Mereka yang Tersisa dari Kerusuhan
Nasib korban-korban kerusuhan tak berkepastian.Yang sudah mati, ada yang tak diakui sebagai korban kerusuhan. Ada juga yang dituduh macam-macam.Yang masih hidup pun tak bebas.
KERUSUHAN rupanya selalu menyisakan banyak persoalan. Ambil contoh kerusuhan 27 Juli, hampir setahun lalu, yang hingga kini masih menyisakan problem belum ditemukannya beberapa orang yang dikabarkan hilang. Demikian juga kasus kerusuhan di Sampang dan Jember--yang oleh aparat keamanan dinyatakan sudah selesai--pun masih meninggalkan masalah. Mereka yang dinyatakan hilang dalam insiden Sampang itu sampai kini belum ditemukan. Namun, seminggu setelah kerusuhan, ada yang ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Persoalan tak lantas jadi jelas karena masyarakat menganggap mereka jadi korban kerusuhan, tetapi pihak keamanan berkeras: mereka bukan korban insiden tersebut.
Contohnya, Achmad Wafir, 27 tahun, warga Dusun Brembeng, Desa Tamansareh, Sampang. Ia dinyatakan hilang pada malam kerusuhan 29 Mei 1997. Menurut seorang saksi mata, bapak dua anak itu ditangkap petugas ketika kerumuman penonton itu dibubarkan. Namun, satu minggu kemudian, sosoknya ditemukan di Desa Nambakor, Kecamatan Seronggi, Sumenep. Bahkan, ia sempat dikubur di sana.
Setelah mendengar adanya mayat itu, kakak Wafir bersama pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menemui dr. Saleh yang menangani mayat itu. Menurut si dokter, korban tewas secara tidak wajar. Tampak ada tanda-tanda korban tewas akibat penyiksaan dan pemukulan di bagian kepala. Kaus putih milik korban yang bertuliskan "The Best TIRA" pun sempat ditunjukkan.
Berdasar bukti tersebut, tanggal 16 Juni 1997, DPC PPP Sampang membuat surat permintaan kepada kapolres dan pihak terkait lainnya di Sumenep agar jenazah Wafir itu bisa dipindahkan ke Kabupaten Sampang. Setelah diperbolehkan, keluarga korban beserta pengurus DPC PPP Sampang memindahkan jenazah. Hari itu juga, 26 Juni dimakamkan di Sampang.
Mengapa Wafir tewas? Inilah yang masih simpang siur. "Saat malam terjadinya kerusuhan itu, ada saksi mata yang melihat Achmad Wafir ditangkap petugas. Tapi, saksi mata itu tidak tahu asal kesatuan petugas itu, karena pada saat itu massa lari berhamburan dibubarkan aparat keamanan," komentar Drs. Jakfar Shodiq, Plh Lajnah Pemenangan Pemilu dan Pembelaan Pemilu (LP3) DPC PPP Sampang.
Namun, Kapolwil Madura, Kol. Pol. Adna Isha, dua hari setelah pemakaman korban mengaku bahwa jenazah yang ditemukan di Sumenep itu adalah mayat Wafir, warga Sampang. "Namun, korban tewas bukan akibat kerusuhan. Itu koran Surya saja yang mengaitkan mayat itu adalah korban kerusuhan. Wong ketika berita itu disiarkan kan belum diselidiki penyebab kematiannya," kata Adna Isha.
Kapolwil Madura itu mengakui, dua-tiga hari setelah ditemukannya mayat Wafir, ditemukan lagi beberapa mayat lainnya. Namun, dia tidak merinci, mayat siapa yang telah ditemukan itu. "Begini saja, mayat itu tidak ada kaitannya dengan kerusuhan. Itu dikait-kaitkan saja. Setiap ada kejadian, gangguan, kebakaran selalu dihubungkan ke situ. Enggak ada kaitannya ke sana," katanya menandaskan.
Soal pengaitan mayat dengan kerusuhan, tampaknya sebuah hal yang sensitif bagi aparat keamanan. Itu juga terjadi dalam kerusuhan Jember. Seorang santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda bernama Harsono alias Shodiq Muthahar hilang sesudah kerusuhan tanggal 13 Juni lalu. Kabarnya ia tewas dan K.H. Luthfi, pengasuh Ponpes Cangkring, berhasil mendapatkan foto jenazah Harsono. Namun, Kapolres Jember membantah ada korban mati dalam kerusuhan itu. Maka, jasad Harsono tak mungkin dilacak oleh keluarganya.
Korban yang masih hidup pun, hingga kini belum jelas nasibnya. Empat di antara delapan korban luka tembak yang dirawat di RS Bhayangkara, Surabaya, sebenarnya sudah sembuh, tapi tak boleh pulang oleh aparat dengan alasan akan menimbulkan kecemburuan pada korban lainnya. "Padahal, kami sudah minta agar mereka dipulangkan karena belum jelas apakah mereka dijadikan tersangka atau sekadar peserta kerumunan massa," kata K.H. Luthfi. Belakangan, Kapolda Jatim Mayjen Pol. Drs. Sumarsono baru mengatakan empat yang sudah sembuh, sudah menjadi tersangka. "Empat orang lainnya belum menjadi tersangka, karena belum sembuh," kata Sumarsono.
Lain lagi nasib 121 korban kerusuhan Banjarmasin tanggal 23 Mei lalu. Mereka, yang oleh pemerintah dikatakan mati karena terperangkap dalam gedung yang terbakar itu, disangsikan kebenarannya oleh Tim Pencari Fakta Kerusuhan Banjarmasin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. "Penjelasan itu belum tuntas," demikian bunyi laporan sementaranya tanggal 25 Juni 1997 lalu. Alasannya, agak mengherankan bila orang yang terperangkap dalam bahaya kebakaran, mayatnya menumpuk di satu lokasi. Juga, mengapa orang sebanyak itu bisa terjebak dalam gedung tanpa bisa menyelamatkan diri. "Apakah karena mereka takut keluar karena penjagaan ketat atau sebab lain. Sebab, beberapa saksi mengatakan, setelah aparat keamanan datang, terdengar bunyi berondongan tembakan," kata laporan itu.
Soal vonis pemerintah bahwa mayat-mayat itu adalah perusuh dan penjarah, mereka anggap terlalu gegabah. Untuk soal yang satu itu, pihak Polri sudah meralat ucapannya, beberapa waktu lalu. "Penyelidikan polisi masih berlangsung, jadi ya temuan itu masih mungkin berubah. Tidak semua korban adalah perusuh," kata Kapolri Jenderal Dibyo Widodo merevisi komentar sebelumnya.
M.J., Gatot Prihanto, Abdul Manan (Sampang), dan Suma Atmaja (Jember)
D&R, Edisi 970705-046/Hal. 34 Rubrik Peristiwa & Analisa
KERUSUHAN rupanya selalu menyisakan banyak persoalan. Ambil contoh kerusuhan 27 Juli, hampir setahun lalu, yang hingga kini masih menyisakan problem belum ditemukannya beberapa orang yang dikabarkan hilang. Demikian juga kasus kerusuhan di Sampang dan Jember--yang oleh aparat keamanan dinyatakan sudah selesai--pun masih meninggalkan masalah. Mereka yang dinyatakan hilang dalam insiden Sampang itu sampai kini belum ditemukan. Namun, seminggu setelah kerusuhan, ada yang ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Persoalan tak lantas jadi jelas karena masyarakat menganggap mereka jadi korban kerusuhan, tetapi pihak keamanan berkeras: mereka bukan korban insiden tersebut.
Contohnya, Achmad Wafir, 27 tahun, warga Dusun Brembeng, Desa Tamansareh, Sampang. Ia dinyatakan hilang pada malam kerusuhan 29 Mei 1997. Menurut seorang saksi mata, bapak dua anak itu ditangkap petugas ketika kerumuman penonton itu dibubarkan. Namun, satu minggu kemudian, sosoknya ditemukan di Desa Nambakor, Kecamatan Seronggi, Sumenep. Bahkan, ia sempat dikubur di sana.
Setelah mendengar adanya mayat itu, kakak Wafir bersama pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menemui dr. Saleh yang menangani mayat itu. Menurut si dokter, korban tewas secara tidak wajar. Tampak ada tanda-tanda korban tewas akibat penyiksaan dan pemukulan di bagian kepala. Kaus putih milik korban yang bertuliskan "The Best TIRA" pun sempat ditunjukkan.
Berdasar bukti tersebut, tanggal 16 Juni 1997, DPC PPP Sampang membuat surat permintaan kepada kapolres dan pihak terkait lainnya di Sumenep agar jenazah Wafir itu bisa dipindahkan ke Kabupaten Sampang. Setelah diperbolehkan, keluarga korban beserta pengurus DPC PPP Sampang memindahkan jenazah. Hari itu juga, 26 Juni dimakamkan di Sampang.
Mengapa Wafir tewas? Inilah yang masih simpang siur. "Saat malam terjadinya kerusuhan itu, ada saksi mata yang melihat Achmad Wafir ditangkap petugas. Tapi, saksi mata itu tidak tahu asal kesatuan petugas itu, karena pada saat itu massa lari berhamburan dibubarkan aparat keamanan," komentar Drs. Jakfar Shodiq, Plh Lajnah Pemenangan Pemilu dan Pembelaan Pemilu (LP3) DPC PPP Sampang.
Namun, Kapolwil Madura, Kol. Pol. Adna Isha, dua hari setelah pemakaman korban mengaku bahwa jenazah yang ditemukan di Sumenep itu adalah mayat Wafir, warga Sampang. "Namun, korban tewas bukan akibat kerusuhan. Itu koran Surya saja yang mengaitkan mayat itu adalah korban kerusuhan. Wong ketika berita itu disiarkan kan belum diselidiki penyebab kematiannya," kata Adna Isha.
Kapolwil Madura itu mengakui, dua-tiga hari setelah ditemukannya mayat Wafir, ditemukan lagi beberapa mayat lainnya. Namun, dia tidak merinci, mayat siapa yang telah ditemukan itu. "Begini saja, mayat itu tidak ada kaitannya dengan kerusuhan. Itu dikait-kaitkan saja. Setiap ada kejadian, gangguan, kebakaran selalu dihubungkan ke situ. Enggak ada kaitannya ke sana," katanya menandaskan.
Soal pengaitan mayat dengan kerusuhan, tampaknya sebuah hal yang sensitif bagi aparat keamanan. Itu juga terjadi dalam kerusuhan Jember. Seorang santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda bernama Harsono alias Shodiq Muthahar hilang sesudah kerusuhan tanggal 13 Juni lalu. Kabarnya ia tewas dan K.H. Luthfi, pengasuh Ponpes Cangkring, berhasil mendapatkan foto jenazah Harsono. Namun, Kapolres Jember membantah ada korban mati dalam kerusuhan itu. Maka, jasad Harsono tak mungkin dilacak oleh keluarganya.
Korban yang masih hidup pun, hingga kini belum jelas nasibnya. Empat di antara delapan korban luka tembak yang dirawat di RS Bhayangkara, Surabaya, sebenarnya sudah sembuh, tapi tak boleh pulang oleh aparat dengan alasan akan menimbulkan kecemburuan pada korban lainnya. "Padahal, kami sudah minta agar mereka dipulangkan karena belum jelas apakah mereka dijadikan tersangka atau sekadar peserta kerumunan massa," kata K.H. Luthfi. Belakangan, Kapolda Jatim Mayjen Pol. Drs. Sumarsono baru mengatakan empat yang sudah sembuh, sudah menjadi tersangka. "Empat orang lainnya belum menjadi tersangka, karena belum sembuh," kata Sumarsono.
Lain lagi nasib 121 korban kerusuhan Banjarmasin tanggal 23 Mei lalu. Mereka, yang oleh pemerintah dikatakan mati karena terperangkap dalam gedung yang terbakar itu, disangsikan kebenarannya oleh Tim Pencari Fakta Kerusuhan Banjarmasin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. "Penjelasan itu belum tuntas," demikian bunyi laporan sementaranya tanggal 25 Juni 1997 lalu. Alasannya, agak mengherankan bila orang yang terperangkap dalam bahaya kebakaran, mayatnya menumpuk di satu lokasi. Juga, mengapa orang sebanyak itu bisa terjebak dalam gedung tanpa bisa menyelamatkan diri. "Apakah karena mereka takut keluar karena penjagaan ketat atau sebab lain. Sebab, beberapa saksi mengatakan, setelah aparat keamanan datang, terdengar bunyi berondongan tembakan," kata laporan itu.
Soal vonis pemerintah bahwa mayat-mayat itu adalah perusuh dan penjarah, mereka anggap terlalu gegabah. Untuk soal yang satu itu, pihak Polri sudah meralat ucapannya, beberapa waktu lalu. "Penyelidikan polisi masih berlangsung, jadi ya temuan itu masih mungkin berubah. Tidak semua korban adalah perusuh," kata Kapolri Jenderal Dibyo Widodo merevisi komentar sebelumnya.
M.J., Gatot Prihanto, Abdul Manan (Sampang), dan Suma Atmaja (Jember)
D&R, Edisi 970705-046/Hal. 34 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments