kini hanya pelaku kerusuhan yang diadili, sedangkan kasus kecurangan tak diproses.
SEPERTI siaran ulangan, sesudah lakon pemilihan umum usai, adegan akan berputar kembali seperti keadaan lima tahun lalu. Para pejabat Panitia Pemilihan Indonesia mengucapkan syukur karena pesta demokrasi bisa berjalan dengan sukses, Golkar bergembira-ria merayakan kemenangannya yang gilang-gemilang, sedangkan para calon anggota legislatif yang bakal jadi anggota dewan mulai bersiap-siap mendapat kursi maupun fasilitas yang menggiurkan.
Segala kemeriahan sesudah pesta selesai itu seolah ingin melupakan noda-noda hitam yang terjadi selama persiapan dan saat berlangsung acara akbar tersebut. Noda-noda hitam itu berupa pelanggaran selama kampanye dan terutama aksi-aksi kecurangan yang dilakukan pada saat pencoblosan untuk memenangkan Golkar. Bagaimana nasib kasus-kasus pelanggaran itu? Apakah cuma jadi tumpukan arsip yang menggunung dalam kantor Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak) sebagai lembaga yang bertugas untuk mengamankan jalannya pemilu?
Pendapat itu dibantah Ketua Panwaslak Pusat Singgih. Menurut dia, pihaknya telah mendapat 3.000 laporan pelanggaran pemilu dan 2.000 di antaranya menyangkut tindak pidana. "Sejumlah kasus pelanggaran malah sudah ditindaklanjuti dan bahkan sudah masuk ke pengadilan. Ini menunjukkan Panwaslak menindaklanjuti laporan-laporan pelanggaran pemilu dan tidak mendiamkannya," katanya.
Ketua Panwaslak Pusat yang juga Jaksa Agung itu mencoba meyakinkan bahwa aparatnya akan mengambil tindakan untuk semua kasus pelanggaran yang berhubungan dengan proses pemilu. "Seperti kasus Banjarmasin, Sampang, Bangil, dan Jember, serta kasus-kasus lain, seperti pemalsuan Formulir CA1," ujar Singgih.
Selain kasus-kasus kerusuhan itu, Panwaslak memastikan akan menyelidiki kasus kecurangan pemilu. Termasuk dalam kategori kecurangan itu, kata Singgih, adalah mereka yang mencoblos dua kali dan menggunakan nama orang lain. "Pelanggaran seperti itu dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Tapi, dari laporan yang masuk ke Panwaslak, pelanggaran ini bukan atas perintah
organisasi peserta pemilu tertentu, melainkan atas keinginan masing-masing individu," ujar Singgih.
Ucapan Ketua Panwaslak Pusat yang agak naif itu membuat banyak pihak pesimistis bahwa kasus kecurangan yang sudah jadi penyakit kronis di setiap pemilu itu akan sampai pada tahap penyidikan. Bahkan, mungkin akan dipeti-eskan. Itu bisa dibuktikan dari perlakuan yang diterima oleh para pengurus PPP yang melaporkan kecurangan-kecurangan yang dialaminya selama hari pencoblosan lalu.
Padahal, jumlah kasus kecurangan itu tidaklah sedikit. "Hampir semua (37) DPC PPP Jawa Timur melaporkan adanya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh panitia pemilu," kata Yudi Burhan, Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang menjadi kuasa hukum untuk DPW PPP Jawa Timur. Ketua-ketua DPC PPP itu menganggap laporan telah disampaikan ke tangan yang tepat, yaitu ke polisi atau ke Panwaslak II. Tapi, banyak laporan yang hingga sekarang belum diproses.
Itu misalnya dialami pengurus PPP Magetan. Mereka melaporkan ke polisi bahwa Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Marwan dan Ketua PPS Kecamatan Bendo, Juwarno, telah melakukan manipulasi suara. Atau, laporan dari DPC PPP Ponorogo yang mengatakan telah terjadi pencoblosan lebih dari satu kartu suara oleh lima pamong desa di Desa Paju. Anehnya, laporan itu tak berlanjut karena ditolak Polres Ponorogo dengan alasan tidak ada pelimpahan dari Panwaslak II.
Yang lebih unik terjadi dalam laporan dari DPC PPP Bangkalan. Mereka melaporkan ke polres bahwa telah terjadi pencoblosan fiktif di Desa Bendangdaya, Kecamatan Tanjungbumi. Pengurus PPP menemukan di bagian bawah kotak suara ada sekat pemisah dari triplek yang berisi kartu-kartu suara yang sudah dicoblos pada tanda gambar Golkar. Laporan itu sebenarnya sudah diselidiki Polres Bangkalan, tapi kemudian dihentikan karena kesulitan memanggil saksi. "Alasan polres, untuk menyidik pelaku yang terdiri dari kepala desa dan camat harus menunggu izin dari bupati," ujar Yudi Burhan. Maka, kasus yang jelas-jelas kecurangan itu pun jadi mengambang.
Jenis-jenis kecurangan yang dilaporkan para pengurus PPP di Jawa Timur itu hampir sama. Mulai dari menyuap saksi, mengintimidasi, manipulasi suara, membawa lari kotak suara, mencoblos lebih dari satu kali, atau memasukkan kartu suara ganda--beberapa ada yang sampai 10 kartu. Ada juga masyarakat yang tak mendapat kartu kuning, saksi yang diusir, perhitungan suara sebelum waktunya, petugas yang mencoblos kartu saat penghitungan dengan kukunya agar jadi tak sah, sampai saksi yang dikeroyok, dipukul, dan ditusuk.
Kecurangan seperti itulah yang dilaporkan DPC PPP Situbondo dan DPC PPP Sampang. Dalam balasannya terhadap surat DPC PPP Sampang tertanggal 15 Juni lalu, Panwaslak Sampang mengatakan bahwa soal kecurangan-kecurangan pemilu (di luar kasus penganiayaan dan perusakan kartu suara) bisa digugat melalui pengadilan.
Itulah yang coba dilakukan pengurus DPC PPP Pamekasan. Pekan-pekan ini, gugatan dari Ketua dan Sekretaris DPC PPP Pamekasan Mohammad Fadli Ghozali dan Abdullah Bakir Zaelani itu akan disidangkan. Dalam gugatannya, kedua pengurus itu menjabarkan secara detail kecurangan yang dilakukan oknum pemerintah untuk memenangkan Golkar. Kecurangan bahkan sudah dilakukan sejak awal Januari lalu ketika Bupati Pamekasan mengumpulkan para kepala desa. Dalam pengarahannya, ia meminta Golkar harus menang walaupun dengan segala cara.
Walau pengacaranya, Artidjo Alkostar, yakin bahwa gugatan perdata itu akan diterima pengadilan, hasil persidangan untuk kasus seperti itu sebenarnya bisa diduga. Selama ini, para petugas pemilu seperti kebal hukum. Dalam pemilu lalu, misalnya, dua petani lugu dari Desa Barongsawahan, Jombang, Jawa Timur, dihukum lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan karena mencoblos dua kali. Padahal, dalam pengakuan di sidang, petani itu mengaku menggunakan hak pilih anaknya yang sedang sakit dengan seizin ketua PPS. Namun, si ketua PPS lolos dari jerat.
Mungkin karena itulah kasus kecurangan pemilu yang sampai ke pengadilan bisa dihitung. Yang saat ini banyak terjadi adalah persidangan untuk kasus-kasus kerusuhan. Itu antara lain sudah terjadi di Pengadilan Negeri Pasuruan yang tanggal 23 Juni lalu sudah menjatuhkan vonis untuk Moh. Mustainudin. Tukang kayu dan guru mengaji itu dihukum tiga bulan dengan tujuh bulan masa percobaan karena kedapatan membawa wedung (golok pendek) ketika melakukan konvoi ke Pesantren Besuk saat kampanye lalu.
Soal penangkapan dan persidangan Mustainudin dan 20 orang warga PPP itu dibenarkan pengurus PPP Pasuruan. Sementara warganya disidang kilat, pengaduan mereka tentang kecurangan pemilu yang ditujukan ke polres pada 9 Juni lalu hingga kini belum jelas nasibnya. "Dalam waktu dekat, kami akan mengajukan pengaduan baru, sekaligus menanyakan jawaban atas surat pertama," kata Abdul Azis Saleh Bazed, Ketua DPC PPP Kabupaten Pasuruan.
Ketika ditanyakan ke Kapolres Situbondo Letkol Jaelani Syaf, mengapa pelaku kecurangan tak segera ditindak, ia hanya berkomentar pendek, "No comment." Walau begitu, ia mengaku sudah menerima laporan kecurangan yang diajukan pengurus PPP Situbondo. "Tapi itu ditangani Panwaslak, salah mereka, bukan saya. Nanti Panwaslak menyampaikan ke Panitia Pemilihan Daerah II. Mekanismenya memang begitu," katanya.
Mekanisme seperti itu dikritik Yudi Burhan. Menurut dia, delik pemilu adalah delik biasa dan bukan delik aduan. "Jadi kalau kasus itu memang ada, apalagi ada pihak yang dilaporkan, ya, segera saja diproses secara hukum. Kan, mereka bisa dikenakan pidana seperti yang diatur dalam KUHP dan UU Pemilu No. 1/1985," ujar Yudi.
Walau Kapolri Jenderal Dibyo Widodo mengatakan bahwa pihaknya bertekad akan menindaklanjuti perkara pelanggaran pemilu dan tak akan mempeti-eskannya, kondisi yang terkesan dipingpong itu membuat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tak mau tinggal diam. Misalnya untuk kasus tambahan suara 60 ribu yang tiba-tiba muncul di Sumatra Utara, yang mereka nilai perbuatan yang melawan hukum. "Kalaupun tak ada pengaduan dari masyarakat untuk kasus ini, Lembaga Bantuan Hukum mau mencoba mempresentasikan dirinya sebagai lembaga hak asasi manusia untuk mengajukan gugatan atas dirinya. Karena, bisa saja rakyat tak menggugat karena takut," kata Bambang Widjojanto, Ketua YLBHI.
Inisiatif LBH untuk mendapatkan legal standing itu bertolak dari keinginan untuk mengoreksi pelanggaran pemilu yang dilakukan negara dan tak jelas siapa yang harus menuntut. Kita tunggu saja, apakah aksi itu masih bisa menembus tembok tebal yang menutupi kecurangan pemilu yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu.
Laporan Ahmad Nur, Rachmat H.C., Ahmad S. (Yogyakarta), Abdul Manan, dan Zed Abidien (Surabaya)
D&R, Edisi 970712-047/Hal. 28 Rubrik Peristiwa & Analisa
SEPERTI siaran ulangan, sesudah lakon pemilihan umum usai, adegan akan berputar kembali seperti keadaan lima tahun lalu. Para pejabat Panitia Pemilihan Indonesia mengucapkan syukur karena pesta demokrasi bisa berjalan dengan sukses, Golkar bergembira-ria merayakan kemenangannya yang gilang-gemilang, sedangkan para calon anggota legislatif yang bakal jadi anggota dewan mulai bersiap-siap mendapat kursi maupun fasilitas yang menggiurkan.
Segala kemeriahan sesudah pesta selesai itu seolah ingin melupakan noda-noda hitam yang terjadi selama persiapan dan saat berlangsung acara akbar tersebut. Noda-noda hitam itu berupa pelanggaran selama kampanye dan terutama aksi-aksi kecurangan yang dilakukan pada saat pencoblosan untuk memenangkan Golkar. Bagaimana nasib kasus-kasus pelanggaran itu? Apakah cuma jadi tumpukan arsip yang menggunung dalam kantor Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak) sebagai lembaga yang bertugas untuk mengamankan jalannya pemilu?
Pendapat itu dibantah Ketua Panwaslak Pusat Singgih. Menurut dia, pihaknya telah mendapat 3.000 laporan pelanggaran pemilu dan 2.000 di antaranya menyangkut tindak pidana. "Sejumlah kasus pelanggaran malah sudah ditindaklanjuti dan bahkan sudah masuk ke pengadilan. Ini menunjukkan Panwaslak menindaklanjuti laporan-laporan pelanggaran pemilu dan tidak mendiamkannya," katanya.
Ketua Panwaslak Pusat yang juga Jaksa Agung itu mencoba meyakinkan bahwa aparatnya akan mengambil tindakan untuk semua kasus pelanggaran yang berhubungan dengan proses pemilu. "Seperti kasus Banjarmasin, Sampang, Bangil, dan Jember, serta kasus-kasus lain, seperti pemalsuan Formulir CA1," ujar Singgih.
Selain kasus-kasus kerusuhan itu, Panwaslak memastikan akan menyelidiki kasus kecurangan pemilu. Termasuk dalam kategori kecurangan itu, kata Singgih, adalah mereka yang mencoblos dua kali dan menggunakan nama orang lain. "Pelanggaran seperti itu dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Tapi, dari laporan yang masuk ke Panwaslak, pelanggaran ini bukan atas perintah
organisasi peserta pemilu tertentu, melainkan atas keinginan masing-masing individu," ujar Singgih.
Ucapan Ketua Panwaslak Pusat yang agak naif itu membuat banyak pihak pesimistis bahwa kasus kecurangan yang sudah jadi penyakit kronis di setiap pemilu itu akan sampai pada tahap penyidikan. Bahkan, mungkin akan dipeti-eskan. Itu bisa dibuktikan dari perlakuan yang diterima oleh para pengurus PPP yang melaporkan kecurangan-kecurangan yang dialaminya selama hari pencoblosan lalu.
Padahal, jumlah kasus kecurangan itu tidaklah sedikit. "Hampir semua (37) DPC PPP Jawa Timur melaporkan adanya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh panitia pemilu," kata Yudi Burhan, Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang menjadi kuasa hukum untuk DPW PPP Jawa Timur. Ketua-ketua DPC PPP itu menganggap laporan telah disampaikan ke tangan yang tepat, yaitu ke polisi atau ke Panwaslak II. Tapi, banyak laporan yang hingga sekarang belum diproses.
Itu misalnya dialami pengurus PPP Magetan. Mereka melaporkan ke polisi bahwa Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Marwan dan Ketua PPS Kecamatan Bendo, Juwarno, telah melakukan manipulasi suara. Atau, laporan dari DPC PPP Ponorogo yang mengatakan telah terjadi pencoblosan lebih dari satu kartu suara oleh lima pamong desa di Desa Paju. Anehnya, laporan itu tak berlanjut karena ditolak Polres Ponorogo dengan alasan tidak ada pelimpahan dari Panwaslak II.
Yang lebih unik terjadi dalam laporan dari DPC PPP Bangkalan. Mereka melaporkan ke polres bahwa telah terjadi pencoblosan fiktif di Desa Bendangdaya, Kecamatan Tanjungbumi. Pengurus PPP menemukan di bagian bawah kotak suara ada sekat pemisah dari triplek yang berisi kartu-kartu suara yang sudah dicoblos pada tanda gambar Golkar. Laporan itu sebenarnya sudah diselidiki Polres Bangkalan, tapi kemudian dihentikan karena kesulitan memanggil saksi. "Alasan polres, untuk menyidik pelaku yang terdiri dari kepala desa dan camat harus menunggu izin dari bupati," ujar Yudi Burhan. Maka, kasus yang jelas-jelas kecurangan itu pun jadi mengambang.
Jenis-jenis kecurangan yang dilaporkan para pengurus PPP di Jawa Timur itu hampir sama. Mulai dari menyuap saksi, mengintimidasi, manipulasi suara, membawa lari kotak suara, mencoblos lebih dari satu kali, atau memasukkan kartu suara ganda--beberapa ada yang sampai 10 kartu. Ada juga masyarakat yang tak mendapat kartu kuning, saksi yang diusir, perhitungan suara sebelum waktunya, petugas yang mencoblos kartu saat penghitungan dengan kukunya agar jadi tak sah, sampai saksi yang dikeroyok, dipukul, dan ditusuk.
Kecurangan seperti itulah yang dilaporkan DPC PPP Situbondo dan DPC PPP Sampang. Dalam balasannya terhadap surat DPC PPP Sampang tertanggal 15 Juni lalu, Panwaslak Sampang mengatakan bahwa soal kecurangan-kecurangan pemilu (di luar kasus penganiayaan dan perusakan kartu suara) bisa digugat melalui pengadilan.
Itulah yang coba dilakukan pengurus DPC PPP Pamekasan. Pekan-pekan ini, gugatan dari Ketua dan Sekretaris DPC PPP Pamekasan Mohammad Fadli Ghozali dan Abdullah Bakir Zaelani itu akan disidangkan. Dalam gugatannya, kedua pengurus itu menjabarkan secara detail kecurangan yang dilakukan oknum pemerintah untuk memenangkan Golkar. Kecurangan bahkan sudah dilakukan sejak awal Januari lalu ketika Bupati Pamekasan mengumpulkan para kepala desa. Dalam pengarahannya, ia meminta Golkar harus menang walaupun dengan segala cara.
Walau pengacaranya, Artidjo Alkostar, yakin bahwa gugatan perdata itu akan diterima pengadilan, hasil persidangan untuk kasus seperti itu sebenarnya bisa diduga. Selama ini, para petugas pemilu seperti kebal hukum. Dalam pemilu lalu, misalnya, dua petani lugu dari Desa Barongsawahan, Jombang, Jawa Timur, dihukum lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan karena mencoblos dua kali. Padahal, dalam pengakuan di sidang, petani itu mengaku menggunakan hak pilih anaknya yang sedang sakit dengan seizin ketua PPS. Namun, si ketua PPS lolos dari jerat.
Mungkin karena itulah kasus kecurangan pemilu yang sampai ke pengadilan bisa dihitung. Yang saat ini banyak terjadi adalah persidangan untuk kasus-kasus kerusuhan. Itu antara lain sudah terjadi di Pengadilan Negeri Pasuruan yang tanggal 23 Juni lalu sudah menjatuhkan vonis untuk Moh. Mustainudin. Tukang kayu dan guru mengaji itu dihukum tiga bulan dengan tujuh bulan masa percobaan karena kedapatan membawa wedung (golok pendek) ketika melakukan konvoi ke Pesantren Besuk saat kampanye lalu.
Soal penangkapan dan persidangan Mustainudin dan 20 orang warga PPP itu dibenarkan pengurus PPP Pasuruan. Sementara warganya disidang kilat, pengaduan mereka tentang kecurangan pemilu yang ditujukan ke polres pada 9 Juni lalu hingga kini belum jelas nasibnya. "Dalam waktu dekat, kami akan mengajukan pengaduan baru, sekaligus menanyakan jawaban atas surat pertama," kata Abdul Azis Saleh Bazed, Ketua DPC PPP Kabupaten Pasuruan.
Ketika ditanyakan ke Kapolres Situbondo Letkol Jaelani Syaf, mengapa pelaku kecurangan tak segera ditindak, ia hanya berkomentar pendek, "No comment." Walau begitu, ia mengaku sudah menerima laporan kecurangan yang diajukan pengurus PPP Situbondo. "Tapi itu ditangani Panwaslak, salah mereka, bukan saya. Nanti Panwaslak menyampaikan ke Panitia Pemilihan Daerah II. Mekanismenya memang begitu," katanya.
Mekanisme seperti itu dikritik Yudi Burhan. Menurut dia, delik pemilu adalah delik biasa dan bukan delik aduan. "Jadi kalau kasus itu memang ada, apalagi ada pihak yang dilaporkan, ya, segera saja diproses secara hukum. Kan, mereka bisa dikenakan pidana seperti yang diatur dalam KUHP dan UU Pemilu No. 1/1985," ujar Yudi.
Walau Kapolri Jenderal Dibyo Widodo mengatakan bahwa pihaknya bertekad akan menindaklanjuti perkara pelanggaran pemilu dan tak akan mempeti-eskannya, kondisi yang terkesan dipingpong itu membuat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tak mau tinggal diam. Misalnya untuk kasus tambahan suara 60 ribu yang tiba-tiba muncul di Sumatra Utara, yang mereka nilai perbuatan yang melawan hukum. "Kalaupun tak ada pengaduan dari masyarakat untuk kasus ini, Lembaga Bantuan Hukum mau mencoba mempresentasikan dirinya sebagai lembaga hak asasi manusia untuk mengajukan gugatan atas dirinya. Karena, bisa saja rakyat tak menggugat karena takut," kata Bambang Widjojanto, Ketua YLBHI.
Inisiatif LBH untuk mendapatkan legal standing itu bertolak dari keinginan untuk mengoreksi pelanggaran pemilu yang dilakukan negara dan tak jelas siapa yang harus menuntut. Kita tunggu saja, apakah aksi itu masih bisa menembus tembok tebal yang menutupi kecurangan pemilu yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu.
Laporan Ahmad Nur, Rachmat H.C., Ahmad S. (Yogyakarta), Abdul Manan, dan Zed Abidien (Surabaya)
D&R, Edisi 970712-047/Hal. 28 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments