Tragedi Kiai Hisyam
Aparat keamanan di Madura diduga telah menganiaya warga setempat. Bahkan, ada kiai yang digunting kupingnya. Tapi, pihak Kodam V/Brawijaya menyangkal.
KERUSUHAN massa di Sampang dan Pamekasan, Madura, Jawa Timur, awal bulan ini tampaknya bakal berujung di pengadilan. Kamis, 19 Juni lalu, 32 warga Pamekasan melaporkan kasus penganiayaan yang mereka alami ke Yayasan Lembaga Pembela Hukum (LPH) Yogyakarta. Menurut Artidjo Alkostar, ketua yayasan itu, hal tersebut adalah laporan penganiayaan kedua yang disampaikan oleh warga Pamekasan ke LPH Yogyakarta. Sebelumnya, pada 7 Juni lalu, pihaknya juga menerima pengaduan tertulis dari 46 orang warga Sampang, yang mengaku telah dianiaya aparat keamanan di Madura. Kedua kasus penganiayaan itu terjadi dalam waktu yang berbeda.
Yang pertama terjadi Minggu malam, 1 Juni 1997 lalu, menimpa 46 orang warga Dusun Pamulaan, Desa Congapan, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Sore itu, K.H. Hisyam, pimpinan Madrasah Ibtidaiah Darul Iman di Desa Congapan, mengantarkan seorang santrinya berangkat mondok ke Pesantren Darul Tauhid di Desa Lenteng, Kecamatan Propoh, Pamekasan. Ia mengajak sejumlah warga desa, yang berjumlah lebih dari 40 orang, ke pesantren yang dipimpin K.H. Ali Karar itu. Maklum, dalam tradisi pesantren Madura, mengantar orang nyantri dan bersilaturahmi kepada kiai adalah perbuatan mulia. Rombongan yang menumpang sebuah pikap carteran dan dua motor itu tiba dengan selamat di Propoh.
Sekitar pukul 20.00, mereka berpamitan pulang. Nah, ketika rombongan melintas di depan kantor Koramil Propoh, mereka terhalang lincak (bangku dari bambu) yang dipasang melintang di jalan. Rombongan itu lalu berhenti. Saat itu muncul dua orang berpakaian preman, diduga sebagai petugas koramil, yang kemudian menggeledah mereka. Ketika itu, situasi memang masih tegang sehabis pecahnya kerusuhan massa pada hari pencoblosan 29 Mei lalu.
Karena tak ditemukan sesuatu yang mencurigakan, rombongan itu berniat untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tanpa sebab yang jelas, salah seorang petugas--kemudian diketahui bernama Ali--mengambil alih kemudi dan membawa rombongan itu ke arah Pamekasan. Ada empat petugas lain yang ikut. Mereka naik motor mengiring di belakang.
* Tidak Mempan
Namun, di tengah jalan, mobil itu mogok. Ali menyuruh membeli bensin satu jeriken. Tapi, kata Kiai Hisyam, 40 tahun, kepada D&R yang menemuinya di pesantrennya, mobil itu sudah diisi penuh sebelum berangkat, jadi mustahil bensin habis. Benar, ketika tutup tanki bahan bakar dibuka, bensin masih penuh. Petugas lalu memasukkan jeriken yang tak jadi dipakai itu ke dalam mobil. Tak lama kemudian muncul truk tentara. Anggota rombongan itu kemudian dipindahkan ke truk tersebut dan dibawa ke Polres Pamekasan.
Setiba di polres, mereka kembali digeledah dan disuruh buka baju. Lalu, diinterogasi oleh sejumlah polisi berpakaian preman yang tak mereka kenal identitasnya. Inti interogasi: rombongan itu dituduh berniat membakar kantor Koramil Propoh. "Kantor apa saja yang akan kalian bakar? Kiai mana yang kalian tuju? Diberi apa saja oleh kiai kalian?" demikian para oknum petugas itu membentak sembari berkali-kali menghunjamkan jotosan .
Sebagai bukti tuduhan tersebut, para oknum petugas keamanan itu menunjukkan jeriken bensin, sabut kelapa, dan selembar bendera PPP. "Padahal, yang meletakkan jeriken bensin adalah aparat keamanan yang membawa kami dari Propoh. Kami juga tak tahu-menahu tentang sabut kelapa dan bendera bergambar bintang. Kami heran, dari mana datangnya bendera itu. Mungkin turun dari langit?" demikian tertulis dalam laporan pengaduan mereka ke LPH Yogyakarta.
Karena para warga Congapan itu menolak membenarkan tuduhan, siksaan makin bertubi-tubi. Yang paling menderita adalah Kiai Hisyam, yang dianggap sebagai pimpinan rombongan. Kiai yang cuma bisa berbahasa Madura itu bengkak mata kanannya karena dipukul dengan botol. Bahkan, kuping kirinya sempat digunting dan disilet oleh seorang petugas. Syukurlah tidak mempan, cuma bengkak. "Saya tidak punya ilmu kebal. Ini pertanda dari Allah bahwa saya berada pada pihak yang benar," ujar Hisyam kepada D&R. Gagal menggunting kuping Kiai Hisyam, para oknum itu kemudian menelanjangi kiai bertubuh kekar itu di hadapan para muridnya. Hisyam, menurut laporan tertulis ke LPH Yogyakarta, "diperiksa" dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
* Bergelantungan
Aksi brutal itu baru berhenti ketika hari menjelang subuh. Sekitar pukul 06.00, rombongan itu dibebaskan. Itu pun setelah dijemput Kepala Desa Congapan. Tapi, sebelum bebas, rombongan itu masih harus menjalani serangkaian "prosedur". Mereka difoto untuk diidentifikasi. "Katanya, kami akan dipanggil jika ada apa-apa," cerita Mustakim, salah seorang santri. Selain itu, mereka juga harus merelakan semua isi kantung--termasuk uang Rp 200 ribu--ke tangan para oknum itu.
Akibat penyiksaan tersebut, sampai saat ini kaki Kiai Hisyam masih pincang kalau berjalan. Sementara itu Ibrahim, salah seorang guru ngaji lulusan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, pecah bibirnya. Santri lain: M. Jufri, mengalami patah punggung, Bukat patah pinggang, dan Marwi rompal kedua gerahamnya. Tapi, meski sakit, mereka tak pergi ke dokter. "Setelah dianiaya, kami diberi obat oleh Habib. Saat itu juga sakit kami sembuh," ujar Mustakim.
Pada hari Kiai Hisyam dibebaskan, insiden kedua terjadi, juga di Pamekasan. Senin siang itu, sebuah rombongan yang terdiri dari 29 orang warga Desa Bujur Barat dan empat orang warga Desa Batubintang--keduanya di Kecamatan Batumarmar, Pamekasan --mengadakan kunjungan silaturahmi ke pesantren Kiai Ali Karar di Pamekasan dan Kiai Alawy Muhammad di Sampang. Seperti rombongan Kiai Hisyam, mereka juga naik pikap carteran berdesak-desakan, bahkan ada yang bergelantungan di badan mobil--maklum, murah meriah.
Sekitar pukul 20.00, usai acara silaturahmi, rombongan berpikap itu meluncur kembali ke Batumarmar. Tapi, ketika melewati perempatan Kota Pamekasan, tiba-tiba rombongan dihentikan oleh patroli tentara, mungkin karena tampak mencurigakan. Mereka lalu digiring ke kantor Koramil Pamekasan, tapi petugas di sana menolak menerima. Lalu, mereka dioper ke Kodim Pamekasan.
Di sana, mereka diinterogasi. Petugas ingin tahu apa yang mereka lakukan selama mengunjungi kedua kiai itu. Tapi, sebelum mereka sempat menjelaskan, para aparat keamanan itu sudah keburu menyusulkan pertanyaan lain: kitab apa yang dibagikan Kiai Ali Karar kepada para ulama. Belum pula pertanyaan itu sempat terjawab, oknum petugas itu sudah membentak sembari menghunjamkan jotosan dan tendangan kaki bersepatu ke arah para anggota rombongan yang merunduk ketakutan itu. Alhasil, rombongan warga Batumarmar juga menderita beragam jenis penganiayaan. Para oknum juga mengemasi arloji, cincin, dan uang milik rombongan itu, yang nilainya ditaksir mencapai Rp 6 juta.
Ada dugaan kedua kasus itu berhubungan, yakni terkait dengan kerusuhan massa yang dilakukan massa pendukung PPP yang kecewa karena adanya kecurangan pemilu. Apalagi, dalam kedua kasus itu tersangkut nama Kiai Ali Karar, seorang ulama yang dikenal sebagai pendukung berat PPP. Sebuah sumber D&R menyebut, "pemeriksaan" atas rombongan Kiai Hisyam itu terjadi atas sepengetahuan Kapolres Pamekasan Letkol Wahyudi dan Dandim Pamekasan Letkol Raharjo.
Alasannya: untuk antisipasi kerusuhan pasca-pemilu. Maklum, pada hari rombongan Kiai Hisyam ditahan, rumah Kiai Musyawafak, 38 tahun, seorang ulama pendukung Golkar di Kecamatan Pademawu, Pamekasan, dibakar massa. Akibatnya, aparat keamanan disiagakan di seluruh penjuru kota. Kapolres Wahyudi kepada wartawan dua pekan lalu mengaku penahanan terhadap warga Congapan itu diambil sebagai tindakan berjaga-jaga.
* Lapor ke Yogya
Namun, para santri Kiai Hisyam menolak kaitan itu. "Kami tidak ada hubungan dengan PPP. Waktu kampanye, di desa ini juga tidak ada kampanye," tutur Mustakim. Pengurus PPP Sampang juga menolak kaitan itu. Sekretaris DPC PPP Sampang Hasan Asyari bahkan mengaku tak mengatahui adanya kasus penganiayaan itu. "Saya baru tahu kasus ini dari sampeyan," kata Asyari kepada D&R yang menghubunginya Sabtu pekan lalu. Tapi, Asyari lalu mengontak Asjari, Komisaris Kecamatan PPP Camplong, yang lantas membenarkan terjadinya penganiayaan terhadap rombongan Kiai Hisyam itu.
Ketidaktahuan yang sama juga disampaikan Kepala Penerangan Kodam V/Brawijaya Letkol S. Subagio ketika dimintai konfirmasi oleh D&R. "Tak ada laporan yang menyebutkan ada komandan koramil memukul ulama Sampang," ujarnya. Padahal, di ABRI, kata Subagio, bila terjadi satu kasus, laporannya akan sampai dalam waktu 24 jam. "Itu hanya upaya untuk mendiskreditkan aparat keamanan," ujarnya.
Namun, Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur Letkol Sofwat Hadi tak serta-merta menolak kemungkinan adanya kasus penganiayaan itu. "Banyak yang ditangkap dan memang rasanya ada, sih, nama itu (Kiai Hisyam). Tapi, enggak tahu sampai di mana prosesnya. Harus saya cek dulu, saya enggak hafal lagi, sudah beberapa hari kan itu," ujarnya ketika dikontak D& R lewat telepon genggamnya. Cuma, ia menyayangkan, mengapa kasus itu diadukan ke LPH Yogyakarta. "Kok, aneh, orang Sampang dipukul di Pamekasan lapor ke Yogya?" katanya.
Menurut Artidjo Alkostar, pengaduan itu semula memang ditangani LPH Pamekasan. Lalu, karena merasa tak leluasa bergerak, LPH Pamekasan meminta bantuan LPH Yogyakarta. Kata Artidjo, pihaknya kini menyusun tim bernama Komisi Advokasi Hukum untuk Masyarakat, yang beranggotakan 20 orang pengacara Yogya dan Pamekasan. Tim tersebut sudah mengadukan kasus itu ke Komandan Jenderal Polisi Militer di Jakarta pada 7 Juni lalu. Selain itu, mereka juga menyiapkan gugatan perdata. "Kami akan menunggu jawaban aparat yang berwewenang selama sebulan. Kalau tidak ada tindak lanjut, kami akan mengajukan gugatan perdata," ujar Artidjo
Tatiek S. Hafidz, Zed Abidien (Sampang ), Abdul Manan (Surabaya), Ahmad Solikhan, dan R. Fadjri (Yogyakarta)
D&R, Edisi 970628-045/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
KERUSUHAN massa di Sampang dan Pamekasan, Madura, Jawa Timur, awal bulan ini tampaknya bakal berujung di pengadilan. Kamis, 19 Juni lalu, 32 warga Pamekasan melaporkan kasus penganiayaan yang mereka alami ke Yayasan Lembaga Pembela Hukum (LPH) Yogyakarta. Menurut Artidjo Alkostar, ketua yayasan itu, hal tersebut adalah laporan penganiayaan kedua yang disampaikan oleh warga Pamekasan ke LPH Yogyakarta. Sebelumnya, pada 7 Juni lalu, pihaknya juga menerima pengaduan tertulis dari 46 orang warga Sampang, yang mengaku telah dianiaya aparat keamanan di Madura. Kedua kasus penganiayaan itu terjadi dalam waktu yang berbeda.
Yang pertama terjadi Minggu malam, 1 Juni 1997 lalu, menimpa 46 orang warga Dusun Pamulaan, Desa Congapan, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Sore itu, K.H. Hisyam, pimpinan Madrasah Ibtidaiah Darul Iman di Desa Congapan, mengantarkan seorang santrinya berangkat mondok ke Pesantren Darul Tauhid di Desa Lenteng, Kecamatan Propoh, Pamekasan. Ia mengajak sejumlah warga desa, yang berjumlah lebih dari 40 orang, ke pesantren yang dipimpin K.H. Ali Karar itu. Maklum, dalam tradisi pesantren Madura, mengantar orang nyantri dan bersilaturahmi kepada kiai adalah perbuatan mulia. Rombongan yang menumpang sebuah pikap carteran dan dua motor itu tiba dengan selamat di Propoh.
Sekitar pukul 20.00, mereka berpamitan pulang. Nah, ketika rombongan melintas di depan kantor Koramil Propoh, mereka terhalang lincak (bangku dari bambu) yang dipasang melintang di jalan. Rombongan itu lalu berhenti. Saat itu muncul dua orang berpakaian preman, diduga sebagai petugas koramil, yang kemudian menggeledah mereka. Ketika itu, situasi memang masih tegang sehabis pecahnya kerusuhan massa pada hari pencoblosan 29 Mei lalu.
Karena tak ditemukan sesuatu yang mencurigakan, rombongan itu berniat untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tanpa sebab yang jelas, salah seorang petugas--kemudian diketahui bernama Ali--mengambil alih kemudi dan membawa rombongan itu ke arah Pamekasan. Ada empat petugas lain yang ikut. Mereka naik motor mengiring di belakang.
* Tidak Mempan
Namun, di tengah jalan, mobil itu mogok. Ali menyuruh membeli bensin satu jeriken. Tapi, kata Kiai Hisyam, 40 tahun, kepada D&R yang menemuinya di pesantrennya, mobil itu sudah diisi penuh sebelum berangkat, jadi mustahil bensin habis. Benar, ketika tutup tanki bahan bakar dibuka, bensin masih penuh. Petugas lalu memasukkan jeriken yang tak jadi dipakai itu ke dalam mobil. Tak lama kemudian muncul truk tentara. Anggota rombongan itu kemudian dipindahkan ke truk tersebut dan dibawa ke Polres Pamekasan.
Setiba di polres, mereka kembali digeledah dan disuruh buka baju. Lalu, diinterogasi oleh sejumlah polisi berpakaian preman yang tak mereka kenal identitasnya. Inti interogasi: rombongan itu dituduh berniat membakar kantor Koramil Propoh. "Kantor apa saja yang akan kalian bakar? Kiai mana yang kalian tuju? Diberi apa saja oleh kiai kalian?" demikian para oknum petugas itu membentak sembari berkali-kali menghunjamkan jotosan .
Sebagai bukti tuduhan tersebut, para oknum petugas keamanan itu menunjukkan jeriken bensin, sabut kelapa, dan selembar bendera PPP. "Padahal, yang meletakkan jeriken bensin adalah aparat keamanan yang membawa kami dari Propoh. Kami juga tak tahu-menahu tentang sabut kelapa dan bendera bergambar bintang. Kami heran, dari mana datangnya bendera itu. Mungkin turun dari langit?" demikian tertulis dalam laporan pengaduan mereka ke LPH Yogyakarta.
Karena para warga Congapan itu menolak membenarkan tuduhan, siksaan makin bertubi-tubi. Yang paling menderita adalah Kiai Hisyam, yang dianggap sebagai pimpinan rombongan. Kiai yang cuma bisa berbahasa Madura itu bengkak mata kanannya karena dipukul dengan botol. Bahkan, kuping kirinya sempat digunting dan disilet oleh seorang petugas. Syukurlah tidak mempan, cuma bengkak. "Saya tidak punya ilmu kebal. Ini pertanda dari Allah bahwa saya berada pada pihak yang benar," ujar Hisyam kepada D&R. Gagal menggunting kuping Kiai Hisyam, para oknum itu kemudian menelanjangi kiai bertubuh kekar itu di hadapan para muridnya. Hisyam, menurut laporan tertulis ke LPH Yogyakarta, "diperiksa" dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
* Bergelantungan
Aksi brutal itu baru berhenti ketika hari menjelang subuh. Sekitar pukul 06.00, rombongan itu dibebaskan. Itu pun setelah dijemput Kepala Desa Congapan. Tapi, sebelum bebas, rombongan itu masih harus menjalani serangkaian "prosedur". Mereka difoto untuk diidentifikasi. "Katanya, kami akan dipanggil jika ada apa-apa," cerita Mustakim, salah seorang santri. Selain itu, mereka juga harus merelakan semua isi kantung--termasuk uang Rp 200 ribu--ke tangan para oknum itu.
Akibat penyiksaan tersebut, sampai saat ini kaki Kiai Hisyam masih pincang kalau berjalan. Sementara itu Ibrahim, salah seorang guru ngaji lulusan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, pecah bibirnya. Santri lain: M. Jufri, mengalami patah punggung, Bukat patah pinggang, dan Marwi rompal kedua gerahamnya. Tapi, meski sakit, mereka tak pergi ke dokter. "Setelah dianiaya, kami diberi obat oleh Habib. Saat itu juga sakit kami sembuh," ujar Mustakim.
Pada hari Kiai Hisyam dibebaskan, insiden kedua terjadi, juga di Pamekasan. Senin siang itu, sebuah rombongan yang terdiri dari 29 orang warga Desa Bujur Barat dan empat orang warga Desa Batubintang--keduanya di Kecamatan Batumarmar, Pamekasan --mengadakan kunjungan silaturahmi ke pesantren Kiai Ali Karar di Pamekasan dan Kiai Alawy Muhammad di Sampang. Seperti rombongan Kiai Hisyam, mereka juga naik pikap carteran berdesak-desakan, bahkan ada yang bergelantungan di badan mobil--maklum, murah meriah.
Sekitar pukul 20.00, usai acara silaturahmi, rombongan berpikap itu meluncur kembali ke Batumarmar. Tapi, ketika melewati perempatan Kota Pamekasan, tiba-tiba rombongan dihentikan oleh patroli tentara, mungkin karena tampak mencurigakan. Mereka lalu digiring ke kantor Koramil Pamekasan, tapi petugas di sana menolak menerima. Lalu, mereka dioper ke Kodim Pamekasan.
Di sana, mereka diinterogasi. Petugas ingin tahu apa yang mereka lakukan selama mengunjungi kedua kiai itu. Tapi, sebelum mereka sempat menjelaskan, para aparat keamanan itu sudah keburu menyusulkan pertanyaan lain: kitab apa yang dibagikan Kiai Ali Karar kepada para ulama. Belum pula pertanyaan itu sempat terjawab, oknum petugas itu sudah membentak sembari menghunjamkan jotosan dan tendangan kaki bersepatu ke arah para anggota rombongan yang merunduk ketakutan itu. Alhasil, rombongan warga Batumarmar juga menderita beragam jenis penganiayaan. Para oknum juga mengemasi arloji, cincin, dan uang milik rombongan itu, yang nilainya ditaksir mencapai Rp 6 juta.
Ada dugaan kedua kasus itu berhubungan, yakni terkait dengan kerusuhan massa yang dilakukan massa pendukung PPP yang kecewa karena adanya kecurangan pemilu. Apalagi, dalam kedua kasus itu tersangkut nama Kiai Ali Karar, seorang ulama yang dikenal sebagai pendukung berat PPP. Sebuah sumber D&R menyebut, "pemeriksaan" atas rombongan Kiai Hisyam itu terjadi atas sepengetahuan Kapolres Pamekasan Letkol Wahyudi dan Dandim Pamekasan Letkol Raharjo.
Alasannya: untuk antisipasi kerusuhan pasca-pemilu. Maklum, pada hari rombongan Kiai Hisyam ditahan, rumah Kiai Musyawafak, 38 tahun, seorang ulama pendukung Golkar di Kecamatan Pademawu, Pamekasan, dibakar massa. Akibatnya, aparat keamanan disiagakan di seluruh penjuru kota. Kapolres Wahyudi kepada wartawan dua pekan lalu mengaku penahanan terhadap warga Congapan itu diambil sebagai tindakan berjaga-jaga.
* Lapor ke Yogya
Namun, para santri Kiai Hisyam menolak kaitan itu. "Kami tidak ada hubungan dengan PPP. Waktu kampanye, di desa ini juga tidak ada kampanye," tutur Mustakim. Pengurus PPP Sampang juga menolak kaitan itu. Sekretaris DPC PPP Sampang Hasan Asyari bahkan mengaku tak mengatahui adanya kasus penganiayaan itu. "Saya baru tahu kasus ini dari sampeyan," kata Asyari kepada D&R yang menghubunginya Sabtu pekan lalu. Tapi, Asyari lalu mengontak Asjari, Komisaris Kecamatan PPP Camplong, yang lantas membenarkan terjadinya penganiayaan terhadap rombongan Kiai Hisyam itu.
Ketidaktahuan yang sama juga disampaikan Kepala Penerangan Kodam V/Brawijaya Letkol S. Subagio ketika dimintai konfirmasi oleh D&R. "Tak ada laporan yang menyebutkan ada komandan koramil memukul ulama Sampang," ujarnya. Padahal, di ABRI, kata Subagio, bila terjadi satu kasus, laporannya akan sampai dalam waktu 24 jam. "Itu hanya upaya untuk mendiskreditkan aparat keamanan," ujarnya.
Namun, Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur Letkol Sofwat Hadi tak serta-merta menolak kemungkinan adanya kasus penganiayaan itu. "Banyak yang ditangkap dan memang rasanya ada, sih, nama itu (Kiai Hisyam). Tapi, enggak tahu sampai di mana prosesnya. Harus saya cek dulu, saya enggak hafal lagi, sudah beberapa hari kan itu," ujarnya ketika dikontak D& R lewat telepon genggamnya. Cuma, ia menyayangkan, mengapa kasus itu diadukan ke LPH Yogyakarta. "Kok, aneh, orang Sampang dipukul di Pamekasan lapor ke Yogya?" katanya.
Menurut Artidjo Alkostar, pengaduan itu semula memang ditangani LPH Pamekasan. Lalu, karena merasa tak leluasa bergerak, LPH Pamekasan meminta bantuan LPH Yogyakarta. Kata Artidjo, pihaknya kini menyusun tim bernama Komisi Advokasi Hukum untuk Masyarakat, yang beranggotakan 20 orang pengacara Yogya dan Pamekasan. Tim tersebut sudah mengadukan kasus itu ke Komandan Jenderal Polisi Militer di Jakarta pada 7 Juni lalu. Selain itu, mereka juga menyiapkan gugatan perdata. "Kami akan menunggu jawaban aparat yang berwewenang selama sebulan. Kalau tidak ada tindak lanjut, kami akan mengajukan gugatan perdata," ujar Artidjo
Tatiek S. Hafidz, Zed Abidien (Sampang ), Abdul Manan (Surabaya), Ahmad Solikhan, dan R. Fadjri (Yogyakarta)
D&R, Edisi 970628-045/Hal. 26 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments